Monday, January 1, 2018

Strategi Ormas Radikal di Tahun 2018


DUNIA HAWA Tahun 2017 adalah tahun pukulan terberat bagi kelompok garis keras dan pendukung khilafah. Sejak menjabatnya Kapolri Tito Karnavian pada Juli 2016, kepolisian langsung memfokuskan dirinya pada gerakan terorisme global yang menunggangi ormas-ormas agama.

Sejak demo besar 411 dan 212, terlihat profesionalisme kepolisian dalam menahan gelombang supaya tidak menjadi chaos.

Beberapa tokoh yang dianggap memicu keributan pun ditangkap -meski kemudian dilepaskan- sekedar untuk meredam nyala api yang lebih besar lagi.

Salah satu pentolan terpaksa kabur keluar negeri - dan belum balik sampai saat ini. Polisi cenderung membiarkan dan tidak menangkapnya, karena tidak ingin menjadikannya lebih besar dan menjadi pahlawan di mata orang awam agama.

Juli 2017, Presiden mengeluarkan Perppu Ormas yang menjadi titik pembubaran HTI, organisasi agama militan yang menolak NKRI.

HTI kemudian tiarap, tapi terus memasarkan ideologi khilafah dengan menyebarkan tokoh-tokoh sentral mereka untuk berdakwah. Rencana busuk ini tercium oleh Banser dan Ansor yang menghadang mereka di setiap acara.

Gundah gundala karena tokoh-tokoh mereka “terpenjara” oleh situasi, kelompok garis keras dan pendukung khilafah pun memunculkan tokoh baru.

Tokoh baru ini dibesarkan di media sosial dan melalui framing-framing media untuk menaikkan pamornya. Tujuan besarnya adalah ormas Islam terbesar di Indonesia, yaitu Nahdlatul Ulama.

NU memang ormas yang secara langsung berhadap-hadapan dengan kelompok garis keras dan pecinta khilafah ini.

Tidak mampu menghadapi NU secara head to head, mereka ingin merebut NU dari dalam dengan membangun seorang tokoh yang berwajah NU. Tokoh ini diharapkan satu waktu bisa menjadi Ketum PBNU dan bisa ditunggangi untuk kepentingan mereka.

Banyak yang bersimpati kepada tokoh ini, begitu juga dari kalangan Islam moderat.

Mereka tidak paham agenda sebenarnya, karena tokoh ini dianggap perwakilan NU untuk menyatukan ormas Islam di Indonesia, baik yang dari kalangan fundamentalis maupun tradisionalis.

Strategi ini mirip dengan pernyataan HRS di Saudi, “bahwa kelompok Islam di Indonesia terbagi dua, yaitu yang fundamentalis dan tradisionalis..” HRS bercita-cita ingin memfundamentaliskan kelompok Islam tradisional.

Pukulan terberat bagi kelompok garis keras datang dari Majelis Ulama Indonesia. MUI adalah badan yang mereka harapkan bisa menjadikan aksi mereka sah dan legal. Mereka pernah melakukan ini dengan membentuk Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI.

Sayangnya, MUI kemudian menyadari penunggangan ini dan melepaskan diri dari pemakaian nama lembaganya untuk kepentingan politik mereka. MUI malah tidak terikut dengan gerakan “boikot natal” mereka dan mempersilahkan umat Islam untuk mengucapkan selamat Natal.

Boikot Natal adalah salah satu agenda untuk memperuncing pertikaian antara agama Islam dan Kristen, dan diharapkan berdampak di daerah-daerah yang pernah terluka karena pertikaian antar agama, seperti Poso misalnya.

Hari ini tanggal 1 Januari 2018, sebuah bom molotov dilempar dan meledak di Kantor Polsek Bontoala, Sulsel. Kapolsek dan satu anak buahnya menjadi korban.

Kemungkinan besar bom molotov ini direncanakan untuk menyerang gereja di sana, seperti yang pernah mereka lakukan terhadap gereja Oikumene di Samarinda yang menewaskan satu balita bernama Intan Olivia.

Tetapi pengamanan yang begitu ketat di gereja-gereja oleh kepolisian dibantu dengan Banser dan Ansor, membuat kelompok ini mengalihkan sasarannya kepada institusi yang sangat mereka benci yaitu kepolisian.

Penggunaan bom molotov di polsek ini, menunjukkan bahwa kelompok garis keras ini sebenarnya galau dan panik. Mereka tidak bisa lagi memproduksi bom dengan kekuatan besar karena peredaran bahan-bahannya di pantau sangat ketat.

Nah, apa kira-kira yang agenda mereka di 2018 ini? Kita lihat catatan berikutnya setelah ini

Apa kira-kira strategi yang akan dilakukan oleh kelompok garis keras dan pendukung khilafah di tahun 2018 ini?

Mari kita analisa sesuai dengan pola-pola yang mereka bangun sebelumnya.

Salah satu senjata andalan dan mesin perang utama mereka adalah Framing atau POP (Pembentukan Opini Publik) melalui media sosial.

Kelompok ini memang solid dan militan, Mereka juga menguasai teknologi bot atau mesin otomatis untuk menyebarkan hoax, komen melalui akun-akun palsu mereka yang sangat banyak.

POP ini mereka gunakan untuk dua hal:

1. Mengangkat tokoh yang sealiran dengan mereka.

2. Menghancurkan karakter tokoh yang berseberangan dengan mereka.

Kita bahas dulu yang pertama, MENGANGKAT TOKOH.

Salah satu cara yang mereka lakukan -dan polanya selalu sama- adalah membesarkan berita meski jauh dari fakta sebenarnya.

Seperti contoh ketika mereka membesarkan aksi dengan kata “jutaan, puluhan juta”. Ini penting untuk membangun kedigdayaan dan menunjukkan “besarnya” mereka.

Begitu juga kata “umat Islam dan ulama” yang mereka klaim sebagai milik mereka. Dan yang paling sering mereka mainkan adalah dikotomi “Mayoritas dan Minoritas”.

Mereka bermain di JUDUL BERITA, karena paham bahwa banyak orang Indonesia hanya membaca judul bukan isi beritanya. Judul harus bombastis, untuk membiaskan isi berita sebenarnya.

Coba sekali-kali lihat Youtube videonya Zakir Naik. Judulnya saja sudah bombastis, “AllahuAkbar, Zakir Naik mengIslamkan ribuan orang!!”, meski isi videonya hanya berupa tanya jawab saja.

Strategi itu mereka gunakan juga untuk mengangkat seorang yang mereka sebut Ustad atau Ulama, bahkan kalau perlu seorang Panglima, yang sealiran dengan mereka.

Mereka butuh simbol-simbol dan terus memunculkan simbol baru jika simbol lama sudah tenggelam. Kemaren ZakirNaik, trus Panglima, sekarang UAS.

Sedangkan simbol lama mereka kabur gak pulang-pulang..

Yang kedua, MENGHANCURKAN KARAKTER TOKOH..

Penghancuran karakter tokoh yang berseberangan dengan mereka, perlu dilakukan..

Tujuannya adalah pertama, supaya tokoh tersebut terintimidasi dan berhenti bicara, dan kedua supaya orang tidak percaya dengan kredibilitas tokoh tersebut..

Sama seperti mengangkat tokoh, dalam menghancurkan karakter tokoh, mereka butuh sebuah momen..

Sebagai contoh ketika mereka menghancurkan nama Banser dan Ansor sebagai “pembubar pengajian”.

Mereka tidak mau melihat fakta bahwa yang dibubarkan adalah pembicara berpotensi memecah belah. Mereka paham, bahwa orang awam atau “umat buih di lautan” akan termakan propaganda mereka.

Mereka bukan hanya menghancurkan karakter tokoh, tapi juga membenturkannya dengan tokoh lain.

Contoh paling dekat adalah ketika mereka mencoba menghancurkan karakter Kapolri dan mencoba membenturkannya dengan Panglima TNI.

Inilah senjata yang masih akan mereka pakai di tahun 2018 ini.

Model judul berita seperti PKI, PRIBUMI, CHINA, NON MUSLIM, MINORITAS, masih akan mereka pakai di tahun ini. Mereka akan mengadakan gerakan di lapangan dan membangun beritanya dengan bahasa yang dibesarkan di dunia maya..

“Bagaimana caranya bisa menghadang strategi itu?” Tanya seorang teman.

Gunakan pola yang sama. Jangan malu untuk memainkan konsep Fight Fire with Fire...

Tidak cukup memadamkan api dengan air saja. Ketika sebuah kilang minyak terbakar, petugas pemadam harus meledakkannya hanya untuk memadamkannya.

Munculkan tokoh-tokoh, besarkan di media sosial melalui judul berita, hancurkan karakter tokoh mereka dan viralkan persatuan dan kesatuan berbangsa.

Tambah, tumbangkan akun-akun tokoh mereka..

PR terbesar melawan mereka adalah soliditas dan militansi. Kelompok yang melawan mereka biasanya dari kelas menengah dan mapan, sehingga tidak begitu perduli dengan situasi dan masih bangga akan gelar “Silent Majority”.

Bersambung ...

Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment