Tuesday, May 9, 2017

Siapa Pahlawan Reformasi? Jawab Saja Ahok


DUNIA HAWA - Dua puluh tahun hingga tiga puluh tahun dari sekarang, negara kita tercinta tentunya akan banyak mencetak sejarah bangsa. Sebagaimana negara kita telah mencetak sejarah sang proklamator Bung Karno dan Bung Hatta. Sejarah era pemimpin pada rezim orde baru yakni Soeharto. Sejarah itu sudah tercatat menjadi bagian dari masa lalu bangsa kita yang harus kita ambil pelajaran dan hikmah yang mendalam. Karena di setiap pembelajaran selalu ada sisi positif yang bisa kita jadikan sebagai pedoman agar menjadi jauh lebih baik.

Saya merupakan salah satu bagian kecil dari pelaku sejarah di bangsa ini, sebagaimana seluruh masyarakat Indonesia. Kita semua warga Negara Indonesia merupakan para pelaku sejarah yang akan menjadi bagian kecil maupun bagian besar terciptanya sejarah suatu bangsa.

Saya mungkin salah satu dari jutaan anak SD yang menjadi saksi nyata digulingkannya rezim Soeharto dan digantikannya dengan era Reformasi. Saya menjadi satu dari sekian anak bangsa yang melihat, mendengarkan dan mengamati sendiri bagaimana Soeharto jatuh dan digantikan oleh wakilnya BJ Habibie. Ingatan itu akan selalu melekat menjadi sebuah memori dan pengalaman dalam setiap perjalanan hidup hingga sekarang.

Ahok dan Al Maidah


Sebagai seorang muslim, secara umum saya pribadi sebagai muslim yang masih waras tidak suka Ahok mencatut surat Al Maidah pada pidatonya di Kepulauan Seribu karena bagaimanapun itu kitab suci kami dan Ahok tidak berhak mencamtumkan serta manafsirkannya. Karena dari peristiwa itulah awal mula terjadinya kegaduhan besar-besaran di negeri ini, bagaimana kaum bumi datar “oknum” muslim menampakkan kebodohannya dengan turun ke jalan dan meneriakkan ancaman-ancaman yang sama sekali tidak mewakili akhlakul karimah yang diwariskan Rasulullah Muhammad SAW. Dan karena peristiwa di Kepulauan Seribu pula yang membuat Ahok mengalami kekalahan di Pilkada DKI yang membuatnya terhenti melakukan reformasi besar-besaran urusan profesionalisme dan reformasi birokrasi. Sungguh disayangkan sosok professional semacam Ahok harus terhenti oleh Pilkada yang penuh dengan bau kebusukan. Dan terakhir, karena kejadian itu pula yang membuat Ahok harus divonis hukuman 2 tahun penjara oleh pengadilan meskipun JPU sendiri hanya menuntut 1 tahun penjara dan 2 tahun masa percobaan.
Begitu banyak gesekan antar umat hanya karena satu ucapan “Al Maidah”, ini benar-benar suatu kebodohan yang nyata.  Dan semua itu sebenarnya tidak perlu terjadi seandainya Pak Ahok tidak mengutip dan mencatut surat Al-Maidah dari kitab suci Al-Qur’an.

Setan “Sok” suci dan Al-Maidah
Namun sebagai seorang muslim yang masih waras, secara khusus saya sangat-sangat berterima kasih kepada Ahok dengan pidatonya di Kepulauan Seribu yang mencatut Al-Maidah dalam pidatonya.

Kita harus pahami secara dingin dan rasional, ulama itu bukan Tuhan, ulama itu bukan Dewa, ulama juga bukan nabi. Kita masyarakat muslim Indonesia selalu memberikan label “suci” kepada para ulama. Jika dilihat dari sisi positif tentunya hal itu wajar saja karena ulama yang mempelajari agama dan mengajarkannya kepada umat, namun pada faktanya realitas di lapangan tidak selalu berbicara demikian. Terlalu banyak ulama yang menjual doa-doa demi kepentingan pribadi, terlalu banyak ulama yang memanfaatkan ayat-ayat suci demi  nafsu kekuasaan, bahkan ada banyak ulama yang melacurkan semua keyakinan dan fitrah suci agama untuk mendukung calon tertentu demi mendapatkan materi dan jabatan.

Kita semua harus evaluasi dan sadar diri, bahwa realitas itu benar-benar terjadi dan bukan hanya isapan jempol belaka. Korupsi dana haji dan pengadaan Al-Qur’an merupakan bukti nyata bahwa begitu banyak setan di negeri ini yang pagi hari melafadzkan do’a tapi malamnya terlibat seks chat dan korupsi berjamaah.

Sabar dan ucapan Terima kasih kami kepada AHOK


Sebagai warga Negara Indonesia yang juga terikat hukum Negara Indonesia, terikat akan norma-norma sosial, kemanusiaan yang ada di negeri ini. Saya ucapkan terima kasih kepada pak Ahok yang sebesar-besarnya. Semoga segala peristiwa ini mampu menguatkan pak Ahok sekeluarga, apa yang dilakukan oleh pak Ahok semoga membuka mata masyarakat di negara ini bahwa penjajah bisa terlahir dari siapa saja dan golongan apa saja. Bisa dari agama dan suku apa saja, tidak peduli ulama maupun masyarakat biasa, tidak peduli pribumi maupun non pribumi.

Terimakasih Pak Ahok, kejujuranmu, ketegasanmu, kewibawaanmu semoga mampu membuka semua topeng-topeng para bajingan yang memiliki motif busuk namun berlindung dari ayat suci kami.

Terima kasih Pak Ahok, jangan pernah gentar dalam menguak kebusukan demi kebusukan. Karena sekelas Nabi Yusuf pun dibuang dan dipenjara sebelum mampu membuktikan bahwa dialah manusia yang benar.

Kelak, 10-20 tahun dari sekarang. Ketika anak saya bertanya siapa pahlawan Reformasi? Saya akan mengatakan kepada anak saya bahwa pahlawan Reformasi adalah Ahok.

Dialah yang mampu mereformasi bobroknya birokrat di bumi pertiwi ini, dia yang mampu membuka topeng para manusia busuk yang berlindung menggunakan dogma-dogma agama, dialah yang mampu membuka topeng ormas-ormas islam yang terlalu jumud dan tekstual dalam memahami masalah seperti halnya FPI dan HTI.

Ahok, dialah reformis sesungguhnya.

@mukhlas prima Wardani

Ahok, Andalah Sang Satrio Piningit


DUNIA HAWA - Ketika mendengar vonis hukuman kasus penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, saya antara senang sekaligus simpati. Mengapa? Karena ada agenda luar biasa di balik itu semua. Agenda yang menjadikan Ahok bukan sebagai tumbal, melainkan sebagai Juruslamat atau Satrio Piningit.

Bagaimana maksudnya? Pernahkah anda menyaksikan live streaming sidang kopi maut Jessica, itu benar-benar sidang berkelas. Benar-benar memberi wawasan yahud bagi masyarakat perihal proses berjalannya sidang hingga berbagai pertimbangan-pertimbangan hukum yang logis dan matang. Tontonan ini jauh lebih “bergizi” dibandingkan sinetron yang memanjangkan episodenya.

Lalu, live streaming selanjutnya adalah sidang penistaan agama oleh terdakwa Ahok. Kalau sidang ini benar-benar abal-abal. Kok bisa? Suasana sidang sama seperti Jessica. Tapi konten pembahasannya terlalu mengada-ada dan cenderung dipaksakan. Saya yakin masyarakat netral pun melihat kasus ini benar-benar tidak layak untuk disidangkan. Karena memang tidak ada yang patut dipersalahkan. Udah mahepisodenya pun diperpanjang, dari isi persidangannya pun dapat kita baca bahwa Ahok memang tidak bersalah, apapun buktinya.

Nah, yang membedakan dengan sidang Jessica, sidang Jessica banyak yang nonton di TV, kalau sidang Ahok, di TV iya, di depan pengadilan pun iya. Jumlahnya juga luar biasa. Ditambah lagi fase “pra-sidangnya” seolah-olah dimulai aksi “pawai” bela Islam beberapa jilid. Keren kan?

Bergizi tontonannya? Tidak. Menambah wawasan? Apalagi. Jadi apa faedahnya? Kita dapat melihat betapa beringasnya gerakan kaum radikal binsumbu pendek ini. Main otot semua. Kemauannya harus diturutin. Merusak fasilitas. Jujur aja, mereka sebenarnya Komunis sesungguhnya. Wong pola gerakannya sama.

Lantas bagaimana hubungannya Ahok dengan Satrio Piningit? Ingat, kalau jadi juruslamat, berarti membawa pencerahan. Apakah Ahok membawa “pencerahan”. Jawabannya akan saya jabarkan di bawah ini.

Pemerintah kita pasti “kecolongan” atas peristiwa ini. Pemerintah Jokowi “kecolongan” dengan mulut Ahok yang dianggap berbisa. Lalu dihembuskan kepada mereka yang kaum radikal yang sensitif. Dan muncullah gerakan radikal “raksasa” yang berjilid-jilid. Kaum sensitif ini sendiri memiliki agama yang sama, akan tetapi berbeda pengamalan. Konyolnya mereka justru merasa paling benar menerapkan ajarannya.

Namun, pemerintah Jokowi pun patut bersyukur akan “kecolongan” ini. Gara-gara peristiwa inilah, pemerintah kita tahu secara mendetil kekuatan kaum radikal plus golongan penyokongnya yang memiliki agenda “memeras” jerih payah negeri kita tercinta ini untuk kepentingan pribadinya. BIN jelas mengetahui siapa “dalangnya”. Kekuatan apa saja yang berkepentingan di sini. Memang benar kata pepatah, justru karena gagal kita tahu letak kebenarannya.

Dengan mengetahui kekuatan kaum radikal beserta penyokongnya, maka Jokowi menggunakan strategi baru untuk melawannya. Dimulai sejak Tito menjadi Kapolri, banyak penyokong kaum radikal yang dibekuk terlebih dahulu atas tuduhan makar. Pemimpin kaum radikal seperti Rizieg pun ciut nyalinya.

Mengukur kekuatan musuh itu sangat penting dalam menerapkan selanjutnya. Kita tahu organisasi seperti White Helmets sudah masuk ke Indonesia. Di Suriah sana, provokator utama perang tersebut mungkin Amerika. ISIS dan White Helmets lah kaki tangan yang bergerak mengembosi negeri itu dengan berbagai taktik politik maupun media sehingga seolah-olah Bashar Assad-lah “musuh” bagi negaranya sendiri.

Jadi ketika White Helmets masuk ke Indonesia, lawan pemerintah Jokowi semakin besar. Sangat mungkin sekali mereka menyokong kaum radikal ini. Sangat mungkin juga mereka mampu mengerahkan massa raksasa untuk membuat kericuhan yang berujung mencipatakan situasichaos. Kalau sudah seperti ini, maka pemerintah akan lemah dan lahirlah ISIS baru di negeri tercinta ini. Layaknya Mesir, Lybia maupun Suriah sekarang ini.

Lalu apa hubungannya dengan sidang Ahok? Begini saudara-saudara. Seandainya Ahok bebas dari kasus ini dengan segala penjelasan sangat logis dan sejatinya benar-benar tidak terbukti bersalah, apa anda dapat menjamin tidak akan muncul kericuhan mahadasyat yang akan menyerang negeri ini. Saya meyakini hal tersebut akan muncul saudara-saudara. Dan pemerintah kita pun sudah mengetahuinya dan siap-siap menangkalnya.

Caranya? Dengan menghukum Ahok. Why? Bukankah dia tidak bersalah? Saya mengerti ini menyakitkan. Saya meyakini beliau juga tidak bersalah. Tapi apakah ada cara lain untuk memuaskan golongan radikal bersama massanya yang berpotensi menimbulkan situasi chaos negeri ini? Tidak ada saudara-saudara. Tidak ada cara lain selain menghukum Ahok secara “adil” sesuai “keadilan” kaum radikal.

Untuk apa hal ini harus diemban seorang Ahok? Pertama, lidah terplesetnya benar-benar menjadi bumerang. Kedua, dengan Ahok dipenjara maka pemerintah pun akan punya dasar keadilan yang kuat untuk membasmi kaum radikal.

Lahhh bagaimana caranya? Begini. Ahok kan sudah dipenjara. Berarti pemerintah sudah adil dalam menghukum orang yang telah mengganggu ketertiban umum melaui kasus yang dianggap menista agama. Nah, kalau nanti kayak FPI mulai mengganggu ketertiban umum seperti sweapingseenaknya, melakukan ajaran yang menentang Pancasila dan dianggap melakukan tindakan main hakim sendiri, maka pemerintah juga harus adil menghukum mereka setegas-tegasnya seperti kepada Ahok.

Jadi, ketika FPI, GNPF MUI, HTI ataupun golongan radikal lainnya yang menentang Pancasila, pemerintah memiliki alasan yang tegas. Coba pikirkan, mengapa sejak awal FPI tidak dibubarkan saja? Rizieg tidak ditangkap saja? Jawabannya cuma satu, pasti menimbulkan chaos.

Terlalu banyak pengikut kaum radikal ini saudara-saudara. Belum lagi bangsa asing yang bermain di sini. Ketika ada pemberantasan, isu pelanggaran HAM oleh pemerintah dikumandangkan. Intinya, agama Islam benar-benar dipermainkan oleh mereka untuk mencapai kepentingannya. Saya turut bersimpati terhadap saudara-saudara bergama Islam yang selama ini secara tulus mendalami dan menerapkan ajaran agamanya dengan benar. Sekali lagi, agama Islam benar-benar dipermainkan.

Hal ini pasti sudah diperhitungkan Jokowi. Sehingga memvonis Ahok menjadi tajuk utama strategi Jokowi membasmi gerakan radikal. Kelak ketika Rizieg ditangkap, FPI dibubarkan ataupun gerakan radikal lain ditumpas sampai keakar-akarnya, Jokowi tinggal berkata “Wong Ahok penista agama aja kami penjarakan, apalagi anda-anda kaum radikal yang menentang Pancasila, akan kami tumpas”.

Sekalipun ada demo dari pengikut kaum radikal, saya yakin dengan “bermodalkan” hukuman adil terhadap Ahok, pemerintah tetap berhak menegakkan keadilannya. Tidak akan ada tajuk pelanggaran HAM lagi. Sekalipun isu Islam kembali dipakai, Jokowi tetap pede memberantasnya. Karena hal ini berazaskan keadilan sesuai hukum yang berlaku. Tidak pandang bulu lagi.

Jadi sekali lagi, Ahok bukan sebagai tumbal. Beliau adalah juruslamat, sang Satrio Piningit sejati. Oleh karena pengorbanan beliau, pemerintah dengan langkah tenang menumpas kaum radikal. HTI baru saja dibubarkan kemarin. Mengapa mesti kemarin, karena pelaku penista agama seperti Ahok dipenjarakan hari ini. Besok akan menyusul FPI dan golongan radikal lain dengan tuduhan menggagu ketertiban umum, penistaan Pancasila, teroris maupun tuduhan makar.

Semua hal tersebut, dapat melenggang dengan lancar oleh karena jasamu pak Ahok, sang Satrio Piningit. Andai ada kaum radikal yang nyinyir dengan pendapat saya, biarlah hal tersebut terjadi. Biarlah mereka mengganggap tulisan saya ini hanya sebagai alasan pihak yang mengalami kekalahan. Tulisan saya dianggap sebagai upaya membesarkan hati kita yang dianggapnya sebagai pihak yang kalah.

Biarlah demikian, tidak apa-apa. Tapi, satu yang pasti, tulisan ini cukup mengusik zona nyaman mereka. Membuka pelan-pelan pintu ketakutan terbesar mereka. Saya yakin sekali. Terima kasih pak Ahok, sang Satrio Piningit. 

@naldo manru


Sedih, Bangga dan Senang Ahok Dipenjara


DUNIA HAWA - Ahok, saya tidak tahu, terkejutkah kamu ketika Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara memvonis kamu dua tahun penjara atas fitnah yang menimpamu bahwa kamu telah menodai agama yang kebetulan dianut oleh mayoritas penduduk negeri yang kamu cintai?

Melihat penampilanmu dalam persidangan terakhir di Auditorium Kementerian Pertanian pada Selasa (9 Mei 2019) dan disiarkan langsung oleh banyak televisi, kamu sepertinya tidak terkejut. Bahkan, sedih pun tidak tampak pada wajahmu.

Kamu memang luar biasa. Yang justru bersedih adalah para pendukungmu, terutama kaum perempuan yang akhirnya tidak tahan meneteskan air mata karena mereka meyakini kamu sedang dizolimi.

Mendengar vonis hakim, saya tentu sedih, Hok. Apakah pantas kamu harus dipenjara selama dua tahun lantaran kamu mengingatkan para elite politik agar jangan mempermainkan sebuah ayat suci dalam peristiwa politik, terutama Pilkada.

Sayang memang, nasihat itu kamu sampaikan dengan mengutip nama sebuah ayat dari sebuah kitab suci yang bukan kitab sucimu. Saya agak bisa pahami kalau sebagian dari orang yang mengimani kitab suci tersebut marah dan kamu tidak terpilih dalam kontestasi Pilkada DKI Jakarta yang berlangsung dua putaran. Andai saja yang kamu sebut di Kepulauan Seribu itu ayat-ayat kitab suci agamamu sendiri, kamu pasti tidak akan bernasib seperti ini.

Tapi, ya sudahlah, masa lalu tidak perlu disesali. Saya tidak tahu, jangan-jangan ada kekuatan luar biasa yang tak terselami yang memakai kamu untuk mencelikkan mata dan hati bangsa Indonesia. Lewat peristiwa yang menimpamu, kami menjadi tahu, tersentak dan menyadari bahwa sebagian besar penduduk negeri ini — diwakili setidaknya oleh warga Jakarta dan elite politik — belum dewasa dalam menjalankan semangat Bhineka Tunggal Ika.

Yang pasti Hok, kamu tidak sendirian. Sebelum kamu dipenjara, ada Antasari Azhar yang pernah divonis hukuman penjara 18 tahun dengan fitnah yang sarat berlatar belakang politik. Di Afrika Selatan, Nelson Mandela lebih menderita daripada kamu, meskipun sama-sama terpenjara karena SARA. Kamu dipenjara selama dua tahun, sedangkan Mandela 27 tahun.

Tapi,  yang pasti saya menyandingkan kamu dengan Mandela jauh lebih pas daripada Eep Saefullah Fatah yang menyamakan penderitaan Mandela dengan Anies Baswedan-Sandiaga Uno. Harap maklum, pembelokan logika sedang marak-maraknya di negeri ini.

Fakta yang menimpamu masih “lumayanlah” daripada “penderitaan” Mendela dan juga mantan Presiden RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Masih ingat? Ya, Gus Dur, tokoh idolamu  diturunkan menjadi presiden di tengah jalan karena disangka terlibat dalam kasus korupsi Bulog tanpa proses pengadilan.

Ahok, kamu “beruntung” vonis penjara dua tahun menimpamu setelah kamu mengikuti proses persidangan yang sangat melelahkan setelah polisi, jaksa dan majelis hakim tak berdaya ditekan massa yang sebentar-sebentar marah dan mengamuk.

Apa pun yang menimpamu, saya bangga kamu telah menjadi martir “demokrasi” ala Indonesia yang sedang sakit. Ya, sakit, sebab demokrasi di negeri ini ternyata diskriminatif, tidak siap menerima calon pemimpin yang menyandang dobel minoritas.

Ahok, saya bangga dan senang kamu dipenjara, sebab peristiwa ini dapat dijadikan momentum bagi Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menegakkan hukum yang selama ini bisa dibeli dengan begitu “murah” untuk tujuan-tujuan politik. Sehingga (maaf) mungkin saja ada hakim yang gara-gara uang atau tekanan politik, akhirnya tidak peduli dengan falsafah mulia “lebih baik membebaskan 1.000 orang bersalah daripada memenjarakan satu orang benar”.

Saya percaya setelah kamu dipenjarakan, Presiden Jokowi akan bertindak tegas terhadap mereka yang jelas-jelas melanggar hukum, seperti para koruptor dan orang-orang yang menghina agamamu. Saya percaya Pak Jokowi akan bertindak adil. Dia adalah orang pilihan Tuhan untuk negeri kita, Indonesia.

Saya tidak tahu, di Rutan Cipinang apakah kamu diizinkan pegang HP dan kemudian membaca tulisan saya ini. Percayalah banyak orang, termasuk penulis akan menulis tentang kamu yang tercatat telah menjadi bagian atau tokoh sejarah di republik ini. Sejarah telah terukir dan kamu ada di dalamnya.

Seperti kisah-kisah di dalam Alkitab, peristiwa yang menimpamu sudah pernah terjadi ribuan tahun lalu. Bukankah Yesus juga diperlakukan secara hina oleh para pemuka agama? Ia juga didakwa menistakan agama Yahudi. Penderitaan-Nya tidak kepalang tanggung, disiksa, diadili oleh massa yang berteriak: “Salibkan Dia, salibkan Dia!”

Si “hakim” Pontius Pilatus tak berdaya dengan tekanan massa padahal sebelumnya ia mengatakan kepada massa: “Aku tidak melihat dan menemukan kesalahan orang ini.” Persis seperti peradilan atas kasus yang menimpamu. Majelis hakim sama sekali tidak memperhatikan argumentasi para saksi yang mengatakan bahwa kamu tidak menistakan agama.

Itulah “keadilan” ala manusia. Menyakitkan memang, dan “keadilan” itu kini menimpa ke kamu. Saya percaya kamu memiliki iman yang kuat dan kamu pasti tahu apa yang tertulis  dalam Matius 26 ayat (39): “Maka Ia maju sedikit, lalu sujud dan berdoa, kata-Nya: “Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki.”

Dari ucapan-ucapanmu selama ini, kamu tampaknya sudah merasakan bahwa kamu akan kalah dalam Pilkada dan kemungkinan akan masuk penjara, sehingga kamu menyatakan siap dengan risiko apa pun.

Saya percaya kamu siap, sebab kamu beriman bahwa apa yang tertulis dalam Habakuk 1 ayat (4-5) tetap aktual dan berlaku sampai sekarang: “Itulah sebabnya hukum kehilangan kekuatannya dan tidak pernah muncul keadilan, sebab orang fasik mengepung orang benar; itulah sebabnya keadilan muncul terbalik. Lihatlah di antara bangsa-bangsa dan perhatikanlah, jadilah heran dan tercengang-cengang, sebab Aku melakukan suatu pekerjaan dalam zamanmu yang tidak akan kamu percayai, jika diceriterakan.”

Upss, begitu tiba di Rutan Cipinang, berdasarkan liputan televisi, kamu ternyata tidak sedih dan masih sempat berselfie dengan petugas penjara. Semoga ayat ini (1 Petrus 2:19-21) semakin menghiburmu: “Sebab adalah kasih karunia, jika seorang karena sadar akan kehendak Allah menanggung penderitaan yang tidak harus ia tanggung. Sebab dapatkah disebut pujian, jika kamu menderita pukulan karena kamu berbuat dosa? Tetapi jika kamu berbuat baik dan karena itu kamu harus menderita, maka itu adalah kasih karunia pada Allah. Sebab untuk itulah kamu dipanggil, karena Kristus pun telah menderita untuk kamu dan telah meninggalkan teladan bagimu, supaya kamu mengikuti jejak-Nya.”

Setiap menulis tentang kamu, entah mengapa saya selalu ingat lagu dalam Kidung Jemaat 467 berjudul Tuhanku, Bila Hati Kawanku yang syairnya seperti ini:

Tuhanku, bila hati kawanku
terluka oleh tingkah ujarku,
dan kehendakku jadi panduku,
ampunilah.

Jikalau tuturku tak semena
dan aku tolak orang berkesah,
pikiran dan tuturku bercela,
ampunilah.

Dan hari ini aku bersembah
serta pada-Mu, Bapa, berserah,
berikan daku kasih-Mu mesra.
Amin, amin.

Ahok, saya yakin kamu bisa memaafkan saudara-saudaramu yang “mengantarkan” kamu ke penjara. Maklumlah mereka terluka oleh tingkah ujarmu. Mereka tersakiti oleh tuturmu yang dianggap semena-mena dan bercela. Gara-gara itu, mereka terus dendam kepadamu, maafkanlah mereka. Tapi, jangan secuil pun kamu berharap maaf dari mereka. Itu bukan urusanmu, tapi urusan Tuhan.

Berserahlah pada-Nya, sebab Dia-lah yang akan setia memberikan kasih mesra kepadamu, termasuk Ibu Veronica Tan dan anak-anak. Amin.

@gatot koesprodono


Ahok Divonis 2 Tahun, Bagaimana Perasaan Anda?


DUNIA HAWA - Penantian panjang drama persidangan kasus penistaan agama, tuntas sudah. Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, divonis terbukti bersalah dan mendapat hukuman penjara 2 tahun. Vonis atas putusan itu diketuk oleh Hakim Ketua Dwiarso Budi Santiarto, di Kementerian Pertanian, Ragunan Jakarta Selatan, Selasa (9/5/2017).

Sebelum vonis dibacakan, banyak spekulasi yang berkembang. Termasuk upaya berbagai pihak yang ‘diharapkan’ bisa mempengaruhi putusan sidang tersebut. Dari mulai aksi damai, hingga aksi memberikan dukungan yang dilakukan baik yang pro maupun kontra atas kasus ini.

Begitu palu diketuk, lini masa media sosial segera dipenuhi kabar vonis atas kasus yang menjerat Gubernur DKI Jakarta ini. Info sebelumnya terkait pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), seketika tenggelam dan beradu populer dengan kabar vonis Ahok ini.

Bagi yang pro atas putusan ini, jelas merasa ‘menang’ dan tersenyum lega. Apalagi hakim dengan jelas menyatakan orang nomor satu di DKI Jakarta ini dianggap melakukan penodaan agama terkait pernyataan soal Surat Al-Maidah 51 di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu pada 27 September 2016 lalu.

“Jadi jangan percaya sama orang, kan bisa saja dalam hati kecil Bapak-Ibu nggak bisa pilih saya ya kan? dibohongi pakai Surat Al-Maidah 51, macam-macam itu. Itu hak Bapak-Ibu ya. Jadi kalau Bapak-Ibu perasaan enggak bisa kepilih nih, karena saya takut masuk neraka karena dibodohin gitu ya, nggak apa-apa.”

Demikian kalimat Ahok yang dianggap hakim sebagai penistaan agama karena dinilai merendahkan dan menghina Surat Al-Maidah ayat 51.

Ahok pun dinilai hakim melanggar pasal 156a KUHP yaitu secara sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama.

Yang sangat mengejutkan adalah, vonis yang dijatuhkan ini jelas-jelas lebih tinggi dari tuntutan jaksa yakni 1 tahun penjara dan 2 tahun masa percobaan.

Lantas, apakah hukuman ini adil? Inilah yang kemudian menimbulkan kembali sikap pro dan kontra. Sebagai gambaran, di negeri yang menjadi tempat lahirnya Pancasila ini, sudah terjadi beberapa kali kasus penodaan agama. Selalu diawali dengan unjuk rasa, melibatkan massa, dan pelakunya berakhir di penjara.

Melalui cerpen Langit Makin Mendung 1968, sastrawan HB Jassin dikritik karena penggambaran Allah, Nabi Muhammad dan Jibril. Akibatnya kantor majalah Sastra Jakarta diserang massa. Walau yang penyair meminta maaf, tetap saja dijatuhi hukuman percobaan satu tahun.

Berikutnya, Arswendo Atmowiloto yang juga menjalani kurungan badan empat tahun enam bulan setelah keputusan banding di Pengadilan Tinggi dan Mahkahmah Agung. Arswendo melakukan survei di tabloid Monitor melalui 33 ribu kartu pos pada 1990. Hasil survei menempatkan Presiden Soeharto di urutan paling atas, sedangkan Nabi Muhammad di urutan 11.

Kasus lain adalah Lia Eden yang bernama asli Lia Aminuddin yang menahbiskan dirinya sebagai imam Mahdi hingga mengaku menerima wahyu dari malaikat Jibril. Dua kali wanita ini menjalani hukuman masing-masing 2 tahun dan 3 tahun.

Lantas, apakah ada kasus penodaan agama yang dibebaskan? Ada. Dua-duanya melibatkan media. Pertama, Teguh Santosa selaku pemimpin Rakyat Merdeka Online, dibebaskan. Sebelumnya, Teguh dituding bertanggungjawab saat menerbitkan karikatur Nabi Muhammad seperti dinaikkan koran di Denmark, Jylland Posten.

Satu lagi, pemimpin redaksi The Jakarta Post, Meidyatama Suryodingrat. Terbitnya karikatur dengan gambar kelompok ISIS berlambang tengkorak dan lafaz Allah di The Jakarta Post terpaksa menyeret pemimpin redaksinya ke ranah hukum. Namun kedua petinggi media itu tidak terbukti bersalah dan dibebaskan.

Lalu, kenapa Ahok tidak dibela oleh Jokowi, rekannya yang sebelumnya sama-sama memimpin DKI Jakarta. Sebagai Presiden RI, bisa saja Jokowi ikut ‘meringankan’ Ahok yang pernah menjadi wakilnya itu. Namun Jokowi sejak awal sudah menegaskan tidak ingin melakukan intervensi.

Ditambah lagi, tekanan dari massa yang cukup besar, tentu sangat menyulitkan Jokowi. Ingin membelas massa, tentu tidak nyaman dengan rekan kerjanya. Sementara jika membela Ahok, jelas akan berpengaruh pada pemilihan presiden periode berikutnya. Simalakama ini mau tidak mau harus ditelan Jokowi.

Hampir 8 bulan, energi banyak tersedot ke kasus ini. Tak hanya itu, ancaman terbesar adalah disintegrasi bangsa. Keutuhan negara ini memang sedang di ujung tanduk. Betapa reformasi dan demokrasi bangsa ini benar-benar sedang diuji.

Gara-gara kasus ini, keharmonisan sungguh terkoyak. Media sosial yang selama ini lebih banyak dipakai untuk berseda-gurau dan menjalin kebersamaan, berubah menjadi wahana saling hujat, saling serang. Ujaran kebencian dan saling nyinyir dan sindir, seolah menjadi sarapan pagi bagi warga belantara maya. Setelah Ahok divonis, apakah semua itu akan berhenti?

Bagi yang setuju atas vonis ini, buktikan bahwa yang selama ini diperjuangkan murni soal agama, bukan soal politik atau sekadar unjuk gigi. Mampukah semua pihak merajut kembali keharmonisan yang mulai sobek di beberapa sisi?

Sementara bagi yang tidak rela atas ketentuan hakim ini, mau tidak mau tetap harus menghormati. Namun, jangan pernah menyerah atau berhenti mengawal penegakan hukum di negeri ini.

Bukankah masih ada lagi anak bangsa yang terpaksa harus menjalani hukuman, meski jasanya cukup besar bagi bangsa ini?

Melihat semua fakta ini, bagaimana perasaan Anda? Silakan jawab sendiri-sendiri. 

@endro s efendi


Perang Terbuka Jokowi


DUNIA HAWA -  Pembubaran HTI sebagai organisasi jelas mengagetkan banyak orang, terutama di lingkungan HTI sendiri..

Banyak yang tidak menyangka bahwa Jokowi seberani itu.

Memelihara HTI - buat banyak pejabat dan kepala daerah - sama dengan memelihara suara. Puluhan ribu suara pendukung HTI jelas tidak akan berpihak pada Jokowi. Itu masih ditambah dengan puluhan ribu lainnya yang bersimpati pada HTI seperti ormas-ormas Islam yang mempunyai gerakan perjuangan yang sama dengan HTI..

Pembubaran HTI ini membuat pertarungan menjadi lebih keras. Suara HTI ini jelas akan dimanfaatkan oleh lawan Jokowi, mulai dari politisi sampai pengusaha hitam.

Dan gerakan yang sudah terbentuk melalui masjid, pengajian sampai dunia pendidikan bahwa "pemerintahan Jokowi diisi oleh PKI" akan semakin dikuatkan. Dan PKI adalah musuh Islam..

Situasi ini jelas membuat posisi Jokowi lebih berbahaya. Jika biasanya dalam permainan catur Jokowi bermain sebagai "kuda" - yang muter dulu sebelum mematikan - sekarang Jokowi menjadi "benteng" yang hantam langsung.

Jokowi sudah memainkan perang terbuka dengan kelompok garis keras..

Saya tidak tahu apakah sebelum membuat keputusan membubarkan HTI, Jokowi sudah menyiapkan rencana mengatasi dampaknya. Kalau belum, jelas sangat berbahaya...

Sebaiknya, pembubaran HTI ini jangan dengan model Hit and Run.. Habis bubarkan, terus berdiam diri menunggu dampaknya. Pemerintah sudah seharusnya mulai merapatkan barisan untuk menangkal dampak isu "Islam vs PKI" yang akan menguat.

Dan strategi yang paling bagus bagi Pakde adalah merapatkan barisan dengan GP Ansor dan Banser yang jelas-jelas secara frontal menghadang HTI di daerah-daerah.

Dalam tulisan saya "Kaum sarungan vs kaum gamis", saya sudah membedah antivirus yang paling efektif melawan ideologi garis keras itu. Dengan pembedaan gerakan Islam fundamentalis vs Islam tradisional, maka sudah saatnya pemerintah mengembalikan kembali posisi NU - Islam tradisional - sebagai garda terdepan penjaga NKRI.

Fasilitasi NU -dalam hal ini GPAnsor dan Banser- untuk menguasai masjid-masjid di lingkungan otoritas pemerintahan seperti BUMN, juga di kepolisian dan TNI. Selain itu, kepala sekolah dan guru agama di sekolah negeri yang radikal mulai diperkecil perannya, ganti dengan yang mempunyai kebangsaan.

Pemerintah harus mulai perduli bahwa sarang radikalisme ada di dalam pemerintahan sendiri. Sudah saatnya bersih-bersih sebelum menggigit pemerintah sendiri.

Mereka radikal, harus dihadapi dengan radikal juga. Pemerintah harus menjadi fasilitator dan inisiator dalam gerakan People Power menghadapi kelompok radikal. Bangkitkan silent majority supaya tidak hanya diam, tapi mulai bersuara keras.

Dengan kerjasama ini, pemerintah akan terlindungi dari serangan tudingan HAM, otoriter, zalim yang biasanya menjadi kata pamungkas mereka..

Apapun tindakan pemerintah, saya harus angkat secangkir kopi untuk Jokowi dan Wiranto atas keberaniannya membubarkan HTI. Ini satu langkah bagus dan sangat berani yang akan merubah peta pertarungan ke depan..

Posisi saya sebagai pendukung pemerintah Jokowi semakin kuat bahwa saya memilih pemimpin yang benar, yang tidak berpihak kepada radikal..

Angkat secangkir kopi dan kita kobarkan perang terbuka juga kepada mereka yang radikal. Rapatkan barisan untuk mereka yang cinta NKRI !


@denny siregar