Wednesday, May 3, 2017

Kaum Sarungan vs Kaum Gamis


DUNIA HAWA - Melihat video ceramah Habib Riziq di Madinah, ada poin menarik yang dia sampaikan. "Islam di Indonesia ini terbagi dua, yaitu Islam fundamentalis dan Islam tradisionalis. Sekarang ini kedua Islam ini sedang di adu domba. Terbayang ketika Islam fundamentalis dan Islam tradisionalis melebur jadi satu, maka Islam di Indonesia ini akan sangat kuat".

Perkataan Habib Riziq persis seperti apa yang sering saya sampaikan. Hanya bahasa HR kali ini bernada ketakutan.

Kenapa? Karena HR sudah tahu, siapa yang nanti akan jadi musuh besarnya. Layaknya virus, pasti ada anti virus.

Dan -menurut saya- virus radikal yang dibawa Islam fundamental hanya bisa dihadapi dengan Islam tradisional. Ketika akhirnya kedua Islam itu berhadap-hadapan, maka sulit bagi yang radikal memainkan "perang" yang selama ini mereka kuasai yaitu fitnah.

Senjata fitnah untuk menghancurkan karakter lawannya inilah yang selama ini menjadi andalan utama mereka. Mereka memainkan tafsir ayat untuk menyerang pemimpin non muslim. Mereka memainkan isu PKI untuk menghantam Jokowi dan jajaran pemerintahannya.

Tapi ketika para fundamentalis ini berhadapan dengan kekuatan Islam besar tradisional, fitnah apa yang bisa mereka lancarkan? Sama-sama Islam. Paling isu recehan seperti "penjaga gereja" dan lain-lain.

Islam tradisional inilah yang akan menjadi batu penghalang berkembangnya ideologi Islam fundamental yang condong radikal. Masyarakat akan terbelah dua dalam menanggapi "pertarungan" ke dua kubu ini, karena isu yang dipakai sama yaitu agama.

Lalu siapakah Islam tradisional yang HR maksudkan? Tentu saja Nahdlatul Ulama yang secara turun temurun menjaga adat dan budaya ke-Islaman di negeri ini. Islam tradisional inilah Islam pertama di Indonesia, sedangkan yang fundamental baru-baru ini saja ada.

Antivirus radikal memang ada di NU, dalam hal ini saya persempit lagi pengertiannya NU muda yang tergabung dalam organisasi GP Ansor dan Banser. Dan sudah terbukti, Islam tradisional berhadapan head to head dengan fundamental yang berbaju HTI. FPI dan lain-lain di beberapa daerah. Istilah gaulnya adalah kaum sarungan vs kaum gamis.

Tidak ada lagi yang pantas berhadapan dengan kaum radikal itu selain GP Ansor dan Banser. Bahkan dalam kekuatan massa, Ansor dan Banser sejatinya jauh lebih kuat jika dilihat dari jumlah anggotanya.

Hanya sayang sekali, Ansor dan Banser kekurangan satu unsur utama saja dalam peperangan yaitu logistik.

Logistik inilah yang menjadi masalah besar ketika Ansor dan Banser berhadapan dengan kaum radikal. Kubu sebelah memang secara logistik kuat karena mereka ditopang dana dari para politikus dan mafia yang mempunyai kepentingan pribadi.

Sedangkan Ansor dan Banser sementara ini hanya patungan di internal mereka sendiri untuk berjuang. Perbedaan kekuatan logistik ini jauh sekali. Makanya kita lihat si radikal ini bisa mengerahkan sampai ratusan ribu massa, sedangkan Banser dan Ansor hanya bisa maksimal ribuan saja.

Inilah yang seharusnya menjadi perhatian pemerintah dan kita yang perduli. Seharusnya kita memperhatikan logistik mereka yang sedang berperang, jangan sampai mereka kelaparan. Kalau lapar, ideologi mereka mudah dibeli oleh lawan dan ini menjadi bahaya baru bagi negara.

Sementara ini -dan mudah-mudahan sampai negara ini masih berdiri- Banser dan Ansor masih militan. Kita harus jaga mereka jangan sampai mereka kelelahan karena selain berjuang, mereka juga harus berfikir tentang dapur dan kebutuhan pokok lainnya yang mendesak.

Caranya sederhana, ikuti pola bergeraknya lawan. Anda yang pemilik perusahaan menengah dan besar, bisa berpartisipasi untuk menyalurkan sebagian keuntungan perusahaan demi memenuhi logistiknya mereka. Kalau selama ini anda memberi "uang keamanan" untuk FPI misalnya supaya usaha jangan diganggu, mending kasih ke Banser dan Ansor untuk menjaga perusahaan anda.

Bukan Banser dan Ansor mencari uang, tapi seharusnya kitalah yang sadar diri, karena tanpa kekuatan mereka sekarang ini, mungkin kita sudah tidak punya negara lagi.

Lalu dimana peran negara jika kedua kekuatan Islam itu berhadap-hadapan?

Negara cukup menjadi penyeimbang karena ketika negara menghantam yang radikal, mereka malah tumbuh besar dengan isu "negara sudah dikuasai PKI dan Islam harus melawannya". Playing victim adalah keahlian lain mereka selain fitnah dan propaganda.

Kalau kata Metallica, "Figth fire with fire..".

Api yang sudah dikorbankan si fundamentalis radikalis ekstrimis dengan sedikit kumis tipis dan jenggot tebalis, sudah tidak bisa lagi dipadamkan dengan air.

Mereka tidak bisa diajak sopan santun, karena malah menginjak-injak kewibawaan dan keutuhan bangsa kita. Mereka maen propaganda, kita balas propaganda. Mau main intimidasi, balas lagi dengan intimidasi. Hayo, mana yang lebih kuat.

"Jangan-jangan malah pecah bentrokan yang lebih luas.."

Tidak. Karena Banser dan Ansor sudah terbukti penjaga NKRI dan mereka mampu memainkan perannya dengan baik supaya tidak rusuh.

Lagian -asal tahu saja- si fundamentalis itu cuman gertak sambal aja. Mereka kambing yang mengaku singa. Buktinya, ada yang digelari singa Rasulullah, tapi kabur ketakutan dengan alasan umroh waktu dipanggil polisi.

Coba saja nanti Banser ma Ansor keluar taringnya sedikit, mereka lari sampe celananya menguning karena cepirit..

Setuju dengan pandangan saya?

Kalau setuju, kita toast secangkir kopi dulu dan sebarkan...

@denny siregar


Aksi 55 Untuk Menjaga Keadilan Hukum adalah “Omong Kosong”


DUNIA HAWA - GNPF MUI berencana melakukan aksi dengan melibatkan massa cukup banyak agar majelis hakim memberikan hukuman maksimal terhadap terdakwa kasus penistaan agama Basuki T Purnama (Ahok). GNPF MUI sendiri akan melayangkan surat pemberitahuan Aksi 55 tersebut ke Polda Metro Jaya malam ini juga.

“Malam ini, kita konsolidasi menyiapkan Aksi 55 nanti, malam ini juga kita kirimkan surat pemberitahuan aksi 55 ini,” kata Ketua GNPF MUI Ustaz Bachtiar Nasir kepada wartawan, Selasa (2/5/2017).

Dia memastikan, seluruh umat yang merasa terpanggil atau terusik jiwanya akibat ketidakadilan ini pasti akan datang dan ikut Aksi 55.

Seruan aksi 5 Mei itu telah tersebar di media sosial. Dalam seruan aksi berbentuk poster itu tertulis: Alumni 212 dan semuanya hadirilah Aksi Bela Islam 55.

Aksi akan dilakukan usai salat Jumat di Masjid Istiqlal, Jakarta dan dilanjutkan dengan long marchmenuju Mahkamah Agung. Aksi damai dan simpatik ini bertujuan menjaga keadilan hukum. “Ahok penista agama Islam harus dihukum maksimal,” demikian tertulis dalam poster seruan aksi.

Kapitra mengatakan, aksi simpatik itu dilindungi oleh UUD 1945 dan UU nomor 9 tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum, dan UU nomor 12 tahun 2005 tentang konvenan Internasional tentang hak-hak sipil dan politik.

GNPF berulang kali menggelar Aksi Bela Islam sejak kasus penistaan agama mencuat. Aksi Bela Islam pertama digelar 14 Oktober 2016, kala itu ribuan ormas meminta agar aparat penegak hukum menyelidiki kasus dugaan penistaan agama.

Setelah aksi itu, muncul rangkaian Aksi Bela Islam, 4 November 2016 yang lebih dikenal dengan aksi 411, dan aksi 212. Terakhir GNPF menggelar aksi pekan lalu, menuntut agar Ahok dipenjara sesuai dakwaan, yakni lima tahun penjara.

Alasan yang menjadi dasar aksi 55 tampak pemaksaan sebuah kehendak, jika hanya berdasarkan untuk menjaga keadilan hukum, maka bisa dilakukan dengan cara lain, bukan dengan aksi, karena dengan adanya aksi justru sama saja mengintervensi proses hukum itu sendiri. So, percayakan saja dengan proses hukum dan keputusan majelis hakim.

Jika mau bicara keadilan, alangkah baiknya intropeksi diri dulu, bukankah imam besar FPI juga sedang menjalani proses hukum, dan berapa kali hendak diperiksa selalu mangkir, bahkan memunculkan isu adanya kriminalitas terhadap ulama, mau ditembak sniper, sakit dan sebagainya. Semua itu justru menghambat proses hukum, dan tidak berani menghadapi realita, sementara justru Basuki tidak pernah mangkir dan menghormati proses hukum, hingga sampai kepersidangan dan keputusan hakim 9 Mei nanti, dia tidak juga berkeluh kesah, tidak pula dia merengek, apalagi melakukan aksi menuntut pembelaan, karena dia percaya dengan keputusan hukum, dan dia meyakini bahwa dia memang tidak bermaksud sama sekali untuk menodai agama yang dituduhkan kepadanya oleh ormas-ormas fundamental.

Jadi saya secara pribadi melihat dasar dari aksi yang akan dilakukan oleh FPI dengan membawa nama GNPF-MUI untuk menjaga keadilan hukum, jelas sangat keliru dan arogans. Sangat disayangkan MUI yang merupakan lembaga keagamaan justru mengindahkannya, semua ini memperlihatkan bahwa agama bukan saja mengintervensi politik melainkan juga hukum.

Jika Basuki bebas dan dinyatakan tak bersalah, tidak menutup kemungkinan masa aksi 55 akan bertindak barbar, karena sejatinya keinginan mereka adalah Basuki dipenjara, kata aksi damai yang diteriakkan akan kembali menjadi topeng.

Kemenangan Anies Baswedan dalam pilkada DKI bukanlah tujuan akhir dari serangkaian aksi dengan membawa isu SARA, karena tujuan akhir dari mereka adalah menegakkan khilafah, jika kehendak mereka berhasil dengan memenjarakan Basuki, maka ini menjadi kemenangan kedua buat mereka setelah Pilkada.

Busuknya adalah lagi dan lagi aksi ini membawa nama agama dengan pernyataan bahwa mereka menganggap ada permainan hukum yang mengusik rasa keadilan Umat Islam Indonesia, bahkan sebagian dari mereka persidangan Basuki ada drama, dari penodaan agama menjadi penodaan ulama. Hal ini jelas merupakan anggapan yang keji, karena apa yang diinginkan mereka adalah bahwa basuki menodai agama. Dengan demikian agama akan dapat dijadikan “rudal” oleh mereka untuk membangun emosional umat agar mengikuti apa yang mereka inginkan, termasuk mengikuti aksi.

Sementara, para pentolan FPI sendiri sedang terkena kasus yang membawa dirinya ke proses hukum justru tidak mengindahkannya, salah satunya kerap mangkir ketika diperiksa. Aksi 55 nanti beredar kabar akan diikuti oleh 5 juta massa aksi, disisi lain beredar pula kabar bahwa aksi diperkirakan 3,5 juta massa aksi, yang berasal bukan hanya dari Jakarta saja.

Indonesia memang sudah pada titik gawat darurat, serangkaian aksi yang terjadi bukan lagi pada ruang yang strategis, misalnya kepentingan masyarakat luas dalam hal ini menyangkut pendidikan, kesehatan, pekerjaan dan sebagainya. Melainkan isu SARA dan politik identitas. Karena harus kita akui bahwa di rezim Jokowi memang minim gelombang perlawan rakyat dibanding rezim sebelumnya, hal ini karena yang menjadi pokok bagi masyarakat secara pelan tapi pasti mulai terpenuhi, jaminan pendidikan yang berkualitas, kesehatan, membangun pinggiran, disiplin birokrasi dan melayani rakyat dengan baik, menjadikan BUMN sebagai pilar ekonomi dan seterusnya. Tentunya bagi musuhnya, salah satu untuk menjatuhkannya adalah lewat isu SARA yang dimainkan melalui “premanis agama”.

Lebih parah lagi dalam aksi 55 ini, menuntut agar hakim di sidang Basuki memegang kebenaran dan independen. Bagaimana mungkin mereka bisa bicara kebenaran, sementara mereka sendiri tidak menghormati proses hukum yang sedang berjalan, bagaimana mungkin mereka teriak independen, sementara dalam siding pengambilan keputusan nanti, mengajak masyarakat untuk beramai-ramai turun aksi atas nama umat islam.

Peran Negara sangat dibutuhkan dalam hal ini, jika semua ini semakin sering terjadi, maka khilafah di Indonesia tinggal menunggu waktunya saja. Di Indonesia bagi kelompok ini tak perlu menggunakan senjata seperti di Suriah, cukup diserang otaknya saja atau sederhananya pencucian otak, tak bisa dipungkiri bahwa masyarakat Nusantara memang masih kental dunia bakar kemenyan, akhirnya kepentingan publik tidak menjadi penting bila dibandingkan bicara syurga-neraka, maka salah satu untuk menuju syurga dengan tidak memilih pemimpin beda agama, Pilkada DKI adalah salah satu buktinya. Sementara agama sendiri tidak mengindahkannya. Bahkan beberapa hari lalu, hal semacam ini sudah sampai kedalam dunia pendidikan, dimana siswa tidak mau memilih pemimpin OSIS mereka yang berbeda agama.

Peran Negara akhirnya sangat wajar dibutuhkan, dalam konteks keberanian dan ketegasan melawan ormas intoleren. Karena apa yang telah dilakukan FPI atau pun GNPF-MUI bukan lagi dalam ranah demokrasi justru mencederai demokrasi itu sendiri.

Dari serangkaian tulisan ini, maka saya berani mengatakan bahwa Aksi 55 untuk menjaga keadilan hukum adalah “OMONG KOSONG”. Sama halnya Rizieq yang mau di-sniper, jangan-jangan senapannya pakai rakitan pohon pisang, alah anak-anak di pematang sawah.

 @losa terjal


SHARE ARTIKEL INI AGAR LEBIH BANYAK PEMBACA

Ridwan Kamil Membuka Kartu Gerindra Dan PKS, Ternyata Ini Mau Mereka


DUNIA HAWA - Partai pengusung Ridwan Kamil (RK) atau akrab disapa Kang Emil kadung kecewa karena RK dianggap membelot dan mau didukung Partai Nasdem menjelang Pilgub Jabar 2018 nanti.

Setelah pencalonan dari Nasdem terhadap Kang Emil, sontak pendukung kedua partai, yakni Gerindra dan PKS melontarkan beragam keberatan terhadap Kang Emil. Di jagad media sosial, banyak bermunculan komen-komen negatif terhadap Kang Emil dari mulai yang merasa keberatan hingga yang levelnya hoax dan fitnah. Dengan dibumbui di sana-sini, kabar hoax seakan menjadi kenyataan.

Sebelumnya, Kang Emil diam saja menanggapi komen-komen negatif tersebut. Namun, suara-suara miring ini makin membesar dan menggelinding sehingga bersifat personal, semisal tuduhan istri Kang Emil mengikuti pengajian kelompok Syiah, hingga Kang Emil haus kekuasaan. Hal ini tentu tidak boleh dibiarkan. Sebuah berita atau informasi hoax atau bohong yang diulang-ulang akan dianggap sebagai kebenaran. Perlu adanya counter dan klarifikasi terhadap berita-berita bohong semacam ini.

Dan akhirnya Kang Emil sendiri yang membuka kartu kedua partai pendukungnya. Seperti dikutip dari laman merdeka.com, Kang Emil tak terima dituding meninggalkan partai yang berhasil mengantarkannya menjadi orang nomor satu di Bandung, Kang Emil buka kartu penyebab pecahnya kongsi dengan Gerindra dan PKS. Emil menceritakan bahwa dia telah berkomunikasi intensif dengan dua partai tersebut terkait pencalonannya menuju kursi Jabar 1. Namun ternyata kedua partai itu memberikan syarat untuk Emil. Dan dia tak bisa menerima syarat yang diajukan Gerindra dan PKS. Inilah sesungguhnya letak permasalahannya.

“Ada yang bilang Pak Wali kok meninggalkan partai pendukungnya? Tidak meninggalkan, dulu juga komunikasi. Cuma Partai Gerindra mensyaratkan saya jadi kadernya (untuk maju Pilgub Jabar), PKS mendahulukan kadernya,” ujar Emil kepada wartawan di Aula Koperasi Pegawai Kota Bandung (KPKB), Jalan Wastukancana, Selasa (2/5).

Kang Emil menegaskan, pandangan yang menyebut dirinya telah meninggalkan dua partai pendukungnya adalah keliru. Dia tak bisa kembali rujuk dengan Gerindra dan PKS karena mereka mensyaratkan Emil masuk dalam partai dan tercatat sebagai kader.

“Pertama Saya tidak berpartai, dua saya berkomunikasi, tapi partai pendukung terdahulu memberi syarat. Syarat menjadi kader Partai Gerindra Jabar, Saya kan belum memungkinkan situasi itu. Ke PKS, PKS mendahulukan kader. Jadi posisi memang homeless,” ucapnya.Emil mengaku tidak mungkin memenuhi syarat yang diajukan kedua partai itu. Sehingga Emil membuka komunikasi dengan partai lain. Setiap ada kesempatan bertemu dengan partai politik, Ridwan Kamil mengaku selalu mencoba berkomunikasi. Dia mengaku hampir semua partai politik sudah diajak berkomunikasi. Salah satunya Partai Nasdem. Emil akhirnya sepakat dan menerima pinangan partai besutan Surya Paloh itu untuk bertarung di Pilgub Jabar.

Salah satu pertimbangannya karena NasDem melarang Emil masuk dalam partai apapun termasuk NasDem. Sebagai pemimpin daerah Emil harus menjadi milik seluruh masyarakat dan parpol yang ada.

“Dua situasi itu kan situasi yang tidak ideal buat saya. Terus saya diam? Kan engga. Maka Saya ke yang (partai) lain, ternyata Nasdem mau ya (mengusung di Pilgub Jabar),” katanya

Emil sekaligus menampik tudingan dari sejumlah pihak yang menilai dirinya haus kekuasaan terkait pencalonannya dalam Pilgub Jabar. Dia menegaskan bahwa keikusertaannya di Pilgub Jabar bukan semata-mata karena haus kekuasaan. Apalagi dia harus menuntaskan tugasnya lebih dulu sebagai Wali Kota Bandung. “Saya cuma mengingatkan ya, ada tudingan Pak Wali haus kekuasaan. Saya bilang kalau haus kekuasaan pastilah saya pilih bertarung di Jakarta, meninggalkan Bandung. Kalau tahun depan mah bukan soal haus kekuasaan tapi selesai tugas saya (sebagai wali kota Bandung). Jadi tidak meninggalkan kewajiban terhadap Kota Bandung,” ujar Emil.

Dengan kenyataan ini, besar kemungkinan kedua partai pengusung Kang Emil pada pencalonan Walikota Bandung lalu sudah menutup kesempatan untuk mendukung Kang Emil pada perhelatan Pilgub Jabar 2018. Lalu siapa tokoh yang didukung mereka ? Lantas siapa pula yang menjadi pasangan Kang Emil untuk Jabar 2-nya ? Yang jelas, sosok Gubernur Jabar ke depan adalah sosok yang bisa menyelesaikan PR besar yang selama 10 tahun ke belakang tidak pernah terselesaikan. Yakni masalah intoleransi dan kesejahteraan.Belajar dari sosok Ahok, ke depan kang Emil harus lebih tahan cemoohan, hujatan dan fitnah dari mereka-mereka yang kontra dengan Kang Emil

@akhmad Reza


SHARE ARTIKEL INI AGAR LEBIH BANYAK PEMBACA

Jusuf Kalla dan Prabowo Bersekongkol Untuk Menjegal Ahok


DUNIA HAWA - Meskipun mayoritas orang masih belum percaya Ahok bisa kalah karena kinerjanya yang luar biasa, perlahan-lahan namun pasti terkuak faktor-faktor yang membuat Ahok memang harus kalah. Selain faktor isu penistaan agama yang menjerat Ahok, ada faktor lain yang juga membuat Ahok kalah.

Ahok mendapat lawan tangguh dan tidak sebanding. Ternyata banyak tokoh-tokoh  besar yang tidak ingin Ahok menjadi gubernur DKI. Sangat disayangkan diantara tokoh besar tersebut ada nama Jusuf Kalla. Jusuf Kalla yang seorang Wakil Presiden ternyata tidak mampu untuk tetap netral. Sejak dari awal, Jusuf Kalla tidak ingin Ahok menjadi gubernur DKI.

Dirinya pun memiliki peran terhadap pencalonan Anies. Karena dialah, Prabowo kemudian mencalonkan Anies, padahal sebelumnya nama Sandi yang sering disebut menjadi calon gubernur. Kerjasama Jusuf Kalla dan Prabowo diungkap blak-blakan oleh Zulkifli Hasan.

Ketum PAN Zulkifli Hasan menyebut ada intervensi Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) saat penentuan calon di Pilgub DKI. Pihak Istana Wapres menyebut peran JK hanya sebatas konsultasi politik.

Zulkifli Hasan blak-blakan tentang peran JK di saat partai-partai sedang menentukan cagub-cawagub DKI penantang Ahok-Djarot. Dia menyebut awalnya tidak ada partai yang mau mengusung Anies namun telepon JK mengubah kondisi itu.

Zulkifli menceritakan Ketum Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono sempat menawarkan Agus, Ketum Gerindra Prabowo Subianto menyanggupi tawaran SBY, asalkan Sandiaga diusung sebagai calon gubernur. Sandiaga sempat menemui Zulhas, dan menyatakan kesediaannya maju sebagai cawagub, tetapi ia menginginkan SBY bertemu Prabowo terlebih dahulu.

“Nah saya tahu kalau Pak Prabowo, Pak SBY ketemu mesti ada jaminan 5 tahun selesai. Kira-kira itu pak isinya. Sehingga tak jadi ketemu. Sudah putus AHY. Di sini ya udah Sandi sama Mardani. Jam 12 malam sampai jam 1 pagi itu ada intervensinya Pak JK. Saya kan suka terus terang. Pak JK boleh nggak ngaku, saya dengar kok telponnya. Pak JK lah yang meyakinkan sehingga berubahlah,” kata Zulkifli sebelum membuka sosialisasi 4 pilar di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (2/5/2017).

Menanggapi pernyataan Zulkifli Hasan, juru bicara Jusuf Kalla memberikan komentar.

“Pak JK memberi pertimbangan dalam momen politik kebangsaan yang penting dan tentu layak didengarkan karena pengalaman dan intuisinya yang tajam,” ujar juru bicara Wapres JK, Husain Abdullah saat dikonfirmasi detikcom, Rabu (5/3/2017).
Husain mengatakan, maksud dari pernyataan dari Zulkifli Hasan tersebut adalah JK memberikan konsultasi politik terhadap Prabowo Subianto. Apalagi, posisi JK yang menjabat sebagai seorang wapres tidak memungkinkan mencampuri jalannya sebuah kontestasi politik di Indonesia.

“Memberikan pertimbangan politik yang logis, dalam kapasitas sebagai politisi senior,” kata Husain.

“JK adalah politisi senior yang dicintai banyak orang. Jadi wajar saja memberikan pertimbangan,” sambungnya.

Jawaban juru bicara JK sama sekali tidak menghilangkan dugaan bahwa JK dan Prabowo memangtelah bersepakat untuk menjegal Ahok. Padahal, JK adalah pendamping Jokowi dimana Jokowi adalah kader PDI P yang mengusung Ahok.

Bagaimana perasaan Jokowi ketika mengetahui bahwa Wakilnya justru bekerjasama dengan Probowo untuk menjegal Ahok? Menurut saya ini sikap yang kurang etis. Terlebih, Prabowo adalah rival Jokowi di pilpres 2014, serta di Pilpres 2019.

Bahwa JK memang lebih mendukung Anies silahkan saja. Namun ketika JK tidak bisa menahan diri untuk tetap bersikap netral, hal ini sangat disayangkan mengingat jabatan JK yang sebagai Wakil Presiden Jokowi. Seharusnya, sebagai Wakil Presiden, JK bisa memposisikan diri dan tidak ikut campur urusan Pilkada DKI.

Fakta ini semakin memperkuat prediksi bahwa di Pilpres 2019, JK sudah tidak berada di kubu Jokowi lagi. Ada kemungkinan beliau menyeberang ke kubu Prabowo. Melihat sikap-sikapnya selama ini, JK memang terlihat kurang kompak dengan Jokowi. Berbeda dengan Jokowi dan Ahok saat menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, mereka terlihat sangat kompak.

Fakta ini yang harus diperhatikan oleh presiden Jokowi. Jokowi harus menyadari bahwa ada gejala-gejala kurang baik yang ditunjukkan oleh sikap JK. Jokowi juga harus secepatnya mempertimbangkan sosok yang akan mewakilinya di Pilpres 2019 nanti. Terlebih jika JK sampai menyeberang ke kubu SBY, maka bukan mustahil kekuatan dan Kelemahan Jokowi akan dibeberkan oelh JK ke Prabowo.

Belum lagi di kubu Prabowo juga ada Anies Baswedan yang tentu sakit hati karena diberhentikan oleh Jokowi dari jabatannya sebagai menteri pendidikan. Tantangan Jokowi di pilpres 2019 semakin berat. Lawan-lawan politik Jokowi semakin lihai. Ketika di tahun 2014 isu sara’ gagal membendung Jokowi, di 2017 ternyata mampu menjegal Ahok. Hal ini yang perlu diwaspadai oleh Jokowi.

@saefudin Achmad


SHARE ARTIKEL INI AGAR LEBIH BANYAK PEMBACA

Buruh Pembakar Karangan Bunga Ahok Akhirnya Minta Maaf



DUNIA HAWA -- Di artikel saya sebelumnya, ada dijelaskan pihak kepolisian sedang mengusut insiden pembakaran karangan bunga yang melibatkan buruh pada unjuk rasa hari buruh tanggal 1 Mei lalu. Kasus ini sedang diselidiki, apakah ada unsur pidana atau apakah ada provokator yang memanas-manasi para buruh untuk membakar karangan bunga untuk Ahok-Djarot.

Dengan sok gaya, para buruh (entah siapa) membakar karangan bunga. Bunga hanya membakar, mereka juga memberi ultimatum, jika dalam 3 hari tidak segera dibersihkan, maka mereka akan membersihkan sendiri karangan bunga tersebut. Mungkin mereka merasa di atas angin karena bermodalkan massa yang banyak. Apa pun berani dilakukan dan diucapkan kalau sedang ramai. Masalahnya beranikah kalau hanya seorang diri dan berkoar-koar seperti itu?

Rasanya tidak. Karena menurut Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) DKI Jakarta Jupan Royter mengatakan buruh yang melakukan pembakaran telah meminta maaf. Mereka yang melakukan pembakaran tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Logam Elektronik dan Mesin (FSP LEM). “Ketua FSP LEM-nya sudah minta maaf,” kata Jupan.

Baru juga sehari, sudah minta maaf. Apa karena ketakutan diusut kasusnya? Makanya jangan kebablasan, mentang-mentang bermodal massa yang banyak lantas merasa kuat dan tak tertandingi. Berani karena ramai, gemetar karena sendirian. Hanya karena emosi dan benci pada Ahok, bunga yang tidak salah pun jadi korban pembakaran. Ngamuk-ngamuk padahal saat hujan, mereka malah menggunakan papan bunga untuk berlindung. Dasar tidak tahu diuntung. Lihat foto di bawah.


Begitulah kalau orang kalap yang hanya main emosi semata tanpa mempertimbangkan logika berpikir yang benar. Demi menuntut hak, ditambah dengan kebencian karena hak tak kunjung dikabulkan, emosi pun meledak. Garang, merasa kuat, bahkan main paksa dan intimidasi seolah tidak ada bedanya dengan sifat barbar. Begitu kasus mau diusut dan mau diciduk, mewek dan segera minta maaf. Begitu mudahnya orang bertransformasi dari macan kelaparan menjadi macan ompong kalau sudah kalah gertak.

Jupan mengatakan alasan pembakaran disebabkan karena buruh merasa kecewa terhadap Basuki dan Djarot karena urung meningkatkan upah. Sebelumnya para buruh mengaku sengaja membakar karangan bunga karena kesal dengan kebijakan Ahok-Djarot. “Karena UMP tidak naik-naik sampai sekarang. Kita mau lihat bagaimana sikapnya. Ini simbol sebagai bersih-bersih,” kata Sekjen Federasi Serikat Pekerja Logam Elektronik dan Mesin (FSP LEM) SPSI Idrus.

Dikatakan olehnya pembakaran karangan bunga adalah bentuk kekesalan para buruh yang upahnya tidak kunjung dinaikan oleh pemerintahan Ahok-Djarot. Terlebih, upah di Jakarta lebih rendah bila dibandingkan dengan daerah lainnya. “Ini kekesalan kami yang selama ini tuntutan kami tak didengar, masa kalah dengan Bekasi, Karawang, Cikarang,” ujar dia.

Ini juga namanya tak tahu bersyukur. Upah di DKI Jakarta termasuk tinggi dan lebih tinggi dari daerah lainnya di Indonesia. Jadi maunya upah paling tinggi se-Indonesia? Permintaan macam apa itu? Maunya gaji paling tinggi, fasilitas terbaik, dan main ancam-ancam kalau tidak terpenuhi. Kalau tidak senang, sebentar lagi Anies-Sandi akan menjabat. Suruh aja mereka yang urus, saya mau lihat sejauh apa kenaikan upah buruh. Lagian buruh yang tergabung dengan FSP LEM SPSI telah melakukan kontrak politik dengan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta terpilih Anies-Sandi. Bahkan, kontrak politik itu ditandatanganinya pada saat masa kampanye berlangsung. Menurut mereka Anies sudah janji tidak gunakan PP 78.

Kalau sudah begitu, tidak ada alasan lagi bagi buruh menuntut ini itu pada Ahok. Lagipula sejak kapan Ahok jadi bos perusahaan yang bisa seenaknya naikkan upah? Semua harus diperhitungkan matang-matang, dan menguntungkan kedua belah pihak. Buruh maunya menang sendiri tanpa melihat sisi dari perusahaan atau pabrik. Para buruh mungkin tidak tahu negara tetangga seperti Vietnam sedang menjadi incaran banyak investor karena berbagai kebijakan yang menguntungkan. Maka jangan heran kalau nanti perusahaan dan pabrik pada pindah ke sana, karena buruh di sana tidak banyak ngoceh seperti di sini, juga tidak seperti anak-anak yang kalau tidak dipenuhi keinginanannya, langsung main kasar.

Mereka berharap pada Anies mengenai ini? Menurut saya ini lucu, dan ujung-ujungnya mereka bakal gigit jari kecewa. Para buruh datang dengan mindset gaji/upah bisa naik terus tanpa batas. Sejauh apa gaji buruh, ditambah lagi keinginan mereka yang minta ini itu seolah mereka ini direktur atau CEO yang harus diberi banyak fasilitas? Perusahaan nothing to lose, kalau sudah tidak sanggup, paling pindah ke kota atau negara lain. Selesai. Buruh? Silakan jadi pengangguran. Salah siapa?

Bagaimana menurut Anda?

@xhardy


SHARE ARTIKEL INI AGAR LEBIH BANYAK PEMBACA