Sunday, April 30, 2017

Agama adalah Akal


DUNIA HAWA 

"Analogikan begini..."

Kataku sambil mengambil secangkir kopi yang terhidang. Aku dan temanku berbincang tentang banyak hal dan kali ini masuk pada bab kesempurnaan.

"Ketika seseorang itu kaya setengah-setengah, maka ia akan condong memamerkan kekayaannya kepada orang lain. Bahkan ketika ia bergaul dengan orang yang kekayaannya ada di atasnya, orang itu tidak segan untuk membungkus dirinya dengan materi yang sebenarnya diatas kemampuannya.."

"Contohnya?" Kata temanku menyimak dengan serius..

"Contohnya, ia sebenarnya hanya mampu beli mobil kijang. Tetapi karena sekelilingnya memakai mobil alphard, ia memaksa dirinya untuk membeli mobil itu yang harga bahkan cicilannya diatas kemampuan pendapatannya.

Akhirnya ia terbeban hutang besar dan untuk membayar hutangnya, ia berhutang lagi. Begitu terus sampai ia akhirnya jatuh bangkrut..

Disini kita belajar bahwa orang yang kayanya setengah-setengah, kekayaannya belum sempurna. Karena belum sempurna, ia menjadi labil dan selalu ingin menumpuk harta supaya dipuji dan diakui..

Beda dengan orang yang kekayaannya sempurna, baik secara materi maupun secara jiwa. Ia tetap stabil karena ia mengerti, tidak ada kekayaan yang lebih besar dari rasa cukup. Orang seperti ini merdeka dalam hidupnya dan tidak terbeban apapun.."

Temanku mengangguk tanda mengerti. Dan akhirnya kami sampai pada titik akhir.

"Begitu juga dengan beragama..

Orang yang beragama setengah, merasa perlu menunjukkan dirinya kepada orang lain. Ia terlalu cepat membungkus dirinya dengan aksesoris keagamaan, padahal kesadarannya belumlah sempurna.

Karena itu wajar kita melihat bahwa banyak orang yang sibuk dengan aksesoris agama, berperilaku berlawanan dengan nilai agamanya. Ia pakai gamis, tapi berwajah bengis. Ia kemana-mana berpeci, tapi mencuri. Ia berjilbab, tapi sombongnya menguat.

Ia belum sampai pada kesadaran sempurna, hingga dia menjadi labil. Mencari pengakuan atas keimanannya tapi menunjukkan perilaku sebaliknya..

Padahal, ketika orang itu sudah berani menggunakan aksesoris keagamaan -contoh aksesoris wanita yang diakui dalam Islam seperti jilbab- tanggung-jawabnya sangat besar pada agamanya. Karena ia harus menjaga agamanya dari fitnah. Jangan sampai agamanya sendiri tercoreng karena perbuatannya yang buruk".

Temanku yang memakai jilbab langsung mengkerut, merasa tersindir. Padahal aku tidak menyindir siapapun, hanya bicara tentang sebuah konsep tanpa menghakimi. Aku ketawa melihat wajahnya berubah.

"Memangnya kesadaran sempurna dalam beragama itu apa ?" Tanyanya cemberut.

Kali ini aku tersenyum. Teringat pesan ayahku sewaktu ia masih hidup, "Tugasmu di dunia ini adalah berfungsi kepada manusia lain. Tanpa itu, hidupmu tidak ada gunanya. Kamu jadi manusia yang merugi".

Kucoretkan pulpenku di atas selembar tisu. Kuserahkan kepadanya dan ku seruput kopiku dengan nikmatnya.

Temanku membaca tulisanku. "Puncak dari ibadah adalah akhlak.."

Sore itu mendung tebal, tampaknya akan turun hujan..


"Agama adalah akal. Tidak beragama orang yang tidak berakal.." Imam Ali as.

@denny siregar


Ribuan Karangan Bunga Itu Perlahan Menghancurkan Kebencian


Perlawanan Silent Majority Terhadap Sentimen Primordial


DUNIA HAWA - Masih ingat dengan puisi Bunga dan Tembok karya Wiji Thukul, puisi yang mengobarkan semangat perlawanan dan membuat bergidik bulu kuduk penguasa? Tergambar secara jelas bahwa Wiji Thukul menggunakan bunga sebagai simbol perlawanan yang elegan terhadap rezim Orba.

Jika dibawa ke konteks sekarang, rasanya bait terakhir dari puisi itu menggambarkan situasi terkini di Ibu Kota. Yakni hadirnya ribuan karangan bunga bertebaran di Balai Kota Jakarta hingga meluber ke luar dan direncanakan akan diletakkan di sekeliling Monumen Nasional.

Sebuah fenomena yang menimbulkan keheranan di mata media asing seperti ABC News yang melontarkan pertanyaan, "Apakah politisi Australia bisa mengalami hal seperti ini? Politisi Indonesia saja tidak (kecuali Basuki-Djarot)". Karangan bunga yang datang dari berbagai kalangan ini menjadi bahasa universal untuk melawan segala macam bentuk kebencian, kedengkian, amarah, permusuhan yang telah ditimbulkan akibat Pilkada DKI Jakarta.

Namun, sangat disayangkan aksi seperti ini dicap sebagai "pencitraan murahan", sebuah ucapan yang keluar dari seorang politisi bermulut hina yang berada pada puncak pimpinan parlemen.

Peranan bunga sebagai peredam konflik ataupun simbol perlawanan memiliki beberapa bukti sejarah, salah satunya terlihat dari Revolusi Bunga yang terjadi di Portugal tahun 1974. Revolusi ini menjadi aksi "kudeta tak berdarah" rezim pemerintahan diktator yang telah berkuasa selama 50 tahun lebih. Pada waktu itu bunga anyelir (carnation) begitu melimpah di pasar bunga kota Lisbon.

Bunga-bunga itu diberikan oleh warga sipil kepada pasukan militer dengan menyelipkannya di setiap selaras senapan. Rezim yang bersangkutan pun menjadi tersadar bahwa revolusi bunga tidak bisa dihindari lagi sehingga kekuasaan pun dialihkan secara damai tanpa konflik berdarah.

Di sisi lain lahirnya gerakan The Hippies di Amerika Serikat pada pertengahan 1960-an juga melakukan "perlawanan" dengan menggunakan bunga. Istilah "Fight with Flower" menggema pada waktu itu, dikarenaka bunga melambangkan rasa kasih, lembut serta simbol anti-kekerasan. Walhasil, gerakan mereka menjadi budaya alternatif tersendiri di Amerika.

Ribuan karangan bunga yang berjejer baik di dalam Balai Kota hingga Monas merupakan "ucapan" terima kasih yang tulus atas peranan pasangan petahana Basuki Tjahaja Purnama-Saiful Djarot yang telah membawa perubahan nyata di Ibu Kota meskipun kalah dukungan pada putaran ke-2.

Sebuah aksi yang juga mencerminkan ironi ketika yang kalah mendapat begitu banyak "ucapan" rasa suka cita sekaligus rasa sedih karena masih belum siap kehilangan pasangan petahana yang mampu bekerja nyata merubah Jakarta menjadi kota yang lebih baik.

Karangan bunga yang ada juga menjadi suara silent majority yang selama ini muak dan jijik dengan berbagai aksi kebencian dan permusuhan yang diakibatkan "permainan" simbol-simbol keagamaan.

Mulai dari minuman Equil yang dinyatakan kafir karena diminum Basuki, Hotel Alex*s yang dianggap berornamen PKI, uang baru yang dianggap bermuatan palu arit, Sari Roti yang tidak mendukung aksi berjilid-jilid, Jenazah yang terancam tidak disalatkan jika memilih pasangan petahana, labelisasi pendukung petahana dengan cap kafir, munafik, komunis, antek asing, antek PKI membuat pilkada DKI menjadi sangat kotor.

Terlebih lagi ketika beberapa masjid diselipkan dengan pesan-pesan bermuatan politis yang menyudutkan pasangan petahana dan menguntungkan pasangan lain.

Kehadiran silent majority beserta tindak tanduknya memang tidak bisa diperkirakan secara jelas. Kehadiran mereka diibaratkan layaknya hantu yang secara tiba-tiba muncul dengan aksi yang mengejutkan. Meskipun di satu sisi, masyarakat ibu kota maupun di luar yang mencintai kinerja petahana dicap "gagal move on" tidak bisa terbantahkan dikarenakan mereka sadar betul Jakarta mulai bangun.

Birokrasi yang ruwet layaknya benang kusut diurai sedemikian rupa lewat birokrasi satu pintu. Anggaran yang kerapkali dikorup oleh tikus-tikus kerah putih, disegel dengan e-budgeting yang terintegrasi dengan pengawasan KPK dan BPK. Transportasi yang kacau balau diperbaiki dengan meningkatkan jumlah armada dan koridor Transjakarta, pembangunan MRT dan LRT.

Keluarga dan anak-anak yang tidak mampu memperoleh fasilitas pendidikan dan kesehatan yang baik diberikan Kartu Jakarta Pintar dan Kartu Jakarta Sehat. Minimnya ruang terbuka bagi publik ditambah dengan keberadaan berbagai RPTRA yang dipoles serta dilengkapi fasilitas lengkap mulai fasilitas bermain bagi anak, tempat ibadah, hingga ruang bacaan. Cukup banyak sebenarnya program-program petahana yang bisa dirasakan dampaknya oleh masyarakat Jakarta.

Riset yang dikeluarkan oleh Harian Kompaspaska pilkada menunjukkan sebuah hasil yang mencengangkan, mayoritas peserta pilkada memilih dikarenakan alasan kesamaan identitas sosial dalam hal ini keagamaan. Temuan itu terkesan kontras dikarenakan selama ini Jakarta lebih dikenal dengan masyarakatnya yang memiliki rasionalitas cukup tinggi dalam persoalan politik, khususnya menyangkut pemilihan umum.

Di sisi lain heterogenitas dan penghargaan atas keberagaman merupakan nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat DKI sebagai miniatur Indonesia itu.

Di sisi lain faktor ujaran kebencian begitu marak tersebar di linimasa, terutama dari mereka yang tidak suka dengan petahana yang menjadi "penista agama". Validitas tersebut terbukti melalui riset Wahid Foundation yang menyebutkan 60 persen membenci kelompok tertentu bergaris latar keturunan Tionghoa, non-Muslim, komunis dan lain-lain. Lebih dari 80 persen juga tidak suka bertetangga dengan kelompok yang dibenci.

Menjadi pertanyaan bersama yang patut direnungkan, mengapa warga DKI Jakarta yang hidup kosmopolit begitu mudahnya takut dan terhasut oleh isu politik sektarian semacam itu? Menyuburkan isu sektarianisme dan ekstrimisme di Jakarta kali ini sepertinya berhasil, layaknya menumpahkan bensin pada api kecil yang telah menyala. 

Aksi primordialistik ini menjadi momok menakutkan yang bisa mengancam keamanan dan kebhinnekaan negeri ini. Hal itu dikarenakan kemajemukan Indonesia sebagai sebuah negeri membuat bangunan kekuasaan politis harusnya tidak dibangun pada garis primordial tunggal. Langkah menajamkan sentimen primordial via media sosial selama pilgub Jakarta terbilang ampuh.

Menurut Antropolog, Geger Riyanto, penajaman primordial membuat kelompok terpecah menjadi dua kubu, kubu pelaku akan membuat kubu lain menjadi tidak dihargai dan hidup di bawah ketakutan.

Di sisi lain pihak penebar kebencian baik yang berasal dari individu maupun kelompok seperti ormas-ormas vigilante ala FPI merupakan gerombolan yang dipenuhi rasa dengki itu ikut menajamkan aksi itu di lapangan. Seperti yang dikutip oleh James Kristiadi, pimpinan gerombolan domba itu bergerak membangun ideologi kebenaran semu yang disuarakan secara kontinu sehingga membuatnya seolah menjadi "kebenaran universal" yang diyakini bersama.

Hal itu terbukti dengan adanya ancaman dari oknum tertentu lewat berbagai medium.

"Bayangkan usai mencoblos pasangan penista agama, nyawa kamu dicabut dan masuk neraka!" begitulah sebuah ancaman konyol yang sempat muncul. Ancaman itu terkadang membuat orang merasa takut. Hal-hal seperti itu membuat gerombolan ekstrem ini bisa menghalalkan segala cara untuk menghancurkan tatanan keindonesiaan.

Terlepas dari itu semua, suara-suara ribuan karangan bunga tadi melawan berbagai teriakan "bunuh, gantung, gorok, revolusi" kelompok ekstrimis yang menyalahgunakan agama demi tujuan politis. Simbol perlawanan terhadap pihak pihak berkepentingan yang mengangkangi kemurnian pilkada DKI dan penyelesaian kasus hukum yang sedang dilakukan.

Bunga menjadi suara-suara dari mereka yang berhati lembut dan cinta damai melawan mereka-mereka yang getol menimbulkan onar bahkan mengancam merontokkan NKRI dengan memanfaatkan momentum proses hukum petahana.

Bunga juga menjadi bentuk harapan kepada pemimpin berikutnya untuk setidaknya mempertahankan atau meningkatkan kualitas ibu kota menjadi lebih baik. Mengingat sebagian masyarakat Jakarta khususnya menengah ke bawah merasa terpinggirkan oleh kebijakan petahana tanpa mengedepankan proses dialog yang demokratis.

Cita-cita pemimpin baru dalam hal ini, Anies-Sandi yang mengutamakan jalan dialog dalam penyusunan kebijakan patut diharapkan untuk terwujud selama lima tahun ke depan.

Rasanya bodoh ketika bunga-bunga yang dikirimkan atas niat tulus penuh rasa sayang harus dipandang sebagai rencana pencitraan yang penuh rekayasa. Padahal bunga-bunga yang dikirimkan menjadi pengingat bahwa ujaran kebencian bukanlah karakter bangsa Indonesia yang plural dan menjunjung tinggi kebhinnekaan.

@dylan Aprialdi


White Helmet, Organisasi "Pura Pura" Kemanusiaan


DUNIA HAWA - Beredar viral foto seorang anak kecil dengan tubuh berdarah akibat rumahnya hancur dibom dan duduk diam di kursi oranye.

Foto itu diklaim sebagai korban pengeboman pasukan Bashar Assad Suriah. Dengan mudahnya gambar dan video itu beredar dimana2 dengan tujuan akhir mengutuk kekejaman Bashar Assad.

Perang propaganda untuk membentuk stigma kekejaman Bashar semakin kencang. Salah satunya dilakukan oleh organisasi hak asasi manusia yang diberi nama White Helmets atau Helm Putih.

White Helmets ini selalu ada saat kejadian sebagai yang paling cepat. Bahkan ketika terjadi pemenggalan oleh ISIS kepada warga Suriah setempat, mereka sudah ada disana dan bertindak sebagai tim rescue dengan membungkus jasad.

Mereka tampak sebagai pahlawan hak asasi manusia. Tapi sebenarnya mereka adalah teroris berbaju LSM. Tugas mereka adalah melakukan propaganda untuk membangun stigma, menanamkan kebencian setahap demi setahap dan akhirnya menghembuskan isu sektarian.

WH didirikan pada Maret 2013 di Turki dan dipimpin oleh James Le Mesurier, mantan agen intel Inggris dengan rekam jejak di berbagai kawasan konflik (Bosnia, Kosovo, Irak, Lebanon, Palestina). Dana awal pendirian WH adalah 300 ribu dollar dan selanjutnya menerima donasi jutaan dollar (suplai logistik disediakan oleh Turki).

Telegraph menyebut Inggris telah menggelontorkan 3,5 juta pound. USAID memberi 16 juta dollar. Mesurier juga pernah menjadi staf di perusahaan keamanan swasta yg beroperasi di Irak, Olive and Good Harbour, yang terlink dengan BlackWater.

Model propaganda seperti ini, LSM berbaju HAM dengan rasa teroris, ciri khas perang media untuk membunuh karakter lawan yang ingin mereka kuasai. Mereka sudah menghajar Libya, menguasai Irak dan sekarang bermain di Suriah.

Perhatikan saja cara media internasional seperti BBC, CNN dan lainnya seirama dengan model pemberitaan media radikalis dalam menentukan siapa musuh.

Jaringan mereka kuat, berdana besar dan terprogram. Bahkan rencananya, White Helmets akan diberikan hadiah Nobel Perdamaian untuk menguatkan posisi mereka di mata dunia internasional.

Kenapa saya harus mengangkat ini ? Karena beginilah yang sedang dan akan mereka lakukan di Indonesia.

Ingat kasus Freddy Budiman yang tiba2 menjadi malaikat, Santoso yang mendadak menjadi pahlawan dan pembakaran Vihara di Tanjung Balai ?

Model pemberitaan propaganda yang ujung2nya mengangkat isu sektarian dan menjatuhkan kewibawaan aparat juga pemerintah ini adalah pola yang mudah dikenal sebagai lapisan awal untuk membentuk benturan.

Diangkat dulu kebanggaan agama sebagai mayoritas, dimunculkanlah tokoh sebagai pahlawan dan berujung pada benturan2 konflik sesuai peta di masing2 wilayah.

Ketika itu terjadi, akan datang LSM2 yang mengatas-namakan HAM dengan tujuan meningkatkan kebencian kepada pemerintah melalui propaganda mereka di media, baik mainstream maupun sosial.

Jadi, kenali pola mereka, modus mereka dan jangan terpancing oleh aksi mereka dalam menguras emosi melalui media. Hilangkan sekat2 dan kebanggaan suku, ras juga agama sehingga tidak mudah mereka membenturkan kita. Dan terakhir, lawan propaganda mereka dengan propaganda juga.

Tulisan ini saya angkat kembali karena beredar kabar sudah dibentuknya organisasi White Helmets di Indonesia.

Adanya mereka disini adalah indikasi bahwa negara kita di perhitungkan akan rusuh sebentar lagi dan LSM2 Internasional akan masuk melalui bantuan kemanusiaan sekaligus memperbesar kerusuhan..

Seperti yang dilakukan White Helmets di Suriah.

@denny siregar