Thursday, April 20, 2017

Pak Jokowi, Ingatlah! Tamasya “Mak Idah” Belum Berakhir


DUNIA HAWA - Saya sangat yakin keriuhan dalam Pilkada DKI tidak akan berhenti hanya sampai disini. Banyaknya terduga makar dalam aksi yang terjadi, sudah cukup untuk menjelaskan ada agenda yang lebih besar, serta konsesus yang terselubung dengan segala konspirasi dari kubu yang ingin menghentikan kekuasaan saat ini.

Model yang diterapkan pada kenyataannya berhasil diterapkan di Jakarta. Dimana kepentingan publik bagi masyarakat kontemporer urban tidaklah cukup untuk dimiliki oleh karakter seorang pemimpin. Dengan demikian sektarianisme, SARA, Primordial, minoritas, yang dibalut dalam politik identitas akan terus massive dilakukan di kota-kota lain, puncaknya adalah Pilpres 2019.

Keyakinan itu beralasan karena tujuan “mereka” adalah Negara Khilafah, jika pun tidak adalah Negara yang akan dipimpin kekuasaan lama dengan cara lama pula. Banyaknya mantan jendral yang terlibat dalam aksi belakangan ini, harus diakui adalah bahwa mereka pernah menjadi bagian dari Orba yang berkolaborasi dengan kelompok fundamental dan ormas radikal, serta partai-partai yang menginginkan Negara Khilafah, yang pertama mereka lakukan adalah Ibu Kota dibuat menjadi kota bersyariah.

Mereka telah menguasai media, tempat-tempat ibadah, bahkan dunia pendidikan. Indonesia seperti menunggu waktu saja, jika tidak segera berlawan dan tetap lantang mengatakan “tidak” untuk Negara Khilafah. Sia-sialah perjuangan para pendahulu dalam menegakkan Pancasila dan “Bhinika Tunggal Ika”.

Kita semua tahu kekalahan Basuki yang diserang SARA, pendukungnya sudah dengan berjiwa besar menerima kekalahan, dan apakah pendukung Anies sudah tenang dengan kemenangan? saya berkeyakinan “tidak”. Karena cita-cita mereka tidak cukup hanya dengan kemenangan Pilkada DKI saja.

Jika kembali ke masa Pilpres 2014, isu yang terjadi dalam Pilkada DKI sudah diterapkan dalam Pilpres 2014, dengan wacana lahirnya gaya komunisme baru, sampai beberapa bulan yang lalu masih begitu massive, salah satunya terbit buku Undercover yang memfitnah Jokowi dengan tuduhan “Kom”.

Kita harus akui bahwa masyarakat Indonesia masih kental dengan mistik ketimbang rasionalis, dari ulama yang menggandakan uang kemudian begitu banyak pengikutnya sampai dunia bakar kemenyan dan sesajian. Maka syurga dan neraka menjadi ampuh untuk dijadikan “rudal”, sementara orang-orang rasionalis, sekuler ataupun nasionalis, menyerahkan bahwa urusan Syurga adalah menjadi haknya Tuhan bukan manusia. Namun pada kenyataannya konsep syurga dan neraka berhasil diterapkan salah satunya untuk menuju syurga dengan tidak memilih pemimpin yang seagama, sementara agama sendiri tidak mengindahkannya.

Kekalahan Basuki bukan hanya terletak pada strategi dan taktik yang begitu “keji” semata, melainkan juga terletak pada kesadaran masyarakat DKI yang belum terbangun kesadarannya untuk melihat dunia secara realistis, meski terkadang peristiwa kadangkala seperti absurd.

Maka sesuatu yang irasional ataupun tak masuk akal menjadi wajar dengan sendirinya di mata masyarakat kontemporer urban, seperti pepatah lama kebohongan publik yang kemudian menjadi pembenaran.

Jika kita melihat runtuhnya Soekarno, lengsernya Gusdur juga tak lepas dari kesadaran masyarakat yang masih naïf dan mistik, hingga politik identitas dan konspirasi serta konsesus terselubung mampu menyusupi posisi strategis di ruang kekuasaan untuk merebut kekuasaan demi kepentingan golongan dan nama. Sementara rakyat tak berkutik, ada yang bertepuk tangan dan ada juga yang termangu. Bahkan acuh dan tidak peduli sama sekali terhadap problem bumi pertiwi. Hal inilah yang diinginkan imperialisme global, adalah kehilangan kesadaran masyarakat terhadap bangsanya sendiri.

Dalam percaturan politik dunia, negara yang dikuasai militer ada peliharaan yang sengaja dipelihara untuk melanggengkan dominasi. Jika kita berpikir sederhana bahkan sangat sederhana, bagaimana mungkin Negara yang ada militer yang ada aparat penegak hukumnya tak mampu meredam dan menguasai ormas-ormas radikal, disini saya tidak akan menyebutkan bahwa ormas radikal di Nusantara memang sengaja dipelihara, silakan kawan menganalisa sendiri dan menjawabnya “begitu sulitkah bagi aparat untuk membubarkan ormas fundamental, partai fundamental, kelompok radikal, yang mana mereka tidak lebih banyak di tanah air ini seperti di Timur Tengah?” dan “apakah hal ini bagian dari demokrasi, lalu apakah jika dibubarkan adalah pelanggaran HAM?”. Saya rasa banyak anu-anunya dan ini-itunya.

Jokowi harus bersiap diri, 2019 adalah pertarungan dalam kontes politik yang juga tidak menutup kemungkinan menggunakan metode dan konsep seperti dalam Pilkada DKI. Bahkan lebih cadas, konsesus terselubung akan lebih gencar, dan alangkah baiknya semua sudah diperhitungkan mulai saat ini, sudah menyiapkan jawaban atas strategi yang akan bertarung sengit, apalagi mengingat Gubernur DKI yang terpilih pernah menjadi bagian dari Jokowi. Tentunya hal ini begitu bermanfaat bagi PKS, Gerindra, dan kelompok sertas ormas radikal yang bertujuan mendirikan khilafah seperti yang mereka yakinin.

Apakah pendukung Anies atau partai pengusungnya sudah tenang dengan kemenangan di Pilkada DKI?

“Tidak”. Karena cita-cita mereka tidak cukup hanya dengan kemenangan di Pilkada DKI saja.

Pak Jokowi, tamasya “mak idah” belum berakhir. Persiapan harus segera dimulai, rakyat bersamamu, rakyat bersatu tak bisa dikalahkan, dirimu tidak sendiri. Karena kami muak dengan semua ini yang sudah ada sejak dulu dan hidup kembali lewat Pilkada DKI.

Jika Keberanian hilang, jika ketegasan luluh, jika suara bungkam, maka Mak Idah akan tetap bertamasya! 

Politik itu indah sekaligus menyakitkan.

@losa terjal


Ahok Memang Lebih Baik Kalah


DUNIA HAWA - "Kamu bayangkan seandainya Ahok menang..." Kata temanku datar.

Aku meresapi aroma kopiku siang ini. Menangisi kekalahan akal sehat yang terintimidasi oleh politisasi ayat dan mayat. Betapa sulitnya menjadi waras ditengah semua kegilaan ini.

"Sesudah Ahok diumumkan menang, ia diputuskan tidak bersalah oleh pengadilan.." Temanku melanjutkan. "Yang terjadi adalah ada alasan bagi lawan politik untuk melancarkan serangan demo berturut-turut yang akan mengguncangkan pemerintahan.."

Kepalaku terangkat tertarik mengikuti pemikiran temanku ini. Kucecap kopi yang sudah mendingin di hadapanku.

"Demo besar itu akan terus dibesarkan skalanya, dengan dana yang dikucurkan dari luar karena kepentingan mereka terganggu. Freeport misalnya.

Isunya adalah People Power. Rakyat menghendaki pemimpin muslim karena sesuai perintah Tuhan. Rakyat yang masih awam dan belum terpelajar, akan turun ke jalan dengan alasan membela ayat Tuhan.

Isu ini akan membesar dan rakyat yang turun ke jalan semakin banyak, dari mana-mana dengan kemudahan transportasi yang sudah dibayarkan oleh pelaksana.

Ekonomi jelas terganggu dan investasi terhambat. Yang terjadi dana dari dalam negeri kembali terbang keluar. Rupiah jatuh drastis dan ratusan miliar rupiah habis hanya untuk biaya pengamanan..

Pada momen tertentu, tentara ikut bergerak. Isunya adalah tentara pecah. Tentara akan mengamankan "amanat rakyat". Presiden dipaksa turun dan keluar dari istana, persis kejadian 2001 saat GusDur harus berpisah dari jabatan.
Dan Presiden pasti akan melakukan hal yang sama, mengingat karakternya yang tidak ingin ada perpecahan. Akhirnya ia turun dan terjadi perpecahan pula di parlemen...

Rakyat di wilayah Tinur yang mayoritas Kristen akan berontak pula karena merasa terjadi cacat dalam demokrasi. Mereka akan menindas muslim minoritas dan mengumumkan tuntutan pemisahan diri dari NKRI. Situasi jauh lebih rumit dari yang diperkirakan.

Bisa saja terjadi benturan akhirnya dengan kekerasan dimana-mana. Akhirnya keadaan darurat diberlakukan dan pasukan keamanan internasional turun dan ikut campur dalam masalah dalam negeri..."

Aku terbelalak mendengarkan prediksi temanku yang begitu liar. Sebuah kemungkinan yang bisa dibilang kecil tetapi kemungkinan tetaplah kemungkinan. Apapun bisa terjadi, terutama ketika melihat apa yang sudah pernah ada melalui demo angka berangka sebelumnya.

"Masyarakat kita belum bisa menerima perbedaan. Terlalu prematur ketika sesuatu yang belum matang dipaksakan keluar. Perpecahan bisa terjadi dengan menunggangi isu sensitif yang terus dipertajam.

Dan mereka yang dulu berkuasa selama puluhan tahun akan keluar dan menjadi pahlawan. Saling gandengan tangan dengan politikus, pejabat dan tentara hitam yang haus kekuasaan. Dan kita kembali memasuki masa kegelapan.."

Kuseruput kopiku dan kubakar rokok yang tinggal sebatang. "Jangan remehkan sekelompok orang bodoh dalam jumlah besar" kata seseorang.

Kita ternyata masih belum matang dan perlu waktu yang lebih lama untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan dan persamaan hak sebagai anak bangsa.

Tuhan punya rencana lain. "Barang" itu sengaja dilepas untuk menjaga stabilitas. Ada hal yang belum tuntas dan perlu perbaikan disana sini sebelum masuk pada wilayah kesadaran.

Aku mulai tersenyum. Terkadang banyak hal yang tidak terpikirkan keluar dari kegelisahan. Kuhirup secangkir kopi yang pahit tetapi di pahit itulah sebenarnya sumber kenikmatan.

@denny siregar


Pak Ahok, Dengarkan Saya..


DUNIA HAWA
Selamat sore Pak Ahok...

Apa kabar bapak hari ini? Semoga selalu dalam lindungan Tuhan yang Maha Kuasa. Dan diberi ketabahan serta kelapangan hati, atas semua permasalahan yang bapak hadapi sampai hari ini.

Pak Ahok, telah sama-sama kita saksikan hasil perolehan suara kemarin. Hasilnya, sebagian besar warga Jakarta tidak ingin bapak melanjutkan pekerjaan 5 tahun ke depan. Bagi warga yang menaruh harapan kepada bapak, tentu ini suatu pukulan telak, mengapa orang yang sudah berbuat banyak untuk Jakarta, tidak dipercaya lagi seakan bapak tidak melakukan apa-apa?

Pak, mereka boleh berdalih jagoan mereka lebih hebat dari Anda. Mereka boleh berdalih telah melalui proses demokrasi yang seharusnya. Mereka boleh berdalih hanya menuruti perintah kitab suci dan agama. Meski kita semua tahu dengan mata telanjang, bahwa Anda dijatuhkan, dirusak, diinjak-injak, dan dizhalimi secara sistematis. Oleh mereka yang telah lama mengincar takhta.

Pak, kami tidak tahu. Bagaimana nasib kota ini ke depan tanpa bapak. Apakah kami masih bisa mengadu ke balai kota atas semua permasalahan kami. Apakah masih ada yang memperhatikan kesehatan dan pendidikan keluarga kami. Dan apakah semua kemajuan di kota ini dapat dipertahankan oleh gubernur terpilih nanti.

Pak, banyak yang gembira atas kemenangan lawan bapak. Tak terkecuali dua keluarga besar saya, dari pihak ayah maupun ibu, yang mana merupakan muslim yang taat. Mereka bersyukur Jakarta dipimpin oleh orang yang seagama. Selama masa kampanye kemarin, pak, grup WA keluarga besar penuh dengan dalil-dalil agama. Sungguh saya tidak setuju ayat yang begitu suci harus digunakan untuk menjatuhkan Anda. Walau akhirnya saya harus mengeluarkan diri dari grup, demi menjaga hubungan persaudaraan.

Pak, saya tulus menyayangi Anda. Meski Anda tidak mengenal siapa saya. Dan meski kita belum pernah bertemu sebelumnya. Kadang saya bertanya, apakah saya keliru, karena berbeda dari kebanyakan keluarga? Apakah saya berada di jalan yang salah, sehingga mereka sering berseru kepada saya agar kembali ke jalan yang benar?

Pak, ada hal tak kalah penting selain saya sebagai seorang muslim harus belajar agama. Ialah keadilan, memanusiakan manusia layaknya manusia. Itulah yang saya pelajari dari Anda selama ini, hingga tumbuh rasa cinta saya untuk bapak. Anda telah memanusiakan seluruh golongan warga Jakarta, namun maafkan kami pak, sebagian besar dari kami belum mampu memanusiakan Anda.

Pak Ahok, masih ada waktu 6 bulan bagi kami untuk melihat bapak di balai kota. Masih ada kesempatan bagi kami untuk melihat bapak terus bekerja. Meski harus kami sadari, setelah bulan Oktober berlalu, sosok bapak tidak akan kami lihat lagi. Tidak ada lagi Pak Ahok yang datang ke kampung-kampung warga, tidak ada lagi Pak Ahok berseragam coklat tengah bekerja. Tidak ada lagi Pak Ahok yang galak kepada ‘preman’ penuntut sesuatu yang bukan haknya. Semua tentang bapak akan lenyap dan berlalu, dengan sosok yang masih cukup asing di sanubari kami.

Pak, Anda boleh berkata kekuasaan itu Tuhan yang beri, Tuhan juga yang ambil. Mungkin Anda sudah menerima itu, sebagai orang yang amat bijaksana. Sebagai orang yang sabar tiada batas atas ujian yang mendera. Namun yang perlu Anda tahu, pak, lebih dari 40% warga telah membuktikan kedewasaannya dengan memilih bapak. Mereka yang tidak terpengaruh isu sara dan penistaan agama. Mereka itulah yang menaruh harapan kepada bapak terhadap masa depan kota tercinta ini. Tidakkah bapak ikut merasakan saja, bagaimana perasaan kami menerima semua hasil ini?

Pak, bapak boleh menyerah. Bapak boleh bilang akan beristirahat sejenak dari dunia politik. Bapak juga boleh bilang akan menikmati masa tua dengan meninggalkan negeri ini. Atau lebih pahit daripada itu, bapak ingin menerima hukuman bila akhirnya jeruji besi tengah menanti. Namun yang harus bapak ingat, bapak sudah meletakkan pondasi kepemimpinan yang mustahil ada yang bisa menggantikan. Tegakah bapak meninggalkan semua yang sudah bapak bangun bersama Pak Jokowi dan Pak Djarot?

Pak. Saya bersyukur terlahir di masa bapak memerintah. Karena apa yang terjadi hari ini, akan menjadi catatan sejarah di masa yang akan datang. Entah itu 50 tahun, atau 100 tahun lagi. Suatu penindasan terhadap seorang minoritas yang direnggut hak warga negaranya, oleh politisasi bernama agama.

Pak, banyak yang ingin saya luapkan kepada Anda. mungkin bila saya ada di hadapan bapak. Saya akan mencium tangan bapak. mengucap terima kasih atas semua pengorbanan bapak, kemudian menundukkan kepala. Tidak sanggup menampakkan wajah yang telah berurai air mata. Karena sebagai orang yang blak-blakan dengan suara khasnya, bapak akan menepuk pundak saya sambil berkata: “Udah, lo laki segala pake nangis. Laki tuh harus kuat!”

Pak, kami mencintai Anda. Tolong jangan berhenti mencintai kami. Jangan tinggalkan kami. Berjanjilah kepada kami, suatu saat Anda akan kembali. Dengan tanggung jawab yang lebih besar daripada sekadar Gubernur DKI. Walau saya tidak tahu kapan tepatnya suatu saat itu. Dan saya berharap saat itu, warga negeri ini sudah terbuka mata hatinya. juga sudah adil sejak dalam pikiran, hingga bisa memberi keputusan terbaik merawat NKRI yang tercinta ini.

Pak, dalam hitung cepat dan mungkin dalam hasil KPU, Anda telah kalah. Tapi tidak di hati kami. Ada sesuatu yang bapak tinggalkan kepada kami semua, bernama: “harapan”.

@muhammad bagus


Paket Stigma Mendulang Suara: Cina, Kafir, Komunis, Syiah


DUNIA HAWA - Dengan kemenangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno yang terpaut hampir 15 persen suara dari Ahok-Djarot melalui perhitungan cepat oleh pelbagai lembaga survei, babak baru telah dimulai dalam perpolitikan Indonesia. Selain adanya campur tangan oligarki dengan kemunculan tokoh lama yang berwajah baru, ada juga isu yang dimainkan untuk mendulang suara.

Isu inilah yang menjadi tren untuk mendapatkan simpati pemilih. Meskipun Jakarta di bawah Ahok mengalami kemajuan pesat, baik infrastruktur maupun program kesejahteraan untuk kelompok kelas bawah dan menengah, masyarakat melihatnya murni sebagai seorang Tionghoa yang beragama Kristen. Kedua identitas ini yang dimainkan oleh mesin politik lawannya dengan menggunakan sentimen agama.

Di sisi lain, di tengah demokratisasi kepemilikan telepon pintar dan peningkatan penggunaan media sosial, isu penistaan agama yang dimainkan terkait dengan ungkapan Ahok “dibohongi pakai Surat Al-Maidah” di Kepulauan Seribu menjadi senjata ampuh untuk meruntuhkan simpati publik atas kerja-kerja progresifnya membangun Jakarta.

Stigma ini terus direproduksi untuk membangun ketakutan. Lebih jauh, pada level ekstrem, masjid kemudian dijadikan sarana membangun doktrin kebencian. Dan yang paling gila, dibuat juga ultimatum bahwa warga Muslim yang memilih non-Muslim tidak akan disalatkan jenazahnya.

Kedekatan Ahok dengan Presiden Joko Widodo serta afiliasinya dengan PDIP memperkuat fitnah bahwa ada ideologi komunisme di belakangnya. Di tengah kondisi ini, Anies justru melakukan akrobat yang bertolak belakang dengan posisi yang sebelumnya melambungkan namanya: pengikat tenun kebangsaan.

Selain melakukan upaya pembersihan diri sebagai mantan Rektor Paramadina yang bersih dari kelompok Syiah dan ajaran Islam liberal (sebagaimana Nurcholish Madjid atau Cak Nur yang terbuka dengan kelompok Islam lain, kemajemukan, dan minoritas), Anies juga mendekatkan diri pada ormas Islam garis keras. Strategi ini justru menjadi cara paling ampuh untuk melipatgandakan dukungan pemilih kepadanya.

Pertanyaannya, apakah isu reklamasi dan penggusuran di bawah kepemimpinan Ahok mempengaruhi elektabilitasnya? Jawabannya, sangat tidak signifikan.

Meskipun masalah tersebut menjadi krusial bagi kelompok aktivis HAM dan penggiat hak masyarakat sipil urban, itu bukanlah isu harian yang mudah diimani dan diamini oleh kebanyakan masyarakat Jakarta, terutama golongan menengah bawah yang berpendidikan rendah. Sementara itu, identitas keislaman bisa dengan mudah menyatukan mayoritas, terlepas dari status sosial-ekonominya.

Ketiga stigma Cina, kafir, dan komunis) inilah yang menjadi narasi utama yang akhirnya mengantar Ahok pada kekalahan telak di Pilkada Jakarta 2017. Meskipun upaya membangun sentimen keislaman yang ramah dan bersahabat itu sudah dilakukan di kubu Ahok, misalnya dengan menguatkan identitas keislaman Djarot.

Namun, sayang sekali, hal itu dilakukan terlambat; kurang lebih 2 minggu sebelum pemilihan dilakukan. Terkait dengan ideologi komunis, isu yang sama juga dimainkan di Pilkada Banten, khususnya 2 minggu sebelum pemilihan, yang kemudian membuat Rano Karno-Embay Mulya kalah dari Wahidin Halim-Andika Hazrumy dengan margin 1 persen.

Berkaca dari Pilkada Jakarta, stigma semacam ini yang ke depan akan dimainkan dan menjadi model untuk para calon yang bertarung di pilkada melalui mesin pemenangan tim dan konsultan politik. Upaya ini mulai tampak menggeliat dimainkan di Jawa Barat setelah Ridwan Kamil secara resmi mencalonkan diri untuk bertarung di Pemilihan Gubernur Jawa Barat dengan dukungan dari Partai Nasdem.

Narasi yang mulai beredar adalah Ridwan Kamil dituduh sebagai pengikut Syiah. Tuduhan ini yang kemudian Kang Emil bantah melalui status Facebooknya. Upaya mendulang suara dengan membawa isu Syiah juga terlihat saat Arya Bima melarang perayaan Assyura di Bogor pada 24 Oktober 2015.

Ketakutan politisi disandingkan dengan identitas tersebut juga bisa dilihat dari kasus Syiah Sampang, Madura, yang sudah 5 tahun bertahan di Rumah Susun Jemundo, Sidoardjo, Jawa Timur, tanpa adanya inisiatif penyelesaian dari Gubernur Soekarwo maupun kepastian proses hukum agar mereka bisa kembali ke kampung halamannya.

Harapan akan Indonesia yang dibangun dengan nilai-nilai toleransi yang menjunjung tinggi kebhinekaan dan HAM akan menjadi sekadar wacana yang direproduksi oleh LSM dan komunitas-komunitas pegiat keragaman serta dirayakan dalam dunia akademik. Namun, secara kebijakan publik, hal itu akan dibuang karena justru berpotensi menurunkan elektabilitas pejabat terkait untuk bertarung di kontestasi selanjutnya.

Jika hal seperti ini terus terjadi, kita tidak usah lagi mengingat narasi-narasi para pendiri bangsa, ketika keragamaan dan perbedaan merupakan kenyataan yang harus diterima dan dirawat. Sebaliknya, ia harus ditolak. Ironisnya, penolakan ini dilakukan melalui mesin elektoral yang seharusnya memungkinkan kita melahirkan generasi pemimpin baru yang terbebas dari warisan Orde Baru dan penuh inisiatif segar untuk membangun Indonesia.

Memperkuat kembali politik kebhinekaan menjadi kewajiban saat ini. Memang, ada banyak hal yang mungkin kita tidak sepakati terkait dengan prinsip dan visi mengenai kebhinekaan ataupun tokoh yang menjadi representasi perjuangannya. Tetapi, menguatkan politik kebhinekaan ini menjadi agenda penting, ketimbang diam, tidak berpihak, dan seolah-olah netral, namun menyesal di kemudian hari.

Selain mematahkan dominasi isu identitas, perjuangan kebhinekaan juga dilakukan untuk membendung arus konservatisme yang sedang mendapatkan angin segar di bawah pasangan baru Gubernur terpilih DKI Jakarta dan wakilnya, Anies-Sandi.

Jika tidak ada perlawanan, maka tahun 2019 akan menjadi pertaruhan terakhir: apakah politik kebhinekaan kita akan menjadi wajah yang membentuk Indonesia ke depan atau mengalami kegagalan dan berganti wajah Islamisme yang semakin mengeras di ruang publik?

Lebih jauh, apakah kita akan melihat sosok Presiden Jokowi yang mengayomi masyarakat Indonesia kembali dengan visi besarnya melalui pembangunan infrastruktur di pelbagai daerah atau diganti dengan orang yang memiliki warisan kelam masalah HAM masa lalu yang beraliansi dengan golongan Islam keras?

@wahyudi akmaliah


Surat Cinta untuk Nahdlatul Ulama


DUNIA HAWA - Pilgub DKI 2017 selesai sudah. Meski belum resmi, tetapi sudah bisa diprediksi bahwa Ahok kalah.

Saya selalu melihat suatu masalah secara global. Begitu juga apa yang terjadi di Jakarta. Apa yang terjadi di Jakarta, kita tahu bahwa ini bukan tentang Ahok vs Anies saja. Tetapi jauh lebih besar dari itu. Ini sebenarnya adalah pertarungan kelompok nasionalis vs radikal.

Saya setuju dengan pandangan Gus Tutut, Ketua DPP GP Anshor Jakarta, "Kami sangat menolak calon gubernur yang didukung Islam radikal dan Islam garis keras".

Meskipun pernyataan itu agak telat, karena baru diucapkan beberapa hari sebelum pemilihan, setidaknya saya bisa melihat NU -dalam hal ini Ansor- sudah bisa mengidentifikasi situasi.

Gerakan-gerakan Ansor di beberapa daerah seperti di Jatim dan Jateng dalam menghalau kelompok Islam garis keras adalah bukti bahwa NU sudah mulai menyadari ada yang salah di negeri ini.

Kalau kita melihat pola gerakan Islam garis keras, disana kita melihat kesamaan. Mereka tidak penting siapa calon pemimpin yang mereka dukung. Tetapi bisa dilihat bahwa mereka selalu ada di belakang calon pemimpin yang tidak berkarakter, lemah dan tidak tegas, kompromistis dan ambisius.

Pada calon pemimpin dengan model seperti itulah mereka berkembang biak karena mudah menungganginya.

Islam garis keras dengan baju HTI, FUI, FPI dan segala macam lainnya itu sebenarnya punya agenda tersendiri. Tujuan jangka panjangnya adalah KHILAFAH.

Tetapi mereka tahu bahwa mereka harus bisa menunggangi situasi dulu, sambil berkembang menyebarkan virusnya kemana-mana. Mereka harus menguasai pemerintahan, parlemen sampai elemen-elemen masyarakat yang tidak mengerti bagaimana agenda mereka sebenarnya.

Dan pada titik tertentu, disaat semuanya tepat, disaat mereka merasa sudah berhasil menguasai banyak wilayah, mereka akan membuka baju mereka.

Cara mereka bisa kita lihat dengan telanjang melalui peristiwa kampanye di Jakarta. Mereka menguasai masjid-masjid baik yang besar dan yang kecil, kelompok-kelompok pengajian, sampai sekolah mulai PAUD dan Universitas dengan menaikkan kebanggaan akan golongan.

Politisasi di semua lini -termasuk di masjid- sudah mewabah begitu kencang. Mereka bahkan berani memainkan ayat dan mayat untuk mencapai tujuannya.

Kemenangan mereka di Jakarta akan menjadi tolak ukur apa yang akan mereka lakukan juga di daerah-daerah selanjutnya dalam ajang pemilihan kepala daerah. Kita nanti akan banyak melihat model-model kampanye seperti di Jakarta, karena dengan begitu mereka memperoleh kemenangan yang nyata.

Mudah sebenarnya melihat mana yang benar dan mana yang salah. Dimana mereka berkumpul, dibalik sosok atau tokoh tertentu, disitulah sebenarnya letak masalah. Dari identifikasi awal ini sebenarnya -kita yang melawan ideologi mereka- harus berada pada posisi yang berseberangan, di lawan mereka.

Tidak mudah melawan mereka, tetapi mudah memancing keberadaan mereka. Pancing emosi mereka. Dan ketika kita dituding kafir, munafik dan sebagainya, berarti kita sudah berada pada posisi yang berseberangan dengan mereka.

Perang dengan mereka tidak perlu mengandalkan fisik karena itu yang mereka mau untuk memperkeruh suasana. Tetapi kita melawan dengan konstitusi, mendukung tokoh dan sosok yang dilawan mereka.

Karena itu, dalam setiap pemilihan kepala daerah selanjutnya, semoga kita bisa belajar dari peristiwa Jakarta. Dan NU -juga elemen-elemen di dalamnya seperti GP Ansor dan Banser- sudah mulai bisa mengidentifikasi diri harus kemana.

Tidak perlu bermain politik praktis, tetapi mendukung pemimpin yang tidak didukung kelompok intoleran adalah perjuangan yang sesungguhnya.

Rebutlah masjid-masjid yang dulu direbut mereka. Satukan barisan dalam satu komando dengan tujuan mempertahankan persatuan dan kesatuan negara. Negeri ini terlalu indah untuk harus diseragamkan dalam konsep khilafah.

NU adalah lapisan terakhir Indonesia yang masih berdiri gagah, meski sekarang di internalnya pun masih bergulat dengan kaum intoleran. Tetaplah moderat dan menjadi acuan bagi seluruh agama di Indonesia.

Karena Islam mayoritas sesungguhnya adalah NU dan bukan mereka..

Semoga secangkir kopi pahit yang tersuguh hari ini menyadarkan bahwa selalu ada makna dalam peristiwa yang diberikan Tuhan kepada kita.

Seruput.

@denny siregar