Saturday, April 15, 2017

Anies-Sandi Siapkan Tim Transisi 100 Hari Pertama, Ahok Siap-siap Pulang Kampung


DUNIA HAWA - Calon wakil gubernur Sandiaga Uno mengaku sudah menyiapkan berbagai rencana jika terpilih nanti pada tanggal 19 April 2017 nanti. Salah satunya adalah tim transisi untuk mempercepat proses kerja. “Kami menyiapkan tim transisi untuk program 100 hari kami yang sudah kami upload di Jakartamajubersama.com,” kata Sandi.

Bau-baunya Ahok bakal kalah, nih, setidaknya versi mereka. Memang dari beberapa hasil survey dan polling Ahok-Djarot kebanyakan kalah, bahkan ada yang kalah telak. Mungkin mereka sudah merasa di atas angin kalau melihat hasil survei dan polling. Tapi yah, namanya survei, kan tidak pasti dan seperti kata Prabowo dulu bahwa hasil survei kan tergantung siapa yang bayar. Prabowo pernah bilang bahwa riset sejumlah lembaga survei mengenai elektabilitas calon di Pilkada DKI tidak sepenuhnya objektif dan dapat diarahkan tergantung siapa yang membiayai riset tersebut.

Nah, dengan merujuk pada statement Prabowo maka hasil survei tidak bisa dipastikan keakuratannya karena ada kemungkinan faktor-faktor lain yang tidak terlihat. Hasil polling sama sekali tidak bisa dijadikan acuan karena bukan hanya divote oleh warga DKI yang memiliki hak pilih saja. Semua orang, termasuk orang dari luar DKI bisa saja ikut memberi vote atau suara sehingga hasilnya sama sekali bukan gambaran yang bisa dipercaya tingkat keakuratannya. Sebenarnya ada faktor krusial lain yang ikut mempengaruhi hasil polling dan survei, tapi sepertinya tidak penting dibahas di sini. Intinya seperti yang dikatakan Pak Prabowo saja deh. Jadi belum bisa dipastikan siapa yang menang.

Memang tidak dilarang kalau punya rencana untuk membentuk tim transisi. Namanya juga rencana, tidak ada yang salah. Tapi rasanya masih lama, dan kalau pun menang pada tanggal 19 April nanti, masih harus tunggu hingga Oktober sebelum dilaksanakan pergantian kekuasaan (jabatan). Masih ada setengah tahun, dan itu lebih dari cukup untuk menyiapkan tim transisi. Sepertinya sih sudah cukup percaya diri akan menang nanti atau mungkin sudah tidak sabar untuk menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur. Asal jangan nanti kalah saja, semuanya buyar, rencana yang sudah dibikin akhirnya harus mangkrak dan yang mungkin paling menyakitkan adalah tenaga dan biaya yang sudah dikorbankan. Kalah, semuanya jadi abu.

Sandiaga mengatakan, sejauh ini yang sudah bergabung dalam tim transisi adalah Fadjar Panjaitan dan Triwisaksana. Fajar adalah mantan Sekda di era Gubernur Sutiyoso dan Fauzi Bowo dan pernah menjabat sebagai Plt Gubernur. Sedangkan Triwisaksana adalah politikus PKS yang kini duduk sebagai Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta. Pemilihan Triwisaksana karena dia dinilai mengerti tentang masalah penganggaran sehingga dimasukkan dalam tim transisi.

Tugas dari tim transisi ini adalah salah satunya untuk mengkonsolidasikan agar program 100 hari Anies-Sandi dapat berjalan dengan baik jika terpilih. Orang-orang yang bergabung dalam tim tersebut dinilai mampu mempercepat kerja Anies-Sandi di 100 hari pertama mereka.

Ayo, ayo siapa lagi yang akan bergabung? Silakan merapat. Saya masih belum punya gambaran mengenai tim ini, karena masih dua orang yang bergabung. Masalah penganggaran dipercayakan kepada politikus PKS bukan hal mengejutkan mengingat partai apa yang mendukung kedua pasangan calon ini. Masa politikus PDIP, kan tidak lucu, bukan?

Dan saya bukan bermaksud berprasangka negatif. Belum tentu jadi gubernur, dan kalau pun seandainya terpilih, masih ada waktu enam bulan lagi sebelum bekerja. Tapi kenapa masalah penganggaran sudah ada orang yang bergabung ya? Cepat sekali ya kalau masalah penganggaran. Saya pikir entah apa yang disiapkan, eh ternyata masalah anggaran sudah dibicarakan duluan. Persiapannya mantap juga. Keren banget bro. Sekali lagi, ini bukan prasangka negatif ya, tapi hanya penasaran karena dari sekian banyak bidang, penganggaran sudah ada kemudi kendalinya. Tabayyun saja deh, ha ha ha.

Oh, Ahok, malang sekali nasibmu, sudah dianggap kalah oleh tim sebelah. Tapi tidak apa-apa deh, namanya juga nothing to lose. Kalah ya sudah, Ahok tidak rugi apa pun. Kalau pun nanti ada masalah, yang rugi juga warga Jakarta sendiri, bukan siapa-siapa kok. Ahok santai-santai saja sambil menunggu pinangan yang lebih besar.

@xhardy


Soal Lagu Kopi Dangdut, Fahmi Shahab Buka Boroknya Sendiri


DUNIA HAWA - Setelah sekian lama lagu “Kopi Dangdut” itu beredar, kini baru ketahuan boroknya Fahmi Shahab yang ternyata menjiplak (Baca: Plagiat) lagu itu dari lagu aslinya yang berasal dari Venezuela. Lagu asli itu judulnya “Moliendo Cafe” dan sangat populer di Venezuela.

Lagu “Moliendo Cafe” adalah lagu yang diciptakan oleh komposer Jose Manzo Perroni yang sudah populer sejak tahun 1961 yang silam. Lagu itu juga menjadi salah satu hits di Argentina.

Saat ini lagu “Moliendo Cafe” ciptaan komposer Jose Manzo Perroni tersebut telah memiliki lebih dari 800 versi dalam berbagai bahasa. Di Jepang, judul lagu ini adalah “Coffe Rumba”, di Indonesia diubah Fahmi Shahab jadi “Kopi Dangdut”. Nah lo.


Fahmi Shahab sebelumnya menuding timses Ahok-Djarot telah membajak lagu “Kopi Dangdut” yang diklaim ciptaannya karena digunakan sebagai lagu kampanye pasangan calon nomor urut dua, Ahok-Djarot.

Fahmi lalu melaporkan timses Ahok-Djarot ke Polda Metro Jaya melalui kuasa hukumnya, Johanes Simanjuntak,  karena merasa tidak terima lagunya dibajak timses Ahok-Djarot.

Fahmi Shahab bilang dia merasa rugi karena lagu Kopi Dangdut ciptaannya itu diputar di stasiun televisi tanpa seizin dia sebagai pencipta lagu.

“Saya sangat menyesal sekali lagu saya diambil tanpa permisi, tanpa izin dan liriknya diubah total dengan konten kampanye Ahok-Djarot. Saya berasa sakit hati tanpa izin, jadi saya melapor,” ujar Fahmi.

Melalui kuasa hukumnya, Fahmi lalu melaporkan timses Ahok-Djarot ke Polda Metro Jaya dengan nomor Tanda Bukti Laporan (TBL) bernomor LP/1564/IV/2017/PMJ/Dit.Reskrimsus. Fahmi Shahab melampirkan bukti berupa kepingam cakram kopi tayangan pemutaran lagu kampanye Ahok-Djarot di televisi.

“Hal ini tentu menimbulkan kerugian bagi klien kami Fahmi, baik kerugian moril maupun kerugian materil. Oleh karena itu kami dengan klien sependapat untuk melaporkan persoalan ini kepada pihak yang berwajib.” ujar Johanes Simanjuntak selaku kuasa hukum Fahmi.

“Pasal yang kami laporkan yaitu Pasal 113 Undang-Undang No 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta,” lanjutnya.

Alih-alih popularitas yang diterima, justru menuai malu yang tak terkira. Maksud hati ingin meraup keuntungan dari laporannya ke Polda Metro Jaya, malah justru kena skak mat dari tim pemenangan Ahok-Djarot.

Tim Ahok-Djarot justru menilai aduan Fahmi Shahab tidak beralasan dan salah alamat karena lagu itu justru aslinya berasal dari Venezuela. Lagi pula lagu itu tidak digunakan secara resmi sebagai yel-yel kampanye Ahok-Djarot.

Lagu “Moliendo Cafe” itu adalah yel-yel populer penggemar sepak bola di seluruh dunia. Melodi lagu itu secara luas dikenal sebagai “Dale Cavese” dan memiliki lagu yang sama seperti lagu “Kopi Dangdut” itu.


“Jadi salah alamat kalau melaporkan tim pemenangan, dan di sini saya tegaskan dia salah besar dan terkesan hanya mencari popularitas saja. Sepengetahuan saya, timses secara resmi juga tidak pernah menjadikan lagu tersebut sebagai jingle resmi,” tutur Ronny Talapessy selaku pengacara tim pemenangan Ahok-Djarot.

Pilkada DKI Jakarta kali ini adalah pilkada yang paling heboh dibandingkan pilpres 2014 yang lalu. Semakin mendekati hari H pencoblosan, semakin banyak hal konyol yang terjadi. Berbondong-bondong orang mencoba keberuntungan mereka melalui momen pilkada DKI Jakarta ini, siapa tahu bisa meraup untung besar. Kan lumayan itu.

Mereka berkoar-koar memposisikan diri sebagai pihak yang paling benar dan terzolimi, ahli manipulasi dan propaganda yang sepertiya dilatih untuk menciptakan manuver isu politik praktis.

Sekalipun timses Ahok-Djarot memiliki hak konstitusional untuk melakukan serangan balik dengan melakukan proses hukum terhadap Fahmi Shahab karena ternyata justru Fahmi Shahab lah yang telah melanggar Pasal 113 Undang-Undang No 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dengan menjiplak lagu orang lain, tapi saya yakin hal itu tidak akan dilakukan karena dengan ketahuan boroknya Fahmi Shahab saja sudah cukup membuatnya kejet-kejet menahan malu.

Kali ini Fahmi Shahab sukses mempermalukan dirinya sendiri. Salam dua jari.

Kura-kura begitu.

@argo


Kebhinekaan Itu Sunnatullah, Hentikan Politisasi Pluralisme!


foto : Kampanye anti-SARA di Bundaran HI, Jakarta 

DUNIA HAWA - Kontestasi politik di DKI Jakarta beberapa bulan terakhir telah nyaris mencapai titik terendahnya. Manuver-manuver para aktor politik juga cenderung sangat emosional. Demikian pula ekspresi sikap politik para pendukung di arus bawah masing-masing kubu.

Baru saja kita dengar munculnya video kampanye politik dari kubu Ahok-Djarot yang kontroversial menampilkan kubu mereka sebagai manifestasi dari kebhinekaan. Sedangkan yang tak berdiri bersama mereka adalah pendukung “Islam radikal” dan oleh karenanya, anti-keberagaman.

Adukan isu keagamaan dengan ambisi politik telah melampaui batasnya, karena agama yang seharusnya menjadi motor gerakan politik etis justru ditunggangi untuk politik praktis. Kondisi semacam ini sangat memprihatinkan, mengingat permainan isu Suku, Agama, Ras, dan Antar-Golongan (SARA) dalam politik praktis pun tak hanya dimainkan oleh aktor politik, melainkan juga para “intelektual” di belakang para aktor ini.

Persoalan mengenai populisme tak hanya kita hadapi di Indonesia, tapi juga kegelisahan seluruh warga dunia. Saat ini kita menyaksikan kebangkitan konservatisme dan ketakutan atas yang “lain” di Amerika Serikat dan Eropa Barat, seperti Prancis, Polandia, dan Italia.

Menggunakan rasa takut dan benci sebagai fitur emosional dalam kampanye politik memang efektif menjaring suara, terutama di tengah masyarakat ketika populisme naik daun. Namun persoalannya, apakah etis hal tersebut dilakukan?

Bercermin dari apa yang terjadi, menurut saya, persoalan di Indonesia bukan hanya masalah politisasi agama, tapi juga politisasi pluralisme. Politisasi pluralisme ini berbahaya bagi semangat multikulturalisme, karena ia memaksakan penerjemahan tunggal untuk kepentingan politik dan secara paradoks merupakan negasi atas pluralisme itu sendiri.

Bahkan dalam titik tertentu, pluralisme yang seharusnya mempromosikan semangat persatuan, malah menjadi populisme baru yang sama bahayanya dengan antitesisnya, yaitu radikalisme agama.

Semangat Rekognisi


Sudah menjadi rahasia umum bahwa bermain “ethnic card” adalah manuver favorit politisi. Etnis yang saya maksudkan di sini tidak hanya kelompok yang ikatannya berbasis hubungan darah atau lokasi geografis tertentu, tapi juga ideologis seperti agama. Bermain isu SARA saya analogikan seperti bermain dengan api, karena dampaknya amat berbahaya.

Donald Trump mungkin berhasil mendulang suara dengan menyuarakan silent prejudice yang sebelumnya sudah ada di dalam kepala mayoritas masyarakat Amerika Serikat. Sebaliknya, kubu Ahok di Jakarta tertatih-tatih akibat bermain isu SARA. Maksud hati ingin meraih simpati pemilih mayoritas dengan mencoba mengubah sikap mereka soal perintah yang tertulis di kitab suci, tapi justru membuat kegaduhan massal.

Pelajaran yang penting disimak para politisi dari kasus tersebut adalah bermain isu SARA tidak hanya berbahaya dan tidak etis, melainkan juga berisiko diterjemahkan sebagai permusuhan terhadap pemilih mayoritas. Tentu hal tersebut bukan strategi yang efektif menarik simpati. Meraih kekuasaan dengan bermodal menyebarkan ketakutan dan kebencian adalah langkah absurd dan tidak bermoral.

Dalam konteks yang lebih luas, kita mesti melihat hal ini sebagai ancaman serius bagi demokrasi. Menurut filsuf politik Charles Taylor, demokrasi seharusnya merefleksikan semangat rekognisi. Artinya, setiap warga negara wajib mendapatkan perlakuan yang adil dari negara. Bagi Taylor, ada dua rute dalam mengelola keberagaman; (1) restorasi martabat dengan politics of universalism dan (2) pengelolaan keberagaman melalui politics of differences.

Politics of universalism mewujud dalam kewajiban negara untuk mendudukkan semua warga negara dalam posisi yang sama dalam kerangka hukum positif. Hukum positif ini merupakan kesepakatan bersama yang bersumber dari nilai-nilai universal. Sedangkan politics of differences mengada ketika kelompok-kelompok etnis punya hak tertentu untuk meregulasi kaumnya sendiri dan ini wajib dijamin oleh negara.

Karena itu, domain-domain ritual dan pelaksanaan perintah yang tercantum dalam kitab suci agama tertentu wajib juga dilindungi oleh negara. Kedua domain ini wajib dilaksanakan secara paralel oleh lembaga negara dan penerapan parsial atas salah satu dari kedua aspek ini, menurut Taylor, akan menggeret negara demokrasi menjadi otokrasi.

Politisasi Pluralisme


Mengelola keberagaman di Indonesia jelas tak mudah, karena sejatinya keberagaman adalah pisau bermata dua; ia bisa menjadi modal sosial yang sangat powerful, tetapi bisa memantik api konflik sosial yang mematikan.

Dalam kasus Pilkada Jakarta, ajakan memilih pemimpin Muslim bukanlah masalah yang sebenarnya selama ajakan itu tidak berubah menjadi paksaan. Ajakan memilih pemimpin Muslim, selama dilakukan secara internal pada komunitas yang menganut agama Islam, merupakan manifestasi dari politics of differences.

Toh, memilih pemimpin berdasarkan agamanya tidak bertentangan dengan hukum positif dan tidak juga serta-merta menghilangkan hak politik kaum minoritas. Ajakan ini juga tidak menganihilasi (baca: meniadakan) agency individu, karena keputusan memilih pasangan calon yang mana tetap di tangan individu yang bersangkutan.

Yang keliru adalah memaksakan pilihan politik pada orang lain, bahkan menghina pilihan politik tersebut hanya karena yang bersangkutan berbeda pandangan.

Agaknya, pekik soal kebhinekaan saat ini pun perlu kita turunkan volumenya sampai level keheningan, agar kita bisa merenung bersama-sama. Menurut saya, diskursus kita perlu digeser dari kebhinekaan menjadi persatuan. Karena kebhjinekaan adalah sunnatullah, sedangkan persatuan harus diusahakan bersama dan membutuhkan komitmen berbangsa dan bernegara.

Perlu diingat, para pendiri bangsa berhasil mengantarkan Indonesia pada kemerdekaan dengan semangat persatuan. Saya harap setelah kericuhan politik ini berakhir, siapa pun yang menjadi Gubernur DKI Jakarta, kita dapat kembali bergandengan tangan tanpa pretensi dan prasangka.

@rizqy amelia zein 


Pembentukan FPI Semarang Digagalkan, FPI Tak Berkutik


DUNIA HAWA - Beberapa hari lalu, HTI sempat menyelenggarakan acara yang tidak diberi izin, dan akhirnya dibubarkan paksa karena diduga meresahkan. Kejadian tersebut terjadi di Semarang. Dan sekarang FPI pun ikut menjadi korban. Ratusan warga dan perwakilan ormas menolak dan berhasil menggagalkan pembentukan FPI kota Semarang, tepatnya di kediaman Zainal Petir di Kelurahan Bulu Lor, Kecamatan Semarang Utara.

Kejadian tersebut terjadi pada malam ketika beberapa tokoh FPI berjubah putih sudah berada di kediaman Zainal Petir untuk deklarasi FPI Semarang. Untunglah ratusan warga dan perwakilan ormas memaksa masuk untuk membubarkan acara tersebut karena meresahkan masyarakat. Untuk menghindari bentrokan, Polrestabes Semarang sudah berjaga-jaga di lokasi. Kombes Abiyoso Abi Seno menjadi penengah dan mediator karena kedua pihak saling ngotot.

Sepertinya Abiyoso sedang naik daun di sana. Karena beberapa hari yang lalu, dia jugalah yang membatalkan acara Forum Khilafah Indonesia yang diadakan HTI. Dan sekarang dia kembali unjuk gigi. “Saya tidak memihak kepada ormas maupun FPI, naum saya bertindak atas dasar laporan masyarakat yang resah dan tidak setuju adanya FPI di kota Semarang. Tanpa FPI Semarang sudah damai,” kata Abiyoso.

Sebuah tamparan keras untuk FPI dan gerombolannya. Tanpa FPI semarang sudah damai. Sebenarnya sih agak kurang cocok, karena yang benar adalah tanpa FPI, Indonesia lebih damai. FPI sudah terkenal dengan sikap dan perilaku yang keras, tidak mencerminkan Islam yang sesungguhnya tapi dengan bangganya sok mewakili Islam itu sendiri. Mereka harus sadar dan bila perlu diberi tamparan biar sadar, bahwa sudah banyak masyarakat yang sadar betapa meresahkannya ormas satu ini dan gerombolan-gerombolan sumbu pendek lainnya. Sungguh tidak enak dicekal, bukan?

Kali ini ormas yang unjuk gigi adalah Patriot Garuda Nusantara (PGN) yang menjadi perwakilan ormas dalam mediasi. Setelah terjadi perdebatan cukup lama, akhirnya pembentukan FPI kota Semarang dibatalkan. Ketua DPP FPI Jawa Tengah Syihabuddin dipaksa meninggalkan kediaman Zainal Petir didampingin PGN dan Polrestabes Semarang.

FPI sering melakukan pencekalan dan pembubaran paksa, sekarang giliran dicekal dan dibubarkan paksa. Ada waktunya memanen apa yang sudah ditanam. Karma berbuah dan beginilah jadinya. Rasanya sungguh sakit di sini, bukan? Dan syukurlah ternyata masih banyak yang membela NKRI dan resah dengan kehadiran FPI. Salut dengan ketegasan dan keberanian warga Semarang dalam menolak FPI. Dan tindakan ini mengingatkan saya akan keberanian warga Kalimantan yang terang-terangan menolak FPI. Bahkan beberapa bulan lalu ada satu ulama yang tidak sempat turun dari pesawat dan langsung balik badan ketika sudah ditunggu orang Dayak.

Ormas-ormas yang lebih banyak dikenal karena bikin resah, anarkis dan berusaha merongrong NKRI memang sudah saatnya ditindak tegas sebelum makin membesar. Kalau sudah membesar, sama seperti pohon yang sudah membesar, akan sulit dicabut akarnya. Sudah banyak yang bilang tempat yang dulunya adem ayem malah menjadi tidak kondusif karena kehadiran ormas-ormas tak jelas berikut gerombolan you-know-who bersumbu pendek. Mereka sepertinya tidak sadar telah menjadi parasit yang tidak diinginkan, tapi seolah buta dan tuli dan merasa dibutuhkan pula. Lucu, sungguh lucu. Yah, namanya juga gerombolan yang pikirannya pendek dan ngotot, mau menang sendiri, suka memaksa dan main ancam-ancam mentang-mentang massanya banyak. Itukah yang disebut keberanian?

Di semarang dan beberapa daerah lain, warganya bahu-membahu menolak kehadiran FPI dan ormas-ormas lainnya yang diduga identik dengan keresahan. Tapi herannya di ibukota kok ada yang merangkul? Herannya malah seolah didiamkan padahal sudah beberapa kali bikin resah yang skalanya sangat luas.

Tapi pembatalan acara FPI di Semarang ini sudah menjadi awal yang baik. Intoleransi tidak boleh mendapatkan lapak di negeri ini. Apa yang dulunya adem, aman, dan damai bisa berubah menjadi tidak kondusif karena masalah ini. Gerombolan you-know-who inilah yang menjadi pembawa virus intoleransi dan sekarang berusaha melebarkan sayap dan buka cabang di mana-mana. Untunglah ada beberapa daerah yang sudah keburu memotong sayapnya sehingga tidak sempat terbang dan bikin resah. Untuk FPI dan ormas-ormas lainnya yang sejenis, silakan nikmati hidangan pembuka berupa penolakan dan pencekalan.

@xhardi