Thursday, May 4, 2017

Untuk Kepala Kepala yang Akan Terpenggal pada Waktunya Nanti


DUNIA HAWA - "Kita sibuk berwacana tentang konsep deradikalisasi..."

Suara saya keras dalam sebuah diskusi di warung kopi. Kebetulan sore itu saya diundang dalam sebuah forum yang dihadiri banyak akademisi dengan gelar yang panjang dari perguruan tinggi - perguruan tinggi ternama. Disana juga hadir beberapa orang dari pemerintahan yang sedang mengkaji cara terbaik memerangi radikalisme. 

"Kita sibuk berwacana tentang konsep disini, sedangkan mereka sudah sejak lama memerangi kita. Mereka ada dimana-mana, di pemerintahan, di dalam masyarakat bahkan di dunia pendidikan.."

Semua terdiam. Mencoba merenung dalam tentang apa yang harus dilakukan.

"Tahukah, bapak dan ibu yang hadir disini?

Di beberapa Taman Kanak-kanak, mereka bahkan sudah mengajarkan radikalisme sejak usia dini. Seorang guru TK mengajarkan kepada anak didiknya permainan 'tepuk anak sholeh'. Mereka saling menepuk tangannya dengan slogan-slogan yang diucapkan bersama-sama 'Muslim yes, Kafir no' berulang kali.."

Saya ambil secangkir kopi yang sudah mendingin. Mungkin karena gemas, saya sampai sedikit tersedak ketika kopi pekat itu mampir di tenggorokan.

"Lihat proses doktrin yang mereka lakukan bertahun-tahun lamanya. Anak TK yang 20 tahun lalu diajarkan tepuk anak sholeh itu, sekarang sudah di universitas negeri dan berbaiat bersama 1500 mahasiswanya lainnya untuk mendirikan negara Islam dan menghancurkan Pancasila.

20 tahun lagi mereka juga yang akan mengisi parlemen kita dan menjadi orang tua dari anak-anak yang akan mereka doktrin juga..

Masih abaikah kita dengan fakta-fakta itu?

Silahkan berwacana terus dan - perhatikan - tanpa sadar anak TK itu sudah menjadi monster yang terus menerus berteriak tentang halalnya darah kita. Dan mungkin tidak lama lagi mereka juga yang memerintahkan segerombolan fanatik untuk memenggal kepala kita.."

Kuhempaskan cangkir kopiku karena frustasi dengan sekelompok orang pintar yang masih nyaman dengan segala teori. 

"Lalu apa yang abang sarankan?" Tanya seorang kepala dari sebuah badan pemerintahan. Aku terdiam sejenak. Sudah lama kuteriakkan ini dalam bisuku, dalam tulisanku yang berisi nada marah karena abainya hampir semua elemen yang ada.

"Radikal harus dilawan dengan cara yang radikal juga. Mereka sudah tidak bisa disindir, dihimbau, diperingatkan bahkan diancam. Mereka terus tumbuh membesar dan membentuk kelompok massa..

Cara yang terbaik sekarang ini, mulai dari lembaga di pemerintahan sendiri, tempat pemerintah mempunyai otoritas tertinggi.

Bersihkan masjid-masjid dari pengurus yang radikal di badan milik negara, yang menanamkan kebencian kepada pemerintah sendiri. Sarang mereka tidak jauh, bahkan sangat dekat. Ganti dengan dai-dai muda dari NU yang sudah paham tentang betapa pentingnya NKRI dan mendukung pemerintahan yang sah. Kuasai dulu medan perangnya dengan benar.


Sejalan dengan itu, ganti kepala sekolah negeri yang terindikasi radikal dengan yang mempunyai wawasan kebangsaan. Ganti guru agama di sekolah negeri dengan guru agama dari NU yang mengajarkan tentang indahnya perbedaan.

Berikan fasilitas kepada dai muda NU yang berwawasan untuk menguasai slot-slot acara keagamaan di stasiun televisi. Perintahkan stasiun televisi untuk menyiarkan lagu-lagu kebangsaan setiap hari. Doktrin mereka, lawan dengan doktrin juga.."

Gemuruh di dadaku teredam seketika ketika kuungkapkan kegelisahan yang kupendam selama ini. Bayangan bagaimana ISIS di Suriah dengan mudahnya menggorok leher seorang remaja tak berdosa menghantui pikiranku dan lelah otakku bekerja "bagaimana seandainya itu terjadi di Indonesia dan yang disembelih adalah putraku sendiri?"

Kututup pidatoku yang berapi-api. Entah hari itu aku marah, menangis ataukah frustasi. Belum cukupkah pelajaran yang diberikan Tuhan dalam bentuk peristiwa hancurnya Timur Tengah yang ditayangkan sehari-hari? 

"Waktu kita tidak lama.." Kataku duduk kembali dengan resah. "Dua tahun lagi paling lambat, kita baru sadar bahwa tanpa memulai langkah hari ini, negara ini akan menjadi api yang membakar kita semua yang duduk dan berwacana hari ini...". Kuseruput kopiku dan -entah kenapa- sebatang rokok menenangkanku kembali.

@denny siregar


SHARE ARTIKEL INI AGAR LEBIH BANYAK PEMBACA

Menangkal Radikalisme dengan Cara Radikal


DUNIA HAWA - Tulisan “serius” ini saya awali dengan mengutip peringatan para Ulama Islam yang ditegaskan kembali oleh Presiden ke-4 NKRI, Mendiang KH.Abdurrahman Wahid, dalam buku “Ilusi Negara Islam, Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia” (2009). Tetapi sebelumnya saya perlu ingatkan dua hal.

Pertama, buku itu sudah dilarang dan ditarik dari peredaran tidak lama setelah terbit. Maka dengan cepat buku itu beredar di internet sebelum versi dunia maya buku itupun dilarang. Karena tidak sempat dapat bukunya, saya dikirimi melalui surel.Kedua, Prolog dari buku itu ditulis oleh Prof. Dr. “Buya” Ahmad Syafii Maarif dan Epilog oleh KH. A. Mustofa Bisri. KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sendiri adalah Editor. Dalam kata Pengantar selaku Editor itulah Gus Dur mengutip kembali peringatan para Ulama:

“al-haqq bi la nizhamin qad yaghib al-bithal bil nizhamin”

Kebenaran yang tak terorganisasi bisa dikalahkan oleh kebathilan yang terorganisasi.

Peringatan itu dikaitkan dengan laporan hasil peneliti lapangan dari The Wahid Institute di Pati dan Magelang, bagaimana kader-kader Islam garis keras mengambil alih masjid-masjid dengan cara yang mulanya amat simpatik, dan bagaimana strategi PKS meraih kursi legislatif dengan menawarkan rehabilitasi masjid dengan dana dari Arab Saudi, dengan imbalan suara jamaah pada Pemilu 2009. Gus Dur membuka secara gamblang strategi, taktik dan target-target Islam garis keras menguasai kampus-kampus melalu LDK (Lembaga Dakwah Kampus), kemudian legislatif dan eksekutif untuk memuluskan Perda-perda syariat dalam rangka Khilafah Islamiyah menggantikan NKRI.

Peringatan Gus Dur itu menegaskan kembali peringatan Yesus (Nabi Isa), jauh sebelumnya:

“Sebab anak-anak dunia ini lebih cerdik terhadap sesamanya daripada anak-anak terang”.
(Lk 16:8b)

Kedua peringatan yang intinya sama itu, menyadarkan kita betapa lihay dan liciknya anak-anak dunia dalam mengorganisasikan kebathilan untuk meruntuhkan kebenaran. Sekaligus menantang kita untuk menangkal kebathilan dalam gerakan radikalisme dengan cara-cara lebih cerdas lagi.

Kita dapat memetakan dengan jelas siapa yang dimaksudkan Yesus dengan “anak-anak terang” diperlawan-kan dengan “anak-anak dunia”, jika dikaitkan dengan ucapan para Ulama yang memerlawankan “Kebenaran” dengan “kebathilan”. “Anak-anak terang” adalah siapa saja yang memilih dan memihak Kebenaran dengan sadar, serta siap-sedia membelanya dengan seluruh jiwa-raga. Disini tidak ada sekat-sekat SARA. Semua dipersatukan oleh iman yang sama kepada Allah yang satu dan sama, meski agama berbeda.

Sebaliknya, “anak-anak dunia” adalah mereka yang juga dengan sadar berpihak pada kebathilan dan menyeret orang-orang lain ke kubu mereka, kemudian memeralat mereka untuk kepentingan-kepentingan duniawi semata, yang sifatnya sesaatdan sesat. Tapi mereka cerdik, karena jualan mereka adalah agama, yang mereka pertuhankan, lengkap dengan “janji surga” dan “ancaman neraka”. Siapa tidak mau masuk surga? Siapa tidak takut neraka?

Metode Root Cause Analysis


Kita jelaskan dulu arti “radikal”, yang sebenarnya menjadi asal-muasal istilah radikalisme. Radikal berasal dari kata Latin radix yang berarti root (Inggeris) atau akar (Indonesia). Jadi cara-cara radikal sebenarnya berkonotasi positif: menangani suatu masalah pada akar atau sumbernya, bukan hanya mengobati gejala-gejala yang nampak di permukaan.

Belakangan, radikal lebih berkonotasi negatif karena sering dikaitkan dengan ekstim kiri (komunisme) atau ekstrim kanan (agama: fundamentalisme). Yang tidak segan-segan menggunakan cara-cara pembohongan, kekerasan dan pemaksaan kehendak. Radikalisme yang kita bahas jelas ekstrim kanan, tetapi menggunakan cara-cara agitasi dan propaganda ala Nazi Hitler dan komunisme. Antara lain doktrin bahwa kebohongan yang terus-menerus diulangi, lama kelamaan dianggap kebenaran. Maka metodenya disebut ‘indoktrinasi’.
Mereka juga adalah penganut setia Niccolo Machiavelli yang kalimatnya dalam buku The Princesering dikutip lepas konteks, bahwa tujuan (meraih kekuasaan) dapat menghalalkan segala cara. Finis iustificat medium: tujuan mejustifikasi cara.

Ibarat penyakit, masalah radikalisme harus ditangani pada akar-penyebabnya, bukan hanya mengobati gejala-gejala di permukaan. Doeloe, kalau orang mengeluh sakit kepala biasanya disuruh minum antalgin, ‘obat segala macam penyakit’. Tetapi itu hanya pain killer yang menghilangkan gejala untuk sementara, yakni rasa sakit di kepala. Penyebab sakit kepala, apalagi kalau sudah menahun, harus dicaritahu melalui diagnosis yang cermat. Penyakit harus diobati pada sumbernya, bukan hanya pada gejala-gejala ‘permukaan’.

Demikian pula masalah radikalisme, yang sudah menjadi penyakit kanker stadium empat bagi tubuh NKRI. Tidak hanya darurat narkoba, NKRI juga sudah “darurat radikalisme”. Radikalisme adalah kanker stadium empat yang sedang menggerogoti tubuh NKRI.

Untuk itu kita gunakan metode paling sederhana yang biasa digunakan dalam pelatihan-pelatihan “Problem Solving and Decision Making”, yakni metode Root Cause Analysis (RCA). Secara sederhana, RCA diawali dengan mengidentifikasi apa yang terjadi (peristiwa, kejadian, fakta). Kita gunakan 5 W + 1 H untuk tahap identifikasi yang benar. Mulai dari 4 W+H: What, Who, Where, Whendan How. Sesudah itu, ajukan W yang terakhir, yaitu Why, untuk menggali dan menelusuri penyebab terjadinya masalah. Setiap kali menemukan jawaban, ajukan terus pertanyaan “mengapa” hingga menemukan akar paling dalam atau penyebab paling utama/awal, yang kita sebut sebagai akar dan sumber penyebab masalah itu.

Kalau akar permasalahan sudah ditemukan, solusi yang jitu mudah ditemukan. Dalam kasus radikalisme: bagaimana cara/langkah paling jitu menangkal atau membasmi radikalisme. Untuk setiap solusi, harus jelas juga apa, siapa, dimana dan kapan ekskusinya. Jangan lupa pula merumuskan secara jelas indikator-indikator keberhasilan dari setiap solusi itu sebagai alat-ukur evaluasi untuk menilai kadar keberhasilan atau kegagalannya.

Mengidentifikasi Akar-akar Radikalisme


Kita perlu sepakat lebih dulu apa yang kita pahami tentang radikalisme. Ada banyak rumusan yang bisa diperdebatkan. Karena itu kita gunakan saja definisi yang diberikan oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Menurut KBBI, radikalisme adalah 1. paham atau aliran yang radikal dalam politik; 2. paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis [dalam konteks Indonesia: mengubah NKRI menjadi Khilafah Islamiyah, pen]; 3. sikap ekstrem dalam aliran politik. Jelaslah definisi diatas merupakan definisi dari ilmu/teori dan praksis sosial-politik.

Di Indonesia, radikalisme punya ‘kelainan’, karena bersumber pada fundamentalisme agama, yakni paham/aliran yang ingin kembali ke dasar-dasar ajaran Kitab Suci secara harafiah, dan perilaku para pendiri/nabi [yang di dalam agama Islam disebut sunnah atau hadits]. Jadi Kitab Suci dipahami dan ingin dipraktekkan secara letterlik, harafiah atau tekstual, persis seperti apa yang tertulis, bukan kontekstual. Konteks situasi pada jaman ayat-ayat KS itu “diwahyukan” dan konteks jaman sekarang, tidak dianggap oleh para fundamentalis.

Perkawinan antara fundamentalisme dengan radikalisme kemudian melahirkan terorisme, makar dlst. Dan tujuan akhirnya adalah terwujudnya Negara berdasarkan Agama atauKhilafah Islamiyah dengan memberlakukan Piagam Djakarta.

Tidak sulit untuk mengidentifikasi atau menemukenali gejala-gejala (peristiwa, kejadian, fakta) radikalisme. Misalnya: kampanye hitam yang mengkafirkan dan mencap Ahok sebagai penista agama Islam, penggunaan masjid-masjid sebagai tempat kampanye, demo berseri dengan angka-angka simbolik ala terorisme 911, intimidasi dengan mayat dan ayat-ayat, spanduk-selebaran intoleran dll, hingga terakhir menunggangi unjukrasa May Day untuk membakar karangan-karangan bunga yang menyanjung Ahok-Djarot.

Kalau kita teruskan pertanyaan RCA “mengapa semua itu terjadi”, kita akan menemukan bahwa akar masalah adalah ‘keyakinan’ kaum fundamentalis. Perhatikan rumusan hasil permenungan seorang pemimpin politik dan spiritual, Mahatma “The Great Soul” Gandhi berikut ini:

Your beliefs become your thoughts – keyakinamu menjadi pikiranmu

your thoughts become your words – pikiranmu menjadi ucapanmu

your words become your actions – ucapanmu menjadi tindakanmu

your actions become your habits – tindakanmu menjadi kebiasanmu

your habits become your values – kebiasaanmu menjadi nilaimu

your values become your destiny – nilaimu menjadi nasibmu

Jadi sumber utama radikalisme adalah “keyakinan” para fundamentalis agama. Karenanya, pintu masuk perubahan radikal atau penangkalan mestinya “keyakinan” itu. Celakanya, ”keyakinan” itu sudah terkontaminasi kepentingan ekonomis dan kekuasaan politik. Dalam istilah Nusron Wahid, wujud dari ‘paham-salah’ dan ‘salah-paham’. Hasil dari penafsiran ulama-ulama dadakan yang tiba-tiba menggelari diri sendiri sebagai habib, turunan Nabi, dan merasa diri ahli agama nan mahatahu.

Tetapi tunggu dulu. Fundamentalisme atau keyakinan fanatik, harafiah, eksklusif dan sesat seperti itu sebenarnya ada dalam semua agama. Salah satu contoh aktual adalah munculnya grup dari “pendeta dadakan” di kubu Prabowo yang tidak mau ketinggalan ikut jualan ayat-ayat Kitab Suci untuk mendukung Anies-Sandi. Bahkan begitu lancang mengatasnamakan umat Kristiani, melalui medsos milik Hari Tanoe. Mungkin mereka berharap bisa kebagian kursi dalam kereta Khilafah Islamiyah ala Rizieg Shihab dkk. Untung klaim konyol itu langsung dibungkam oleh seorang Pendeta sejati.

Menangkal Radikalisme Secara Radikal


Setelah menemukan akar atau sumber utama radikalisme pada “keyakinan”, pertanyaan kita selanjutnya: dimanakah “keyakinan” itu ditanamkan dan disebarluaskan? Metode RCA mengategorikan tiga jenis sumber penyebab masalah:

• human causes (penyebab insani, pada manusia),

• physical causes (penyebab fisik),

• organizational causes (penyebab organisasional).

Kita sudah menemukan human causes yaitu “keyakinan sesat dan menyesatkan” dari para fundamentalis-radikalis. Untuk menemukanphysical causes dari radikalisme, kita bertanya: dimana keyakinan itu disemaikan dan disebarluaskan?

Ada dua tempat yang akhir-akhir ini sangat disoroti sebagai tempat berkembang-biaknya hewan predator bernama radikalisme: rumah ibadat khususnya masjid, dan sekolah/kampus.

1. Rumah Ibadat, terutama Masjid.


Banyak ulasan dan kajian tentang masjid sebagai arena politik praktis, terutama di Pilkada DKI. Teguh Kurniawan mengulasnya dengan baik dalam tulisan di Seword, 27 April “Politik Masjid: Khutbah Kebencian dan Benih Radikalisme”. Silahkan dibaca sendiri.

Yang mengherankan, pihak paling berwenang atas pemanfaatan masjid, yakni JK selaku Ketua Dewan Masjid Indonesia, nampaknya berdiam diri. Dan diam berarti setuju dan merestui! Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, mengumumkan 9 butir seruan bagi penceramah di tempat ibadah. Seruan ini dimaksudkan agar penceramah tak memberikan materi bermuatan politis, ujaran kebencian dan berbau suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Penceramah juga diminta tidak menyampaikan materi yang bertentangan dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Sebelumnya ada wacana Sertifikasi Ulama dan Tunjangan Profesional, yang dilontarkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan dilontarkan kembali oleh Kemenag RI (25/1). Sayang wacana itu tidak lagi bergema; malah yang bergemuruh adalah penolakan – tentu dari pihak-pihak yang akan kehilangan lahan jika itu diberlakukan.

Dalam hal ini kita ingat era Orde Baru, dimana Suharto dengan sangat tegas dan keras menertibkan khutbah-khutbah, ceramah-ceramah dll di Rumah Ibadah, terutama masjid-masjid. Para intel hadir sebagai bagian dari umat/jamaah, menguping dan merekam kemudian menyiduk narasumber yang ‘salah omong’. Cara radikal itu banyak menuai kritik, tetapi tidak ada yang mengingkari manfaat yang dihasilkannya: rasa aman, damai dan tenteram. Itu salah satu keberhasilan Suharto dan Orde Baru yang sempat dimunculkan kembali beberapa waktu lalu dalam kalimat khas yang seolah diucapkan Pak Harto: “Iseh penak jamanku to!”

Sekarang ini jaman sudah lebih edan. Jadi harus cari cara yang lebih cerdas dan lebih radikal kalau tidak ingin anak-anak dunia menyingkirkan anak-anak terang dan kebathilan menyingkirkan kebenaran. Intinya: Rumah-rumah Ibadat, khususnya Masjid tidak boleh dibiarkan jadi tempat pesemaian kebencian SARA dan arena politik praktis. Maka wacana dan seruan tidak ada gunanya, sedikitpun! Aturan hukum saja mereka labrak, ancaman pembubaran mereka anggap tidak lebih dari “gertak sambal”. Apalagi cuma wacana dan seruan.

Karena itu “anak-anak terang” yang punya otoritas di tangan, berhentilah berwacana, ber-seruan dan main gertak sambal. Mulailah bertindak, tegakkan aturan dan undang-undang dengan BERANI. Jangan lagi ada kompromi. Jangan lagi ada polisi yang mengakwal FPI dkk melakukan “penertiban” (yang sebenarnya melecehkan korps kepolisian selaku penegak hukum).

2. Sekolah dan Kampus


Untuk sub-judul ini, silahkan baca tulisan Denny Siregar 11/04/ 2017 “Gerakan Radikal Dimulai Dari Bangku Sekolah”, yang mengutip dan menyetir tulisan Danu Darmadi, Detik.News.com 10/04/2017 “BNPT Deteksi Pengajaran Radikalisme di Sekolah-Sekolah”. Dan banyak reportase serta artikel lain. Berbagai media mainstream juga ikut mengangkat topik ini sebagai editorial dalam rangka Hari Pendidikan, 02 Mei 2017. Berbagai solusi juga sudah ditawarkan. Kita berharap pihak-pihak berwenang mengikuti dengan cermat semua usulan warga negara yang berkehendak baik untuk ditindaklanjuti.


Ceritera Denny Siregar tentang anaknya mengingatkan kita, bahwa keluargalah pihak pertama dan utama yang paling bertanggungjawab untuk menangkal radikalisme, yang bisa jadi diindoktrinasikan di sekolah anak-anak kita. Denny juga memuji perjuangan Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi, dalam membasmi radikalisme dari akar-akarnya.

“Masak Indonesia yang sebesar ini kalah konsep sama Purwakerta desa kecil di Jawa Barat itu?”  tantang Denny mengakhiri tulisannya.

Kita pun bertanya-tanya, mengapa Anies tidak menggunakan dana 23,3 trilyun dari kementerian yang sempat dipimpinnya untuk program deradikalisasi dalam konteks sertifikasi guru? Deradikalisasi di sekolah-sekolah dan kampus-kampus seharusnya dimulai dengan “mencuci otak” para guru dan dosen dari radikalisme. Juga membersihkan kampus dari lembaga-lembaga dakwah berbau radikalis-fundamentalis yang mengancam keutuhan NKRI.

Sejalan dengan deradikalisasi sekolah/kampus, toko-toko buku juga perlu dibersihkan dari buku-buku yang menyebarkan virus radikalisme. Sangat janggal rasanya jika buku berbobot seperti Ilusi Negara Islam dilarang, sementara puluhan ribu buku yang jelas-jelas menistakan agama lain, anti-Pancasila, anti kebhinekaan dan anti-NKRI, tetap diperjual-belikan dengan bebas.

Solusi Paling Radikal: Bubarkan!


Akhirnya, kita sampai pada resep ketiga RCA:organizational causes. Kita semua sudah tahu ormas-ormas radikalis yang selalu menjadi sumber malapetaka pemecah-belah bangsa selama ini. Sebagai bagian dari “anak-anak terang” KITA bergabung dalam barisan NU dan beberapa ormas nasionalis yang sudah menuntut Pemerintah MEMBUBARKAN ormas-ormas intoleran anti-kebhinekaan, anti-Pancasila dan anti-NKRI. Artinya kalau akar-akar itu sudah “busuk” (kian sesat dan menyesatkan) dan bisa menyebabkan kematian pohon NKRI, CABUT SAJA sekalian! Biarkan akar-akar sehat yang menopang pohon NKRI semakin kokoh.

Selama sepuluh tahun pemerintahan SBY, ormas-ormas itu tidak hanya dibiarkan, malah terkesan dipelihara, dielus-elus hanya karena kalkulasi dukungan suara. Bahkan patut diduga disiapkan untuk proxy war pasca-kekuasaan. Karena itu mereka berkembang biak seperti jamur di musim hujan. Buktinya, sudah digunakan dengan berhasil di Pilkada DKI. Kalau dibiar-biarkan lagi, akar-akar mereka akan semakin kuat menghunjam Ibu Pertiwi, dan melahirkan kehancuran NKRI.

Kita salut dengan kebangkitan anak-anak terang yang selama ini menjadi “the silent majority”, yang secara spontan mengirimkan karangan bunga, tidak hanya kepada Ahok-Djarot, melainkan juga kepada Kapolri dan jajarannya di banyak kota, dan kepada Presiden Jokowi. Intinya: Jaga NKRI, Pancasila, Kebhinekaan dan jangan takut membubarkan kelompok-kelompok radikal. Pertarungan terbuka “anak-anak terang” dengan ‘senjata’ kasih dan damai, MELAWAN “anak-anak dunia” dengan senjata kebencian dan kekerasan, sudah dimulai.

Agar efektif, harus berjalan bersamaan dengan upaya-upaya radikal MENANGKAL radikalisme. Itu bukan hanya tugas Pemerintah, Polri dan TNI. Itu tugas-panggilan “anak-anak terang”, masing-masing sesuai talenta dan kompetensi yang dimiliki. Paling sederhana: men-share peristiwa, kejadian faktual tindak-tindak radikalis melalui medsos dan kepada pihak berwenang.

Evil wins when good people do nothing!

@flo rutandi


SHARE ARTIKEL INI AGAR LEBIH BANYAK PEMBACA

Ahok “Tampar” Hary Tanoe: Mau Jadi Wapres? Kafir Mana Boleh Jadi Pejabat?


DUNIA HAWA -Masa Bakti Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok akan berakhir sampai Oktober 2017. Hal ini sudah ditentukan oleh para warga Jakarta pada Pilkada DKI Jakarta putaran kedua. Hal ini menjadi sebuah hal yang harus diterima oleh ke-42% warga Jakarta yang masih waras.

Terima atau tidak terima, mau tidak mau, Ahok tidak lagi dipilih oleh mayoritas warga Jakarta. Terlepas dari isu SARA, bukan Sarah yang dimainkan oleh para pendukung Anies Sandi, kita harus menerima fakta kekalahan ini. Inilah jiwa kesatria yang harus kita miliki, sebagai Ahoker sejati.

Jangan sampai para pendukung Ahok berubah menjadi Jonru-Jonru kecil yang menebarkan fitnah, dan menebarkan kebencian yang berakar di otak dan hati kalian. Jangan sampai para pendukung Ahok juga membawa-bawa perasaan alias baper, seperti Prabowo yang tersakiti pada saat Pilpres 2014, dikalahkan hanya dengan seorang mantan pengusaha mebel. Apa? Pengusaha mebel bisa mengalahkan Prabowo yang begitu masyhur? Hahaha…

“Saya sudah putuskan, selesai ini, saya akan jadi pembicara saja,” – Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)

Pada akhirnya, Ahok memutuskan apa yang akan dia lakukan kelak. Alih-alih para kaum bumi datar bisa mengatur hidup Ahok, Ahok menetapkan keputusannya secara jelas. Tanpa berasa tertekan sedikitpun, Ahok mengatakan bahwa ia akan menjadi pembicara setelah selesai menjabat menjadi Gubernur DKI Jakarta. Pupuslah harapan para kaum bumi datar yang merasa bisa mengatur seluruh pergerakan Ahok, namun ternyata gagal.

Inilah yang menjadi ketegasan Pak Basuki Tjahaja Purnama yang ditunjukkan di dalam statementnya. Ia bahkan tidak berminat untuk masuk ke partai politik, dan bahkan menjadi menteri dan staf presiden. Ini menjadi sebuah kekecewaan yang dirasakan oleh para Ahokers. Awalnya saya pribadi merasa kecewa dengan keputusan Ahok untuk tidak bermain di dunia politik. Namun lama kelamaan saya berpikir bahwa ini adalah hal yang wajar diambil oleh Pak Ahok.

Dengan tekanan yang begitu besar dialami Pak Ahok selama ia menjadi birokrat, bahkan dari awal karir politiknya di Belitung Timur, ini lumrah. Namun tekanan tersebut bukan dirasakan oleh Pak Ahok, namun tekanan tersebut dirasakan sampai kepada warga Jakarta.

“Nggak masuk partai politik, nggak mau jadi menteri, nggak jadi staf presiden, semua nggak,” – Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).

Maka tidak heran, kekalahan Pak Ahok di dalam pilkada DKI, kita sebut dengan kemenangan Ahok di dalam menghantam seluruh pemikiran kaum bumi datar. Bagaimana mungkin orang yang sudah dihantam begitu banyak dengan isu-isu SARA, dapat tetap mendapatkan kepercayaan rakyat sebesar 42%?

Sempat tersebar bahwa Ahok akan meninggakan Indonesia. Hal ini tentu dipatahkan oleh Ahok. Ahok mengatakan dengan tegas bahwa hidupnya sudah didedikasikan kepada warga Indonesia. Ahok sadar bahwa untuk menjadi menteri, rasanya agak sulit bagi orang ini. Kerasnya hantaman isu SARA sudah membekas di nama Pak Basuki Tjahaja Purnama, membuat dirinya enggan masuk dunia politik.

Sempat juga Pak Ahok ditanyakan mengenai kesediaannya menjadi Wakil Presiden. Ahok juga tidak berniat untuk menjadi wakil presiden. Dengan sindiran yang begitu kencang, ia mengatakan bahwa tidak mungkin seorang kafir menjadi pejabat di sini. Inilah yang menjadi sebuah hal yang tentu menampar pemikiran para kaum bumi datar, pasukan nasi bungkus, bani daster, dan berbagai-bagai ormas radikal.

“Mau jadi gubernur saja susah, ini lagi mau jadi wapres. Kafir mana boleh jadi pejabat di sini, ha-ha-ha…,” – Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)

Sindiran ini merupakan sindiran pamungkas, menutup perhelatannya sebagai birokrat di Indonesia. Rasanya Ahok sekarang sudah begitu merasa nothing to lose karena apa yang ia lakukan, sudah tinggal hitungan bulan, dan itu membuatnya semakin cepat menyelesaikan tugasnya sebagai Gubernur DKI Jakarta.

Di satu sisi, menjadi wapres pada saat ini bukan pilihan favorit. Karena jika nanti Pak Ahok menjabat sebagai wapres, tentu ia akan merasa sangat terhina karena dianggap sebagai pengganti Jusuf Kalla. Hahaha.

Luar biasa apa yang menjadi statement Pak Ahok kepada wartawan di Balai Kota. Mungkin cocok sekali dengan peribahasa “Sekali Ahok menampar, dua tiga pipi terlampaui”. Pipi siapa saja itu? Siapa lagi kalau bukan para pendukung Anies Sandi, Prabowo, Hary Tanoe, Rizieq, Khaththath, dan pentolan ormas radikal?

Sadis kan yang Ahok Katakan?

Betul kan yang saya katakan?

@hysebastian


SHARE ARTIKEL INI AGAR LEBIH BANYAK PEMBACA