Wednesday, April 26, 2017

Kekalahan Ahok Adalah Kerugian Besar Bagi Rakyat Jakarta


DUNIA HAWA - Sejak Ahok Djarot sudah dipastikan kalah dalam Pilkada DKI 2017, baru sekarang saya mampu menulis artikel lagi. Jujur saya kget, saya tidak menduga sebagian besar warga Jakarta ternyata sebegitu bodohnya dalam memilih gubernurnya. Ternyata status sebagai ibukota tidak menjamin warganya menjadi lebih pintar daripada daerah lainnya.

Kembalinya Mental Majikan di Birokrasi


Awalnya saya mengira proses penyesalan warga Jakarta akan dimulai setelah satu tahun Ahok berhenti dari jabatannya karena sudah ada kebiasaan bahwa 100 hari menjabat biasanya merupakan periode bulan madu di mana rakyat biasanya masih berpandangan positif terhadap pejabat yang terpilih. Namun saya salah besar. Proses penyesalan warga Jakarta ternyata tidak perlu waktu lama, bahkan saat ini sudah berlangsung.

Seorang oknum PNS yang marah-marah terhadap warga menjadi viral. 


Bahkan oknum PNS ini menantang untuk dilaporkankan ke Ahok, dia tidak takut. Dia pantas untuk tidak takut, apalagi sekarang karena dengan kekalahan Ahok Djarot maka Ahok tidak berhak membuat keputusan penting, bahkan masalah mutasi pun bisa dipermasalahkan.

Saya sebenarnya tidak terlalu kaget kalau hal seperti ini terjadi, cuma yang saya kagetkan adalah betapa cepatnya perubahan sikap dan mental PNS. Ketika di bawah pengawasan Ahok, PNS bekerja sebagai pelayan warga yang telah membayar gajinya. Namun saat ini telah berubah dengan drastisnya menjadi layaknya seorang majikan yang minta dilayani oleh rakyat. Birokrasi sudah mulai kembali ke jaman sebelum era Jokowi dan Ahok.

Penyesalan Yang Selalu Datang Terlambat


Apakah Gubernur Anies akan menindak PNS seperti ini? Saya sangat ragu karena janji si Anies adalah dia akan merangkul semua pihak dan mencela Ahok karena dianggap mengintimidasi PNS. Anies malah akan memanjakan PNS supaya loyal terhadap dia, bukan terhadap rakyat.

Benar-benar disayangkan, sebenarnya warga Jakarta sudah memiliki seorang Gubernur bermental pelayan rakyat, malah ditukar dengan seorang Gubernur yang bermental majikan. Bagaimana tidak bermental majikan? Datang ke balaikota saja pakai helikopter. Kalau terlambat, tinggal serobot jalur busway. Bisa diibaratkan, warga Jakarta menukarkan sebatang emas murni yang bentuknya tidak terlalu indah dengan sebatang besi berkarat yang bentuknya indah. Maaf, kalau ini tidak bisa dikatakan sebagai bentuk kebodohan, saya tidak tahu lagi. Karena sejelek-jeleknya bentuk emas, harganya jauh lebih tinggi daripada besi sebagus apapun bentuknya. Layaknya emas yang tidak akan pernah berkarat, Ahok akan tetap mendapat tempat di hati rakyat Jakarta yang mengakui prestasinya. Sedangkan Anies dan Sandiaga, bagaikan besi yang saat ini bentuknya indah namun sudah hukum alam bahwa cepat atau lambat besi akan berkarat dan bentuk indah tersebut akan hilang, barulah rakyat Jakarta yang memilih pemimpinnya tanpa menggunakan otak akan sadar kegilaan mereka menukar emas dengan besi. Hal ini akan tercatat di dalam sejarah sebagai salah satu kejadian yang paling memalukan bagi rakyat Jakarta.

Saya yakin seyakin-yakinnya, akan tiba waktunya foto yang mirip seperti di atas ini akan tersebar di wilayah Jakarta untuk menjadi pengingat betapa bodohnya sebagian besar rakyat Jakarta dalam Pilkada DKI 2017.

Belum Mundur Saja Rakyat Sudah Rindu Ahok


Dalam sejarah pemerintahan DKI, bahkan mungkin di seluruh pemerintah daerah di Indonesia, belum pernah ada pejabat yang kalah dalam pilkada namun masih mendapat tempat di hati rakyatnya, bahkan sejak Ahok Djarot dipastikan kalah, karangan bunga terus berdatangan, bahkan karena karangan bunga yang datang tidak berhenti menyebabkan ruang terbuka di dalam Balai Kota Jakarta tidak cukup lagi menampung karangan bunga yang terus berdatangan itu sehingga harus diletakkan di trotoar. Kebiasaan selama ini, para pejabat yang mengirimkan karangan bunga kepada pemimpin baru yang terpilih, sedangkan yang terjadi saat ini malah sama sekali terbalik, malah petahana yang kalah dalam Pilkada DKI yang mendapat karangan bunga dari rakyatnya. Jika Ahok tidak dicintai rakyat Jakarta yang menggunakan otaknya, tidak mungkin rakyat Jakarta mau mengirimkan karangan bunga kepada Ahok sebagai apresiasi mereka.Bahkan dari hari ke hari, jumlah pengunjung yang mendatangi Balai Kota Jakarta makin banyak sampai pihak protokoler kewalahan Pihak protokoler kaget melihat warga yang datang makin hari makin banyak  Bahkan warga sudah mulai datang sejak jam 06.30 WIB dan minimal ada 500 orang yang datang dalam satu hari saja. Bahkan karena banyaknya yang datang untuk berfoto dengan Ahok, sesi pengaduan tidak bisa dilakukan. Pihak protokoler sudah meminta agar warga minta agar tidak berfoto lagi karena Pak Ahok masih akan menjabat sampai Oktober 2017, namun warga tidak peduli dan tetap ingin berfoto dengan Pak Ahok. Mereka kuatir tidak ada lagi kesempatan berfoto karena mereka bisa melihat sendiri bahwa pengunjung Balai Kota Jakarta bukannya makin sedikit dengan kekalahan Ahok, malah sebaliknya makin hari makin banyak sehingga peluang untuk berfoto dengan Ahok otomatis juga akan makin menipis. Ahok telah merebut hati rakyat Jakarta, bahkan rakyat di luar Jakarta dengan prestasinya yang luar biasa. Apakah Gubernur DKI berikutnya bisa seperti itu? Saya sama sekali tidak yakin. Benar-benar kerugian besar untuk rakyat Jakarta.

@tatsuya


1200 Karangan Bunga Untuk Ahok-Djarot, Bukan Tipu-Tipu Apalagi Pencitraan


DUNIA HAWA - Fenomena Ahok seakan tak ada habisnya. Ia adalah sosok yang dicintai dan dibenci di saat yang sama. Ia juga sosok yang dipuja sekaligus dihujat di saat yang sama. Kehadirannya menjadikan kontestasi politik di DKI Jakarta lebih meriah dari yang sebelum-sebelumnya. Tak ayal, partisipasi pemilih di DKI pun mencapai 78%, tertinggi di Indonesia.

Fenomena Ahok membuat banyak orang yang awalnya alergi terhadap politik, menjadi fasih bicara politik. banyak orang mulai membicarakan politik. Mulai dari warung kopi, warung Indomie (Warmindo), restoran, taman-taman bermain, tempat nongkrong anak muda, hingga tempat nongkrong mewah sekalipun dilanda demam Pilkada DKI. Ini fenomena yang menarik dalam perkembangan demokrasi.

Catatan sejarah membuktikan bahwa demokrasi berkembang lewat diskursus-diskursus yang terjadi di warung-warung kopi dan ruang-ruang publik. Diskursus yang merupakan bagian dari aktivisme politik membuat masyarakat menjadi melek politik. Dengan demikian, partisipasi publik akan semakin tinggi. Publik yang melek politik akan berpartisipasi tidak hanya pada memenangkan pasangan calon, tetapi juga mengkawal pemerintahan terpilih.

Meskipun demikian, satu hal yang disesalkan adalah wacana primordial yang kerap digunakan dan dikampanyekan secara masif. Kampanye model ini hanya akan sifatnya destruktif dalam diskursus tentang demokrasi. Walau berbuah kemenangan dalam jangka pendek, tetapi dalam jangka panjang, hal ini adalah upaya kontraproduktif. Tidak heran bila reformasi yang sudah berjalan lebih dari 17 tahun ini belum juga berbuah kesejahteraan rakyat. Demokrasi di era reformasi hanya dibajak elite partai yang memanfaatkan kepolosan dan kebodohan rakyat.

Penggunaan isu primordial sebagai komoditi politik dalam jangka panjang adalah kontraproduktif. Kontraproduktif dalam kaitan dengan demokrasi dan NKRI sebagai negara yang Bhineka. Pun peningkatan partisipasi pemilih seyogyanya berdiri di atas rasionalitas. Dengan begitu, proses demokrasi benar-benar akan menghasilkan pejabat yang benar-benar punya kapasitas dan kapabilitas mumpuni. Demokrasi yang berkualitas mengesampingkan entitas Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan.

Fenomena Ahok, Sosok yang Dicintai dan Dibenci


Pilkada DKI memang menguras emosi, pikiran, tenaga, bahkan uang. Bayangkan saja, banyak orang yang menangis ketika jagoannya difitnah. Banyak pula yang bahkan berani mati demi membela ulama. Ada yang rela menghabiskan uang ratusan miliar hanya untuk mendapat posisi DKI 2. Banyak pula yang bergerak di belakang layar dan baru ketahuan belangnya saat akhir Pilkada. Singkatnya banyak orang yang menjadi aneh saat Pilkada DKI Jakarta. Semua ini tidak lain dan tidak bukan, hanya untuk mewujudkan misi ‘Asal Bukan Ahok’.

‘Asal Bukan Ahok’ menjadi misi bersama para barisan sakit hati, barisan penghuni bumi datar, mereka yang tersingkir oleh karena birokrasi yang bersih dan professional. Musuh yang bernama Ahok itu harus disingkirkan. Bahkan tidak tanggung-tanggung, dilabeli pula dengan predikat ‘Penista Agama’.

Kampanye dengan menunggangi isu SARA ini menjadikan Ahok, seorang double minority (Kristen dan Tionghoa), menjadi bulan-bulanan. Fitnah soal penistaan agama disampaikan secara masif. Provokasi ini dilakukan lewat tempat-tempat ibadah, di lingkungan sekitar, hingga setiap tempat ramai, lantas menjadi seperti sebuah kebenaran umum. Hasil akhirnya bisa ditebak. Pemerintah dan penegak hukum tunduk pada massa, penghakiman pun dimulai.

Ahok yang babak belur dihajar sebelum, menjelang, dan saat Pilkada, kini mulai terbebas darinya. Kebohongan-kebohongan yang dipaksakan menjadi kebenaran umum mulai terkuak satu per satu. Mulai dari isu agama yang ternyata bergeser ke politik, saksi-saksi persidangan yang super lucu, hingga pengkultusan Imam Besar Umat Muslim Indonesia, yang akhirnya ketahuan doyan bermain pisang dengan titik-titik.

Catatan Penutup


Pada akhirnya, penulis sepakat dengan pernyataan Ahok jauh-jauh hari, bahwa ‘tidak ada kegelapan yang bisa menutupi cahaya fajar’. Pelan-pelan semua kebohongan mulai terkuak. Kebenaran mulai terungkap. Mereka yang menari di atas isu Agama, kini mulai merasa malu. Para pemenang mulai kesalahan memalukan ini. Memanfaatkan agama, kemiskinan dan kebodohan pemilih untuk mendulang suara. Jika berkesempatan bertemu Pak Anies, penulis ingin menyampaikan; “Stop tipu-tipu. Hentikan eksploitasi orang miskin untuk kepentingan politikmu”.

Cahaya Ahok mulai bersinar kembali. Setelah habis-habisan difintah. Ia kini diangkat kembali. Ia pernah ada pada posisi paling nadir, dan sekarang kembali ditinggikan. Fenomena kiriman bunga ke Balai Kota adalah tanda paling nyata pengakuan warga atas prestasi dan kinerjanya. Bahkan tidak tanggung-tanggung, jumlah karangan bunga yang dikirim lebih dari mencapai 1200. Selengkapnyadisini. Fenomena yang sontak saja menggegerkan seantero Indonesia. Bukti kecintaan warga ini jelas menegaskan kapasitas dan keberpihakan seorang Ahok.

Terakhir, penulis menganggap bahwa kekalahan Ahok dalam kontestasi Pilkada kemarin ibarat katapel. Mundur beberapa langkah untuk meloncat lebih jauh. Untuk orang dengan kapasitas super lengkap seperti seorang Ahok, tak perlu risau soal hari esok. “Mutiara selamanya tetaplah mutiara walau dibuang dalam kubangan lumpur”. Setelah melihat kemampuan dan sepak terjang Ahok di DKI, maka tidak aneh bila belakangan merebak isu soal nama Ahok yang masuk bursa Menteri ke dalam Kabinet Kerja Jokowi-JK. Di balik fenomena ini, ada seorang Anies yang (barangkali) menyesali kemenangannya yang pragmatis. Itu pun kalau Dia (Anies) masih punya nurani sebagai insan intelektual.

@ray koen


SHARE ARTIKEL INI AGAR LEBIH BANYAK PEMBACA

Kemenangan Anies Sandi Membuat Kaum Bumi Datar Seperti Minum Racun


DUNIA HAWA - Kemenangan Anies Sandi dalam pertarungan Pilkada DKI Jakarta putaran kedua membuat kaum bumi datar tak henti-hentinya ber-euforia. Mereka menganggap kemenangan Anies Sandi atas Ahok Djarot adalah segala-galanya.

Padahal sesungguhnya kemenangan Anies Sandi merupakan sebuah bumerang bagi mereka. Sebab mereka “kaum bumi datar cs” bakal ikut menanggung beban seperti yang Anies Sandi tanggung. Karena jika  Anies Sandi nanti resmi menjabat sebagai gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta dan tidak mampu merealisasikan janji kampanye seperti DP rumah 0 rupiah, menghentikan reklamasi, mengentaskan kemiskinan dan janji-janji kampanye yang lain, maka warga DKI Jakarta tidak hanya kecewa kepada Anies Sandi, melainkan juga kepada kaum bumi datar yang mempunyai peran strategis dalam memenangkan Anies Sandi.

Kaum bumi datar harus ikut bertanggungjawab atas kegagalan Anies Sandi dalam memimpin DKI Jakarta. Sebab karena ulah gerombolan kaum bumi datar, warga DKI Jakarta takut untuk memilih Ahok dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur putaran pertama maupun putaran kedua.

Kesaksian Warga kepada Saya 


Dua minggu sebelum Pilkada putaran kedua digelar, saya berada di DKI Jakarta. Saya banyak mengamati dan menganalisa, kenapa orang-orang takut untuk memilih Ahok Djarot? Sebagian besar dari mereka menjawab, mereka takut memilih Ahok Djarot lantaran ditakut-takuti bakal masuk neraka jika tetap ngotot memilih Ahok Djarot. Yang bahayanya mereka “kaum bumi datar” memanfaatkan masjid untuk mengintimidasi warga agar tidak memilih pasangan Ahok Djarot.

Fungsi masjid yang seharusnya digunakan sebagai tempat beribadah mencari pahala dari Allah SWT, saat menjelang pilkada DKI Jakarta, baik putaran pertama ataupun putaran kedua beralih fungsi sebagai tempat provokasi untuk kampanye demi memenangkan pasangan nomor urut tiga, Anies Baswedan dan Sandiaga S Uno. Artinya kaum bumi datar berhasil menguasai sebagian besar masjid di DKI Jakarta untuk tujuan politik alias perebutan kekuasaan kursi kepala daerah.

Mayoritas Masjid Berhasil Dikuasai Kaum Bumi Datar


Satu hari menjelang Pilgub putaran kedua tepatnya tanggal 18 April 2019, saya sempat bertemu dengan senior saya (Alumni GMNI) yang duduk di DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan (Nama saya rahasiakan), beliau senior saya bercerita tentang politisasi masjid oleh kaum bumi datar di DKI Jakarta.

Kepada saya beliau mengatakan dari jumlah kurang lebih 3280 Masjid di seluruh wilayah DKI Jakarta, kelompok Islam moderat bernama Nahdatul Ulama (NU) hanya mampu menguasai tidak lebih dari 300 Masjid saja, sebagian besar sisanya dikuasai oleh kaum bumi datar. Jadi tidak heran jika kampanye yang sangat masif untuk calon nomor urut 3 dilakukan diseluruh Masjid di DKI Jakarta yang berhasil mereka kuasai. Jika kalian yang berada di DKI Jakarta jangan heran dan bengong jika isi khutbah sholat Jumat di DKI Jakarta penuh dengan nuansa politik.

Cara-cara kotor mempolitisasi masjid sengaja mereka pakai hanya untuk sekedar mengalahkan Ahok Djarot. Warga DKI Jakarta yang tak tahu apa-apa pun akhirnya terbawa arus mereka dan enggan memilih Ahok Djarot sebab ditakut-takuti tidak bisa masuk surga. Cara mereka sangatlah picik, sebab dengan cara seperti itu sebenarnya mereka telah menyalahgunakan masjid sebagai sarana untuk kepentingan politik.

Jakarta Berhasil Dikuasai Kaum Radikal alias Kaum Bumi Datar


Dengan penguasaan sebagian besar masjid oleh kelompok intoleran radikal alias kaum bumi datar, saya dengan beberapa teman yang sedang stanby di DKI Jakarta sudah bisa menyimpulkan, bahwa Ahok Djarot akan kalah. Kaum bumi datar bisa memanfaatkan masjid untuk kampanye memenangkan Anies Sandi dengan seenak jidatnya. Sangat straregis memang, tak perlu mengundang banyak orang, tiba-tiba dihari jumat banyak orang ngumpul untuk dicekoki kampanye hitam untuk memenangkan Anies Sandi.

Yang perlu kita tahu, kelompok radikal itu sangat militan, selain kampanye di Masjid, dengan semangatnya mereka mendatangi warga-warga bekas pendukung Agus Silvi. Satu persatu bekas pendukung atau pemilih Agus Silvi didatangi dirumahnya, para pendukung Agus Silvi diarahkan agar pada pilgub putaran kedua itu mereka diminta untuk memilih cagub muslim. Dan alhasil para bekas pemilih Agus Silvi itupun memilih Anies Sandi dengan alasan cagub seiman. Dan saya ucapkan selamat DKI Jakarta setelah Ahok Djarot tidak menjabat bakal berada digenggaman kelompok inteloran yang sangat ganas menakutkan.

Owhhhh DKI Jakarta sedang mengalami kemunduran dalam berdemokrasi. Sementara ini dulu yang aku tulis, sebab masih banyak lagi kejadian yang aku ketahui menjelang pilkada DKI Jakarta putaran kedua. Tunggu tulisan saya selanjutnya.

@saeun Muarif


SHARE ARTIKEL INI AGAR LEBIH BANYAK PEMBACA

Fitnah Hingga Perusakan Karangan Bunga, Bukti Penduduk Bumi Datar Kejang-Kejang


DUNIA HAWA - Warga Jakarta yang mencintai Ahok tidak menunjukkannya dalam bentuk aksi dan demo tapi dalam bentuk karangan bunga. Inilah bukti Ahok dicintai karena karakter dan karya-nya, bukan karena agamanya. Karena banyak yang beragam Islam tapi orang seperti Ahok sangat jarang. Ternyata karangan bunga ini memancing emosi kaum bumi datar sehingga kabarnya ada beberapa karangan bunga yang sengaja dirusak oleh mereka. Inilah tanda bahwa sebenarnya Ahok adalah pemenang sejati dari Pilkada ini.

Dikabarkan ada ratusan hingga ribuan karangan bunga yang dikirimkan oleh pendukung Ahok. Bahkan sampai tidak muat didalam area balai kota. Karangan bunga berjejer hingga disepanjang jalan dekat balai kota. Tidak ada gubernur yang kalah lalu mendapat penghormatan seperti ini dari warganya. Bentuk kecintaan tulus dari warganya yang tersentuh oleh aksi nyata Ahok bukan oleh kata-kata manis namun kosong.


Seperti yang saya duga, pasti sumbu datar akan tidak kuat melihat ini. Benar saja mereka kejang-kejang, bingung kenapa bisa banyak orang yang mencintai Ahok. Apalagi fenomena ini tentu akan menggoyahkan pendukung mereka yang hanya memilih Anies karena agamanya atau karena terintimidasi. Jadilah para sumbu datar melakukan banyak hal untuk mencoba menghilangkan fenomena kecintaan warga Jakarta terhadap Ahok. Saya yakin sekali jenis bumi datar ini adalah mereka yang tidak tinggal di Jakarta dan pembaca setia media abal-abal.

Salah satu yang paling kocak adalah ini, pesan whatsapp rekayasa mereka. Seolah-olah Ahok memesan ribuan karangan bunga. Tapi lucu sekali karena terlihat sangat maksa sekali, tanpa tanggal, tanpa ada foto, dan sebagainya.

Banyak juga bertebaran status-status konyol di medsos yang mengatakan bahwa pemesan bunga tersebut tidak mencantumkan alamat. Lah, saya juga pernah mengirim bunga tanpa mencantumkan alamat. Emang kenapa? Ada orang-orang yang merasa privasinya terganggu kalau sampai mencantumkan alamat. Apalagi penduduk bumi datar kerap mengirimkan ancaman-ancaman kepada pendukung Ahok.

Dan masih banyak argumen-argumen mereka yang diungkapkan melalui media sosial yang justru semakin membuat saya tertawa dan puas. Mereka panik, panik sekali. Karangan bunga untuk Ahok yang jumlahnya ribuan bahkan kabarnya masih ada ribuan lagi yang waiting list, menampar dengan telak wajah mereka.

Mereka juga bingung kenapa banyak tulisan yang seolah-olah becanda. Ya inilah bumi bulat, kita santai, rileks, senang bercanda, mirip Pak Ahok yang bisa stand up comedy. Kalau bumi datar nampaknya hanya tau teriak-teriak demo, ngancem mayat, jual ayat hingga tamasya intimidasi itu.

Selain karangan bunga, balai kota padat dengan pendukung Ahok hingga kabarnya ada yang pingsan segala gara-gara desak-desakan. Wah ini Ahok apa artis luar negri yah? Udah kayak Justin Beiber aja lo hok. Pandji aja gak pernah bisa seperti itu, padahal katanya Pandji itu artis loh. Peace ah Dji.





Satu hal yang pasti kenapa bisa seperti ini, Ahok dicintai dengan tulus oleh warganya. Orang-orang mencintai Ahok karena karyanya, ketegasan beliau melindungi uang APBD meski harus bonyok-bonyok hingga harus di cap penista agama. Ahok dicintai juga karena kelembutannya terhadap rakyat kecil yang selalu dicoba untuk dihapus oleh stempel-stempel kaum sumbu pendek. Mereka menggunakan cara-cara seperti Nazi kata Ahok saat dipengadilan kemarin, mengulang-ulang kebohongan hingga dianggap kebenaran.

Tapi kekalahan kemarin seperti menyadarkan warga Jakarta. Kelak mereka akan kehilangan salah satu Gubernur terbaik yang pernah mereka miliki. Kelak orang yang paling depan menjaga APBD sudah tidak ada lagi di Jakarta. “Pemahaman nenek lo!” tidak akan ada lagi karena kelak nanti mereka akan sepaham.

Bayang-bayang rusaknya Kalijodo mulai terlihat, kesemerawutan Jakarta, sungai yang akan kotor kembali, hingga menghilangnya pasukan berwarna yang fenomenal itu.

Benar kata orang, bukan Ahok yang rugi tapi warga Jakarta lah yang rugi.

@gusti Yusuf


SHARE ARTIKEL INI AGAR LEBIH BANYAK PEMBACA


Jakarta yang Kehilangan Ahok


DUNIA HAWA - Ratusan karangan bunga memenuhi balaikota.

Sebagian besar bertuliskan rasa kehilangan. Rasa yang mendalam karena selama ini sudah mendapatkan pelayanan yang benar.

Jakarta kehilangan Ahok.

Meski ia sudah bersusah payah untuk membela warga Jakarta, rupanya sebagian besar masih belum bisa menerimanya.

Bukan, bukan karena kinerjanya. Mereka puas akan apa yang Ahok lakukan. Tetapi mereka lebih suka pemimpin yang seiman, yang satu ras dan yang suka santun-santunan.

Tidak ada lagi deretan manusia di pagi hari dari mereka yang resah akan ketidak-adilan di kota ini. Tidak ada lagi sekedar selfie dan haha hihi dari ibu-ibu yang sekedar hanya ingin pose diri bersama orang yang dia kagumi.

Jakarta kehilangan Ahok.

Para marbot, para pasukan bersih-bersih, anak-anak penghuni rusun yang diselamatkan dari takdir kemiskinan dengan tinggal di pinggir kali dan warga yang kebanjiran setiap hari.

Sudah tidak ada lagi yang blusukan masuk ke ruang-ruang kumuh, sekedar melihat apa yang bisa dikerjakan untuk membantu mereka yang kesusahan.

Sudah tidak ada lagi yang pasang badan di depan para pengembang supaya bisa mengucurkan sebagian dana mereka untuk taman-taman kota, rusun-rusun yang layak huni dengan seperangkat perabotan lux di dalamnya.

Sudah tidak ada lagi yang melindungi uang rakyat yang selama ini dibagi-bagi diantara para pejabat rakus yang hanya peduli pada sejawat.

Jakarta kehilangan Ahok..

Meski itu salah Jakarta sendiri, yang masih emosional cara berfikirnya. Jakarta yang masih melihat baju putih bersih sebagai malaikat, kata santun sebagai penyelamat dan ketakutan tidak bisa berusaha karena ancaman sesaat.

Tidak akan ada lagi berita menarik yang lewat tentang Jakarta di beranda. Karena yang muncul darinya - seperti biasa - hanya kepalsuan belaka. Sama seperti banyak daerah lain yang lebih senang memilih yang palsu asal sopan daripada orisinal dengan ketegasan yang jujur tersampaikan.

Jakarta kehilangan Ahok..

Seperti kopiku yang berkurang rasa pahitnya.

@denny siregar


SHARE ARTIKEL INI AGAR LEBIH BANYAK PEMBACA

Dari Kami yang Katanya Sudah Bisa Move On


DUNIA HAWA - Sejarah akan mencatat, nama Ir. Basuki Tjahaja Purnama dan Drs. H. Djarot Saiful Hidayat menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur yanghumanis dan peduli dengan warganya. Dimana warga DKI Jakarta beberapa hari yang lalu memberhentikan langkah menuju periode kedua kepemimpinan mereka berdua.

Warga DKI Jakarta lebih memilih pasangan Gubernur lain untuk memimpin Jakarta di lima tahun mendatang. Semua perjuangan sudah dilakukan, datang dari seluruh pelosok negeri untuk memenangkan Pak Ahok-Djarot sudah dilakukan. Kampanye di seluruh media online juga dilakukan dengan baik. Bahkan pergerakan kampanye-pun sudah berjalan sampai ke lapisan masyarakat Jakarta yang paling dalam.

Harapan pendukung Ahok-Djarot memang sangat tinggi, apalagi ada pengumpulan KTP yang dikoordinasi oleh Teman Ahok. Namun setingginya harapan bukan menjadi suatu kepastian dalam hasil akhirnya. Pesaing Gubernur yang kita dukung menjadi pemenang dengan selisih hampir satu juta suara menurut hasil quick count KPUD Jakarta. Selisih suara yang cukup banyak mengingat jumlah suara yang ikut dalam Pilkada putaran kedua sekitar lima juta suara.

Artinya memang, secara jumlah warga DKI Jakarta ingin mengakhiri kepemimpinan Gubernur yang masih menjabat sampai Oktober Tahun ini. Entah isu apa yang bisa membuat kalah Gubernur petahana, tapi melihat perkembangan di beberapa media mau tidak mau yang paling sukses menggoyang Pak Ahok turun dari Gubernur adalah isu agama.

Buat semua orang hasil Pilkada Jakarta ini seperti menjadi raport kenaikan kelas. Disana akan terbaca seberapa dalam cara pandang warga Ibukota dalam menyikapi permasalahan agama dalam kepemimpinan pemerintahan. Hasil perhitungan suara memang belum secara resmi diumumkan, namun diprediksi tidak jauh berbeda dengan hasil saat ini.

Warga Jakarta kelihatannya sudah melek informasidigital. Hampir di setiap gang-gang sempit di Jakarta, warga di sana sudah memakai smartphone, mereka mendapatkan informasi yang benar atauhoax bercampur menjadi satu. Tidak ada filter yang jelas, karena membeli kuota internet tidak ada hubungannya dengan kecerdasan si pengguna.

Untuk sebagian warga Jakarta, memilih berdasarkan agama menjadi pilihan yang sangat rasional dibandingkan dengan kinerja dan hasil pembangunan yang ada. Bahkan di rumah susun yang sudah terbangun, suara petahana masih kalah dibandingkan dengan suara calon lain. Mereka lebih percaya Jakarta akan dibangun dengan lebih sopan dan naratif.

Dilihat dari beberapa pernyataan baik itu Gubernur baru maupun Wakilnya, setelah Pilkada ini bahasa-bahasanya berubah menjadi normatifdan tidak terlihat menggebu-gebu seperti sebelum tanggal 19 April lalu. Mungkin karena belum menjabat jadi terlihat bingung atas pertanyaan yang ada.

Orang bijak sering berkata, setiap hal yang sudah terjadi pasti ada hal yang baik untuk diambil. Menjadi kalah dan menang memang ditentukan dalam hasil, namun memilih menjadi pandai dan bijak adalah pilihan dari setiap kita. Menjadi pendukung Ahok-Djarot adalah harga mati, lakukan yang terbaik sampai usaha terakhir. Tetapi ketika kenyataan menjadi berbeda dengan harapan tidak otomatis membuat kita sebagai pendukung menjadi lemah otak dan sama seperti kaum sebelah.

Kegagalan akan menjadi warna dalam setiap kehidupan masing-masing dari kita. Termasuk Gubernur yang baru saja kalah. Ahok boleh saja kalah dalam pertandingan Pilkada kemarin, namun sebagai manusia Ahok jelas tidak kalah. Dan beliau menitipkan cara-cara berdemokrasi yang baik kepada kita semua. Beliau memang sering dianggap tidak sopan, berkata-kata kasar dan terlihat angkuh. Namun sikap menerima kekalahan menjadikan Pak Ahok tidak seperti orang yang kalah.

Warga DKI yang berbondong-bondong datang ke Balai Kota menjadi saksi bahwa, pemimpin yang disukai warganya tidak hanya ada di negeri dongeng. Mungkin sejarah akan mencatat, kelincahan Ahok dalam mengelola anggaran yang terbatas namun efektif dalam pengelolaan.

Jalan Lingkar Semanggi menjadi salah satu saksi bahwa pembangunan itu tidak melulu lewat anggaran yang sudah disahkan. Pak Ahok sangat pandai mengambil posisi kapan beliau harus keras dengan para pengusaha, kapan harus lembut dengan warga yang butuh pertolongan. Namun sayang periode lima tahun kedepan sepertinya tidak akan ada lagi antrian warga untuk mengadu ke Gubernurnya. Karena memang sepertinya bukan itu tipe kepemimpinan Gubernur baru Jakarta.

Dan kini episode terbaru warga Jakarta sudah jelas, Gubernur baru di bulan Oktober nanti. Anggaran memang sudah tidak bisa dirubah, Gubernur baru mungkin bakal berdalih baru bisa kerja setelah awal tahun depan, dengan pengesahannya anggaran yang sudah disetujui bersama para anggota Dewan yang terhormat. Untuk Pak Ahok, biarkanlah beliau menjalankan peran barunya. Saya rasa beliau tidak kurang cerdas untuk bertanggung jawab kepada keluarganya. Kepada warga Jakarta saja beliau sangat bertanggungjawab, apalagi untuk kehidupan keluarganya. Semua issue yang ada janganlah membuat kita sebagai pendukung menjadi fanatik dan hanya melihat ketokohan seorang manusia saja.

Perjuangan bersama dengan Pak Ahok harus kita kembalikan kepada perjuangan membela toleransi, membela demokrasi yang baik. Pak Ahok masih bisa salah, karena memang beliau adalah manusia biasa. Namun negara ini adalah negara Pancasila, negara yang seharusnya penuh dengan toleransi dalam berkehidupan. Itulah sebenarnya yang harus kita perjuangkan.

Menyindir Gubernur baru dengan Peraturan Mendagri yang mana Presiden bisa menurunkan Gubernur di tengah jalan adalah tindakan bodoh dan sangat reaktif. Apalagi memaksa Presiden harus menjawab pertanyaan soal resufle kabinet untuk dihubungkan di menteri apa nanti Pak Ahok akan dilantik, hal itu sangat tidak produktif. Karena kita menjadi mirip pendukung sebelah yang mau ganti Presiden di tengah jalan dan sudah ada kabinet bayangan apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Jadi untuk para pendukung Ahok-Djarot, jadilah pendukung yang cerdas. Mempunyai hati yang besar untuk menerima kekalahan dengan hati yang lapang. Jangan sisakan pikiran tidak waras di otak kita, sungguh sangat sayang waktu yang kita gunakan hanya untuk memaksa Gubernur baru turun dari takhta, dan membuat opini Ahok menjadi salah seorang menteri di Kabinet ini. Toh urusan resufle kabinet wilayah Pak Presiden. Mari kita bangun bangsa ini dengan cara yang lebihelegan. Memberikan usulan program yang masuk akal untuk Gubernur sebelah bisa menjadi salah satu cara yang baik mendorong kota yang sama-sama kita cintai ini. Mendukung perilaku-perilaku yang sehat tidak provokatif, dan menjunjung tinggi nilai kebangsaan. Dimana yang menang tidak jumawa dan yang kalah tidak perlu merasa inferior.

Tangisan dan lagu Maju Tak Gentar di Kantor Gubernur pagi tadi mungkin menjadi klimaksepisode Pilkada DKI Jakarta. Warga yang datang bercampur aduk dalam perasaan. Ada yang sedih dan tidak percaya, terharu dengan ketegaran sangGubernur dan sisanya adalah rasa hormat yang mendalam. Terhadap Gubernur yang telah meletakan definisi kerja yang sesungguhnya. Tetap semangat Pak Ahok, tetap tersenyum Pak Djarot maafkan kami yang tidak sekuat bapak berdua untuk menghadapi kerasnya ironi ini.

@hisar Ivan hutabarat 


SHARE ARTIKEL INI AGAR LEBIH BANYAK PEMBACA

Buni Yani Dimakan Monsternya Sendiri


DUNIA HAWA - Dapat kabar Buni Yani jualan Mug untuk mengongkosi hidupnya. Si "pahlawan umat" ini sama sekali tidak di bela umatnya. Bahkan pengacaranya juga malah minta bayaran yang naudzubillah besarnya. Ia di habisi oleh perbuatannya sendiri.

Cukup banyak alasan untuk membenci Buni Yani yang perbuatannya sudah merusak tatanan negeri ini. Bahkan lebih besar lagi, hampir saja merusak keutuhan dan kerukunan bangsa.

Tapi mau bagaimana lagi? Kita hanya bisa menarik pelajaran dari kasus ini, bahwa masih banyak masyarakat kita yang lebih suka menghakimi daripada susah payah klarifikasi. Padahal dalam kitab suci disinggung tentang berhati-hatilah terhadap "kabar orang fasik" dan pentingnya tabayyun.

Seperti kata Imam Ali : "Membuktikan kebenaran kepada orang bodoh itu mudah. Membuat mereka menerimanya itu yang susah".

Ah, jadi malah kasihan pada nasibnya sekarang. Buni Yani dimakan monster yang diciptakannya sendiri.

Hanya satu kata hiburan yang bisa saya berikan pada dia. Terimalah hukumanmu dengan lapang dada. Karena hukuman di dunia akan mengikis banyak dosa sebelum hari pengadilan tiba..

Gagahlah, Buni Yani..

Berkacalah pada Ahok -orang yang kau fitnah- yang dengan berani membela dirinya dibantu oleh banyak pengacara yang membela dia karena ketulusannya..

Satu pertanyaan saja,

Mug itu kalo dipake ngopi kira-kira rasanya tetap enak gak ya?

@denny siregar


SHARE ARTIKEL INI AGAR LEBIH BANYAK PEMBACA

GP Ansor dan Penjagaan Terhadap NKRI


DUNIA HAWA - “Syubban al-Yaum Rijal al-Ghad. Pemuda sekarang, calon pemimpin masa depan.”

Pemuda adalah tumpuan Bangsa dan Negara; ia penentu nasib bangsanya akan seperti apa. Bangsa dengan generasi pemuda yang hebat, di masa depan akan menjadi bangsa yang bermartabat. Untuk itu, jika ingin melihat masa depan sebuah bangsa, lihatlah generasi pemudanya.

Salah satu organisasi kepemudaan yang sudah teruji ganasnya zaman, adalah Gerakan Pemuda Ansor. Sayap organisasi Nahdlatul Ulama ini turut berkontribusi dalam melahirkan Republik yang kita cintai. Perjuangan penuh pengorbanan yang dilakukan pemuda-pemuda NU di masa lalu adalah fakta yang terjamin kasahihannya. Resolusi jihad yang dikumandangkan Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari menjadi pembakar semangat untuk berkorban demi tanah air tercinta.

Mengapa pemuda-pemuda NU di masa lalu siap berkorban demi tanah air tercinta? Membela Negara dan tanah air tercinta, bagi NU, adalah bagian dari keimanan.Hubbul wathon minal iman, cinta tanah air bagian dari iman.

Tanah air merupakan bagian yang harus dilindungi; ia pantas dibela sebab di dalamnya terdapat harga diri sebagai manusia. Dus, menjaga harga diri (hifdz al-‘Ird) termasuk perintah agama. Jadi, tak ada alasan untuk tidak meyakini bahwa membela negara merupakan kewajiban.

Menjaga NKRI


Munculnya kelompok yang mempropagandakan konsep khilafah menimbulkan persoalan besar, khususnya bagi masa depan negeri ini. Konsep NKRI yang sejatinya sudah final dan harga mati, oleh mereka dipertanyakan sebab, dalam asumsi mereka, konsep tersebut tak sesuai dengan tuntunan ilahi. Kelompok yang mengusung ideologi impor tersebut mencoba mengubah Pancasila yang tak lain adalah dasar dan falsafah Negara.

Dengan percaya diri mereka mengatakan bahwa Pancasila tak sesuai dengan ajaran agama (Islam). Oleh sebab itu, menurut mereka, tak ada pilihan lain kecuali mengubahnya.

Melihat kenyataan ini, peran pemuda, dalam hal ini adalah Pemuda Ansor akan sangat dibutuhkan. Bukan sekedar merawat, tapi lebih dari itu, yang diperlukan adalah menjaga dan mempertahankan NKRI. Bahkan jika perlu, harus ada “perlawanan” agar kelompok yang mengatasnamakan dirinya sebagai wakil Tuhan, dapat segera sadar dan kembali ke jalan yang benar.

GP Ansor sebagai garda terdepan penjaga dan pelindung NKRI telah melakukan “perlawanan” nyata terhadap kelompok-kelompok yang mencoba mengusik kesatuan Negara. Jadi, saat GP Ansor menolak aksi propaganda yang coba disebarkan HTI misalnya, jangan dimaknai sebagai perlawanan terhadap manusianya.

HTI pantas dilawan dan disingkirkan bukan semata-mata karena ilusi konsep khilafah yang mereka propagandakan. HTI adalah contoh yang baik untuk tidak diikuti, terutama dalam hal konsistensi antara prinsipn dan aksi. Mungkin karena mereka kelompok impor dan baru, maka Anda tak perlu heran jika mereka labil dalam bersikap dan mengambil keputusan.

Satu sisi, mereka menolak demokrasi. Namun, di sisi yang lain mereka turut menikmati fasilitas yang paling berharga dalam sebuah sistem demokratis: kebebasan.

Walhasil, Ansor hanya ingin melindungi konsep Negara yang dibangun oleh para pendiri bangsa dengan perjuangan dan pengorbanan yang tak ternilai. Saat para pendiri bangsa menyepakati NKRI dan Pancasila, mereka sudah meyakini bahwa konsep tersebut merupakan yang paling cocok untuk negara majemuk seperti Indonesia.

Jadi, jika ada kelompok yang baru lahir, mereka juga tak mempunyai kontribusi dalam perjuangan melahirkan negeri ini, kemudian dengan percaya diri mau mengubah konsep negara, maka hanya ada satu kata: lawan!

@saiful Bahri


SHARE ARTIKEL INI AGAR LEBIH BANYAK PEMBACA