Sunday, April 23, 2017

Ahok Jadi Rebutan


DUNIA HAWA - Bagi seseorang yang berprestasi dan diakui oleh warga Jakarta bila merujuk tingkat kepuasan masyarakat diatas 70% atas hasil kinerjanya, bukan sesuatu yang perlu diresahkan jika kemudian mengalami kekalahan karena tidak diberi kepercayaan lagi untuk menjabat. Apalagi kekalahannya karena lebih pada politisasi agama dan faktor primordial. Itulah yang dialami oleh Basuki Tjahaya Purnama atau yang lebih dikenal sebagai Ahok. Menerima kekalahan dengan lewgowo bahkan sambil banyak cengengesan ketika mengucapkan selamat pada Anies-Sandi.

Seperti yang selalu diucapkan Ahok bahwa jabatan adalah pemberian Tuhan dan bila nantinya dia tidak menjadi Gubernur DKI lagi pun akan  tetap disyukuri. Tuhan pasti mempunyai rencana lain.

Mungkin kekalahan Ahok adalah jalan terbaik bagi bangsa dan negara khususnya warga Jakarta. Tidak terbayangkan apa yang akan terjadi bila Ahok menang. Demo berkelanjutan yang tidak menutup kemungkinan berubah menjadi kerusuhan akan melanda Jakarta. Kita bisa lihat bagaimana ancaman revolusi terus diteriakkan oleh beberapa kelompok dan menganggap hanya kecurangan yang bisa mengalahkan jagoannya. Lawan politik pun jauh-jauh hari juga sudah melontarkan klaim sama soal kecurangan ini.

Tuhan masih sayang pada bangsa ini dan memilih rencana lain. Tidak ingin melihat kegaduhan berkepanjangan yang hanya membuat  Indonesia akan semakin terpuruk karena masalah perbedaan dan ambisi kekuasaan segelintir orang.

Bila Ahok-Djarot bisa menerima dengan ikhlas kekalahan, diharap pendukungnya pun legowo dengan kenyataan yang ada. Tidak perlu larut dalam kekecewaan hingga gagal move on seperti kaum sumbu pendek sejak kekalahannya di Pilkada DKI 2012 dan berlanjut PIlpres 2014. Yakinlah perjuangan yang selama ini dilakukan tidak akan sia-sia. Suatu saat akan kita petik hasilnya bersama-sama.

Orang tegas, jujur, bersih dan berprestasi akan selalu dibutuhkan dimana pun. Tidak terkecuali yang terjadi pada diri Ahok. Sejak kekalahannya di Pilkada DKI, sekelompok masyarakat daerah lain baik mengatasnamakan organisasi maupun secara pribadi telah menggelar karpet merah memberikan dukungan agar Ahok bersedia maju pada pemilihan Gubernur di daerah mereka.

Forum Masyarakat Nusa Tenggara Timur Pencinta Ahok (Forma) meminta Ahok untuk maju dalam Pilkada Nusa Tenggara Timur pada 2018 mendatang. Baik melalui jalur perseorangan maupun lewat partai politik. Masyarakat NTT membutuhkan sosok pemimpin seperti Ahok. Mereka mengklaim banyak masyarakat NTT yang senang dan menerima dengan tulus bila Ahok bersedia memimpin NTT. Ketua Forma NTT Fritz Fios yang juga seorang dosen Universitas Binus Jakarta berujar bahwa butuh figur pemimpin seperti Ahok untuk membangun NTT dan membersihkan korupsi di sana.

Petisi menyuarakan permintaan agar Ahok bersedia maju dalam Pilkada Bali 2018 juga bermunculan. Salah satunya dari Yayasan Atman Shakti Bali. Berikut isi petisi yang tertulis.

Kegagalan Bapak Basuki T.Purnama (ahok ) Pada Pilkada DKI 19/4/2017 Membuka Peluang Beliau Untuk Dapat Di calonkan Sebagai Gubernur Di Provinsi Lainnya . Dengan Prestasi dan Karakter Kepemimpinan Yang Jujur , Bersih Dan Tegas Kiranya beliau Dapar MEMIMPIN provinsi BALI yang Merupakan UJUNG TOMBAK PARIWISATA INDONESIA yang MENDUNIA
Saya Yakin Bali akan LEBIH MAJU, AMAN dan SEJAHTERA apabila DIPIMPIN oleh Bapak AHOK 

Yudha Ascarya (38), salah satu founder yayasan yang telah berdiri sejak tahun 2015 ini, mengakui bahwa alasan petisi dibuat lantaran kualitas Ahok yang dinilai mumpuni. Menurutnya, sangat disayangkan jika Ahok dengan kualitas pemimpin yang bagus kalah dalam pilgub di Jakarta.

Bukan hanya daerah lain saja yang menginginkan Ahok untuk dijadikan “pelayannya”. Dari terawangan penulis, Presiden Jokowi pun tidak mau ketinggalan juga akan ikut memperebutkan tenaga mantan Bupati Belitung Timur ini untuk ikut membenahi bangsa dan mensejahterakan rakyat. Tidak menutup kemungkinan jabatan strategis memang telah dipersiapkan, atau bisa juga mensupport agar maju di Pilkada Palangka Raya, Kalimantan Tengah.

Andai terpilih menjadi Walikota Palangka Raya tahun 2018, Ahok bisa mempersiapkan secepatnya realisasi wacana perpindahan ibukota. Walaupun secara jabatan lebih rendah karena hanya sebagai Walikota, namun bila Indonesia selagi masih dibawah kepemimpinan Presiden Jokowi dan terpilih lagi di periode keduanya, dengan melihat keseriusan memindahkan ibukota ke kota tersebut, bila ini terwujud akhirnya Ahok pun nantinya akan menjadi Gubernur DKI kembali.

Jauh dari kelompok intoleran dan sumbu pendek di Jakarta yang sebentar lagi akan dipimpin oleh Gubernur dan wakilnya yang konon oke oce…..

@elde

Islam vs PKI


DUNIA HAWA  

Saya dulu sering bercanda tentang isu kebangkitan PKI di Indonesia. Bahkan ketika Kivlan Zein bicara tentang adanya 15 juta anggota PKI di Indonesia, saya membuat surat terbuka untuknya. Dan seperti biasa saya dicaci maki fans beliau yang saya tanggapi dengan senyum lebar karena saya berfikir, "kok bodoh benar ya percaya gituan.."

Tetapi ketika saya melihat perbincangan banyak grup di bumi datar, saya kaget juga. Isu PKI itu ternyata sangat efektif dan dibangun kembali pelan-pelan. Begitu banyak yang mempercayainya seperti mereka mempercayai agamanya.

Melihat kasus Teten Masduki yang dituding PKI oleh Alfian Tanjung yang dianggap ustad oleh jamaahnya, saya mulai menangkap benang merahnya. Apalagi ditambah politisasi masjid seperti yang terjadi di Jakarta baru-baru ini.

Islam Indonesia di daerah-daerah adalah Islam kultural. Meskipun diikat dalam bentuk struktrural atau organisasi, tapi pada dasarnya umat Islam yang aktif dalam pengajian maupun majelis-majelis cenderung taklid pada ulama dan ustadnya.

Dan belajar dari kasus keberhasilan menguasai umat melalui masjid dan ulamanya disana, saya melihat bahwa isu PKI kembali dihembuskan dan diperkuat doktrinnya.

Pertanyaannya, kemana isu ini akan dihantamkan?

Pola yang sama bisa kita lihat di Suriah.

Isu bahwa Bashar Assad Presiden Suriah adalah syiah yang membantai rakyatnya sendiri dimulai dari masjid-masjid dan tempat berkumpulnya umat. Semakin lama isu ini semakin gencar dengan bumbu yang makin kental dan masuk ke tentara. Tentara terpengaruh dan terpecah dua. Sebagian dari mereka desersi -bahkan sahabat Assad sendiri yang mempunyai jabatan tinggi- dan bergabung dalam kelompok perlawanan.

Isu PKI ini -yang sedang diperkuat sana sini- akan melanjutkan isu penistaan agama. Hanya kali ini sasarannya adalah Jokowi. Meskipun sempat reda, isu ini kembali di perkuat lagi karena dipercaya akan mengulang kesuksesan yang sama ketika menghadapi penista agama.

Para lawan Jokowi akan menbalut dirinya dengan kata "Islam". Belajar dari sejarah bahwa dulu umat Islam yang diprakarsai NU berada di barisan paling depan melawan PKI, maka mereka memanfaatkan situasi itu.

Salah satu partai yang akan terkena dampak dari isu ini adalah PDIP. Jabar akan menjadi ujian yang keras buat PDIP dan siapapun yang dicalonkannya.

Sayangnya, PDIP selalu terlambat mengantisipasi sesuatu yang sebenarnya mudah dideteksi. Mungkin ini akibat partai terlalu gemuk dan sedang berada di pucuk kekuasaan sehingga lamban bergerak dan memutuskan.

Isu Islam vs PKI ini kemungkinan akan membesar. Bermula di Jawa Barat sebagai "basis perjuangan Islam" dan meluas ke pusat saat Pilpres 2019. Model intimidasi, masjid di politisasi akan kita temui kembali saat Indonesia menyelenggarakan pemilu nantinya.

Kenapa model ini akan kembali diadopsi? Karena di Jakarta mereka sukses dan menang..

Ada tiga kelompok yang memanfaatkan isu Islam vs PKI ini.

Pertama, para mafia yang selama ini kehilangan dapur gara-gara Jokowi yang membuat mereka gemuk gak keruan.

Kedua, politikus ambisius yang rakus dan tamak akan jabatan.

Dan terakhir, ini yang paling ngeri. Kelompok ini akan menunggangi dana dari mafia dan ambisiusnya politikus untuk meluncurkan agenda sebenarnya yaitu khilafah.

Para pengusung khilafah ini tidak penting siapa yang akan jadi pemimpin. Buat mereka ketika negara bentrok akibat perebutan kekuasaan saja, itu sudah sukses besar dan memuluskan agenda mereka sebenarnya.

Kelompok yang mengatas-namakan agendanya sebagai "perjuangan Islam" ini akan kembali meneriakkan konsep perang Badar dan model Islami lainnya. Mereka sudah memetakan musuh yang mereka bangun sendiri ,yaitu PKI dan akan dihantamkan kepada Jokowi supaya kredibilitasnya hancur saat pemilu nanti.

Sebelum Pemilu 2019, kita akan melihat konsolidasi mereka di masjid2 dengan ormas2 yang dibiayai dari APBD. Dan dari hasil konsolidasi ini akan diarahkan untuk demo-demo lanjutan yang diarahkan ke Jokowi.

Analisa ini memang ngeri. Tapi belajar dari Suriah, situasi ini bisa saja terjadi. Dan kita melihat apa yang sudah mereka lakukan saat pilkada DKI sebagai contoh apa yang akan mereka lakukan nanti.

Coba sekali-kali bicara sama sekelompok orang bodoh dalam jumlah besar, apa pendapat mereka tentang bangkitnya PKI di Indonesia? Lihat ngerinya pandangan radikal mereka akibat doktrin karena ketidak-tahuan. Mereka yakin sekali bahwa mereka akan berjihad untuk membebaskan negeri ini.

Sejak kemenangan garis keras di DKI, kopi saya pahit sekali. Ini akan menjadi pilpres terkeras yang akan kita lalui

@denny siregar

Mau ke Mana Nakhoda Baru Kapal Jakarta?


DUNIA HAWA - Keunggulan demokrasi mungkin juga pada saat yang sama dianggap kelemahan oleh sebagian kalangan adalah memungkinkan siapa pun, dari kalangan mana pun, dan dengan kemampuan apa pun, untuk ikut berpartisipasi dalam berbagai kompetisi politik seperti pemilu. Secara kasarnya, seorang yang memiliki perangai buruk pun, jika ia ikut berkompetisi dalam pemilu dan dinyatakan menang melalui proses pemilihan yang fair, maka ia berhak menjadi pemimpin. Dan semua pihak harus menghormatinya.

Di Pemilu Amerika Serikat (AS) yang baru lalu, kemunculan Donald Trump sebagai pemimpin baru negeri adidaya tersebut seolah membenarkan sinyalemen di atas. Trump yang tampil dengan perangai antagonistiknya, cenderung kasar, dan rasialis, terutama terhadap kalangan imigran termasuk kaum Muslim, ternyata dipilih rakyat AS. Betapapun banyak rakyat AS yang tidak suka terhadapnya, mereka tetap menghormati Trump sebagai pemimpin baru mereka karena terpilih secara demokratis.

Di Pilkada DKI Jakarta 2017 yang baru saja usai, tampilnya pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno agaknya memperlihatkan kecenderungan yang tidak jauh berbeda. Pasangan yang sesungguhnya dari sisi kemampuan politiknya masih kalah dari rivalnya, yakni pasangan petahana Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat—setidaknya bisa dibaca dari dari hasil survei kepuasan terhadap petahana yang menunjuk angka di atas 60%—ternyata dipilih oleh mayoritas warga Jakarta seperti terlihat dari hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei.

Namun demikian, suka atau tidak suka, pasangan Anies-Sandi telah terpilih sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta periode 2017-2022 menggantikan Ahok-Djarot. Atas nama demokrasi, semua pihak harus menerimanya dengan lapang dada, termasuk mereka yang sebelumnya tidak mendukungnya. Inilah konsekuensi demokrasi.

Olengkah Kapal?


Jakarta bisa diibaratkan sebuah kapal utama dari induk kapal yang tengah berlayar di Samudera Indonesia. Kini, kapal itu telah berganti nakhoda. Jika sebelumnya sang nakhoda begitu piawai mengendalikan lajunya kapal, bahkan mampu menghalau berbagai gangguan, baik dari internal maupun ekseternal, pertanyaan yang muncul kemudian, apakah nakhoda baru itu akan mampu juga melakukan hal yang sama, atau lebih baik, atau bahkan lebih buruk?

Tentu tidak mudah menjadi nakhoda kapal besar Jakarta. Ada banyak problem yang bertumpuk-tumpuk: kriminalitas, kemacetan dan banjir (dua problem klasik ibu kota), dan yang paling menggiriskan saling rebutan kue politik dan ekonomi. Berbagai bandar politik dan ekonomi ada semua di Jakarta: perselingkuhan politik dan ekonomi yang berujung pada korupsi pun kerapkali mewarnai kota metropolitan ini.

Dalam situasi kota yang seperti ini pemimpin yang berani dan tegas sangat diperlukan. Nakhoda lama, terlepas dari sejumlah kekurangannya, sesungguhnya merupakan orang yang sangat tepat untuk menakhodai kapal besar Jakarta. Sebagai nakhoda kapal, ia berhasil membuat nyali para “perompak” lautan Jakarta menciut. Pada saat yang sama ia juga bergerak membersihkan orang-orang dalam yang mungkin bekerja sama dengan para perompak tersebut.

Mungkinkah nakhoda baru bisa melakukan hal yang sama?


Sebagai penumpang kapal, tentu kita berharap pasangan ini mampu. Hanya kita perlu melihatnya juga dari sisi yang nyata, apakah keduanya memiliki nyali yang besar. Dari sisi karakter, misalnya, pasangan nakhoda baru ini tampaknya bukanlah tipikal sosok yang tegas dan berani. Keduanya lebih terlihat sebagai “the nice guys”, orang-orang yang tampak ramah dan manis.

Dengan kata lain, pasangan nakhoda baru ini tidak saling mengisi karena keduanya memiliki karakter yang kurang lebih sama. Tentu ini menjadi kekurangan tersendiri bagi pasangan tersebut.

Berbeda dengan pasangan nakhoda lama yang saling mengisi antar keduanya: Yang pertama cenderung tegas, tak kenal kompromi, dan suka berbicara apa adanya, sementara yang kedua tampil lebih kalem dan cenderung mengemong.

Pasangan nakhoda baru yang sama-sama manis ini bukan tidak mungkin akan kesulitan ketika berhadapan dengan kehadiran para perompak yang kasar-kasar. Mungkin sekarang para perompak itu tengah bersorak sorai karena lawan yang dihadapinya kini, di mata mereka, tidak setangguh nakhoda sebelumnya. Boleh jadi mereka mulai melakukan rencana-rencana baru lagi untuk “mengeruk” kekayaan di kapal besar ini.

Persoalan kedua yang akan dihadapi nakhoda baru kapal Jakarta adalah relasinya dengan nakhoda kapal induk. Seperti diketahui, nakhoda baru ini sebelumnya menjadi bagian penting dari kapal induk yang kemudian “terbuang”. Maka, ketika kemudian ia berhasil menjadi nakhoda baru di kapal utama, tentu akan ada ketegangan relasional dengan nakhoda kapal utama.

Apalagi santer terdengar kabar bahwa posisi nakhoda baru di kapal utama ini sebenarnya hanyalah sasaran sementara. Target utamanya justru adalah nakhoda kapal induk di mana posisinya akan diperebutkan pada tahun 2019. Mungkin juga bukan sang nakhoda sendiri yang akan maju menantang nakhoda kapal induk, melainkan orang kuat di belakang sang nakhodalah yang akan maju ke medan laga.

Karena itu, masalah ini menjadi penting untuk diamati publik. Apakah nakhoda baru kapal Jakarta tersebut akan lebih memprioritaskan program-program kerja untuk menata kapal Jakarta, menjaga, dan menyelamatkannya dari berbagai ancaman, baik internal maupun eksternal, ataukah akan lebih mengutamakan pengejaran targetnya untuk memudahkan jalan bagi kemenangan dirinya atau penyokong utamanya untuk memperebutkan posisi nakhoda kapal induk. Bisa diduga, jika pilihan kedua yang diambil, kapal Jakarta tidak akan melaju di lautan Indonesia dengan tenang, bisa-bisa malah oleng.

Bagi para penumpang kapal Jakarta, baik yang mendukung maupun tidak, mungkin pembenahan ke dalam akan dianggap jauh lebih penting. Bagaimanapun kapal ini tengah dipercantik sedemikian rupa oleh nakhoda lama, maka nakhoda baru sebaiknya melanjutkan kerja yang sangat bagus tersebut. Apalagi nakhoda baru sendiri dituntut untuk merealisasikan janji-janjinya kepada seluruh penumpang untuk terus mempercantik kapal ini.

Namun, semua itu terpulang kepada nakhoda baru. Prioritas mana yang akan lebih dikedepankan selama menakhodai kapal Jakarta ini. Pilihan untuk melangkah terbuka di hadapannya: mau mengedepankan langkah yang rasional atau hanya mau menuruti langkah yang emosional saja.

Jelas sebagai penumpang atau sesama penumpang kapal-kapal yang ada di Samudera Indonesia, kita berharap kapal Jakarta, yang notabene kapal utama, tidak mengalami guncangan hebat sehingga membuatnya oleng. Sebab, kalau kapal utama oleng, sangat mungkin akan berpengaruh ke kapal-kapal lainnya, dan pada gilirannya kapal utama pun ikut oleng.

Maka, pertanyaannya, mau ke mana nakhoda baru kapal Jakarta?

@iding rosyidin

Sejarah yang Selalu Berulang


DUNIA HAWA - Dalam sejarah Islam, sangat banyak peristiwa yang mengajarkan bagaimana manusia menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan..

Peristiwa itu juga terjadi pada masa kekhalifahan Imam Ali bin abu thalib.

Imam Ali dipaksa untuk menduduki kursi khalifah oleh masyarakat, sesudah kematian khalifah ke tiga Utsman bin Affan. Karena tidak mempunyai pilihan dan untuk menjaga kestabilan, Imam Ali akhirnya menerima permintaan itu.

Pasca menjadi khalifah, serangan datang bertubi-tubi. Salah satunya datang dari Muawiyah bin abu Sufyan.

Muawiyah sangat bernafsu untuk menjadi khalifah karena itu berarti menguasai umat Islam. Lebih dari itu, Muawiyah ingin membuat dinasti bagi diri dan keluarganya. Maka ia dengan pasukannya pun menyerang Imam Ali dan perang sesama umat muslim itu dikenal dgn nama perang Shiffin.

Imam Ali terkenal jago perang sehingga akhirnya bisa mematahkan serangan Muawiyah. Meski begitu Muawiyah ini terkenal licik dan licin.

Muawiyah tahu bahwa di barisan pasukan Imam Ali ada kelompok khawarij. Kaum khawarij ini adalah mereka yang menjalankan ritual agama sangat kuat bahkan fanatik. Ketika hampir terpojok, pasukan Muawiyah kemudian menancapkan Alquran di ujung tombak.

Maka ributlah para khawarij dan menuntut Imam Ali untuk berunding dengan Muawiyah karena ia "memakai Alquran". Imam Ali sudah mengingatkan bahwa itu hanya taktik saja ketika mereka diambang kekalahan tapi mereka tidak perduli. Kita mengenal situasi sekarang ini dengan kata "dibohongi pakai Alquran".

Akhirnya demi menjaga stabilitas di pasukannya, Imam Ali mau berunding dengan kelompok Muawiyah. Tetapi Muawiyah tahu bahwa ia sudah berhasil menjebak situasi persis seperti yang diinginkannya. Maka ia kembali mempengaruhi kaum Khawarij untuk memberontak kepada Imam Ali.

Imam Ali akhirnya syahid sesudah dibunuh pada saat shalat subuh oleh salah seorang khawarij itu. Dengan demikian kekhalifahan diserahkan pada anak tertua beliau yaitu Hassan bin Ali.

Muawiyah semakin berang. Ia kemudian mengintimidasi banyak orang bahwa siapapun yang mengangkat Imam Hassan sebagai khalifah akan dibunuh semua. Intimidasi Muawiyah ini mengakibatkan ketakutan di banyak orang.

Akhirnya demi menghindari perang yang lebih besar dan untuk menyelamatkan nyawa banyak orang supaya tidak sia-sia, maka Imam Hassan pun mengadakan perjanjian damai dan menyerahkan kekhalifahan pada Muawiyah. Imam Hassan kemudian diracun oleh suruhan Muawiyah supaya tidak ada yang menggugat kekuasaannya.

Belum selesai, pada masa Muawiyah mundur karena usia dan menyerahkan kekhalifahan pada Yazid anaknya, ia memerintahkan anaknya untuk membunuh Husein bin Ali anak kedua Imam Ali -adik Imam Hassan- dan terkenal dengan tragedi Karbala dimana Imam Hussein dengan 72 keluarganya dibantai oleh puluhan ribu pasukan Yazid di padang Karbala.

Dari sejarah kita belajar bahwa kekuasaan dunia itu bagi sebagian orang sangat manis sehingga harus diperoleh dengan segala cara.

Sejarah dari perang Shiffin ini kita melihat ada beberapa faktor yang selalu berulang yaitu menggunakan agama sebagai alat dan intimidasi untuk mencapai tujuan. Sudah tidak ada cara yang elegan dan terhormat dalam menduduki jabatan.

Sejarah seperti ini akan terus berulang dalam waktu dan tempat yang berbeda. Dan situasi seperti inilah yang akan memisah manusia, mana yang masuk golongan munafik dan mana yang bukan.

Seruput kopi dulu sebelum Jumatan. Shalat Jumat sudah mulai adem sekarang, karena tujuan mereka sudah tercapai. Sekarang para takmir sudah bicara tentang mimpi indahnya surga. Yang sedang sekarat pun lega, karena mereka akan dishalatkan sekarang...

@denny Siregar