Tuesday, April 18, 2017

H-1 Pilkada, Banser NU, PPP, dan PDIP difitnah bertubi-tubi


Ketika Berbagai Program Mengawang-awang  Tetap Tidak Bisa Memenangkan Suara Rakyat, Strategi Rendahan Lain pun Dimainkan: Fitnah Sembako dan Kekerasan


DUNIA HAWA - Keputusan Di Tangan Anda. Di minggu tenang Pilkada DKI Jakarta 2017, nampaknya ada pihak yang tidak bisa tenang entah karena apa. Hal itu dapat kita lihat dari munculnya hoax masif yang dialamatkan ke kelompok-kelompok pendukung utama pasangan Ahok-Djarot  seperti Banser NU, PPP, dan PDIP yang dimana hoax-hoax ini muncul di hari-hari  terakhir pilkada DKI. Di sisi lain, Kita tahu bahwa hanya satu dari sekian banyak lembaga survey kredibel  yang menjamin kemenangan mutlak paslon Anies-Sandi, yakni LSI Denny JA, yang kita ketahui bersama rekam jejaknya tidak begitu memuaskan untuk dapat dijadikan acuan. Penulis tidak menyugestikan apapun, tetapi masyarakat Jakarta yang cerdas pasti akan merasa janggal dengan fitnah-fitnah murahan ini, apalagi kalau sambil mengingat kualitas inteligensi pasangan Ahok-Djarot di setiap sesi debat, masyarakat pasti sadar bahwa akan dogol sekali kalau memang kubu Ahok-Djarot berani membagi-bagikan sembako dan menyerang kubu FPI di saat-saat seperti ini. Berikut dipaparkan klarifikasi masing-masing kelompok tersebut.
Banser Menyerang Rumah Ketua FPI

Seperti yang dilansir oleh Detik,Ketua Umum Gerakan Pemuda (GP) Ansor, Yaqut Cholil Qoumas, memberi penjelasan terkait insiden FPI dengan Barisan Ansor Serbaguna (Banser) di Kramat Lontar, Jakarta Pusat tadi malam (17/4). Dia tegaskan bahwa Banser tidak ikut dalam proses Pilkada, apalagi membagikan sembako.

“Nggak ada. Ansor nggak ikut-ikutan proses Pilkada, apalagi bagi sembako. Kami bagi sembakonya pas jelang zakat fitrah saja,” jelas Yaqut, pada acara Apel Kebangsaan Banser, di Bumi Perkemahan Ragunan, Jalan RM Harsono, Jakarta Selatan, Selasa (18/4/2017).

Kemudian dia menjelaskan kronologi singkatnya. Awalnya, ada seorang ibu yang merupakan cicit dari pendiri Ansor melapor ke Polres Jakarta Pusat karena rumahnya diserbu orang lantaran dikira membagikan sembako.

“Nah ketika pulang, kita kawal. Kan kasihan, perempuan. Sekitar jam 01.00 WIB, tiba-tiba ada yang melempari batu. Kita tidak melawan. Kita mundur karena kalah jumlah,” jelasnya.

Banser tidak melawan karena menurutnya itu bukan sikap Banser. “Apalagi menyerbu, itu bukan Banser. Tapi kalau memulai duluan, jangan tanya. Kita lebih berani,” imbuhnya.

Atas adanya pemberitaan itu, dia mengaku sudah melaporkan portal berita online yang awalnya menulis berita tersebut. Menurutnya, pemberitaan itu tidak benar.

“Ini ada pelintiran berita. Kita sudah adukan kepada kepolisian dan Dewan Pers,” ucapnya.

Portal berita online mana yang dimaksud oleh Ketua GP Anshor? setelah ditelusuri, satu dari beberapa portal media ternama yang memberitakan fitnah keji ini  adalah portal berita Okezone

Sebenarnya tidak perlu repot-repot menunggu klarifikasi dari Ketua Banser, dengan logika sederhana dan pertimbangan track record pun, berita ini sedari awal sudah terlihat janggal. Memangnya ormas mana yang kegiatan sehari-harinya sweeping kesana-kemari, lempar batu kesana-kemari, serbu kesana-kemari, hanya karena berbeda pandangan? agaknya Banser NU yang sudah berpengalaman ratusan tahun ini tidakserendah itu attitudenya.

PPP Membagi-bagikan Sembako di Pilkada DKI


Islam moderat seperti PPP dan PKB pun tak luput dari serangan fitnah karena berani mendukung Ahok-Djarot. Seperti yang dilansir oleh Detik, Ketua DPC PPP Jakarta Selatan kubu pengurus Ketum Romahurmuziy, Syaiful Dasuki, membantah isu yang beredar mengenai penyimpanan dan pembagian sembako di kantornya. Saiful menegaskan sembako itu diperuntukkan konsolidasi internal dan tidak ada kaitannya dengan Pilgub DKI.

“Tidak ada pembagian sembako. Tidak ada pembagian dan itu memang stok untuk konsolidasi kita,” ujar Syaiful di Jalan Margasatwa Bar 24A, Jagakarsa, Jaksel, Senin (17/4/2017).

Syaiful menerangkan pihaknya kini tengah fokus dalam melakukan konsolidasi internal di tingkat ranting (Kelurahan). Hal tersebut termasuk menggelar kegiatan Istigosah untuk persatuan Jakarta dan peringatan Isra Mi’raj.

“Dalam setiap acara kami juga melakukan pembagian ‘berkat’ (dalam istilah Betawi) berupa bahan sembako, yang umum dilakukan oleh masyarakat Betawi muslim yang menjadi konstituen utama kami di Jakarta Selatan,” terangnya.

Selain itu, Syaiful juga mengungkapkan kegiatan konsolidasi dilakukan setelah pemungutan suara putaran dua Pilgub DKI selesai untuk menghormati masa tenang. Oleh karena itu sembako tersebut disimpan di kantor untuk persiapan kegiatan pasca pemungutan suara.

“Kami simpan terlebih dahulu di kantor kami, untuk persiapan pelaksanaan selanjutnya pasca Pilkada,” ungkap Syaiful.

Syaiful juga turut menyesalkan adanya pemberitaan dirinya telah ditangkap. Dia menegaskan kabar itu tidak benar dan justru mempertanyakan pihak-pihak yang mengatasnamakan DPC PPP Jaksel di bawah kepemimpinan Abraham Lunggana (Haji Lulung).

“Cuma ada kami DPC PPP Jakarta Selatan yang berhak atas kantor DPC PPP Jakarta Selatan dan sepanjang yang kami tahu dari media, saudara Haji Lulung juga telah dipecat oleh Bapak Djan Faridz beberapa waktu lalu,” tuturnya.

Selanjutnya, Syaiful juga meminta pihak kepolisian untuk membantunya dalam menjaga kantornya itu. Dia mengaku pihak yang mengatasnamakan DPC PPP Jaksel itu tidak berhak atas kantornya di Jagakarsa itu.

“Kami juga meminta bantuan kepada aparat kepolisian untuk membantu menjaga kantor kami dari pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab,” kata Syaiful.

Sebelumnya diberitakan, warga menyegel Kantor DPC PPP Jakarta Selatan yang berada di bilangan Jagakarsa tadi pagi. Penyegelan tersebut terkait adanya penyimpanan sembako dalam masa tenang Pilgub DKI.

Ketua DPC PPP kubu Haji Lulung, Hadi menduga pengiriman sembako itu dikoordinir oleh pengurus PPP kubu Ketum Romahurmuziy (Romi). Lulung sendiri mengatakan pengiriman sembako itu sebagai bentuk kecurangan.

“Ada laporan masyarakat, ada penurunan sembako jam 02.00 WIB pagi sebanyak 7 truk sembako. Lalu teman-teman yang sedang berkeliling melapor ke saya. Kemudian saya persuasif ajak komunikasi warga, saya dapati ini dikoordinir oleh PPP kubu Romi,” ujar Hadi, Senin (17/4).

Untuk hoax yang beredar heboh ini, oknum yang bertanggung jawab adalah Haji Lulung, Pecatan PPP yang berada di kubu Anies-Sandi.

PDIP Membagi-bagikan Sembako di Pilkada DKI


Partai utama pendukung Ahok-Djarot sepertinya sudah kenyang dengan fitnah-fitnah seperti ini. Seperti yang dilansir oleh Tribun News, Wakil Ketua Fraksi PDI Perjuangan Arif Wibowo angkat bicara mengenai tudingan sembako di rumah anggota DPR. Arif mengatakan sembako tersebut ditujukan untuk DPD PDI Perjuangan DKI Jakarta.
Sembako itu untuk kegiatan dapur umum yang disiapkan bagi saksi Ahok-Djarot. “Pokoknya dapur umum lah, cek saja di DPD PDIP,” kata Arif di Gedung DPR, Jakarta, Senin (17/4/2017). Mengenai rumah dinas Ketua Fraksi PDI Perjuangan Utut Adianto yang dikabarkan menjadi tempat penyimpanan sembako, Arif mengatakan untuk menyimpan beras. “Menyimpan beras di rumah anggota emang kenapa, enggak ada larangan kan? siapa aja boleh asal beras legal,” kata Arif.
Sebelumnya, Tim advokasi Anies-Sandi akan melaporkan rumah anggota DPR Utut Adianto Wahyuwidayat ke Badan Pengawas Pemilu DKI Jakarta. Rumah Utut diduga menjadi penyimpanan logistik sembako yang dibagikan ke masyarakat di masa tenang Pilkada Jakarta putaran kedua.

Ketua DPP PDIP Andreas Hugo Perreira seperti dilansir oleh Merdeka Online menegaskan bahwa sembako di rumah dinas Ketua Fraksi PDIP Utut Ardianto bukan untuk dibagikan ke warga. Sembako itu disiapkan untuk makanan para saksi dari pihak pasangan Basuki Tjahaja Purnama- Djarot Saiful Hidayat.

“Saksi ini dikasih makanan dan dikirim makanan, (Sembako) dimasak di beberapa tempat untuk nasi bungkus. Dan mereka enggak cari makan di luar saat jadi saksi di tiap TPS,” kata Andreas di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (18/4).

Selain itu, Andreas menjelaskan bahwa partainya memiliki program sembako murah. Namun, sembako murah bukan dibagikan ke warga namun dijual dengan harga murah. Sehingga warga bisa membelinya dengan harga terjangkau.

“Kita enggak bagi gratis, artinya itu kan dibeli dengan harga yang lebih murah dan dalam proses ini kan hal yang biasa, pasar murah dan itu terbuka kok,” jelasnya.

Seperti kata pepatah, Gajah di pelupuk mata tak tampak, semut di seberang lautan nampak. Kubu Ahok pun dengan berat hati harus membuka aib-aib kubu sebelah dengan cara yang sama namun dengan bukti yang jauh lebih meyakinkan, yakni Video-video bukti bahwa paslon mereka turun langsung untuk melakukan tindakan tidak terpuji tersebut.

Berikut salah satu dari sekian banyak video bukti pembagian sembako diikuti sumpah untuk memilih gubernur muslim.


Hari ini ada pembagian sembako di masjid dekat tempat saya tinggal, dengan pembagian kupon sehari sebelumnya. dengan membayar 10.000 sebagai infaq.. 
yang bikin saya terkejut sebelum pemberian sembako ada SUMPAH untuk MEMILIH PEMIMPIN MUSLIM, kemudian saya rekam walaupun tidak dari awal sumpah.. (karna saya tidak tau akan ada sumpah), saya telusuri.. dan ingin wawancara warga yg ada di sekitar, namun ada anggota FPI yang membuat urungkan niat saya, karna saya juga tinggal disini demi keamanan saya juga.

@muhammad fadly


Ketika Anies Baswedan Bagi-Bagi Sembako


DUNIA HAWA - Dalam sebuah video yang viral, Anies Baswedan secara terang-terangan membagikan sembako kepada warga demi kemenangan pilkada DKI 2017. Secara eksplisit, Anies telah gagal menciptakan model kampanye dengan proses dialog, adu visi-misi dan strategi yang kreatif.

Anies justru menggunakan politisasi sembako sebagai senjata ampuh untuk memenangkan Pilkada di detik-detik akhir. Padahal, semua itu sungguh merupakan suatu sikap penodaan terhadap demokrasi yang bersih, jujur, dan adil.

Menodai Demokrasi


Kita tahu, prinsip di dalam demokrasi, tidak boleh menyuap suara rakyat dengan berbagai bentuk intrik uang dan sembako. Karena money politic atau pembagian sembako merupakan sikap curang di dalam prinsip demokrasi. Sikap seperti itu sungguh telah menodai demokrasi itu sendiri.    

Masih hangat dalam ingatan kita semua, betapa kencangnya Anies menjual isu bagi-bagi sembako murah, seolah hal tersebut dilakukan tim lawan. Padahal yang melakukan justru Anies Baswedan dan timnya sendiri. Bahkan Partai Perindo yang dipimpin Hary Tanoe, sebagai partai pendukung Anies-Sandi juga terlibat dalam pembagian sembako.

Artinya, politisasi sembako ini sangat berjalan massif, sistematis, dan terstruktur. Ironisnya, pembagian sembako ini tidak hanya dilakukan oleh tim Anies, melainkan juga dilakukan sendiri oleh Anies yang tertangkap kamera sedang membolak balikan karung beras untuk masyarakat. Strategi seperti ini sebenarnya merupakan boomerang bagi Anies Baswedan.

Pilgub DKI Jakarta yang kita harapkan dapat berjalan secara bersih, jujur dan adil, malah dinodai oleh sikap Anies dan timnya yang beberapa hari belakang malah ditemukan beragam kasus politik uang berupa pembagian sembako di masyarakat. Padahal, bentuk money politik berupa bagi-bagi sembako itu sama artinya dengan melakukan tindak korupsi.

Sungguh sangat disayangkan, di saat kita seharusnya mengajak masyarakat melawan politik uang, justru Anies bertingkah sebaliknya, dengan membagi-bagikan sembako.

Kita tahu, Indonesia sedang memperkokoh pondasi demokrasinya. Sehingga demokrasi harus dibangun atas azaz kejujuran dan tanpa intimidasi terlebih jika menyuap masyarakat dengan bentuk bagi sembako. Bangsa ini sedang membangun demokrasi, kalau hal seperti money politik terjadi massif di Jakarta, maka ini berlawanan dengan proses pendewasaan demokrasi.

Pilgub DKI Jakarta harus berjalan dengan baik dan berkualitas, sehingga money politic harus disikapi dan tidak boleh dibiarkan. Jika money politic dibiarkan, maka itu sama saja kita sedang menulis sejarah suram pilkada di Indonesia.

Pandai Berkata-kata


Memang, sejak mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI periode 2017-2022, ia semakin menunjukkan ambisi politiknya. Anies memang pandai bertutur kata. Namun, ucapannya tak selalu sesuai dengan kenyataan. Sebagaimana ia mengatakan bagi-bagi sembako tidak akan merubah hati rakyat Jakarta, padahal ia sendiri yang membagi-bagikan sembako.

Anies seperti halnya seorang motivator yang pandai beretorika manis namun nihil prestasi yang dilakukan. Begitu juga dengan program kerja yang disampaikannya tidak bisa direalisasikan melalui kebijakan yang nyata. Anies kerap menampilan ketidakpuasaan warga namun faktanya semua data yang ditunjukkannya tidak dapat dipertanggung jawabkan. Namun demikian, sebagai calon gubernur, ia tak segan untuk memojokkan lawan politiknya untuk memperoleh hati publik.

Bahkan hasil riset Indonesia menunjukkan bahwa Anies belum teruji kepemimpinannya. Salah satu poin menarik dalam riset tersebut adalah kepribadian Anies yang dinilai bagus, namun miskin realisasi kebijakan yang membanggakan.

Bahkan menurut Direktur Lingkar Madani untuk Demokrasi, Ray Rangkuti, terobosan yang dilakukan Anies saat menjabat sebagai Mendikbud tidak menonjol. Ini menunjukkan bahwa sosok Anies yang terlihat santun dan intelektual progresif ternyata tidak bisa mengimplementasikan ke dalam kebijakan yang riil.

Sungguh sikap Anies dengan membagi-bagi sembako ini telah membentur akal sehat karena merusak demokrasi yang bersih di negeri ini. Namun, kita beruntung, publik di Jakarta telah rasional. Mereka  tidak akan memilih Anies hanya karena telah membagi-bagi sembako. Publik Jakarta akan memilih pemimpin yang bekerja nyata.


@firman sapta


Pidato Terbaru Prabowo: Tendensius, Provokatif dan Menebar Teror


DUNIA HAWA - Melihat dan menonton langsung cuplikan video yang berisi rekaman pidato dan pesan Prabowo, membuat bulu kuduk merinding. Nuansa ketakutan yang begitu terasa, dimunculkan oleh Prabowo. Ternyata sakit hatinya dari kekalahan Pilpres 2014, masih berbekas sampai sekarang. Namun nuansa ketakutan Prabowo, dimunculkan dengan sangat baik, sehingga seolah kitalah yang dibuat ketakutan oleh pidatonya.

Nuansa orde baru begitu kental dari kalimat-kalimat yang diucapkan oleh Prabowo di video tersebut.

Saudara dan saudari warga Jakarta mari bersama kita akhiri Jakarta yang gaduh. Kita sudahi Jakarta yang terbelah. Saya membaca aneka riset lembaga survey umumnya lembaga survei mengabarkan kemenangan Anies dan Sandi. Bukan kemenangan itu benar yang menggugah saya. Tetapi saya menangkap pesan yang lebih dalam. Adanya kerinduan warga Jakarta untuk perubahan, adanya harapan warga untuk punya gubernur baru. Kita semua jenuh dengan Jakarta yang gaduh. Kita semua bosan dengan Jakarta yang terbelah. Kita kecewa karena semua ini terjadi hanya karena ulah satu orang saja. Kita ingin Jakarta yang bersatu, kemakmuran memerlukan Jakarta yang stabil, bisnis memerlukan Jakarta yang aman, rakyat banyak menginginkan Jakarta yang berkeadilan, dan umat beragama memerlukan pemimpin yang menghormati keyakinan mereka. Saudara dan saudari bisa membuat harapan itu tercapai. Ajak keluarga, sahabat, saudara, tetangga untuk mewujudkannya. Jangan ada yang golput. Satu suara anda menentukan. Perubahan Jakarta tak terjadi jika banyak pendukungnya yang golput. Kecurangan menjadi musuh kita bersama. Perhatikan dan laporkan jika saudara saudarai mengetahui ada kecurangan. Kita tak ingin curang, namun kita juga tak rela. Kita juga tak sudi, jika kita dicurangi. Mari kita akhiri Jakarta yang gaduh dan terbelah di bawah gubernur lama. Kita butuh Anies Sandi untuk Jakarta Bersatu. 


Jika kita melihat apa isi dari pidato Prabowo, pidato ini sebenarnya mirip sekali dengan pidato pada tahun 2014, sebelum pemilihan presiden. Teror yang disebarkan tidak jauh-jauh mengandung isu SARA. Pak Prabowo mengulang sejarah kekalahannya. Dengan memberikan video tersebut, justru membuat orang-orang, khususnya warga Jakarta, semakin antipati kepada Anies Sandi.

Setiap pergerakan Prabowo yang menebarkan ancaman, tentu membuat elektabilitas Anies Sandi semakin terjun payung. Setiap aksi yang dilakukan Prabowo, justru merupakan senjata makan tuan dan bumerang bagi Anies Sandi. Kalimat Prabowo di atas mencerminkan ketakutannya dan ketidaksiapannya mengulang sejarah kekalahan.

Tamasya Al-Maidah yang terlarang, isu politik sembako yang menghantam kubu Anies Sandi, menjadi sebuah serangan balik/ counter attack yang dialami Prabowo CS. Kalimat provokatif dan kalimat yang bernada ancaman dari Prabowo, tentu harusnya tidak perlu kita ambil pusing.

Sekarang apakah kekuatan Prabowo? Apakah peristiwanya akan sebesar tahun 2014? Strategi jitu pemerintah Indonesia saat ini sangat efektif untuk melemahkan kedudukan Prabowo. Prabowo terpaksa menggunakan isu SARA, yang sebenarnya terlarang, untuk memenangkan Anies Sandi.

Ancaman Prabowo lagi-lagi terbukti tidak seefektif isu yang disebar dan dihantamkan kepada Pak Dhe Jokowi pada tahun 2014. Maka melihat isu SARA (yang terlarang) itu dimainkan oleh Prabowo, publik Jakarta akan dibuat tidak simpati kepada Anies Sandi, bahkan antipati terhadap seluruh kader Gerindra, termasuk Prabowo Subianto. Mengapa Prabowo pakai isu SARA? Karena memang tidak ada kekurangan lain Ahok, selain isu SARA yang digoreng sedemikian rupa.

Rakyat Jakarta harus berani. Mengapa harus berani? Karena kita besok hanya mengulangi sejarah baik dari tahun 2014. Merayakan kemenangan Pak Jokowi sebagai presiden Indonesia. Kekuatan keberagaman dan kesatuan, menjadi modal utama bagi kita. Kita ulangi sejarah, dengan memenangkan orang yang bersih, transparan, dan profesional, singkatannya apa Saudara? Hehehe

Salam dua jari! Persiapkan fisik dan mental untuk mencoblos pasangan Basuki-Djarot di TPS Anda! Bawa kamera, jika tidak ada, pakai kamera hengpong, foto dan rekam kejadian di TPS sebagai saksi sejarah!

One Day More – Les Miserables

Tomorrow we’ll discover
What our God in Heaven has in store!
One more dawn
One more day
One day more!

Betul kan yang saya katakan?

@hysebastian


Anies-Sandi itu Kuda Troya


Bayang-bayang Radikalisme dan Upaya Makar ada di Balik Pemenangan Merek


DUNIA HAWA - Mungkin tahun-tahun ke depan Indonesia akan memasuki masa-masa yang benar-benar sulit. Sebuah masa yang belum pernah dihadapi oleh masyarakat kita sebelumnya. Beberapa tahun belakangan ini bangsa kita sedang menghadapi suatu arus yang terstruktur, sistematis dan masif yang berniat untuk menguasai negeri ini dengan dasar falsafahnya sendiri. Tujuannya hanya satu, sebuah cita-cita utopis, pendirian sebuah Negara berbasiskan paham sektarian, namun mengatasnamakan label agama secara keseluruhan. Sektarian karena pada hakikatnya, sekalipun mengklaim dengan nama agama mayoritas, mazhabnya selalu bersifat eksklusif dan tunggal.

Dalam hal ini kita harus sadar bahwa nama Islam sedang dicatut oleh sekelompok orang. Mereka berusaha memanfaatkan kondisi kaum Muslimin yang keberadaan jumlahnya besar di Indonesia. Indonesia merupakan satu-satunya Negara yang memiliki jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia. Selain kekayaan alam yang melimpah, luas dan letak geografis yang strategis, jumlah penduduknya yang besar serta potensial, Indonesia menjadi incaran gerakan radikalis Islam transnasional karena sebagian besar penduduknya merupakan umat Muslim yang sangat mencintai agamanya.

Hanya saja, kecintaan terhadap agama ini tidak dibarengi dengan tingkat literasi yang baik. Bayangkan, Indonesia berada pada peringkat 60 dari 61 Negara soal minat bacanya. Tingkat literasi ini adalah indikator betapa rendahnya minat belajar masyarakat. Mayoritas awam lebih senang menyaksikan siaran televisi ataupun info-info dari media sosial. Inilah mengapa paham radikalisme berkedok agama sangat masif dan mudah tersebar di Indonesia. Selain penyebaran paham melalui media massa, mereka juga masuk ke dalam aktivitas-aktivitas keagamaan di sekolah-sekolah, rumah ibadah, dan sampai rumah-rumah.

Motivasi Penyebaran Radikalisme


Ada salah satu kajian yang sangat menarik yang dituliskan oleh Alm. Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono mengenai pola kemunculan dan pergerakan radikalisme. Bersama tim, beliau melakukan penelusuran terhadap sumber-sumber informasi (berupa wawancara) yang bersinggungan langsung dengan para pelaku terorisme. Sumber-sumber kajian tersebut di antaranya adalah empat otak perancang bom Bali I (2002), serta 46 orang mantan pelaku terorisme dari berbagai penjara dan lokasi di Indonesia.

Dari hasil wawancara, ditemukan pola yang seragam yang mengawali perjumpaan mereka dengan paham radikalisme. Berikut ini saya kutip pernyataan Alm. Prof. Dr. Sarlito:

Di sisi lain, ada sebagian yang awalnya hanya ingin tahu. Maka, dia ikut-ikutan pengajian tertentu dan mendegarkan tausiah ustaz-ustaz tertentu yang bercerita tentang bagaimana kamu Muslim dizalimi oleh kaum Kristen di Ambon dan Poso dan pemerintah serta aparat tidak melakukan sesuatu untuk melindungi kaum Muslim. Siapa yang harus membela kaum Muslim kalau bukan kita sendiri? Maka mereka pun tertarik untuk berangkat ke Ambon atau Poso.

Artinya, ide, gagasan atau keyakinan tentang Islam yang penuh kekerasan yang ada dalam benak para mantan teroris itu adalah hasil belajar, hasil meng-copy ide-ide dari orang lain, baik melalui pelatihan, indoktrinasi, mencontoh, atau lainnya.

Ternyata dari hasil wawancara, ditemukan sebuah fakta bahwa masuknya paham radikalisme ke dalam hidup mereka berasal dari ceramah-ceramah keagamaan. Ceramah ini sarat akan muatan provokatif yang membangkitkan kemarahan dan menebar kebencian berdasarkan fakta-fakta sepihak yang seringkali tidak lengkap.

Ideologi ini dibangun di atas rasa kebencian akibat konflik horizontal di masa lalu, ataupun karena kondisi sosial-ekonomi. Juga ditambah dengan pengharapan utopis bahwa jikalau mereka terlibat ke dalam perjuangan, mereka akan mendapat tempat yang mulia, baik dalam pandangan manusia maupun “Tuhan”. Semua iming-iming ini hanya akan diarahkan kepada satu muara, yaitu pandangan bahwa kaum Muslimin sekarang sedang dizalimi. Maka, sebagai umat yang mencintai Tuhan dan agama, mereka harus bangkit dan melawan kezaliman.

Tidak heran mengapa strategi politisasi Masjid dari Eep Saefulloh Fatah sangat signifikan karena narasi kampanyenya membawa pola yang serupa. Menanamkan kebencian, membangkitkan kemarahan, dan membangun kebanggaan yang berlebihan.

Strategi Radikalisme dan Implementasinya Melalui Jalur Politik


Dari sini saya coba merangkum tiga poin yang menjadi strategi radikalisme membentuk pra asumsi di dalam benak dari setiap anggotanya.

Pertama, mereka menciptakan suatu rasa tidak percaya kepada pemerintah. Maka dari itu, kalau kita perhatikan tiga tahun terakhir semenjak Pakde Jokowi menjadi Presiden, isu PKI santer disuarakan di mana-mana. Tujuannya hanya satu, menjadikan rakyat tidak percaya kepada pemerintah karena pemerintah dianggap ada agenda terselubung yang pro kepada anti-Muslim. Pola ini pun muncul di dalam pilkada DKI Jakarta. Perhatikan saja paslon mana yang terus menuduh bahwa pemerintah tidak netral, yang di mana aparat keamanan juga dituduh tidak netral. Termasuk publikasi hasil survey kadaluarsa dan abal-abal yang disiarkan secara masif dengan tujuan membangun rasa tidak percaya bila hasil pemungutan suara berbeda dari survey yang mereka keluarkan.

Kedua, menciptakan suatu rasa eksklusif dan superior pada diri sekelompok orang ketimbang sesama saudara/i Muslim mereka yang lain. Ini bertujuan untuk membangun suatu kebanggaan dan suatu sindrom di mana mereka adalah pejuang dan penyelamat Islam yang sesungguhnya. Sindrom ini biasa dikenal dengan istilah Savior Syndrome, di mana mereka merasa hanya di pundak merekalah Islam terselamatkan. Merekalah para pahlawan dan juru selamat “Tuhan”. Tidak heran, di Jakarta pun hadir pola yang serupa, di mana ketika sesama Muslim tidak memilih nomor tiga, maka mereka sudah sesat, murtad, antek kapir, munafik dan perlu diselamatkan.

Ketiga, menciptakan kebencian terhadap non-Muslim, baik secara etnis maupun agama. Kebencian ini yang justru lebih sering digunakan sebagai bahan bakar “perjuangan”. Kaum non-Muslim akan terus dicitrakan sebagai orang-orang yang mengancam keberadaan mereka, yang jahat dan batil, para musuh “Tuhan” dan penentang jalan “Tuhan”. Maka dari itu, di dalam konteks apapun, selalu hanya akan dibentuk citra Versus. Antara Muslim versus kapir, antara yang baik versus yang batil, antara yang setia versus yang murtad, dan sebagainya.

Kita lihat bukan? ketiga pola strategi di atas muncul dalam strategi politik di DKI. Mereka membangun suatu paradigma bahwa pilkada Jakarta adalah sebuah medan peperangan. Mereka tidak peduli itu saudara/i sebangsa, setanah air, bahkan seagama. Mereka hanya peduli bahwa merekalah pahlawannya yang tetap setia memperjuangkan kemenangan “Islam”. Dan di masa “perang”, semuanya halal. Jadi jangan heran, kebohongan demi kebohongan itu halal selama sedang di masa perang. Because there is no right or wrong at war. Winner’s right, while loser’s wrong. And all is fair in love and war.

Akhir kata dari saya bagi para pembaca. Anies-Sandi itu hanyalah kuda Troya. Mereka tipe pemimpin yang lemah dan hanya peduli pada agenda pribadi. Mereka adalah tunggangan yang paling seksi bagi kaum radikalis untuk mulai menguasai lebih dalam ke tubuh NKRI. Dan pintu masuknya adalah pilkada DKI. Karena itu, kepada saudara/i sebangsa dan setanah air di DKI, kami titipkan perjuangan kami dalam memperjuangkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika sedang dipertaruhkan di sana. Bagi masa depan anak cucu kita yang lebih cerah.

@nikki tirta


Taktik Cantik Jendral Tito di Putaran Kedua Pilgub


DUNIA HAWA - Sekiranya rakyat Indonesia, tentu mengapresiasi kerja keras Kepolisian Republik Indonesia hingga detik ini. Dan tidak bermaksud mengecilkan peran dari intitusi lain, dalam hal keamanan di negara kita. Akan tetapi lebih melihat dari fungsi, peran dan tugas Kepolisian untuk negara.

Tugas Kepolisian akhir-akhir ini, memang benar-benar diuji. Terutama yang menyangkut keamanan dan hajat rakyat banyak. Terorisme, radikalisme, demonstrasi, pilkada tentu menguras energi.

Tampilnya Jendral Tito Karnavian sebagai Kapolri mengawal negara dengan segala persoalannya cukup membuat tenang masyarakat. Jendral pilihan Presiden Jokowi ini nampak bersinergi. Kesan cerdas, bernas, tegas nampak terlihat. Hal ini pun, diakui oleh seorang Basuki Tjahaya Purnama (Ahok). Saat pelantikan Tito Karnavian menjadi Kapolri.

Kinerja Kepolisian dalam meredam berbagai gejolak di tengah masyarakat, dengan isu utama SARA sudah dibuktikan. Ketika ormas berbaju agama, berusaha mematik api di ranggas ilalang kering, yang sudah di design sedemikian rupa. Dan tidak cukup sekali, tapi hingga berjilid-jilid aksinya. Turun ke jalan-jalan berdemontrasi. Tidak tanggung-tanggung, klaim jutaan manusia kian membuat pongah.

Akan tetapi, di bawah kendali Sang Jendral cerdas nan bernas Tito Karnavian bersama jajarannya, aksi mereka yang rentan rusuh dapat diredam. Banyak pakar menilai, bahwa aksi tersebut tentu saja tidak sebatas tuntutan kepada Ahok. Akan tetapi ada aktor besar, serta tujuan akhir yang hendak dicapai. Dan terbukti sudah, penggerak juga konseptornya ditangkap dengan tuduhan makar.

Selain hal diatas, bau Pilkada DKI Jakarta juga sangat terasa. Benang merah pun semakin terang membentuk simpul yang mudah dibaca. Dan kentalnya terasa hingga detik ini. Kepolisian kembali harus diuji. Mobilisasi massa terus menerus dikerahkan oleh pihak-pihak tertentu. Pada final putaran kedua Pilkada DKI Jakarta yang dilaksanakan, pada tanggal 19 April 2017, esok hari.

Potensi rusuh sangat besar, mengingat mereka yang datang bukan warga DKI Jakarta. Tapi orang-orang luar, yang sama sekali tidak ada kepentingan terhadap pesta demokrasi rakyat Jakarta. Statement berbau keji, yang penuh provokasi, oleh tokoh mereka kian berpotensi ricuh. Berkata wasiat juga nyali pada jamaah. Benar-benar gegabah. Dan dapat melahirkan banyak bedebah.

Amunisi terakhir, yang dapat dilakukan pada putaran kedua Pilkada DKI Jakarta, bagi para kelompok yang secara terang benderang ada dibalik paslon Anies-Sandi ini adalah mobilisasi massa. Harapannya, meraup pemilih dengan cara intimidasi secara halus. Bermain psikologis, pada pemilih yang mencari aman. Karena dijaga, dilihat para lelaki berwajah asing, menatap nanar dengan seragam besarnya.

Dan sekarang, keinginan dan harapan mereka harus berhadapan dengan aparat negara. Pihak Kepolisian dalam hal ini Polda Metro Jaya telah mengeluarkan maklumat secara tegas. Seperti yang dilansir oleh detikcom. Maklumat itu berisikan larangan mobilisasi massa ke tempat pemungutan suara (TPS) saat pencoblosan.

“Memang betul isi maklumat tersebut untuk sekiranya diperhatikan betul oleh warga Jakarta maupun luar Jakarta, tidak boleh ada mobilisasi massa ke TPS,” tegas Kapolda Metro Jaya Irjen Mochamad Iriawan kepada detikcom, Senin (17/4/2017).

Maklumat bersama bernomor MAK/01/IV/2017, Nomor: 345/KPU-Prov-010/IV/2017, dan Nomor 405/KJK/HM.00.00/IV/2017 itu diteken pada 17 April 2017 oleh Kapolda Metro Jaya Irjen M Iriawan, Ketua KPU Provinsi DKI Jakarta Sumarno, dan Ketua Bawaslu DKI Jakarta Mimah Susanti.

Tentu saja, maklumat yang sudah dikeluarkan bermaksud meredam nafsu angkara berbalut baju agama dan mulut-mulut yang berjanji damai. Ibarat sedang onani digertak orang dari belakang. Kebayang beban psikologis orang tersebut langsung menciut. Mengadulah mereka pada junjungan, yang tidak juga move on sejak Pilpres 2014.

Kapolri Jendral Tito Karnavian semakin menjepit pergerakan. Mobilisasi massa harus ditindak tegas. Jika nekat, maka akan berhadapan dengan aparat. Seperti yang dilansir oleh kompascom.

“Saya sudah perintahkan Kapolda-Kapolda, baik Kapolda Lampung di Sumatera untuk melarang dan membuat maklumat menindaklanjuti maklumat Kapolda Metro Jaya. Kapolda lain harus mengeluarkan maklumat melarang,” ucapTito Karnavian.

“Kalau berangkat ke Jakarta dalam rangka pilkada atau politik bukan ibadah, saya perintahkan Kapolda gunakan diskresi dan amankan. Periksa mereka mau ke mana,” kata dia.

Tito menuturkan, saat ini kepolisian sudah menerima informasi terkait rencana pengerahan massa untuk mengamankan TPS saat putaran kedua Pilkada DKI Jakarta.

Menurut Tito, hal tersebut justru akan memberikan kesan intimidasi kepada para pemilih, baik secara psikis maupun psikologis. Dalam sebuah negara demokrasi, kata Tito, pemilih harus bebas dari rasa takut.

Terimakasih Ahok


Bau anyir SARA memang luar biasa. Momentum ini, benar-benar dimanfaatkan oleh sekelompok ormas, yang selama ini bersembunyi di punggung ibu pertiwi dan menyusun rencana jahat. Suka atau tidak, Ahok memang sang fenomenal. Semua mencari panggung karenanya.

Sekaliber AA Gym, Din Syamsudin hingga Amien Rais yang sudah mulai menua pun turun ke arena. Juga ulama-ulama yang semula tidak dikenal, tiba-tiba berpesta baju agama. Juga tokoh-tokoh yang ngebet akan kekuasaan nongol serupa ondel-ondel. Bersekutu atas nama bela agama. Dan, bak ular berbisa, ormas-ormas itu secara beringas mendesis di jalanan, akibat ucapan Ahok yang sebetulnya biasa saja.

Negara dan rakyat Indonesia, seharusnya berterimakasih pada Ahok. Ular telah keluar kendati belum semuanya. Namun setidaknya sebagian rakyat yang cerdas dapat melihat. Dan kemudian, hukum sosial pun, secara tidak langsung akan menerpa.

Dengan demikian pihak Kepolisian dengan lebih mudah dapat melihat. Sebagian sudah ada yang ditangkap. Dan tidak menutup kemungkinan, yang lain menyusul dan menyesal setelahnya.

Bravo Jendral Tito!

@anton cahaya


Kenapa Mereka Begitu Ngotot untuk Menguasai Jakarta


DUNIA HAWA - Melihat niatan yang begitu kuat dari para “laskar mak idah” untuk menguasai Jakarta membuat saya jadi bertanya-tanya. Mengapa mereka begitu ngotot setengah mati untuk memenangkan paslon nomor tiga hingga mengerahkan massa berkali-kali. Dan bukan hanya sekadar mengerahkan massa, indikasi makar selalu tercium ada di dalam setiap usaha menggerakkan massa tersebut.

Melihat dari libido yang begitu-teramat-sungguh-luar-biasa-memukau tingginya ini, saya menduga mereka berupaya untuk segera merebut kekuasaan sebelum 2019. Momentum pilkada DKI Jakarta 2017 ini bagi mereka sudah seperti janda kembang yang ngebet ngajak nikah, sayang untuk dilewatkan. Alasan untuk menggalang massa ada, donaturnya pun siap sedia, dan kambing hitamnya pun sudah disiapkan sesuai kriteria.

Basuki yang double minority sangat cocok dijadikan kambing hitam, tidak peduli betapa besar pengorbanan dan hasil kerjanya bagi rakyat Jakarta dan Indonesia. Padahal pembangunan di Jakarta selama dipimpin olehnya begitu masif, walaupun serapan dana rendah. Ini artinya apa? Artinya hemat! Ahok itu ibaratkan kalau jadi Istri, bisa beli lauk-pauk untuk sebulan, tapi pakai pengeluaran uang hanya untuk seminggu, terus masih ada kembalian lagi, luar biasa. Mau dicari di mana yang begitu? Publik DKI tuh bener-bener rugi kalo dia ga jadi gubernur lagi.

Pencalonan Anies-Sandi itu cuman tunggangan dua kepentingan. Pertama adalah kekuatan politik barisan sakit hati. Kumpulan para pengusaha nakal yang selama ini anunya dijepit sama Basuki-Jokowi, mafia-mafia di Jakarta dan Indonesia, juga para politikus yang kehabisan sumber pendapatan; baik bagi pribadi maupun partai.

Kedua adalah massa berkedok “keagamaan”, mereka ini kira-kira ada dua tipe. Satu yang berimajinasi dengan utopi Negara theokrasi berasaskan paham sektarian yang eksklusif dan tunggal. Satu lagi adalah mereka yang selama ini sudah menikmati kondisi status quo. Mereka adalah para penikmat rendang yang mulai kehilangan kucuran penghasilan, yang mendambakan aktualisasi serta pengagungan kalau-kalau ilusi dari Negara-theokrasi-utopis itu jadi kenyataan.

Siapapun yang Menang, Mereka akan Tetap Berupaya Makar!


Melihat nafsu yang sudah di tepi ini, siapa pun yang menang, mereka pasti akan tetap mengupayakan makar. Mengumpulkan massa di Ibukota lalu mengarahkannya ke gedung DPR/MPR akan selalu menjadi tujuan utama mereka. Jikalau ada orang-orang yang berpikiran bahwa bila Ahok menang maka Jakarta akan berada dalam kondisi yang berbahaya, saya akan tepis pendapat tersebut dengan mengatakan itu salah.

Justru paling berbahaya adalah ketika Anies menjadi juara di ajang pilkada DKI Jakarta. Anies akan membangkitkan moralitas para ekstrimis-radikalis yang selama ini gaungnya tertahan oleh suara masyarakat. Begitu Anies-Sandi menang, kemenangan itu akan langsung dijadikan justifikasi bahwa mereka didukung masyarakat. Padahal para pemilih memilih Anies-Sandi bukan saja tidak peduli siapa itu ef-pe-iy dan ha-te-iy, bahkan mereka pun muak kepada para perusak agama ini.

Ketika mereka merasa “didukung” masyarakat dan sekali lagi mendapatkan angin untuk terbang, ini akan menjadi pemantik yang mereka pakai untuk mengadakan rally di seluruh Indonesia. Mereka akan lagi-lagi mencatut agama Islam untuk menjadi pemuas nafsu syahwat mereka. Mereka akan mengangkat isu bahwa kaum “Muslimin” telah menang di Jakarta dalam “peperangan” antara umat melawan kaum kafirun. Bahwa sudah saatnya Islam dan umat bangkit di Indonesia, dan sebagainya, dan sebagainya. Ujungnya adalah dengan mengumpulkan massa, lalu membawa mereka kembali ke Jakarta untuk menurunkan pemerintahan yang sah. Skenario drama yang luar biasa hina.

Karena itulah, bagi saudara/i di Jakarta, pemilu di Ibukota ini tidak pernah hanya sekadar soal memenangkan Ahok. Terlalu kecil kalau soal itu. Ada yang lebih besar dari itu, yaitu bagaimana kemajuan dan kestabilan Negara kita sedang dipertaruhkan. Analisis di atas bukan hanya sekadar imajinasi asal-asalan. Pola ini sudah pernah terjadi setelah aksi 212. Setelah aksi “7 juta manusia” di Monas, serangkaian aksi intoleransi berkedok keagamaan langsung menyusul di seantero negeri. Mulai dari pembubaran paksa Natal di Sabuga pada 6 Desember, lalu tuntutan pencabutan reklame iklan beberapa universitas swasta yang memasang foto Muslimah sebagai modelnya di Jogja.

Untungnya, kesaksian para saksi pelapor kasus penistaan menjadi blunder yang malah mematikan semangat pergerakan intoleran itu sendiri. Para saksi yang konyol nan lucu membuat mentalitas yang tadinya sempat membesar, tiba-tiba dalam sekejap jadi mengkerut kembali, hahaha.

Akhir kata dari saya bagi para pembaca. Belajar dari pola yang terjadi pasca 212 maka, bila Anies-Sandi yang menang, itu jauh lebih berbahaya. Momentum ini pasti akan segera dimainkan oleh kaum radikalis dan oportunis politik untuk mengganggu kestabilan Negara. Karena itu ingat, besok berikan dan perjuangkan suara Anda untuk mereka yang menjadi perpanjangan tangan bagi kemajuan bangsa, bukan malah yang sebaliknya. Demi masa depan anak cucu kita yang lebih cerah, coblos nomor dua.

@nikku tirta

Jangan Sampai FPI Merajalela Di Jakarta


DUNIA HAWA - Front Pembela Islam (FPI) yang mempunyai rekam jejak buruk ingin mencoba menguasai Jakarta melalui afiliasi politiknya, Anies-Sandi. Sowannya Anies ke markas FPI, kontrak politik Jakarta bersyariah, dan berbagai aksi menolak Ahok semakin mengindikasikan nafsu FPI untuk menguasai Jakarta semakin menggebu-nggebu. Dan memilih Basuki-Djarot pada pencoblosan 19 April nanti merupakan langkah konkret untuk menghentikan niat FPI tersebut.

Sebagai organisasi paling intoleran menurut The Wahid Institut dan Setara Institut, FPI terbukti telah meresahkan semua lapisan masyarakat. Gaya dakwahnya yang terlihat frontal dan penuh kekerasan sangat tidak mencerminkan Islam yang sesungguhnya, sebagai Islam rahmat seluruh alam.

Tentu,  Jakarta yang relatif aman karena sikap toleransi di tengah keragaman warga selama ini tidak ingin  dipecah-belah oleh sikap intoleran yang diciptakan FPI. Dan memilih Anies-Sandi pada 19 April nanti, sama saja kita membiarkan FPI semakin merajalela di Jakarta.

Bahaya FPI


Dari awal, FPI merupakan salah satu organisasi yang memperjuangkan hadirnya NKRI Bersyariah, dan Jakarta bersyariah hanya langkah awal mereka saja. Apalagi, Deklarasi Jakarta pada tahun 2005 bersama dengan Hizbut Tahrir indonesia, Forum Umat Islam, dan Majelis Mujahidin Indonesia semakin menguatkan tujuan sebenarnya selama ini.

Maka tidak heran, langkah-langkah yang sudah dilakukan selama ini, mulai dari Aksi Bela Islam 1 sampai 5 adalah upayanya untuk menjegal Ahok sebagai gubernur. Bukan hanya itu, mereka juga mempolitisasi ayat hingga mayat sebagai senjata politiknya untuk mengintimidasi pilihan politik warga.

Sebelumnya, FPI sudah mencatat rentetan tindakan anarkis yang mengatasnamakan dan pembenaran atas nama agama dan tuhan. Pada tahun 2005 dan 2011, FPI melakukan penutupan paksa Gereja Pasundan Dayeuhkolot dan mengancam pernikahan di Gereja Pantekosta Jatinangor.

Ditambah, kerusuhan dengan menyerang massa Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan yang sedang melakukan demonstrasi, dan masih banyak tindakan lainnya yang menciderai sikap toleransi yang sudah menciptakan kedamaian selama ini.

Tindakan anarkis dan komitmen FPI untuk mendirikan NKRI bersyariah dan Jakarta bersyariah sangat bertentangan dengan Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa. Di samping itu, Pancasila sebagai dasar negara telah menghadirkan kedamaian dan ketentraman untuk segenap masyarakat. Karena Pancasila mampu mengakomodasi berbagai kepentingan, budaya, suku, agama, dan golongan.

Sebaliknya, tindakan intoleran yang selama ini ditunjukkan FPI telah nyata mengancam persatuan dan kesatuan yang sudah diperjuangkan lama oleh founding fathers. Di sisi lain, Indonesia didirikan bukan sebagai negara agama, melainkan negara bangsa, dan Pancasila sebagai pedoman hidup segenap bangsa.

Bersikap


Atas kondisi tersebut, sebagai warga negara yang baik harus bersikap tegas untuk menolak segala upaya dan  tindakan yang ingin mencoba merongrong persatuan bangsa. FPI dengan segala tindakannya yang mencoba menggantikan Pancasila dengan Syariah harus kita lawan bersama.

Di samping itu, sikap FPI yang mencederai demokrasi melalui isu SARA menjadi preseden buruk bagi demokrasi Indonesia. FPI mengabaikan hak-hak politik masyarakat. Mereka cenderung memaksakan bahkan sesekali mengintimidasi sikap politik masyarakat untuk memilih calon yang FPI inginkan. Jelas, ini bukan contoh demokrasi yang baik, melainkan demokrasi yang berjalan mundur.

Indonesia adalah negara demokrasi dan mempunyai hukum untuk mengatur kehidupan masyarakat yang ada di dalamnya, termasuk dalam hal Pilkada. FPI dalam menghadapi Pilkada DKI tidak memberikan contoh demokrasi yang baik.

Jadi, sudah seharusnya FPI yang ingin berusaha mengubah tatanan kehidupan masyarakat Indonesia yang sudah mapan ini segera dibubarkan. Pasalnya, kehadiran mereka hanyalah mebuat resah dan ketakutan kepada masyarakat. Indonesia tidak ada tempat untuk organisasi macam FPI, dan jangan sampai FPI semakin merajalela di Jakarta.

@muhammad ramli


Tamasya Al-Maidah: Teror Politik Berkedok Tamasya Agama


DUNIA HAWA - Gerakan Tamasya Al-Maidah adalah politisasi agama Islam yang sesungguhnya. Alih-alih menjadikan al-Qur’an sebuah kalam Allah untuk membangun ketaatan umat dan kebaikan untuk publik, baik secara vertikal ataupun horizontal, Surat al-Maidah justru mereka gunakan sebagai alat politik sekelompok elite yang mengatasnamakan Islam di Indonesia untuk menyatakan dukungannya kepada salah satu calon gubernur dalam Pilkada DKI.

Memang, memilih salah satu calon dalam Pilkada di Jakarta ini dengan preferensi agama sebagai pilihannya tidaklah salah, karena ini bagian dari demokrasi.

Dengan beragamnya penafsiran terhadap Surat al-Maidah, khususnya ayat 51, orang juga memiliki hak dan otonomi atas pilihan tafsir yang diinginkannya. Tapi, mempolitisasi Surat al-Maidah untuk melakukan mobilisasi massa terkait dengan preferensi politiknya itu justru menciderai kemuliaan al-Qur’an itu sendiri, yang dibangun atas nilai-nilai pengetahuan, empati sosial, dan penyempurnaan akhlakul karimah sebagai bagian dari rahmatan lil alamin.

Kecenderungan politisasi Surat al-Maidah ini semakin terlihat ketika adanya upaya mobilisasi massa dengan tajuk Tamasya Al-Maidah untuk menggiring opini agar memilih Anies Baswedan dalam pemungutan suara pada Rabu, 19 April 2017. Secara naif, panitia Tamasya Al-Maidah Ansufri ID Sambo menjelaskan bahwa gerakan Tamasya Al-Maidah tersebut tidak terkait dengan dukungan politiknya terhadap pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Anies-Sandi.

Lebih jauh, ia mengatakan bahwa warga DKI yang menggunakan hak suaranya harus ingat Surat al-Maidah ayat 51. Dengan dalih demokrasi, ia mengatakan bahwa ini upaya mengawasi dan memastikan Pilkada Jakarta berlangsung damai, adil, dan demokratis (detik.com, 17 April 2017). Kalau alasannya untuk mengawasi, bukankah sudah ada pihak Kepolisian yang akan menjaga TPS-TPS di pelbagai wilayah Jakarta?

Dari kedua belah pihak, baik kelompok Anies dan Ahok, juga sudah ada saksi yang dipersiapkan untuk mengawasi keberlangsungan pemungutan suara tersebut, selain Badan Pengawas Pemilu. Jika masih kurang puas untuk melakukan pengawasan, kita, secara individu, juga bisa mengawasi dari pagi hingga malam hari, dengan terlebih dulu meminta izin kepada pihak otoritas yang mengurus TPS setempat.

Jika gerakan Tamasya Al-Maidah ini dilakukan, apa sebenarnya maksud politik di belakang itu? Saya memiliki kecurigaan besar terhadap gerakan atas nama Tamasya ini dengan berbagai alasan.

Pertama, gerakan ini sebagai upaya untuk mempengaruhi publik dengan simbol-simbol agama yang digunakan. Dengan mengenakan pakaian seragam yang mencerminkan simbol kesalehan formal, yaitu pakaian putih dan peci putih, hal ini sebagai bentuk upaya memengaruhi warga Jakarta agar memilih karena preferensi politik individu yang dijamin oleh undang-undang.

Kedua, gerakan ini sebagai bentuk intimidasi dan teror langsung kepada pemilih. Dengan adanya gerakan yang akan mendatangi TPS-TPS, kondisi ini akan membuat resah para pemilih yang justru memiliki preferensi berbeda atas pilihan politiknya sehingga mengakibatkan efek ketakutan.

Apalagi selama hampir dua bulan ini kita disuguhkan intimidasi politik dengan jargon-jagon agama yang justru membelah umat dengan segregasi yang tajam. Misalnya, kafir, munafik, tidak mau menyalatkan orang yang memilih Ahok. Lebih brutal, adanya seruan oleh akun Facebook yang bernama Dwi Ardika bahwa perempuan yang mendukung Ahok itu halal diperkosa.

Saya tidak sendiri yang mencurigai gerakan ini. Hal ini diamini oleh ahli politik ternama di Indonesia, yaitu Mochtar Pabottinggi (2017). Menurutnya, gerakan yang membela kubu Anies-Sandi adalah akal-akalan busuk untuk memenangi Pilkada DKI 2017 dengan intimidasi. Intimidasi ini yang dikhawatirkan akan memunculkan konflik horizontal. Lebih jauh, kondisi ini bisa menghancurkan bangsa Indonesia ke sebuah titik yang paling curam.

Kecurigaan tersebut juga dikuatkan oleh Kepada Divisi Hubungan Masyarakat Mabes Polri Irjen Boy Rafli Amar, “apabila ingin perjalanan traveling ke tempat wisata itu adalah sesuatu normal. Akan tetapi apabila kehadiran itu memiliki sesuatu tujuan yang tidak baik, menghambat atau menganggu, berupaya untuk menimbulkan kekacauan dalam konteks menganggu jalannya pilkada, maka tentu itu tidak diharapkan.” (bbc.com, 18 April 2017).

Sikap Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian yang akan bertindak tegas terhadap upaya untuk mendatangkan orang ke dalam jumlah besar ke TPS-TPS ini perlu didukung dan diacungkan jempol. Ketegasan ini bukanlah pelanggaran besar terhadap demokrasi apabila aparat bertindak, sebagaimana dituduhkan oleh Ansufri ID Sambo.

Demokrasi sendiri memiliki sejumlah aturan dan prosedural yang harus disepakati dan dijalankan. Jika ini tidak dilakukan, membayangkan negara Indonesia seperti Pakistan merupakan cermin wajah keindonesiaan kita yang mulai tampak terlihat, di mana atas nama sentimen keagamaan orang merasa berhak untuk menindas dan meneror kelompok yang lain, yang seringkali bertindak di luar jalur hukum.

Padahal, kita mengerti bahwa perjuangan membangun demokrasi di Indonesia pasca runtuhnya rezim Suharto bukanlah sesuatu yang mudah, melainkan harus melewati pelbagai hal yang harus dikorbankan. Dalam arus demokrasi yang sedang kita praktikkan inilah Islam dan Pancasila memiliki banyak kesesuaian.

Jika ada pihak yang memainkan simbol pengerasan ekspresi Islam dengan dalih demokrasi yang memungkinkan mereka bisa masuk untuk merusak, tindakan tegas dari aparat kepolisian merupakan satu kewajiban yang harus kita dukung bersama. Agar imajinasi kebangsaan dan keindonesiaan tetap berjalan sesuai dengan apa yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa kita.

@wahyudi akmaliah