Tuesday, May 23, 2017

Kenapa Ahok Menolak Banding?


DUNIA HAWA "Kenapa Ahok menolak banding ??" Tanya beberapa teman mampir ditempatku. Aku tidak tahu, tidak bisa menjawab bahkan tidak mau memperkirakannya. Biarlah itu menjadi rahasia pribadinya dan keluarganya.

Ada hal yang sedang berubah terjadi di diri Ahok yang biasa tampil percaya diri dan cenderung arogan. Ia kini bertransformasi menjadi seorang flamboyan.

Ahok mungkin sedang bertapa dari hiruk pikuknya dunia. Ia mungkin malah sudah menikmati kesunyian di dalam sel yang mengurung dirinya. Ia sedang bertarung bahkan mengupas semua kulit nafsunya.

Mungkin juga ia ingin menahan diri untuk tidak menimbulkan kembali hiruk pikuk di negeri ini. Ia tahu sekarang banyak orang sedang menaruh moncong senapan di dahinya.

Dan jika ia banding, maka depan pengadilan akan terjadi adu kekuatan massa yang bisa saja menjadi musibah untuk negeri yang ia cinta.

Mungkin juga ia sedang memberi jalan Jokowi untuk menuntaskan kerjanya. Ia tidak ingin merepotkan sahabatnya yang bisa saja melakukan langkah salah hanya untuk sekedar menyelamatkan dirinya.

Dan ia tahu - kesalahan sekecil apapun akan menjadi senjata baru bagi musuh-musuhnya.

Jadi, biarlah...

Biarkan Ahok menemukan dirinya. Tidak usah menangisinya karena apa yang terjadi, tetapi tangisilah hukum yang mati di negeri ini. Ahok tidak ingin penegak hukum mendapat dosa yang lebih besar lagi hanya karena menjatuhkan putusan berdasarkan ketidak-sukaan pribadi semata.

Apapun keputusannya, hanya dia, istrinya dan Tuhannya yang tahu. Mereka bukan pasrah, hanya melawan dalam diam. Waktu yang akan berbicara bahwa keadilan tidak didapat dari riuhnya seruan dijalan, tetapi juga dari kusamnya dinding penjara yang menghormati segala gerik langkahnya..

Semua orang mempunyai cara untuk menemukan Tuhannya. Ada yang melalui habisnya harta, ada yang dengan sakit parah dan menderita, ada yang kehilangan sanak saudara.

Dan Ahok menikmati dengan duduk menyendiri di dalam penjara, membaca kembali kitab suci yang ia yakini dan menemukan permata diri.

Pada akhirnya, ia akan jauh lebih kaya. Materi sudah tidak menguasainya lagi. Jabatan sudah tidak mempengaruhinya lagi. Dunia sudah tidak menemukannya lagi. Biarlah sejarah yang mencatat perjuangannya dan Tuhan yang mencatat amalnya..

Begitu banyak faktor kenapa Ahok mencabut permohonan bandingnya. Dan kita harus menghormati apapun keputusannya..

Ahok seperti secangkir kopi. Pahitnya apa yang ia alami sesungguhnya adalah kenikmatan sejati bagi mereka yang sudah berada pada taraf mengerti..

Seperti pahitnya peristiwa para Nabi. Seperti pahitnya hidup para Imam. Seperti pahitnya cerita-cerita orang besar dahulu yang namanya terus harum dan dikenang..

Hingga sekarang..

"Terkadang Allah mengambil segalanya dari seorang manusia hanya supaya ia dapat mengenal Tuhannya.." Imam Ali as.

@denny siregar


Hari-hari “Mesum” Rizieq Shihab


DUNIA HAWA Gara-gara kasus chat mesum yang mendera Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab, hari-hari Rizieq seakan berubah secara drastis: jarang terdengar suaranya yang membahana mengisi orasi-orasi keagamaan, kemeriahan pengikutnya ketika ia hadir dalam berbagai acara bahkan keberadaannya belakangan ini bak hilang ditelan bumi.

Kasus chat mesum yang dituduhkan kepada dirinya sepertinya membesar menjadi semacam “magnitude” yang efek goncangannya melebihi kasus-kasus lainnya yang sempat “dipolisikan”. Saking kuatnya daya magnitude tersebut, sampai-sampai ia berasumsi telah terjadi kriminalisasi terhadap dirinya sebagai “ulama” dan perlu menyelesaikannya di tingkat hukum internasional.

Saya kira, bukan tipikal seorang Habib Rizieq Shihab ketika ia harus menghindar dari berbagai kenyataan hukum, terlebih ketika justru tidak percaya dengan proses hukum di dalam negeri sehingga harus mencari keadilan di luar negeri. Istilah “kriminalisasi ulama” seolah menjadi alasan hukum yang absurd ketika diajukan dirinya agar terhindar dari berbagai implikasi hukum.

Sebagai seorang anak bangsa yang taat hukum, ia sudah semestinya tetap menjalani prosedur hukum dengan mengungkapkan bukti-bukti kebenaran seandainya ia tidak melanggar hukum. Jika belum memberikan bukti apa pun, tetapi malah menghindar dari upaya hukum, terlebih beropini telah terjadi kriminalisasi ulama, justru akan semakin menambah besar tanda tanya publik.

Bagi saya, salah satu penyadaran soal hukum yang baik pernah diungkapkan Nabi Muhammad ketika dirinya menjadi pemimpin di Madinah. Sebuah pidato yang menarik, ketika Nabi SAW dihadapkan pada sebuah situasi hukum yang dilanggar oleh salah seorang elite masyarakat Arab waktu itu.

“Sesungguhnya rusaknya tatanan sosial pada masyarakat sebelum kalian adalah ketika ada seseorang yang melanggar hukum karena dia orang yang terhormat, maka hukum itu tidak ditegakkan. Tetapi jika yang melanggar hukum adalah orang-orang yang ‘lemah’, maka ditegakkanlah hukum atasnya. Seandainya Fatimah binti Muhammad melanggar hukum, maka saya yang akan langsung menghukumnya”.

Hukum di masa Nabi Muhammad benar-benar ditegakkan ketika terdapat bukti-bukti yang nyata sehingga menjerat seseorang, tanpa harus memandang apakah dia elite, penguasa atau orang yang berpengaruh sekalipun. Ketika seseorang terindikasi melanggar hukum, maka hukum wajib ditegakkan atasnya.

Proses penegakan hukum yang baik dan tegas tanpa memandang status seseorang dalam sebuah bingkai besar kebangsaan sesungguhnya menjadi prasyarat terbentuknya sebuah tatanan sosial yang baik. Dalam riwayat di atas, Nabi Muhammad bahkan menyindir soal rusaknya tatanan sosial dari generasi sebelumnya sebagai contoh implikasi hukum yang dipermainkan bahkan tak ditegakkan sama sekali.

Di negara mana pun, ketika ada seseorang diduga melanggar hukum tetapi dibiarkan, maka yang terjadi jelas rusaknya seluruh tatanan sosial yang ada. Paling tidak, kerusakan akan berakibat pada masyarakat yang tidak lagi percaya terhadap hukum yang berlaku yang pada akhirnya peristiwa “main hakim sendiri” pasti tak terhindarkan. Betapa kacaunya situasi sosial jika memang penegakan hukum justru “tebang-pilih” hanya menyasar kalangan “lemah”, tetapi orang-orang yang “kuat” justru luput dari jeratan hukum.

Tentu ada kaitannya dengan pernyataan Presiden Joko Widodo yang akan “menggebuk” siapa pun para pelanggar konstitusi di negeri ini tanpa “pandang bulu”. Instruksi Jokowi memang harus dipahami secara hati-hati, bukan berarti asal “gebuk” dengan mengindahkan konstitusi. Semua proses penegakan hukum harus adil dan sesuai dengan koridor hukum yang berlaku.

Saya kira, tujuan Jokowi benar, bahwa siapapun harus “dipaksa” untuk taat kepada hukum dan undang-undang, karena alasan hukum dan perundang-undangan memiliki konotasi “persamaan” atas dasar konsensus dari wujud segala “perbedaan” yang ada dalam masyarakat. Dengan demikian, hukum berada pada level paling tinggi sebagi perwujudan bangsa dan negara yang harus ditaati oleh siapa pun, tak terkecuali.

Konsensus atas dasar persamaan dalam hukum tentu akan berakibat pada iklim kondusif kehidupan berbangsa dan bernegara, dan inilah sesungguhnya cita-cita masyarakat Muslim yang sudah sejak lama digaungkan oleh Nabi Muhammad. Konsekuensi penegakan hukum secara adil juga berimplikasi pada penguatan demokrasi yang selama ini sedang ditegakkan di negeri ini.

Mangkir atau malah menghindar dari persoalan hukum bahkan menganggap telah terjadi upaya kriminalisasi tidak hanya menimbulkan opini yang buruk di tengah masyarakat, tetapi lebih jauh telah bersikap sombong karena merasa ketokohan dan keulamaannya tidak dianggap sehingga berupaya “melawan” hukum.

Saya berharap hari-hari “mesum” (menanti kepastian hukum) atas berbagai kasus yang menjerat Rizieq Shihab dapat secara adil pula ditegakkan dan dapat sejelas-jelasnya diungkap ke publik soal benar tidaknya tuduhan-tudahan “kriminalisasi” terhadap dirinya. Wallahu a’lam bisshawab.

@syahirul alim


Misteri Khalifah ISIS Abu Bakar al-Baghdadi


DUNIA HAWA Butuh waktu selama sepuluh tahun bagi Amerika Serikat untuk menemukan dan membunuh Usamah bin Ladin, pemimpin sentral al-Qaidah. Meskipun telah tiada, karisma kepemimpinan Usamah sebagai ikon jihadis global tak tergantikan oleh penerusnya sekalipun Aiman al-Zawahiri. Sampai akhirnya muncul tokoh bernama Abu Bakar al-Baghdadi.

Para ahli sepakat bahwa al-Baghdadi, pemimpin militan negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS), punya pangaruh lebih kuat ketimbang Usamah bin Ladin yang hanya berlatar belakang miliuner.

Pada tahun 2015 TIME menetapkan al-Baghdadi sebagai orang berpengaruh dunia(person of the year) nomor dua. Sementara itu, Forbes memasukkan al-Baghdadi dalam daftar orang berpengaruh di dunia menyalip Hillary Clinton.

Dipimpin al-Baghdadi, organisasi ISIS yang asalnya hanya kumpulan militan level lokal, hanya dalam waktu relatif singkat bermutasi menjadi organisasi paling ditakuti, mendunia, dan kaya raya. Al-Baghdadi berhasil mewujudkan khayalan kaum jihadis untuk memiliki negara khilafah, sebuah mimpi yang tak pernah menjadi kenyataan pada masa Usamah bin Ladin.

Identitas al-Baghdadi mendadak paling dicari semenjak organisasinya memenangi pertarungan pada tahun 2014 di dua negara, Irak dan Suriah. Memang, selama ini lebih banyak tulisan menceritakan sejarah asal-usul ISIS dibanding membahas siapa sosok di balik organisasi ultraradikal ini.

Abu Bakar al-Baghdadi memiliki nama asli Ibrahim bin Awwad al-Badri. Ia lahir tahun 1971 di dekat kota Samarra. Dia menempuh studi Islam dan memperoleh gelar master dan doktor di Universitas Ilmu Islam di daerah Adhamiya, pinggiran Baghdad. Konon, dia tinggal di rumah sederhana di dekat masjid di Tobchi, daerah sebelah barat Baghdad yang penduduknya terdiri warga Sunni dan Syiah. Al-Baghdadi mengenakan kacamata, pandai bermain sepakbola, dan berperilaku layaknya sarjana.

Menurut tetangganya, Abu Ali, yang berbicara kepada Daily Telegraph, al-Baghdadi datang ke Tobchi ketika dia berusia delapan belas tahun. “Kadang-kadang ia memimpin salat, saat imam masjid Tobchi bepergian,” kata Abu Ali.

Al-Baghdadi makin reaksioner seiring berjalannya waktu. Abu Ali menceritakan kenangannya tentang reaksi al-Baghdadi ketika ada acara pernikahan di Tobchi di mana kaum pria dan wanita menari bersama. Al-Baghdadi sedang menyeberang jalan dan melihat acara tarian itu. Dia berteriak ini bid’ah! Lalu dia membubarkan tarian tersebut.

Wael Essam, jurnalis Palestina yang berpengalaman meliput Irak, mewawancarai banyak orang Sunni yang pernah berteman dengan al-Baghdadi saat masih kuliah. Menurut mereka, al-Baghdadi adalah anggota Ikhwanul Muslimin. William McCants, penulis buku The ISIS Apocalypsemenyatakan, al-Baghdadi bergabung dengan Ikhwanul Muslimin saat ia sekolah pascasarjana setelah dibujuk pamannya.

Menurut Essam, al-Baghdadi dekat dengan Mohammed Hardan, salah satu pemimpin Ikhwanul Muslimin. Hardan berangkat perang bersama mujahidin di Afghanistan dan pulang tahun 1990-an, dan pulangnya mengadopsi ideologi salafisme. Al-Baghdadi bergabung dengan kelompok Hardan secara organisasional dan ideologis. Dia juga pernah bergabung dengan Jays Mujahidin, kelompok militan Sunni.

Sekitar akhir tahun 2003 al-Baghdadi diam-diam mendirikan faksi islamis sendiri bernama Jays Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah. Setahun kemudian dia dijebloskan ke kamp Bucca (sebuah fasilitas penjara AS di Irak yang ditutup pada tahun 2009).

Tertangkapnya al-Baghdadi saat itu sebenarnya akibat ketidaksengajaan. Suatu ketika ia mengunjungi temannya di Fallujah bernama Nessayif. Intelijen Amerika Serikat membekuk mereka. Sebenarnya Baghdadi bukan sasarannya—melainkan Nessayif-lah yang diincar AS.

Abu Ahmed, mantan anggota ISIS yang mengenal al-Baghdadi di kamp Bucca, mengatakan kepada Guardian bahwa aparatur penjara awalnya memandang al-Baghdadi sebagai orang yang pandai mengingat ia memiliki gelar doktor dalam studi Islam. Hal ini juga membuat tahanan lain menaruh hormat kepadanya.

Al-Baghdadi adalah sosok yang pendiam, namun memiliki kemampuan bergerak di antara faksi-faksi yang bertikai di fasilitas tersebut, ketika mantan loyalis Saddam dan jihadis bercampur. Menurut William McCants, pihak Amerika mengizinkannya mengunjungi beberapa blok di kamp Bucca untuk memecahkan konflik; namun sebenarnya al-Baghdadi menggunakan kesempatan ini untuk merekrut lebih banyak pengikut.

Selama di penjara al-Baghdadi mengabdikan dirinya untuk urusan agama, memimpin salat, melakukan khutbah Jum’at, dan menyelenggarakan kelas untuk tahanan. Al-Baghdadi membentuk aliansi dengan banyak dari mereka dan tetap berhubungan saat dibebaskan pada Desember 2004.

Al-Baghdadi dibebaskan karena pihak Amerika menilai dia bukan sebagai ancaman tingkat tinggi bagi pasukan koalisi atau institusi Irak. Namun, sejak itu dia semakin berorientasi ekstrem. Ia bergabung dengan Majelis Syuro Mujahidin, organisasi cikal bakal ISIS yang dibentuk al-Zarqawi untuk menghimpun kelompok jihad Irak.

Mengingat dia menganut gagasan kemurnian agama (puritan), al-Baghdadi nampaknya tidak tertarik untuk bekerjasama dengan kelompok pemberontak yang beragam secara ideologis. Ia meninggalkan Ikhwanul Muslimin dan menyebutnya sesat. Ia juga meninggalkan Jays Mujahidin dan bahkan memusuhinya.

Al-Baghdadi selalu konsisten dalam pandangannya terhadap militan Sunni yang bukan bagian dari organisasinya. Al-Baghdadi mengatakan, “Memerangi mereka (kelompok Sunni lain) lebih utama daripada memerangi Amerika.”

Al-Baghdadi dipuja pengikutnya karena ia dipandang memenuhi banyak kriteria kepemimpinan. Konon, dia termasuk anggota konfederasi tribal Quraisy, salah satu suku terhormat di Timur Tengah karena suku ini berhubungan erat dengan Nabi Muhammad SAW. Lebih jauh, al-Baghdadi juga diklaim pengikutnya memiliki trahketurunan Nabi SAW dari garis cucunya yang bernama Hussein bin Ali bin Abi Thalib.

Saya pernah membaca biografi al-Baghdadi yang ditulis Turki al-Bin’ali, seorang ideolog ISIS asal Bahrain. Dia menggarisbawahi tentang nasab keluarga al-Baghdadi dan mengklaim memiliki trah keturunan Nabi Muhammad (ahl al-bait). Al-Baghdadi dikatakan berasal dari kabilah al-Badri yang sebagian besar berada di Samarra dan Diyala dan secara historis penduduknya dikenal sebagai keturunan Nabi.

Secara luas kaum militan islamis memang meyakini bahwa prasyarat kunci seorang khalifah atau emir harus berasal dari suku Quraisy. Dengan dilegitimasi sebagai tokoh yang berasal dari suku terpandang (Quraisy) sekaligus keturunan mulia (ahl al-Bait), plus punya gelar doktor studi Islam, tentu menjadi kombinasi identitas yang sempurna di mata kaum militan. Kriteria yang tidak dimiliki Usamah bin Ladin atau penerusnya, Aiman al-Zawahiri, yang hanya seorang insinyur dan dokter.

Meski profilnya sedikit demi sedikit mulai terungkap, hingga kini keberadaan al-Baghdadi tetap misterius. Akibatnya sering beredar rumor dan spekulasi tentang dirinya, mulai berita kematiaannya karena serangan udara sampai mati diracun.

Namun, seandainya suatu saat al-Baghdadi benar-benar meninggal, jelas ini akan menjadi pukulan keras bagi kelompok yang mengandalkan militansi dan fanatisme buta para pengikutnya tersebut. Tapi itu butuh waktu berapa tahun?

@iqbal kholidi


Bukan Komunisme yang Bangkit, Tapi Islamisme !


DUNIA HAWA Apa sebenarnya yang harus diwaspadai oleh “makhluk” bernama komunis, sehingga banyak sekali kampanye anti-komunisme marak belakangan ini ? Saya bukanlah orang yang mendukung komunis dan tidak tertarik dengan jargon-jargon komunisme yang sudah usang. Serta saya juga temasuk yang mengutuk Pemberontakan PKI ( Partai Komunis Indonesia di Madiun (Madiun Affair 1948) terhadap pemerintahan NKRI yang sah.

PKI  itu sudah lama menjadi abu sejak 1 abad yang lalu, dan sangatlah susah untuk “dibangkitkan dari kuburnya”. Jangankan PKI yang para pemimpinnya sudah dimusnahkan, para pemikirnya-pun sudah dibekukan dengan adanya TAP MPRS NO XXV/1966, dan para anggota para partainya pun sudah diganyang habis-habisan dimana-mana, juga (Partai Islam) seperti Partai Masyumi, yang para pentolannya masih banyak yang segar-bugar, kaum intelektualnya masih sehat walafiat, dan penggemarnya  masih lumayan banyak, juga tidak mampu untuk bangkit kembali.

Ideologi komunisme juga sudah sekarat-njeprat, hidup segan mati tak mau, disikat habis oleh para rival-rivalnya, terutama kapitalisme dan Islamisme. Pula, hampir semua negara-negara “berbasis komunis” sudah bangkrut.

Hanya Korea Utara saja yang masih setia dengan komunisme secara murni meski rakyatnya sudah bosan karena hidup menderita dalam kemiskinan dan keterbelakangan serta muak melihat negaranya yang suka mengisolasikan diri.

Uni Soviet  sebagai negara pengekspor utama komunisme yang didirikan pada 1922 oleh Vladimir Lenin sudah amburadul semenjak revolusi tahun 1991 yang menyebabkan negara ini bercerai-berai menjadi lima belas negara-negara kecil independen.

Dengan tumbangnya Uni Soviet, lambang “palu arit” dan segala atributnya telah ikut-ikutan lenyap dikubur bersama “kuburan majikan”-nya. Rusia sebagai “pewaris utama” Uni Soviet tidak memakai lambang “palu arit”, dan memang negara ini tidak lagi dipimpin oleh partai tunggal komunis melainkan sistem multi-partai.

Hal yang sama juga terjadi kepada China, China kini juga menjadi “negara gado-gado” setengah komunis setengah kapitalis. Sejak kepemimpinan Deng Xiaoping, negara Tirai Bambu ini mengikuti sistem perekonomian bergaya kapitalis yang bertumpu pada kekuatan pasar.

Jadi, apanya yang ditakutkan dari paham komunisme itu? Karena Atheis? Hanya orang-orang yang “lugu-njegu” dan “pikun sejarah” yang menganggap  bahwa komunisme itu pasti sama dengan Atheis. Tidak ada hubungannya antara komunisme dan Atheis. Karl Marx bukan orang yang anti-agama. Ia hanya mengkritik keras para pelaku agama yang mandul dan gagal menggunakan agama sebagai “kekuatan revolusioner” untuk melawan industrialisme-kapitalisme ketika itu.

Marx geram dengan orang-orang yang hanya memakai agama sebagai “topeng monyet” untuk melegitimasi politik dan menutupi “kebobrokan” kekuasaan, sementara spirit dan fungsi profetis agama yang membebaskan kaum teraniaya, mengangkat derajat dan martabat kaum miskin, serta mengimbangi praktek-praktek culas politik kekuasaan nyaris tak berbunyi. Dalam konteks inilah harusnya kita membaca statemen-nya tentang (Religion Is Cocaine) “agama sebagai candu”.

Bukan Komunisme Lagi yang Harus Diwaspadai


Bukanlah ideologi komunisme lagi yang membahayakan tatanan Indonesia yang majemuk saat ini, serta mengancam sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, melainkan sejumlah kelompok Islamisme yang diusung oleh sejumlah ormas Islam impor pendatang baru yang ingin mengubah negara ini menjadi sistem politik zaman batu yang bernama khilafah ,serta mengganti ideologi pluralis Pancasila dengan ideologi Islam.

Kelompok inilah yang harusnya diwaspadai oleh Masyarakat Indonesia, bukannya malah terus memburu “hantu komunis” yang tidak jelas rimbanya dan selalu mengkaitkan orang yang tidak setuju serta membubarkan ormas Islam yang anti Pancasila-Kebhinekaan di Cap PKI. sementara kita membiarkan sejumlah ormas Islam ekstrim “petakilan” berkeliaran seenaknya.

Juga bukanlah PKI yang membuat onar saat ini, apalagi dipandang meresahkan masyarakat, karena mereka memang sudah mati sehingga tidak perlu dikhawatirkan lagi. Yang seharusnya diwaspadai oleh masyarakat adalah kaum ekstrimis-teroris dan sejumlah kelompok “Islam pentungan” yang dengan seenaknya ingin mengubah dasar negara dan mengatur negara ini seolah-olah Indonesia ini adalah warisan nenek moyang mereka.

Juga bukanlah lagi kaum komunis yang dikhawatirkan dapat menghancurkan bangsa saat ini di masa mendatang, akan tetapi para pejabat rakus bin tikus dan koruptor yang menilep uang rakyat yang menggunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi, keluarga, dan kelompoknya, serta para politisi kerdil yang hanya memikirkan partainya saja bukan rakyat yang menjadi konstituennya.

Juga bukan hantu komunis yang harus diberangus maupun terus diburu, tetapi egoisme yang picik, nafsu politik yang serakah, serta hati dan pikiran yang kotor yang mestinya harus terus-menerus kita cuci dan bersihkan supaya menjadi “kesatria sejati” seperti Kiai Haji Misbach yang komunis itu. Iya kan, kan, kan ? Hehe.

@lutfi aminuddin