Tuesday, April 11, 2017

Gerakan Radikalisme Dimulai dari Bangku Sekolah


DUNIA HAWA - "Pa, Syiah itu apa ?" Tanya anakku yang ketika itu baru masuk SMP Islam swasta. Aku melirik heran padanya. "Syiah itu artinya pengikut. Ada apa kok tumben nanya tentang syiah?"

Anakku menyerahkan buku berjudul "Kesesatan Syiah". "Ini dibagi2in sama sekolah. Gratis. Harus dibaca di rumah.."

Ternyata di sekolahnya ada pembagian buku itu untuk siswa baru. Alih-alih marah saya malah ketawa. Dan saya sedikit bercerita apa itu syiah dan kenapa banyak fitnah yang menerpanya. Dia mendengarkan dengan baik karena itu memang ilmu baru baginya.

Itu masa lalu. Dan anakku selalu bercerita kepada teman-temannya ketika mereka bertanya apa itu syiah. Dia pun suka menggoda guru agamanya dengan bertanya, "Pak, ceritakan tentang kematian Imam Hussain, cucu Nabi.." Gurunya tidak pernah bisa menjelaskan.
Ketika anakku yang kedua juga masuk SMP negeri, wali kelasnya bilang bahwa ia diminta oleh guru agamanya untuk ikut ekskul agama Islam karena bacaan ngajinya bagus. Saya tidak mengiyakan, hanya nanya siapa nama guru agamanya.
Saya telusuri fesbuknya dan saya temukan betapa ekstrim cara berpakaian, pandangan dia terhadap banyak hal termasuk tatto di jidatnya. Langsung saya menjawab ketika bertemu anakku, "Tidak boleh. Kalau cuman ngaji, di rumah aja. Jangan sampai nanti seluruh keluarga kamu kafir-kafirkan.."

Proses doktrin terhadap pemikiran radikal di dalam Islam memang sudah sedemikian gilanya. Mereka bukan hanya menyasar anak SMP, bahkan sejak TK doktrin sudah dimulai dengan mengajarkan lagu kanak2 bu Kasur yang di ganti liriknya dengan kebanggaan terhadap agamanya.

Radikalisme dalam agama itu muncul karena 2 hal, pertama lemahnya akal dan kedua kebanggaan yang ditinggikan.

Dan proses itu bertahap dilakukan melalui dunia pendidikan lewat guru-guru agama yang tidak tersertifikasi. Ketika guru agamanya hanya pintar membaca Alquran tetapi tidak memahami banyak hal dalam agamanya, yang terjadi ia menurunkan kebodohan yang sama kepada siswanya.

Dan situasi itu sudah lama terjadi. BNPT sungguh telat ketika baru mendeteksi akar masalahnya. Orang-orang yang menjadi teroris itu punya masa kanak-kanak, selidiki bagaimana pendidikannya.
Kalau sudah begini saya jadi ingat Kang Dedi Mulyadi yang berjuang untuk membasmi radikalisme dari akar-akarnya di Purwakarta.

Ia memulai dari sekolah-sekolah. Ia membuat program jemput sekolah gratis bekerjasama dgn TNI yang menjadi supir sekaligus bercerita tentang kecintaan pada Indonesia. Ia menyuruh guru agama utk mengajarkan kitab kuning kpd siswanya spy mrk terbiasa berbeda tafsir dan pendapat dalam agama. Ia mengenalkan masing2 agama kepada para siswa supaya mereka bisa melihat bahwa mereka tidak sendirian.

Sudah seharusnya pemerintah pusat melalui menteri pendidikan dan menteri agama bekerjasama dengan BNPT untuk mencari solusi yg tepat dalam penerapan deradikalisasi di sekolah. Dan mulailah dari sertifikasi guru agamanya..

Masak Indonesia yang sebesar ini kalah konsep sama Purwakarta desa kecil di Jawa Barat itu? Seruput ahhh.

@denny siregar


Strategi Mematikan JPU dalam Kasus Ahok, Ahok Aman, Lawan Politik Panik


DUNIA HAWA - Pengadilan Negeri Jakarta Utara akhirnya menuda sidang ke-18 Ahok yang didakwa melakukan penodaan agama. Penundaan sidang dilakukan karena penuntut umum beralasan bahwa materi dalam surat tuntutan belum selesai diketik. Bahkan Ketua tim penuntut umum , Ali Mukartono menyatakan bahwa ada banyak pemahaman konprehensif yang perlu dimasukan ke dalam materi surat tuntutan, sehingga pengetikan materi surat tuntutan belum selesai hingga semalam. Namun ini adalah sinyal yang dilemparkan oleh penuntut umum bahwa hanya ada dua kemungkinan yakni Ahok dituntut satu tahun/dibawah satu tahun atau bebas. Dan, jika ada yang mempertanyakan darimana angka satu tahun dan tidak menjalani pidana di dalam penjara . Dasar hukumnya jelas yakni Pasal 14 a ayat (1) KUHP.

Penuntut umum bisa dipastikan sangat kesulitan untuk memilih antara Pasal 156 a huruf a KUHP dan atau Pasal 156 KUHP yang akan dituntutkan kepada Ahok, dikarenakan  semua unsur yang terkandung di dalam dua pasal tersebut, tidak ada satu unsur pun  dari dua pasal tersebut yang memiliki hubungan dengan uraian yang diuraikan oleh penuntut umum di dalam berkas surat dakwaannya, sehingga penuntut umum sudah tidak memiliki pilihan lain lagi, yakni Ahok akan dituntut ringan dibawah satu tahun atau satu tahun. Dan ini adalah alternatif pertama yang akan digunakan penuntut umum dalam kasus dugaan penodaan agama yang didakwakan kepada Ahok, untuk melegakan hati lawan politik Ahok.

Karena jika memahami isi surat dakwaan yang dibuat penuntut umum secara holistik, dari dua pasal yang didakwakan kepada Ahok, dalam pandangan hukum pidana, penuntut umum sudah bisa dipastikan tidak bisa menuntut Ahok dengan pidana maksimal 5 tahun (Pasal 156 a huruf a KUHP) dan atau pidana maksimal 4 tahun (Pasal 156 KUHP), dikarenakan isi surat dakwaan penuntut umum yang tidak memungkinkan untuk menuntut Ahok dengan pidana maksimal, kalau ingin menuntut maksimal dalam dakwaan harus menguraikan penodaan agama dan penghinaan agama secara rinci.

Karena yang diuraikan bukanlah penodaan agama ataupun penghinaan agama, tapi menguraikan penghinaan kitab suci (Al-Maidah ayat 51 yang merupakan bagian dari Al-Qur’an, kitab suci agama Islam), sehingga penuntut umum saya yakini sudah menyadari ada kesalahan dalam menguraikan dakwaannya, hingga penuntut umum tak punya pilihan lain lagi selain mengabaikan pidana maksimal dari dua pasal yang didakwakan tersebut.

Dan, jika penuntut umum mencari jalan aman, penuntut umum hanya akan menuntut Ahok dibawah satu tahun atau satu tahun pidana penjara, maka ini yang akan membuat lawan politik Ahok makin kelabakan. Dikarenakan jika majelis hakim meyakini  bahwa, semua unsur dari pasal yang didakwakan semuanya tidak terbukti dan tidak terbukti karena delik yang diuraikan berbeda dari delik yang didakwakan kepada Ahok, bisa saja majelis Hakim membebaskan Ahok walaupun jaksa tidak menuntut bebas Ahok.

Alternatif kedua, penuntut umum membebaskan Ahok, ini yang sebenarnya yang harus ditempuh oleh penuntut umum karena penuntut umum dalam uraian dalam dakwaan justru menguraikan bukan penodaan agama bukan pula penghinaan agama tetapi penghinaan Kitab suci. Karena antara penodaan agama , penghinaan agama berbeda dengan penghinaan Kitab suci sebagaimana yang diuraikan penuntut umum dalam dakwaannya.

Majelis hakim ketika memvonis memiliki dua pilihan, yakni membebaskan Ahok, jika majelis hakim berani menegakkan kebenaran , berpegang teguh pada asas legalitas dan atau tetap menghukum Ahok dengan pidana penjara selama satu tahun atau dibawah satu tahun sesuai dengan tuntutan penuntut umum apabila nanti alternatif pertama yang dipilih oleh penuntut umum. Dan, yang saya yakini isi surat tuntutannya tidak akan lebih dari satu tahun pidana penjara bahkan bisa bebas apabila penuntut umum berani menanggung resiko menegakkan keadilan.

Dan jika nantinya majelis hakim memvonis Ahok selama satu tahun pidana, maka itu pidana percobaan. Jika pidana percobaan, maka secara hukum Ahok tidak menjalani pidana dalam penjara. Dan jika divonis dengan pidana percobaan, apakah yang didakwakan kepada Ahok terbukti terkait penodaan agama? tidak, karena semua paham dan mengerti Ahok bisa sampai ke pengadilan karena kerasnya pertarungan politik di Jakarta. Ahok tetap bisa beraktivitas seperti biasa untukmembangun Jakarta. Harapan lawan politik Ahok agar Ahok mendekam dipenjara tidak akan bisa terwujud jika melihat keputusan penuntut umum yang meminta agar pembacaan tuntutan diundur hingga 20 April, karena makna diundurnya pembacaan tuntutan itu jelas yakni tuntutan yang akan dituntutkan kepada Ahok adalah ringan bahkan sangat ringan antara satu tahun dan atau di bawah satu tahun bahkan bisa bebas jika penuntut umum berani melawan lawan politik Ahok dengan berdiri di atas kebenaran.

Dan sekalipun Ahok  nanti dijatuhi pidana percobaan , Ahok tidak menjalani pidana di dalam penjara. Satu hal lagi yang perku dicatat bahwa Ahok tetap memenuhi syarat menjadi calon Gubernur DKI Jakarta untuk periode lima tahun mendatang walaupun dijatuhi pidana satu tahub tahun atau dibawah satu tahun/pidana percobaan, karena yang tidak memenuhi syarat adalah apabila menjalani pidana dalam penjara/lebih dari satu tahun pidana penjara. Bahkan, sampai Oktober 2017 pun jika  nanti vonis yang dijatuhkan hanya berupa pidana percobaan selama satu tahun atau dibawah satu tahun, Ahok secara hukum tetap bisa menjabat Gubernur DKI Jakarta. Lawan politik Ahok kini dibuat panik oleh penuntut umum, hal itu terlihat reaksi dan tanggapan para pelapor yang emosi sekali melihat sidang Ahok tuntutan ditunda. Panik sekali.

Dan jika ada yang mempertanyakan APA bedanya antara penodaan agama dengan penghinaan Kitab suci. Jawabannya adalah, yang termasuk ke dalam delik penodaan agama: membakar kitab suci, merobek kitab suci, menginjak-injak kitab suci, membakar rumah ibadah dan merusak rumah ibadah (smua delik tersebut sesuai dengan sejarah lahirnya Pasal 156 a KUHP- delik penodaan agama). Sedangkan penghinaan agama dalam hukum pidana, agamanya saja yang menjadi objek hinaan. Kitab Suci tidak termasuk di dalam delik penodaan agama dan penghinaan agama. Karena penghinaan Kitab Suci berbeda dengan penodaan agama dan penghinaan agama. Penghinaan Kitab Suci, yang dihina adalah isi dari Kitab Suci (ayat-ayat dan atau surah yang terdapat di dalam Kitab Suci tersebut, Al-Qur’an).Nah, dalam uraian penuntut umum jelas menguraikan penghinaan Kitab Suci bukan penodaan agama, ini terlihat ada penekanan Surat Al-Maidah ayat 51 hingga berulang-ulang dalam dakwaannya.

Penghinaan Kitab Suci dalam rumusan RUU KUHP merujuk pada Kitab Suci yang menjadi objek hinaan dan terpisah dari agamanya. Ex: Menghina salah satu ayat dalam Alkitab (Perjanjian baru/Perjanjian lama- Kristen/Katholik) atau tripitaka (Buddha) dan atau Al-Qur’an (Islam- ayat atau surah) , Weda(Hindu). Itu menghina kitab suci, bukan menghina agama apalagi menodai agama. Dan penuntut umum pula harus kembali taat pada asas legalitas (vide: Pasal 1 ayat (1) KUHP).

Catatan: Ahok akan dituntut bebas apabila penuntut umum tidak takut dengan tekanan dari FPI, FUI dan lawan-lawan politik Ahok hingga berujung pada vonis bebas bagi Ahok apabila nanti hakimnya berani menegakkan kebenaran dan tidak takut dengan tekanan dari pihak manapun juga.  Begitulah kura-kura

@ricky vinando


ISIS Dibentuk AS, Lalu Umat Islam Ngapain?


DUNIA HAWA - Serangan rudal AS ke Suriah tanggal 7 April lalu memberikan “angin segar” buat ISIS yang semula posisinya sudah terdesak. Pasalnya, yang diserbu AS adalah pangkalan militer yang selama ini dijadikan basis tentara Suriah dalam melawan ISIS. Lalu, serbuan-serbuan AS selanjutnya (dan sebelumnya) yang konon dalam rangka menggempur ISIS selalu saja salah sasaran, yang tewas malah rakyat sipil di Suriah dan Irak. Sudah banyak pengamat menuliskan analisis, dengan berbagai data, bahwa ada AS di balik ISIS. Di video juga ada pengakuan dari Hillary Clinton bahwa AS-lah yang mendanai Al Qaeda, “kakek” yang akhirnya melahirkan ISIS.

Sejarah memang sudah mencatat bahwa AS adalah penjahat perang nomer wahid. Namun, ada satu hal yang penting dicatat terkait ISIS: organisasi teror ini tidak lahir dari ruang hampa. ISIS tidak muncul tiba-tiba saja. Ada sejarah panjang ideologis yang harus diperhatikan dalam mencermati fenomena ISIS.

Genealogi ISIS


ISIS lahir dalam proses Perang Suriah. Secara umum, upaya penggulingan Presiden Suriah, Bashar Assad, dilakukan oleh dua faksi. Pertama, faksi sekuler yang mengusung narasi demokratisasi. Namun narasi ini tidak berhasil. Demo-demo anti Assad tidak pernah mencapai klimaks seperti terjadi di Tunisia atau Mesir. Akhirnya, kelompok-kelompok bersenjata pun turun ke lapangan, diinisiasi oleh jaringan jihad Al Qaida Irak yang membentuk Jabhah Al Nusra di Suriah dan Free Syrian Army (Ikhwanul Muslimin). Selain Al Nusra dan FSA, ada ratusan kelompok jihad lainnya yang ikut bertempur dengan cara-cara khas Al Qaida, meledakkan bom di kerumunan sipil, bom bunuh diri, dan pembantaian massal dengan cara-cara non militer, misalnya dengan menggorok leher. Meski terdiri dari banyak kelompok, para jihadis itu membawa narasi yang sama: penegakan khilafah dan penggulingan Rezim “Syiah” Assad.

Problem utama muncul di titik ini: mereka menggunakan informasi palsu yang sangat masif untuk membuktikan dosa Assad. Misalnya, foto korban pembantaian tentara AS di Irak, atau video kekerasan di Jordan, disebut sebagai korban kekejaman Assad. Bahkan video-video baru sengaja diproduksi masif (misalnya video karya White Helmets). Media-media berlabel Islam bergandengan tangan dengan media mainstream menyebarluaskan foto-foto dan video palsu mengerikan yang menimbulkan histeria kaum Sunni yang mengira saudara seakidah dibantai oleh kaum Syiah. Narasi anti-Syiah ini berhasil membuat puluhan hingga ratusan ribu Muslim dari berbagai penjuru dunia berbondong-bondong datang ke Suriah untuk ‘berjihad’.

Bulan April 2013 menjadi titik balik dari Perang Suriah. Saat itu, dua kelompok bersenjata yang sama-sama lahir dari rahim Al Qaeda, mulai berseteru. Abu Bakr al-Baghdadi (pemimpin Al Qaida Irak) menyatukan ‘perjuangan’ di Irak dengan Suriah, dengan membentuk Negara Islam Irak-Suriah (ISIS). Deklarasi ini ditentang oleh kelompok Jabhah Al Nusra pimpinan Al Julani. Lalu, dimulailah pertikaian di antara kedua kubu, mereka mengafirkan dan saling bantai dengan cara-cara mengerikan: menggorok leher atau membakar kepala terpenggal.

Dan inilah ideologi dasar kelompok-kelompok jihad Suriah dan Irak itu: takfirisme. Mereka merasa sah berperang dan membunuh siapa saja yang dianggap kafir. Definisi kafir menjadi semakin bias: bahkan sesama Muslim pun bisa didefinisikan kafir. Sayangnya, ini pula ideologi yang dimiliki oleh ormas-ormas (dan partai tertentu) di Indonesia yang sejak awal Perang Suriah terang-terangan menyatakan dukungan kepada para ‘mujahidin’. Satu-satunya alasan dukungan mereka adalah ‘kekafiran’ Rezim Assad.

Mereka selalu menolak melihat konflik dari sudut pandang yang lebih luas. Misalnya, aspek geopolitik dan sikap frontal Suriah terhadap Israel. Sebagaimana terdokumentasi dengan jelas, Suriah selama ini justru pendukung utama perjuangan Hamas. Khaled Mashal selama bertahun-tahun berkantor di Damaskus dan mendapatkan perlindungan keamanan penuh. Oleh UNHCR, Suriah pun tercatat sebagai negara pemberi pelayanan terbaik kepada pengungsi Palestina.

Jihadis Itu bukan Robot, Kan?


Para simpatisan mujahidin di Indonesia secara umum terbagi 3 faksi: pro-milisi Ikhwanul Muslimin (dengan berbagai nama: Free Syrian Army, Jaish al Islam, dll), pro-Al Qaida (antara lain, HTI ada di sini; nama milisinya juga macam-macam, Jabhah al Nusra, Ahrar al Sham, dll), dan pro-ISIS. Dua kelompok pertama mengaku anti-ISIS dan menyatakan diri sebagai “mujahidin murni” sedangkan ISIS adalah adalah buatan AS dan Israel Itulah sebabnya, kalau kita menyebut mereka pro-teroris, mereka akan menolak, soalnya mereka tidak merasa teroris, yang teroris itu ISIS. Di antara mereka ini juga ada yang menulis, ISIS dibikin sendiri oleh Suriah dan Iran, sampai-sampai saya pingin nanya: situ sehat??

Seperti terlihat di video, benar, Barat memang mendukung menyebarnya paham Wahabisme dan terciptanya milisi-milisi berpaham ini. Namun, datangnya para jihadis ke Suriah dan Irak, semata-mata konspirasi AS-kah? Sedemikian hebatnyakah AS dan Israel, sehingga bisa membuat puluhan ribu muslim dari berbagai penjuru dunia datang dengan sukarela ke Suriah dan Irak, mempertaruhkan nyawa, “berjihad”, menjagal sambil berteriak Allahu Akbar? Apakah mereka robot yang bisa disetir dengan remote control?

Tidak, tentu saja. Mereka semua datang karena didorong oleh ideologi kebencian dan takfirisme. Dan siapa yang menanamkan ideologi ini kepada mereka? Tak lain, para ustadz, ustadzah, ormas, partai, atau lembaga yang memiliki ideologi sejenis. Mereka selama puluhan tahun menyebarkan ajaran kebencian itu. Mereka menanamkan doktrin kebencian pada semua orang yang ‘berbeda’ serta kesetiaan kepada syekh-syekh asing dan organisasi transnasional. Ajaran Islam hakiki, yaitu cinta kasih dan rahmat, justru diabaikan.

Mereka, meskipun saat ini mengaku anti-ISIS dan menyebutnya buatan AS, tak bisa menghapus catatan sejarah masa lalu. Yaitu bahwa merekalah yang sejak awal konflik Suriah telah berkeliling Indonesia, menyebarkan kebencian yang dilandasi informasi palsu, sambil menggalang dana, untuk disalurkan kepada para jihadis. Kebencian itu pun disebarkan secara masif melalui jejaring sosial, dengan bantuan para simpatisan, ibu-ibu, mahasiswa, dan masyarakat awam, yang merasa sedang ‘berdakwah’ saat menyebarluaskan berbagai manipulasi informasi konflik Suriah.

Model penyebaran kebencian ini tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan di seluruh dunia. Karena mereka memang berjejaring secara transnasional. ISIS lahir dari sebuah proses panjang ajaran kebencian yang akhirnya mencapai puncak kebengisannya, yang menakutkan semua orang, kecuali pemerintah AS.

@dina sulaeman



Bangkitnya Jawa Timur Melawan Radikalisme


DUNIA HAWA - Ramai di beranda saya postingan tentang Istighosah NU di Sidoarjo kemaren. Istighosah yang di hadiri puluhan ribu kaum nahdliyin itu begitu menggetarkan, terutama ketika lagu Indonesia Raya dikumandangkan.

Kata istighosah sendiri berasal dari kata al ghouts yang artinya pertolongan. Dalam konteks kalimat ini, istighosah berarti permintaan tolong kepada Tuhan.

Istighosah di Sidoarjo itu seperti menutup rangkaian kejadian di Jawa Timur baru-baru ini, dimana NU melawan paham radikalis yang sedang mencoba masuk kesana. Seperti kita ketahui kemaren Sidoarjo dan Surabaya sempat tegang ketika Khalid Basalamah ustad para radikalis berusaha untuk mengadakan pengajian disana.

Selain Khalid Basalamah, Banser dan Anshor juga menolak kedatangan Habib Rizieq dan tidak membiarkan FPI berkembang disana. Sebelum itu para kyai dan santri di Madura sepakat menolak penyebaran paham wahabi dan ISIS di daerahnya.

NU seperti tidak mau ditunggangi lagi seperti ketika ada pengusiran warga Sampang yang mengatas-namakan NU sebagai bagian dr pelaku pengusiran.

NU -terutama di Jawa Timur- sudah mulai bisa membedakan mana kaum radikalis berbaju agama yang hendak memecah belah kesatuan Indonesia. Pergerakan NU di Jawa Timur bukan tanpa sebab, karena mereka sudah melalui banyak peristiwa sebelum memutuskan apa yang harus di perbuat.

Jawa Timur adalah provinsi yang plural, dimana banyak wilayah tempat semua agama bergandengan tangan bersama.

Seperti contoh di Tuban, ketika hari raya Nyepi, secara otomatis suara adzan yang biasanya berkumandang melalui pengeras suara dikecilkan suaranya untuk menghormarti saudara sebangsanya yang sedang menjalani kepercayaannya.

Geliat NU ini bisa menjadi tonggak bahwa ketika negara dalam bahaya, NU harus menampakkan dirinya. Buat NU "membela negara adalah sebagian dari iman".

Saya mendengar NU di Jawa Tengah juga mulai bereaksi terhadap kaum radikalis yang memakai baju agama ini. Hanya memang yang agak sulit adalah di Jawa Barat karena kelompok radikal ini tumbuh subur disana.

Semoga istighosah NU di Jawa Timur menjadi awal dari istighosah nasional dengan tema "Mempertahankan Kebhinekaan dan Persatuan RI". Sudah seharusnya dikumandangkan kepada kaum radikal bahwa semua ada batasnya..

Untuk NU Jawa Timur, saya angkat secangkir kopi untuk kalian semua

@denny siregar


Ahok, Tionghoa, dan Masjid-Masjid Cheng Hoo


DUNIA HAWA- Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta menjadikan masjid-masjid di Jakarta sebagai ruang kontestasi politik. Ceramah-ceramah di mimbar-mimbar salat Jum’at sering terdengar pedih dan penuh ancaman. Inilah wajah masjid-masjid Ibu Kota yang terbakar amarah. Masjid-masjid yang seharusnya menjadi oase yang menyejukkan, menjadi tempat untuk mencari kedamaian, bergeser sebagai mimbar politik.

Meski masih banyak masjid yang menghadirkan ceramah santun, harus diakui kontestasi politik meningkatkan tensi emosional di mimbar-mimbar masjid Ibu Kota. Apalagi politik identitas menjadi strategi dalam arena kontestasi ini. Memilih “siapa” akan membawa konsekuensi dalam relasi antar-agama.

Identitas agama menjadi senjata yang meresahkan, hingga mengakibatkan debat berkepanjangan dan merenggut korban. Apa yang terjadi pada jenazah nenek Hindun binti Raisman, warga di Karet Setiabudi, Jakarta Selatan, yang ditolak (sebagian) warga untuk disalatkan, patut menjadi renungan.

Sementara itu, ada gerakan massif untuk menciptakan stigma betapa etnisitas terkoneksi dengan agama. Ketionghoaan diasosiasikan dengan kafir, bukan Islam. Inilah politik penyesatan publik, yang hari-hari ini menghantui nalar publik warga negeri ini. Tidak hanya warga Jakarta yang menjadi ajang kontestasi politik, tapi merembet ke beberapa kawasan di sekitarnya.

Masjid-Masjid Cheng Hoo


Baiklah, kita mungkin perlu rehat sejenak, jalan-jalan menyusuri penjuru negeri ini untuk melihat betapa silang-budaya menjadi bagian dari identitas keindonesiaan kita. Betapa beragamnya kebudayaan warga Indonesia, betapa berwarnanya tradisi di pelosok negeri.

Kebhinekaan hadir dalam keseharian warga, menjadi nafas bagi kehidupan warga lintas etnis. Untuk itu, tidak sepatutnya menggunakan isu-isu etnis sebagai peluru tajam di lingkar kekuasaan.

Dalam tradisi Tionghoa Nusantara, nama Laksamana Cheng Hoo menjadi penanda silang budaya ini. Laksamana Cheng Hoo menjadi simbol betapa pengaruh Tionghoa melekat dalam tradisi dan ritus keagamaan di negeri ini. Cheng Hoo merupakan penyebar Islam dari Dinasti Ming. Tan Ta Sen, dalam karya risetnya, Cheng Ho and Islam in Southeast Asia (2009) menganalisa jejak persebaran agama dan kebudayaan dalam misi muhibah Cheng Hoo. Jejak Cheng Hoo dapat dilacak lewat peninggalan arkeologis di Pasai, Kukang (Palembang), Cirebon, Semarang, Lasem, Tuban, Gresik, dan Surabaya.

Cheng Hoo lahir pada 1371 di Distrik Kunyang, Yunnan, Tiongkok. Ia merupakan putra dari Ma Hazhi (Haji Ma) yang beragama Islam. Pada 1405-1433, Cheng Hoo melakukan kunjungan diplomatik ke lintas kawasan, yang singgah di beberapa kota pesisir di wilayah Nusantara. Orang-orang Tionghoa Muslim di negeri ini mengenang Cheng Hoo dengan mendirikan masjid-masjid.

Jika mengunjungi masjid-masjid ini kita akan tersadar betapa identitas Tionghoa tidaklah tunggal, sebagaimana yang selama ini menjadi framing dalam kontestasi politik. Masjid-masjid Cheng Hoo didirikan oleh komunitas-komunitas Tionghoa Muslim di beberapa kawasan. Di antaranya di Surabaya (diresmikan 28 Mei 2003), Pandaan Pasuruan (27 Juni 2008), Kaliwates Jember (13 September 2015), Banyuwangi (26 Desember 2016), Mrebet Purbalingga (5 Juli 2011), Palembang (2006).

Arsitektur masjid Cheng Hoo di Purbalingga, misalnya, diilhami oleh arsitektur masjid Niu Jie (Ox Street) di Bejing, yang dibangun pada 966 masehi. Gaya arsitektur ini tampak pada bagian puncak, atap utama, dan mahkota masjid. Selain itu, ada perpaduan arsitektur Timur Tengah dan budaya lokal Jawa.

Masjid Cheng Hoo Purbalingga tak lepas dari kisah Thio Hwa Kong (Heri Susanto), muallaf yang peduli pada perkembangan agama. Mulai 2014, Heri bersama warga menginisiasi masjid ini, yang diresmikan pada 5 Juli 2011.

Masjid Cheng Hoo di Surabaya menjadi ruang interaksi antar-kelompok lintas etnis dan agama. Masjid ini, oleh pengurusnya, disulap menjadi ruang publik yang mengakomodasi kepentingan ibadah sekaligus interaksi antar-warga. Inilah masjid yang menjadi oase, bukan masjid yang menjadi ruang kontestasi politik.

Pada 9 Desember 2016 lalu, Masjid Cheng Hoo di Surabaya menjadi tempat penyelenggaraan Haul KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Hadir pada acara tersebut pengasuh pesantren Tebu Ireng Kiai Shalahuddin Wahid, Inayah Wahid (putri Gus Dur), pengurus Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI), pengurus Yayasan Mohammad Cheng Hoo, tamu kehormatan dari Konsulat Jenderal Republik Rakyat Tiongkok (RRT), Konsulat Jenderal Amerika Serikat, dan komunitas-komunitas santri.


(foto : Masjid Muhammad Cheng Hoo di Surabaya, Jawa Timur)

Dalam orasinya, Inayah Wahid mengungkap betapa Gus Dur menjadi teladan, dengan nilai-nilai humanisme dan pluralisme yang melekat pada tindakan. Keberpihakan Gus Dur bermuara pada kesejahteraan masyarakat di sekitarnya (mashlahah ‘ammah). “Selama ini kita gagal fokus terhadap ide utama Gus Dur,” kata Inayah. Ia menambahkan, nilai-nilai utama Gus Dur harus menjadi referensi keteladanan kita bersama.

Sembilan nilai-nilai utama Gus Dur—sebagaimana dirumuskan Jaringan Gus Durian—yakni: ketauhidan, kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, pembebasan, kesederhanaan, persaudaraan, keksatriaan, dan kearifan lokal.

Haul Gus Dur di Masjid Muhamamad Cheng Hoo itu menjadi refleksi betapa komunitas lintas etnis dan agama bisa saling berinteraksi, tanpa terjebak pada kecurigaan-kecurigaan sektarian. “Ini malam yang luar biasa, karena berkumpul ratusan orang dari berbagai suku dan agama,” ungkap pendiri Yayasan Haji Muhammad Cheng Hoo, Yusuf Bambang Sujanto, sebagaimana dilansir Antara (10/12/2016).

Menjadikan isu etnis sebagai amunisi untuk kampanye negatif akan berdampak negatif bagi integrasi sosial dan kebudayaan negeri ini. Persaudaraan lintas etnis-agama yang sebelumnya menjadi wajah kebhinekaan bisa memudar.

Inilah harga mahal dari kontestasi politik yang menghalalkan segala cara. Ketionghoaan dipersepsi sebagai bukan bagian dari “keislaman dan keindonesiaan”. Persepsi inilah yang harus direvisi dengan menghadirkan segenap kisah-kisah interaksi lintas etnis.

Jika Anda memiliki waktu luang, berkunjunglah ke masjid-masjid Cheng Hoo di seantero negeri ini. Anda akan menemukan betapa ketionghoaan bukanlah ancaman, melainkan ikatan persaudaraan.

@munawir aziz


Gerak Cepat Para Pengumpul Dana


DUNIA HAWA - Segera setelah berita mengenai serangan senjata kimia di Idlib merebak ormas-ormas pengumpul dana pun bergerak cepat. Salah satunya Aksi Cepat Tanggap (ACT). Perhatikan skrinsyut kiri: mereka menyebut serangan senjata kimia di Idlib dengan menggunakan klorin. Padahal dokter yang mengaku menangani pasien di Idlib menyebut gas sarin (dr. Shajul Islam, skrinsyut kanan).

Dalam situsnya, Direktur ACT, Ahyudin, memuji-muji Turki, Erdogan, dan IHH (Insan Hak ve Hurriyetleri ve Insani Yardim Vakfi/ Yayasan untuk Hak Azasi Manusia, Kebebasan dan Bantuan Kemanusiaan), sebuah LSM terbesar di Turki.

Menurut Ahyudin, “Semua yang diperlihatkan IHH, selaras dengan visi ACT. Tidak keliru kalau jika ACT merapat ke IHH dan menyerap inspirasi darinya.” ACT menyerahkan bantuan warga Indonesia untuk Suriah melalui IHH.

Lembaga lain yang juga menyalurkan bantuan ke IHH adalah Indonesian Humanitarian Relief yang dipimpin Ustadz Bakhtiar Nasir. Sebuah video yang diunggah oleh channel Euronews pada Desember 2016 memperlihatkan ada kardus-kardus bertuliskan Indonesia Humanitarian Relief yang ditemukan di markas milisi bersenjata (Jaish al Islam) di distrik al-Kalasa, Aleppo timur. 

Siapa IHH?

IHH adalah LSM terbesar di Turki. Direktur ACT dalam tulisannya memuji-muji IHH, “IHH juga mengelola puluhan kamp pengungsi Suriah lengkap dengan shelternya, selain membangun perkampungan yatim terbesar di dunia dengan fasilitas lengkap seperti rumah, sekolah, fasilitas olahraga, juga taman rekreasi. IHH, wajah ideal lembaga kemanusiaan kelas dunia dengan kemampuan menggerakkan filantropi multisegmen, menyasar seluruh stakeholders dunia.”

Namun berbagai laporan menunjukkan bahwa IHH memiliki “kerja sampingan”, yaitu menyuplai senjata kepada “mujahidin”.


Pada tanggal 3 Januari 2014, harian Turki Hurriyet melaporkan bahwa polisi Turki memergoki truk-truk bantuan atas nama IHH ternyata juga berisi amunisi dan senjata yang akan dikirim kepada pasukan-pasukan “jihad” Suriah. Truk itu bahkan didampingi oleh pejabat dari Organisasi Intelijen Nasional (MIT) Turki. Beberapa hari sebelumnya, pemerintah Suriah secara resmi mengirim surat protes kepada PBB atas tindakan Turki yang secara sistematis menyuplai senjata kepada para militan yang ingin menggulingkan pemerintah Suriah. Menurut Dubes Suriah untuk PBB, “Mereka [para teroris] dilatih di perbatasan Turki-Suriah, dan setelah itu otoritas Turki membantu mereka untuk masuk ke wilayah Suriah.”

Anehnya, Erdogan langsung menghalang-halangi media massa mengekspos masalah ini. Pada tanggal 26 November 2014, dua wartawan dipenjara karena menulis mengenai kasus ini, yaitu Pemred Cumhuriyet Can Dündar dan pimpinan biro harian Ankara, Erdem Gül. Bahkan Erdogan langsung yang membuat tuntutan atas kedua jurnalis itu, dengan alasan, “Kisah [yang ditulis] memuat beberapa rekaman dan informasi yang tidak faktual.” Erdogan juga mengatakan, “Orang yang menulis tentang hal ini akan membayar ‘harga’ yang mahal.” 

Twitter dan Facebook segera diblokir setelah merebaknya kasus ini. Dewan Tinggi Radio dan Televisi pun menyampaikan surat perintah dari pengadilan kepada semua media massa cetak, online, dan televisi yang berisi larangan memberitakan kasus ini. Website Hurriyet yang melaporkan proses pengadilan atas kasus ini juga disuruh menghapus semua kontennya.

Menurut Ahmet Sait Yayla, mantan pejabat polisi Turki yang terlibat langsung dalam penyelidikan kasus ini, ”Pemimpin IHH ditangkap sebagai hasil dari investigasi ini pada saat itu, karena bukti yang kami peroleh menunjukkan bahwa kelompok ini banyak memberikan dukungan untuk ISIS. IHH telah menyediakan senjata dan amunisi untuk banyak kelompok jihad di Suriah, bukan hanya ISIS.”

Aljazeera melaporkan, polisi anti-teror Turki menggerebek beberapa kantor IHH di perbatasan Turki-Suriah dan menangkap beberapa orang dengan tuduhan terkait dengan Al Qaida.

Tentu saja, IHH menolak lembaganya dikaitkan dengan penyelundupan senjata itu. Sekjen IHH Yasar Kutluay menyatakan, “Ini adalah kampanye kotor yang didukung oleh orang di dalam dan di luar Turki… Orang-orang ingin mencitrakan Turki sebagai pendukung terorisme.”

Anda percaya versi cerita yang mana? Pilihan ada di tangan Anda.

@dinasulaeman