Saturday, May 6, 2017

Ahok Menerima Cap “Kafir” dan Memilih Jadi Nemo dalam Arti Harafiah?


DUNIA HAWA - Nama “Nemo” untuk ikan badut (clown fish)dalam film kartun drama komedi Finding Nemo,adalah kata Latin, dalam bahasa InggerisNobody, artinya ‘tak seorangpun’. Film itu memang mengangkat suatu kenyataan pahit dalam masyarakat dimana semakin sulit menemukan orang yang mau mengambil risiko, siap memertaruhkan nyawa untuk membela dan menyelamatkan orang lain yang membutuhkan.

Tokoh “Nemo” diciptakan untuk menjawab pertanyaan “Masih adakah orang yang mau mengambil risiko, memberikan diri, memertaruhkan nyawa, untuk menyelamatkan orang-orang kecil-miskin-lemah-tersingkir-terperangkap dalam kesulitan dan tak punya daya untuk keluar dari kesulitan itu?”

Film itu sebenarnya memberi jawaban yang bisa ditafsirkan dalam makna ganda. Jawaban pertama, “Memang langka, tetapi masih ada satu orang, namanya Nemo!” Langka, tapi ada! Meski hanya satu orang, perlu disyukuri. Tetapi jawaban kedua berbunyi tegas dan harafiah: “Nemo!” Nobody, tak ada seorangpun seperti itu di dunia yang makin individualis, oportunis dan penuh persaingan dewasa ini. Dunia yang tidak pedulian dengan semboyan EGP, emang gue pikirin! Adanya cuma di film saja.

Di Indonesia, khususnya DKI, selama puluhan tahun sulit mencari ‘mahluk langka’ seperti Nemo, yang punya option for the poor, memihak orang-orang lemah tak berdaya, kemudian bertindak nyata untuk membela dan menyelamatkan mereka. Yang banyak malah orang-orang bersorban+jubah putih sok moralis yang cuma siap membela agama. Sepertinya agama dan ‘tuhan’ mereka begitu lemah hingga perlu dibela. [Eeeh, ternyata agama dan ‘tuhan’ mereka hanya alat untuk kepentingan politik dan ekonomi].

Sampai di Pilkada DKI tahun 2012, muncul dua Nemo sekaligus. Namanya Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Dan kedua orang ini menjadi musuh bebuyutan dari para pembela agama itu. Celakanya, musuh dari kedua Nemo itu bukan cuma kaum jubah-putih, melainkan juga politikus oportunis, para koruptor yang kehilangan peluang, dan pejabat pelanggar hukum di masa lalu yang mulai ketakutan. Tiga kelompok terakhir ini kemudian berkolaborasi, memberi sokongan dana bagi kelompok radikalis ‘pembela agama’ untuk menggerakkan demo-demo berseri. Sasarannya menghabisi Ahok (sudah berhasil!), sebagai batu loncatan untuk menjatuhkan Jokowi. Kalau tidak bisa dengan jalan makar, maka harus berhasil melalui jalur demokratis konstitusional di Pilpres 2019.

Ahok Nemo yang Mana?


Saya menulis artikel ini setelah membaca beberapa tulisan yang mengutip ucapan Ahok tentang keputusannya untuk “menarik diri secara permanen dari dunia politik dan birokrasi”. Terutama seusai membaca tulisan Daniel Setiawan di bawah judul “Miris! Ahok Sudah Pessimis dengan Indonesia” (May 5, 2017). Inilah kutipan ucapan Ahok menjawab pertanyaan wartawan sebagaimana ditulis oleh Daniel Setiawan:

“Saya sudah putuskan, selesai ini saya akan jadi pembicara saja. Enggak masuk partai politik, enggak mau jadi menteri, enggak jadi staf presiden, semua enggak,” ujar Ahok di Balai Kota DKI Jakarta, Jalan Medan Merdeka Selatan, Kamis (4/5/2017).

Kalau Ahok serius menjalankan apa yang dikatakannya seperti diatas, artinya dia sudah memilih jawaban film yang kedua: Nemo dalam arti harafiah, Nobody. Dengan itu dia sudah keluar dari arena pertarungan keras yang sebenarnya sudah dia menangkan selama ini.

Ahok sudah meninggalkan salah satu ciri karakternya yang selama ini kita kenal: tegar dan berani karena BENAR dan JUJUR.Seolah punya nyawa cadangan, Ahok menantang dan melawan FPI dan jejaring mereka. Mencoret anggaran siluman bernilai trilyunan yang dititipkan para legislator busuk DPRD DKI (yang selalu ‘berhasil’ dikompromikan dengan pejabat-pejabat sebelumnya). Mengalahkan preman-preman Kalijodo, yang sebelumnya tidak berhasil dijinakkan gubernur yang jenderal sekalipun. Dan seterusnya, terlalu banyak bukti prestasi luar biasa dari Ahok bersama wakilnya, Djarot SH.

itu juga  berarti Ahok meninggalkan Nemo sebagaimana dipaparkan dalam pledoi pribadinya di depan persidangan. Nemo dalam film Finding Nemo seperti yang saya deskripssi-kan dalam tulisan “Ikan Kerapu, Nemo dan Ahok”. Ketika seseorang meninggalkan jatidirinya, dia sudah memilih untuk menjadi Nemo dalam arti harafiah, menjadi nobody. Menjadi “bukan siapa-siapa”!

Namun, apapun keputusan Ahok, pasti sudah dipertimbangkan secara matang, melalui doa dan permenungan seperti yang selama ini dilakukannya. Karena itu wajib kita terima dan hormati. Tetapi tetap kita harus bertanya: benarkah demikian? Ataukah kita harus memaknai ucapan-ucapan spontan Ahok dalam konteks politik kekinian yang semakin brutal, misalnya untuk menyindir kaum bumi datar yang menzolimi dirinya sebagai “si kafir dan penista agama”?

Ahok Menerima Cap “Kafir”?


Ketika wartawan menyinggung harapan publik sebagaimana tercermin dalam hasil survei tentang kemungkinan menjadi Calon Wapres 2019, Ahok menjawab ringan tapi benar-benar pedis dan memiriskan bagi segenap warganegara Indonesia yang berkehendak baik:

“Mau jadi gubernur saja susah, ini lagi mau jadi Wapres. Kafir mana boleh jadi pejabat di sini, ha-ha-ha ….”. 

Jawaban polos Ahok ini mengingatkan saya pada penuturan seorang teman (Muslim) yang kuliah di Jepang, belasan tahun lalu. Teman-temannya sesama mahasiswa asli Jepang seringkali memojokkan dia dengan argumen yang tidak bisa dia bantah.

“Negara Anda itu tidak akan pernah maju setara dengan yang lain, karena pemimpinnya harus dari kalangan mayoritas. Itu kan diskriminatif , bodoh dan tidak waras. Karena orang-orang terbaik bisa saja ada di kelompok-kelompok minoritas agama dan etnis” demikian antara lain inti argumen mereka sebagaimana dituturkan oleh teman itu dengan penuh rasa malu.

Kalau saja istilah “kafir” yang dipakai untuk menjatuhkan Ahok didengar oleh para mahasiswa Jepang sekarang ini, mungkin istilah ‘bodoh dan tidak waras’ akan diganti dengan yang lebih keras, entah apa. Apalagi kalau mereka membaca pernyataan banyak warga bumi datar, termasuk kaum muda-terpelajar, yang bicara tentang kriteria gubernur DKI: “Biar dia korup, asal seagama dengan kita…”

Bahkan seorang professor doktor seperti Amin Rais masuk dalam jajaran pelopor barisan ini. Ketika berorasi di depan massa unjukrasa 55 kemarin, Jumat 05 Mei, dia mengucapkan kalimat provokatif yang mengharapkan Ahok dihukum berat, jangan sampai diputus bebas. Alasannya?

“Kalau si ‘Ahok pekok’ ini bebas, dia bisa jadi Mendagri, bisa jadi Menhankam, bisa jadi apa saja” (Kompas.com, 5/5/2017).

Bukankah ini ungkapan Rasis yang tak boleh di-Amin-kan, bahkan mestinya dianggap memalukan karena menodai kecendekiawanan dan menistakan kewarasan professor-doktor?

Kembali ke kewarasan. Jadi pernyataan Ahok diatas mengangkat KENYATAAN yang tidak hanya memiriskan melainkan juga mestinya memilukan dan memalukan kita sebagai Negara demokratis yang ingin disebut berkeadaban. Sebenarnya label “kafir” yang dilekatkan pada Ahok mewakili tiga predikat yang membuat dirinya disebut oleh media asing sebagai penyandang “triple minority”:China, Nasrani, dan anti-korupsi (jujur-tegas-berani). Itulah sumber penyebab kekalahannya.

Itu sebabnya banyak orang-orang cerdas dan jujur, tetapi masuk dalam kategori triple minority memilih untuk tetap tinggal di luar negeri. Membangun negara lain dengan kehebatan yang mereka miliki, karena tidak mungkin diterima di negara sendiri. Kalaupun bertahan di Indonesia, mereka memilih tidak masuk dunia politik dan birokrasi.

Banyak cendekiawan terbaik Muslim, yang masuk kategori ketiga (jujur-tegas-berani: anti korupsi), termasuk kelompok yang tidak punya tempat di Negara sendiri selama puluhan tahun. Jadilah politik dan birokrasi kita diurusi orang-orang mediocre, rata-rata air tanpa standar moralitas, yang terpaksa menggunakan isyu-isyu murahan untuk memenangkan pertarungan. Jokowi sedang menghilangkan semua itu, maka beliau pun dimusuhi dan hendak disingkirkan.

Apakah Ahok menerima dirinya dicap sebagai “kafir”? Saya yakin jawabannya: tidak!

Ahok justru menyindir keras, untuk mengingatkan seluruh bangsa ini  melihat ketidakwarasan kolektif dalam berdemokrasi. Mengingatkan, selama kita tetap bertahan dalam ketidakwarasan itu, jangan harap kita bisa bangkit dari keterbelakangan.

Mengingatkan kepada para penegak hukum, bahwa sebutan “kafir” untuk penganut agama lain – juga sesama Muslim yang tidak sealiran dengan mereka – sebenarnya adalah pelanggaran hukum serius. Sebab semua agama yang penganutnya mereka beri cap “kafir” diakui dalam konstitusi dan dijamin keberaqdaan serta kebebasannya.

Mengingatkan bahwa mengkafirkan penganut agama yang diakui oleh Negara mestinya dikategorikan sebagai penistaan agama, atau penghinaan terhadap golongan tertentu. Sudah seharusnya masuk dalam rumusan Rancangan KUHP yang baru, di pasal 156b, atau bagian untuk revisi seluruh pasal itu.

Begitulah mestinya kita memaknai pernyataan Ahok. Bukan karena dia sedang membiarkan dirinya dikalahkan oleh ketidakwarasan yang mencap dirinya “kafir”. Sebab kita yakin Ahok termasuk yang memegang teguh prinsip hidup Mahatma Gandhi:

“Nobody can hurt me without my permission”



@flo Rustandi


SHARE ARTIKEL INI AGAR LEBIH BANYAK PEMBACA

Ancaman Wiranto Untuk Ormas Anti Pancasila: Mereka Tidak Layak Hidup di Indonesia


DUNIA HAWA - Menko Polhukam, Wiranto mulai menunjukkan taringnya yang dahulu kala digunakan sebagai panglima TNI Angkatan Darat dari tahun 1968 – 1999. Taring yang ditunjukkan oleh Wiranto kepada ormas-ormas anti Pancasila sangatlah tajam. Jangan bermain-main dengan Wiranto, ia adalah orang yang pernah dikenal dengan ketegasannya.

Ia sudah mempersiapkan langkah-langkah hukum mengenai pembubaran ormas-ormas anti Pancasila yang berdiam di bumi Indonesia. Kementerian politik hukum dan HAM sedang mempelajari perilaku ormas anti Pancasila yang ada di Indonesia. Jangan kira ormas-ormas semacam ini merupakan ormas yang dibiarkan begitu saja.

Ada mata yang tak terlihat, sedang memandang gerak-gerik ormas ini. Lihat saja FPI, HTI, dan berbagai ormas anti Pancasila yang dibalut dengan keagamaan. Perlahan namun pasti, taring mulai diampelas. Sejak kasus ‘baladacintarizieq’, dan penetapan tersangka Rizieq oleh kepolisian, ormas-ormas ini mulai ciut dan gagal ejakulasi. Taring Wiranto sekarang mulai dimunculkan untuk siap menggigit dan mencengkeram ormas-ormas radikal yang anti Pancasila di Indonesia.

“Kita sudah mendengarkan pernyataan Presiden bagaimana menangani ormas-ormas yang nyata-nyata bertentangan dengan ideologi negara. Dan memang di Kemenkopolhukam, tempatnya di situ,” – Wiranto

Wiranto mengatakan bahwa pihak kementerian sudah mendeteksi gerakan-gerakan ormas-ormas anti Pancasila. Bukan hanya gerakan, namun kebiasaan mereka, setiap tindak tanduk mereka, juga dideteksi. Keberadaan Wiranto ini ibarat buaya yang tenang, memperhatikan gerak gerik mangsanya, dan menyergap dengan tiba-tiba.

Maka jangan sampai pergerakan kementerian politik, hukum dan HAM menjadi sebuah ancaman yang nyata. Sebaiknya para ormas radikal ini harus hati-hati di dalam melakukan pergerakan-pergerakan yang mencoba unutk memecah belah NKRI. Perilaku Anda sedang dilihat saat ini. Jangan sampai pembubaran dilakukan dengan cara-cara yang tidak kalian inginkan.

Wiranto mulai mencari langkah-langkah hukum yang dapat menjerat para ormas-ormas anti Pancasila. Mereka sesegera mungkin harus ditumpas dan di netralisir. Karena melihat warga Indonesia yang masih mudah dibodoh-bodohi oleh ajaran-ajaran ekstrimisme yang diperdengarkan oleh para ulama bajingan yang tidak bertanggung jawab dan senang dengan perpecahan. Ini harus ditumpas habis.

“Mana nyata-nyata betul-betul bertentangan dengan Pancasila, bahkan keberadaannnya tidak mengambil bagian dari satu proses pembangunan di Indonesia, ya harus bubar,” – Wiranto

Ketegasan dari Wiranto ini tentu harus menjadi perhatian bagi para ormas radikal yang anti Pancasila. Ormas-ormas ini sungguh tersembunyi karena sulit dideteksi. Mereka sering menggunakan jubah-jubah agama untuk menyatakan ketidaksukaan mereka akan Pancasila. Mereka merasa di atas, mereka dapat menekan dengan iming-iming “jika tidak ikuti ajaran ini, maka kalian masuk neraka”.

Inilah yang menjadi kehebatan para ormas-ormas anti Pancasila. Kehebatan di dalam memengaruhi pikiran-pikiran para awam atau yang sering disebut grassroot di dalam istilah filosofisnya. Kaum grassroot atau akar rumput menjadi sekelompok yang mayoritas di Indonesia. Mayoritas rakyat Indonesia mudah dibodoh-bodohi oleh para intelektual agama yang memiliki kepentingan unutk mengganti dan mendompleng ideologi Pancasila ini.

Bagi para kaum bumi datar, bani daster, khususnya yang bersembunyi di balik agama Islam seperti FPI, HTI, sebaiknya Anda harus hati-hati mulai saat ini. Orang-orang yang kalian pikir baik dan mengayomi kalian selama ini, mereka tidak akan memikirkan kalian. Mereka akan diam jika kalian tertangkap, dan harus meregang nyawa karena perjuangan yang sia-sia untuk mendompleng Pancasila.

Penolakan dari warga mulai terjadi di berbagai tempat. Lihat saja Kalimantan Barat. Para ormas FPI yang didatangkan dari luar kota, tidak diizinkan untuk keluar dari bandara. Mereka terpaksa harus kembali ke kota asalnya. Ini sudah menjadi pergerakan yang masif, sebagai wujud penolakan rakyat terhadap ormas anti Pancasila.

Jangan sampai nyawa kalian jadi taruhan dan harus terhilang karena mencoba untuk merusak tatanan Pancasila. Tidak ada ajaran agama apapun yang mengiming-imingi sorga kepada orang-orang jahat yang ingin mengubah konstelasi negara ini. Jangan mau dibodoh-bodohi.

“Kalau keberadaannya merancukan ideologi negara yang sudah kita sepakati, yang merupakan kesepakatan kolektif bangsa yang sudah final, tentunya tidak layak untuk hidup di Indonesia,” – Wiranto

Ancaman terakhir Wiranto sungguh nyata. Ormas-ormas radikal yang terbukti anti kepada Pancasila dan mengupayakan Khilafah di Indonesia, tidak layak hidup di Indonesia. Jangan sampai ini terjadi, silakan kalian berubah haluan, jangan mengupayakan pergantian sistem negara di Indonesia. Semoga para ormas radikal ini mulai sadar dan kembali kepada tatanan negara yang benar.

Jangan sampai kekuatan militer harus turun untuk menghancurkan ormas-ormas semacam ini. Jangan remehkan Indonesia. Indonesia bersatu bukan karena agama tertentu, melainkan karena perjuangan para pejuang masa lampau yang tidak kenal lelah, untuk mendirikan NKRI. Kalian bukan ormas yang mendirikan negara Indonesia. Maka kalian sebagai ormas-ormas anti Pancasila, jangan sampai mencoba untuk menghancurkan perjuangan para pahlawan masa lampau. Merdeka!

Betul kan yang saya katakan?

@hysebastian


SHARE ARTIKEL INI AGAR LEBIH BANYAK PEMBACA

Panglima TNI : " Emang Gue Pikiri'


DUNIA HAWA - Saya ingat sekali, waktu itu Jokowi diserang karena terlihat ragu-ragu memutuskan posisi Kapolri pada kasus BG...

Jokowi di bully oleh pendukung lawan politiknya. Ia dibilang "boneka" karena seperti tidak tahu apa yang harus dilakukan.

Dan para pendukung Jokowi mulai meragukan Presiden yang mereka pilih itu. Dari luar Jokowi tampak lemah dan tak berdaya dan seperti tidak mampu melakukan apa-apa.

Saya kemudian menulis tentang bagaimana sesungguhnya Jokowi bergerak dengan menganalogikan dia sebagai kuda di bidak catur., "Langkah kuda Jokowi".

Saya gambarkan bagaimana cara bertarung Jokowi yang tidak secara frontal menyerang, tetapi memutar, merangkul dan membunuh dalam keheningan. "Dia orang Solo.." begitu kata pembuka dalam tulisanku dulu.

Pada waktu saya menulis itu, banyak yang meragukannya. Bahkan jauh lebih banyak yang mengejek tulisan itu. Sesudah lebih dari setahun tulisan itu, terbukti bagaimana cara kerja Jokowi yang berbeda dengan Presiden sebelumnya - bahkan Gus Dur - yang langsung menghajar lawannya.

Ketika menonton wawancara Panglima TNI Gatot Nurmantyo di Kompas TV, entah kenapa saya melihat gerakan yang sama. Langkah dia yang tidak frontal dalam menghadapi masalah dan cenderung memutar juga merangkul, mengingatkan saya kembali pada langkah kuda Jokowi.

Pada sesi wawancara dia dengan Rosi, terpancar kekaguman Panglima terhadap Jokowi sebagai orang yang "berani dan nekad". Dan kekaguman itu - mungkin - terpancar dari langkah-langkahnya ketika menghadapi situasi. Ia memakai langkah catur "Jokowi's style".

Langkah catur ala Jokowi memang membingungkan. Perlu waktu sedikit agak lama untuk merenung dan memikirkan "kenapa ia melakukan" itu ?

Dan sesudah kita tahu, seharusnya kita juga paham kenapa Panglima melakukan hal yang terlihat agak berseberangan dengan mendekati mereka yang termakan propaganda kaum radikal.

Panglima harus memainkan peran yang sesuai dengan tupoksinya. TNI itu menjaga keamanan dari serangan luar, sedangkan Polri tugasnya di dalam. Jadi TNI memang tidak bisa terjun langsung ketika ada masalah di dalam. Dibutuhkan kerjasama antara TNI dan Polri. TNI hanya berjaga2 sampai situasi betul2 mengancam.

Apa yang dilakukan Panglima TNI dengan merangkul dan mendekati mereka sudah betul. Karena ini akan meredam suasana. Dibutuhkan suasan yang teredam supaya Polri bisa bekerja menangkap aktor-aktor di balik layarnya.

Resikonya memang tidak enak. Panglima TNI dituding bahwa ia "dekat" dengan kaum radikal. Apalagi dari pihak sana kemudian mengelu-elukan dia. Jika sudah dielukan, berarti strategi ini berhasil. Tinggal menjaga tensi jangan sampai malah aparat dipecah oleh opini publik.

Tudingan yang dihadapi Panglima TNI sekarang bahwa ia lunak dan terlalu berpihak, sama seperti tudingan kepada Jokowi waktu itu ketika dijuluki boneka Megawati. Tetapi dalam wawancaranya dengan Kompas TV jelas dan tegas Panglima TNI mengatakan, "Yang mengontrol saya hanya Presiden sebagau Panglima Tertinggi.."

Cukup yakini itu dan hentikan semua pemikiran miring dan keraguan. Percayakan bahwa TNI dan Polri bisa mengawal situasi sampai 2019 nanti. Ini hanya permainan berselancar diatas gelombang..

Saya masih yakin bahwa Panglima tidak akan terprovokasi untuk melakukan tindakan yang tidak konstitusional.


Kalaupun banyak tudingan, seperti apa yang Panglima bilang sambil tertawa, "Emang gue pikirin..."

Seruput.

@denny siregar


SHARE ARTIKEL INI AGAR LEBIH BANYAK PEMBACA

Intoleransi “Premanis Agama” Tidak Bisa Dihadapi dengan Diam


DUNIA HAWA - Apa yang terjadi sekarang bukan sekadar komodifikasi agama, tetapi sudah merupakan untuk islamisasi. Jika yang pertama mengacu hanya pada penggunaan agama sebagai instrument sebagai akumulasi ekonomi, maka yang kedua lebih dari itu. Aksi-aksi bela Islam sudah merupakan kegiatan politis yang mengandung visi dan ideologi tertentu.

Visi dan ideologi yang dimaksud adalah islam. Meski tidak lagi bertujuan untuk mendirikan Negara islam, aksi-aksi tersebut lahir dari suatu usaha yang sistematis untuk menciptakan suatu masyarakat islami. Dari luar kelihatannya tidak ada masalah dengan itu, tetapi dengan sedikit renungan saja kita bisa melihat masalahnya.

Salah satu masalahnya adalah karena masyarakat Islam yang dibayangkan tersebut hanyalah satu versi dari sekian banyak versi mengenai Islam itu sendiri. Namun keragaman yang sudah inheren dalam Islam sejak awal itu direduksi sedemikian rupa menjadi seolah-olah hanyalah ada satu jenis Islam. Dalam konteks Pilkada Jakarta baru-baru ini, misalnya, seakan-akan Islam yang benar adalah Islam yang rajin demo di Istaqlal. (Amin Mudzakkir)

Apa yang dituliskan oleh Amin, bagi saya adalah sederhana dan saya menyepakatinya, karena apa yang terjadi belakangan ini memang adalah sebuah “identitas”. Dan hal ini sudah saya paparkan beberapa bulan yang lalu dengan mengkaitkannya pada kelompok radikal yang begitu massive di Timur Tengah. “Religion and Politic”, keduanya memang tidak bisa saling menegasikan, namun bukan berarti dalam konteks bernegara, agama untuk mengintervensi politik, hingga dapat memunculkan sebuah “politik identitas” yang kemudian melahirkan “proxy”. Namun pada kenyataannya semua itu terjadi bahkan menjadi strategi sangar bagi Imperium barat sekaligus Neolib untuk menguasai politik-ekonomi dari Negara lain yang bagi mereka dapat menguntungkan.

Saat rezim Orba, ketika platform partai dan militer mulai dilihat tidak bisa lagi diandalkan sepenuhnya, maka isu SARA dan Primordial juga menjadi pilihan untuk melanggengkan dominasi. Bedanya pada saat ini, di era Orba yang memainkan politik identitas adalah yang memegang kekuasaan, dan sekarang yang melakukan yang mau merebut kekuasaan. Namun yang melakukannya saat ini adalah orang-orang yang memang pernah menjadi bagian dari Orba, jikapun pelakunya adalah orang-orang yang justru menentang orba pada saat itu, setidaknya saat ini mereka justru lebih keji dari yang pernah menjadi bagian dari ditaktor Soeharto yaitu mengkhianati perjuangan reformasi itu sendiri. Kemudian berkolaborasi untuk merebut kekuasaan saat ini yang dipimpin oleh Jokowi.

Yang paling mengkhawatirkan jika kelompok fundamental di Nusantara berhasil merebut kelompok tradisi dalam konteks agama. Dan hal ini tentunya sangat diinginkan oleh kelompok fundamental, jika kita melihat ceramah dari imam besar FPI yaitu Rizieq pada saat di Madinah, jelas sekali betapa dia sangat mengharapkan untuk kelompok fundamentalis melebur menjadi satu dengan Islam tradisi. Bahkan dia (Rizieq) berani menyebutkan bahwa kedua kelompok ini sedang di adu domba.

Kita tentu tahu, yang dimaksud kelompok islam tradisi ini bisa kita sebut NU. Bagaimana mungkin kaum NU menyepakati kelompok fundamental yang menghendaki keseragaman ditengah Negara yang majemuk, apalagi sanggup saling mengkafirkan sesama yang merupakan watak dari wahabi salafi. Sementara salah satu yang melatar belakangi berdirinya NU adalah untuk menghalau / menghadang doktrin wahabi yang begitu massive pada saat itu hingga sampai sekarang.

Apa yang dikatakan Rizieq dalam ceramah di Madinah jelas menunjukkan bahwa mereka sedikit ketakutan, karena mereka tidak begitu leluasa untuk mencuci otak masyarakat agar mengikuti mereka menegakkan khilafah di Nusantara sebagaimana yang mereka yakini.

Saya pikir perlawanan yang dilakukan oleh NU untuk mengatakan “Tidak” pada kelompok fundamentalis, menjadi suatu keharusan untuk kita dukung.

Kenapa perlunya perlawanan?


Karena diluar sana, para capital borjuis rente oligarki, neolib serta imperial global terus membidik dan mengucapkan terimakasih pada “premanis agama”. Karena politik identitas adalah sebuah karya bagi mereka untuk menciptakan proxy, hingga dapat melakukan ekspansi dan menguasai politik-ekonomi sekaligus menciptakan watak liberal sekaligus konsumtif akut. 

Hemat saya, Presiden RI saat ini, perlu untuk mengambil sikap tegas untuk katakan “lawan” intoleren serta merangkul ulama tradisi yang sangat mencintai toleransi dan Islam yang sejuk, hal ini bukan saja untuk mempertahankan kemajemukan bangsa, jika tidak, maka tidak menutup kemungkinan Indonesia tinggal menunggu waktu saja untuk dikembalikan ke era Orba. Dan 2019 bakal muncul kembali politik identitas yang mana rakyat kembali di cuci otaknya bahwa Islam yang benar adalah yang memilih Prabowo.

Jika terjadi, Indonesia kembali “Gawat Darurat”. Beberapa hari yang lalu Intoleransi sudah masuk dalam ruang pendidikan, dimana siswa tidak mau memilih pemimpin OSIS yang beda agama.

Apakah semua ini harus didiamkan saja, jika tidak “melawan” maka tidak menutup kemungkinan Indonesia tinggal menunggu waktu saja untuk dikuasai oleh “mereka”.

Banyak cara untuk “melawan”, yang paling sederhana untuk dilakukan adalah saling “menyadarkan”, mengatakan “Tidak” untuk khilafah, mempertahankan Pancasila dan UUD 45 serta semboyan Bhineka, melindungi anak-anak dan mengajarkan mereka culture Nusantara yang beragam serta tentang agama yang sejatinya membawa kedamaian bukan perpecahan, mencintai budaya Indonesia, dan seterusnya.

Disisi lain, Presiden RI saat ini, perlu untuk mengambil sikap tegas untuk katakan “lawan” intoleren dan kelompok fundamental. Tidak sedikit masyarakat yang akan mendukung.

@losa terjal


SHARE ARTIKEL INI AGAR LEBIH BANYAK PEMBACA


Ketakutan Prabowo Dengan Menangnya Anies-Sandi, Dan Pengakuan Jujur Pernah “Ditawari Saat Menjabat


DUNIA HAWA - Ada hal yang menarik kemarin malam, Prabowo Subianto membeberkan beberapa kata yang cukup unik terdengar darinya, beberapa stetment diantaranya adalah perihal kekhawatiran dirinya ketika Anies-Sandi menang, dan pengakuan dirinya bahwa dia pernah ditawari, diberi gratifikasi ini itu saat menjabat ( mungkin era Soeharto atau mungkin periode lain ).

Berikut kutipannya:


Pernyataan pertama: “Gue terus terang saja, Pak Anies, terus terang saja saya was-was. Gue was-was begitu lu menang, lu kalah gue nggak was-was,” kata Prabowo saat sembari sambutan pada acara Pesan Persatuan Anies-Sandi di Museum Bank Indonesia, Jalan Lada No 3, Jakarta Barat, Jumat (5/5/2017).

Pernyatan kedua “Biasanya kalau menang pejabat ni yah, karena gue pernah jadi pejabat dulu. Biasanya ada yang datang bawa ini bawa itu, macam-macam deh. ”

Membaca dugaan pernyataan pertama dan kedua.

Pertama perihal Gue was-was begitu lu menang, lu kalah gue nggak was-was. Ada apa maksud dengan pernyataan ini? Apakah ini adalah sebuah perkataan jujur dari hati prabowo yang berbentuk kekhawatiran apabila dengan terpilihnya mereka, akan jadi suatu ancaman?

Mungkin benar apa yang dikatakan Prabowo tersebut, ini akan menjadi ancaman khususnya buat Prabowo sendiri di masa yang akan datang 2 tahun dari sekarang masa Pilpres, seperti yang kita ketahui bersama, kemenangan Anies-Sandi merupakan kemenangan atas teror SARA yang dikeluarkan di setiap penjuru daerah, propaganda hoax dengan menyebutkan Jakarta Bersyariah, bagi-bagi sembako, yang semua itu dicetuskan oleh mereka sebagai kampanye dari Ahok-Djarot, padahal jelas ini adalah fitnah yang sampai sekarang Bawaslu pun tidak bisa membuktikan bahwa ini adalah ulah Ahok-Djarot.

Kemenangan Anies-Sandi ini sifatnya hanya euforia semata, karena ketakutan atas dasar ancaman “SARA” tersebut, yang mengatakan akan masuk neraka, atau kalau memilih Anies-Sandi maka jaminannya adalah surga, banyak ustad mengatakan demikian, oleh karenanya kita bisa kategorikan hal ini adalah kemenangan SARA.

Prabowo takut, rakyat Jakarta yang memilih hanya 3.2 Juta sedangkan ada 2.3 juta suara lain yang mendukung Ahok-Djarot, hitungan ini mungkin hanya kisaran di Jakarta saja, sesuai dengan data yang tersaji pada website pemilihan KPUD. Tapi bagaimana dengan mata seluruh penjuru Indonesia?

Berapa banyak orang yang mendukung? Atau berapa banyak orang yang kontra? Masih belum bisa dipastikan dengan jelas, tapi setidaknya dengan melihat kacamata Pilpres 2014 silam maka ada 70.633.576 suara yang mendukung Jokowi dan 62.262.844 suara mendukung Prabowo selisih 8.370.732 suara

Dari presentasi yang cukup berbeda jauh seperti itu, Prabowo sedang “Harap-Harap” cemas, kala apabila nanti Anies-Sandi tidak bisa mengeksekusi semua janji-janji kampanyenya, lalu kemudian yang hanya terlihat adalah unsur bagi-b agi 30 kursi, dan dana buat ormas, serta menguntungkan kalangan atas saja, kalangan elite politik yang mendukung mereka, maka tentu, mata rakyat Indonesia sebanyak 62 juta suara yang mendukung Prabowo bisa jadi akan berpindah, karena tidak lagi percaya dengan janji-janji kampanyenya.

Mengambil contoh ketika Anies-Sandi gagal dalam mengurus Jakarta, bagaimana Prabowo bisa mengurus Indonesia?

Pernyataan kedua perihal Biasanya ada yang datang bawa ini bawa itu, macam-macam deh. Secara tidak langsung disini Prabowo memberitahukan ke publik bahwa dia dahulu ketika kala itu menjabat sebagai tokoh politik Indonesia, banyak yang memberikannya gratifikasi dalam bentuk “macam-macam” deh pokoknya.

Ke-khawatirannya ini dia utarakan ke Anies-Sandi agar tidak tergoda dengan tawaran-tawaran tersebut, pertanyaan sederhana, apakah dahulu Prabowo pernah tergoda? Mungkin jawabnya ya tentu tidak. tapi mengambil contoh dari hal ini, kalau kita melihat kaca bahwa Sandiaga adalah sang pengusaha, dimana tujuan berpolitiknya masih “Dipertanyakan”

Kalau Sandiaga berkata saya ingin mengabdi kepada rakyat. Bung semua juga ingin mengabdi pada rakyat, membantu yang sedang mengalami kesusahan, hal itu lumrah sebagai manusia, tapi dibalik itu semua, kita harus melihat nilai-nilai dasarnya terlebih dahulu apa niatan itu murni untuk mengabdi atau tidak.

Kita lihat saja Jusuf Kalla dia menjadi “Matahari Kembar” saat masa SBY banyak kontrak usaha(tender) yang didapatkan oleh perusahaan Kalla Group, semua fasilitas kenyamanan yang JK terima adalah karena dirinya menjabat sebagai Wapres.

Bagaimana dengan Sandiaga nanti? Berapa banyak nilai-nilai peluang usaha yang akan semakin lancar dengan dirinya menjabat sebagai Wagub? Kala semua transaksinya banyak terjadi di Jakarta.

Apakah nanti Sandiaga tidak akan tergiur dengan tawaran kontrak yang macem-macem deh itu? Tujuannya tidak lain bukan untuk mengabdi buat rakyat, tapi buat perusahaannya pribadi, buat harta kekayaanya sendiri. Kita lihat saja nanti.

@bani


SHARE ARTIKEL INI AGAR LEBIH BANYAK PEMBACA