Monday, April 10, 2017

HTI: Gagal Paham Suriah (2)


Baca tulisan sebelumnya bagian_1

DUNIA HAWA Setelah Al Nusra resmi masuk daftar organisasi teroris internasional, situs HTI memberikan ‘endorsment’ pada kelompok Ahrar al Sham, yang sebenarnya juga masih ‘bersepupu’ dengan Al Qaida. Ahrar al Sham punya bendera sendiri, tapi terkadang juga mengibarkan bendera khas HT.

Aksi-aksi Ahrar al Sham sangat jauh dari pengetahuan kita tentang bagaimana dulu Rasulullah berperang. Salah satu bukti yang jelas, karena ada videonya dan mereka sendiri yang mengunggahnya, pada Mei 2016 Ahrar al Sham melakukan aksi brutal pembantaian massal di desa al-Zara. Dengan bangga mereka berpose di atas mayat perempuan dan anak-anak.  Rusia sudah lama menuntut Dewan Keamanan PBB agar kelompok ini dimasukkan juga ke daftar teroris internasional namun selalu diveto AS dengan alasan ‘akan menyulitkan upaya negosiasi’.

Saya sering menulis: jangan dipusingkan dengan nama ratusan kelompok ‘jihad’ di Suriah. Yang perlu dilihat adalah basis ideologi dan cara-cara tempur mereka, semuanya sama. Basis ideologi mereka semua sama yaitu takfirisme (gampang mengkafirkan pihak lain yang tak sepaham serta menghalalkan darahnya).  Itulah sebabnya mereka pun akhirnya saling membunuh satu sama lain, seperti yang terjadi di Idlib atau di Hama akhir-akhir ini. Bahkan sesama ‘mujahidin’ pun bisa berubah status jadi kafir.

Pertanyaannya: Mengapa HTI Gagal Paham?


Saya dulu mengikuti tabloid Umat yang diterbitkan HTI, tabloid ini banyak menyuarakan penentangan pada praktik-praktik kapitalisme global yang memang nyatanya menyengsarakan sebagian besar umat dunia dan memperkaya segelintir orang. Tabloid ini bahkan pernah menerbitkan tulisan positif tentang situasi di Iran (ditulis oleh Fahmi Amhar). Sama sekali tidak ada tuduhan kafir atau sesat di dalamnya, terhadap umat Syiah.

Tetapi mengapa hari ini HT bergabung dalam propaganda takfirisme global, yang bersamaan dengan pembantaian dan penghancuran Suriah?

Menurut saya, hal ini karena mereka gagal paham soal Suriah dan geopolitik Timteng secara umum. Mereka gagal dalam mengindentifikasi mana musuh, mana lawan di Suriah. Akibatnya, HT menari dalam genderang lawan (seiring dengan irama Israel dan AS) sehingga memecah belah front perlawanan terhadap Israel. Perhatian publik dunia saat ini tertuju pada Suriah, tidak lagi pada Palestina.

Padahal HT dulu didirikan di Palestina dengan alasan ingin melawan penjajahan Israel. Tapi di Suriah, mendadak HT gagal paham, melupakan fakta geopolitik bahwa Suriah adalah negara Arab terakhir yang menolak berdamai dengan Israel. Suriah menjadi pelindung Hamas, membuka jalur suplai logistik dan senjata ke Gaza, serta menampung jutaan pengungsi Palestina dengan pelayanan yang terbaik di Timteng. Suriah ikut dalam 3 kali perang Arab-Israel (1967, 1973,1982).

Kesalahan identifikasi ini, menunjukkan bahwa cara berpikir mereka masih doktrinal (bukan pemikiran kritis). Hizbut Tahrir adalah ormas transnasional, boss besarnya ada di luar negeri, entah dimana (ada info, boss besarnya berada di Tepi Barat). Ketika boss di luar sana menginstruksikan untuk membenci dan menyerang, itu pula yang mereka lakukan. Ketika mereka tak mampu menemukan bukti foto atau video tentang ‘pembantaian Assad terhadap Sunni’, mereka tak segan menggunakan foto atau video hoax. Doktrin ditaruh di atas segalanya, melupakan data dan analisis kritis. Miris sekali mengingat bahwa anggota HTI banyak yang sarjana, bahkan doktor.

Begitu  juga soal bendera. Mereka mengklaim  bahwa bendera yang mereka kibarkan (dan menjadi simbol HT) adalah ‘bendera Rasulullah’. Padahal, jenis huruf yang dipakai di bendera itu belum dikenal pada masa Rasulullah. Hal ini saya buktikan sendiri saat berkunjung ke museum Quran di Mashad Iran yang menyimpan manuskrip-manuskrip Quran kuno (Quran zaman dulu hurufnya masih kaku dan polos, tanpa titik dan syakal). Pakar ilmu Islam, Prof Nadirsyah juga menulis demikian, yang kemudian disanggah oleh penulis pro-HTI, yang menyatakan bahwa yang jadi fokus dalam propaganda bendera ini adalah warna bendera, bukan jenis hurufnya.


(Foto : Manuskrip Quran kuno (tulisan tangan), ditulis sekitar abad 1 Hijriah. Perhatikan model hurufnya, klik utk memperbesar.)

Tentu itu apologi yang tidak nyambung. Bendera itu satu paket dengan segala ideologi di baliknya. Misalnya, mengapa pemberontak Suriah yang berafiliasi dengan Ikhwanul Muslimin  mengibarkan bendera warna hijau-putih-hitam? Karena, itu bendera saat Suriah dijajah Perancis; tak heran bila tokoh IM, Moaz al Khatib, diundang ke Istana Presiden Perancis untuk membahas agenda penggulingan Assad. Orang yang mengibarkan bendera hitam saja (tanpa tulisan) dengan orang yang mengibarkan bendera hitam bertulisan syahadat ala bendera HTI, hampir dipastikan punya ideologi berbeda. (Tentu ada saja orang-orang alay yang mengibarkan bendera tanpa tahu ideologi; tapi itu tidak masuk bahasan kita.)


(Foto : Misi Medis Suriah, salah satu ormas pengumpul dana dari Indonesia, menyampaikan bantua rakyat kepada milisi FSA/berafiliasi dg Ikhwanul Muslimin. Lihat benderanya.)

Tak dapat dipungkiri, bendera khas HTI digunakan oleh milisi-milisi bersenjata di Suriah. Jauh sebelumnya, tahun 1988, Al Qaida berdiri dan  mengibarkan bendera serupa. Di bagian 1 sudah saya jelaskan ‘pertalian persaudaraan’ antara Al Qaida dan milisi-milisi bersenjata di Suriah (yang juga didukung HT). Jadi ini bukan aktivitas mencocok-cocokkan tanpa data.

Jadi, apapun apologi, sanggahan, dan klaim HTI soal ideologi mereka, bisa kita uji dengan kasus Suriah ini. Aktivis HTI sering mengklaim diri sebagai gerakan damai dan anti terorisme, tapi konflik Suriah membuktikan sebaliknya. Mereka mengaku mengusung Islam Rahmatan lil Alamin, tapi dengan berbekal berita hoax mereka sebarkan narasi kebencian yang sangat masif di Indonesia. Mereka menyebut pemerintah Indonesia sebagai rezim thaghut yang harus diganti dengan khilafah. Lalu, bagaimana cara menggantinya? Suriah menjadi bukti bahwa upaya penggantian sebuah rezim demokratis menjadi khilafah versi HT ternyata harus melalui proses penghancuran. Indonesia, mau menyusul?

@dina sulaeman


Karena Kalian, Saya Bosan Menjadi Muslim


DUNIA HAWA - Dalam hidup ini, ada yang membuat saya menjadi seorang muslim, ialah kedua orang tua saya. Almarhum abah saya adalah ketua Tanfidhiah NU di kota saya lahir. Ibu saya muslimat, dan kakak saya fatayat NU. Sedari kecil, saya diajari untuk membaca tahlil, yasinan, al-barjanji, dziba’an, mauludan, ziarah kubur, dan seterusnya.

Saya suka mengamalkan tradisi-tradisi itu, persis seperti kesukaan saya pada layar tancap waktu itu. Tak peduli film apa yang diputar—biasanya sih Rhoma Irama, Warkop DKI, atau suzana—saya akan dengan bangga dan sepenuh keyakinan berjalan kaki berkilo-kilo demi menyaksikan layar tancap di lapangan kecamatan. Saya tak peduli filmnya bagus atau tidak, sebab saya suka menonton film. Saya praktekkan tradisi-tradisi itu, tak peduli apakah tradisi-tradisi itu menyimpang atau tidak.

Tetapi, waktu kecil, saya telah yakin bahwa tradisi-tradisi itu tak menyimpang. Seingat saya, kedua orang tua saya tak pernah terlibat dalam perdebatan tentang tradisi-tradisi tersebut, bukan karena abah saya tak mampu diajak debat, tetapi karena meyakini bahwa mengamalkan tradisi-tradisi tersebut dapat membuat hati merasa tenang dan bahagia.

Bukankah inti dari penghambaan diri kepada Tuhan adalah hati yang tenang? Bagaimana hati bisa mendapatkan ketenangan? “Alaa bizikrillahi tathmainnul qulub”—dengan berzikir. Tahlilan, yasinan, dzibaan, mauludan, dan ziarah kubur adalah bentuk-bentuk zikir kepada Tuhan. Mengingat Tuhan. Merasakan hubungan dengan Tuhan. Menikmati hubungan itu. Bercinta dengan Tuhan.

Dengan pemahaman yang seperti itulah saya diajari kedua orang tua saya untuk mengamalkan tradisi-tradisi itu. Tanpa perlu debat. Tanpa perlu bersitegang soal bid’ah atau tidaknya. Tanpa harus takut dikata-katai bahwa ziarah kubur adalah perkara sesat.

“Biar saja orang bilang perkara ini sesat,” begitu suatu ketika abah saya berkata, “asalkan lebih cepat mengantarkan hati kita untuk mencintai-Nya.” Sesat kata orang, belum tentu sesat di mata-Nya.

Dapat saya katakan: Cara saya di waktu kecil mengamalkan tradisi-tradisi tersebut adalah murni karena dorongan spiritual. Dorongan cinta. Suatu dorongan yang sama sekali tidak bersangkut-paut dengan perdebatan secara akal. Terhadap cinta, akal memang memahaminya. Tetapi tentang rasa cinta, itu adalah wilayah hati. Akal memahami cinta, tetapi hati-lah yang merasakannya.

Dari tradisi-tradisi yang demikian itu, seiring umur saya bertambah, saya semakin tenggelam dalam keIslaman saya. Sedikit demi sedikit, pengetahuan saya tentang agama ini bertambah. Wilayah pengetahuan adalah akal. Semakin ke sini, akal saya semakin terbuka. Seperti tempat penampungan, akal saya menerima pengetahuan-pengetahuan tentang berbagai-bagai ajaran agama ini, dari soal Tauhid, Ibadah, hingga Muamalah. Akal saya mempelajari soal kaidah-kaidah hukum Islam (ushul fiqh), mempelajari pula hukum-hukumnya (fiqh).

Akal saya semakin mengembara. Menyerap segala pengetahuan tentang agama ini. Menyeret saya pada satu kelompok ke kelompok lain, satu madzhab ke madzhab lain. Saya yang sejak kecil secara kultural berIslam secara NU, mendadak dihimpit kegelisahan yang luar biasa. Saya hampir gila. Pertanyaan-pertanyaan memenuhi akal saya soal agama ini. Saya berguru ke mana-mana, dari ustadz-ustadz/tokoh-tokoh Muhammadiyah, kejawen, NII, wahabi-salafi, Hizbut Tahrir, hingga Syiah.

Saya hampir gila karena semakin lama hati saya semakin gelisah seiring otak saya yang terus-menerus bertanya-tanya. Di antara kelompok-kelompok Islam itu, di antara madzhab-madzhab Islam itu, di antara manhaj-manhaj itu—manakah kelompok, madzhab, atau manhaj yang paling benar yang harus saya ikuti??

Saya tuangkan kegelisahan itu dalam suatu naskah yang amat tebal. Bentuknya novel. Judulnya “Kang Narimo Melawan Kodrat”. Saya wakilkan diri saya sendiri pada tokoh fiktif bernama “Narimo” yang karena dihantam berbagai kegelisahan dan pemberontakan batin berupaya hendak melawan takdir-Nya. Naskah itu saya tulis pada tahun 1998, saat dimana saking bingungnya saya tinggalkan semua ritual agama karena saya tidak tahan terhadap klaim-klaim kebenaran dari masing-masing kelompok yang saya ikuti.

Sungguh, hubungan saya dengan Tuhan waktu itu adalah hubungan yang menjengkelkan. Saya jengkel: Sekiranya Islam adalah agama kebenaran, lantas kenapa saya susah sekali menemukan mana kelompok, madzhab, atau manhaj yang paling benar sebab semuanya saling merasa benar sendiri?

Kalau Islam adalah agama pencerahan, kenapa justru ummatnya suka ribut sendiri-sendiri? Kalau Islam adalah agama pembebasan, kenapa ummatnya justru saling terkungkung dengan doktrin-doktrinnya sendiri? Dan kalau Islam adalah agama keselamatan, kenapa sesama muslim justru saling bunuh-membunuh sendiri?

Saya bosan menjadi seorang muslim. Semakin gede, semakin bertambahnya umur, keberIslaman saya sewaktu kecil semakin sirna. Islam yang semestinya menjadi solusi atas segala persoalan, justru menjadi persoalan itu sendiri. Malah, dari buku dan pengetahuan, pada akhirnya saya dapati betapa persoalan ini tidak hanya terjadi dalam komunitas Islam, tetapi terjadi pula pada komunitas non muslim. Saya pelajari sejarah agama-agama, dan justru mengantarkan saya pada kesimpulan: Agama yang sejatinya bisa menjadi solusi terhadap problem kemanusiaan dan keTuhanan justru menjadi problem itu sendiri.

Lalu, sampailah saya pada kesimpulan: Lebih baik saya tak beragama saja. Saya merapatkan diri pada barisan kawan-kawan yang tak beragama. Malah, di antara mereka ada yang percaya untuk tidak percaya Tuhan alias Atheis. Sungguh asyik dan menyenangkannya bisa berkumpul dengan orang-orang yang tidak terlibat dalam problem yang disebabkan oleh agama. Saya menjadi orang yang merdeka!

Itu terjadi beberapa saat. Semakin dalam saya terlibat pada komunitas anti-Tuhan, saya merasai jiwa saya semakin gersang. Hati saya semakin gelisah. Kepada hati ini saya berkata: Tiap orang punya masalah. Masalah yang dimiliki oleh tiap orang bisa sama, bisa pula berbeda. Masalah pun bertingkat-tingkat. Jika 10 orang punya masalah sendiri-sendiri yang harus dipecahkan, apakah sesama mereka bisa saling memberi solusi?

Anda punya masalah cinta. Saya pun punya. Maka, apakah antara saya dan anda bisa saling menasihati tentang cinta dan bisa saling menyelesaikan problem cinta padahal saya dan anda sama-sama menderita cinta?

Pada titik yang demikian, saya sadar kembali bahwa di atas langit masihlah ada langit. Dan langit-langit itu tak ada dengan sendirinya. Pasti ada yang membentangkannya. Jika semua orang memiliki masalah, psatilah harus dicari dan didapatkan Dzat bisa memecahkan masalah. Dzat itu pastilah Maha Segalanya. Dan Dialah Allah SWT.

Pelan-pelan saya bangkit dari keterpurukan jiwa. Saya bebaskan akal saya dari belenggu-belenggu pengetahuan tentang agama-agama. Cukuplah pengetahuan-pengetahuan itu—beserta pemahamannya—untuk diri saya sendiri, tanpa saya harus perdebatkan dengan orang lain. Saya tidak ingin jatuh dalam perdebatan lagi. Toh, tak ada manusia di dunia ini yang sudah pernah tinggal di surga atau mencicipi neraka, lalu berhak mengklaim bahwa dirinyalah yang telah menemukan kebenaran dan berhak mengklaim satu-satunya pihak yang benar.

Jiwa ini saya pupuk kembali dengan amalan-amalan, dengan tradisi-tradisi, dengan cinta dan kerinduan sebagaimana waktu kecil pernah saya miliki. Dan bila saya merasa bosan menjadi seorang muslim (kembali), itu dikarenakan tingkah laku dan teriakan-teriakan kalian yang sok merasa paling suci, paling membela kebenaran, paling Islami sendiri. Islam yang sejati ada pada jiwa. Jiwa yang merdeka adalah jiwa yang saling mengasihi antar sesama manusia, saling menyayangi, saling menebarkan kedamaian. Bukan jiwa bahlul yang saling mencaci-maki….


@taufiqurrahman al azizi


Beredar Kontrak Politik “Jakarta Bersyariah” Bertandatangan Anies Baswedan


DUNIA HAWA - Ternyata, kontrak politik berkaitan dengan “Jakarta Bersyariah” itu ada. Sebab ada sebuah dokumen yang mendukungnya. Langsung ditandatangani oleh Anies Baswedan sendiri. Ini sungguh mengejutkan. Ini membuka tabir, mengapa Anies terlihat tak tegas untuk menyatakan dirinya tak pernah terlibat dengan isu “Jakarta Bersyariah”.

Kita lihat Anies hanya bermain “playing victim” seakan-akan pihak lawan yang merekayasanya. Padahal, di akar rumput, para relawan dan simpatisan Anies sudah secara terang-terangan meneriakkan tagline #JakartaBersyariah. Pentolan FPI pun, Novel Bamukmin, meminta kepada Anies untuk menjelaskan ke publik tentang konsep ini.

Berikut petikan dokumen kontrak politik Anies Baswedan dan Sandiaga Uno yang tertanggal 18 Februari 2017:

Jakarta Bersyariah


Dengan menyebut nama Allah SWT dan Muhammad SAW sebagai Rasul-Nya kami berkomitmen menegakkan Jakarta Bersyariah sesuai dengan kesepakatan para alim ulama serta Umat Muslim di Jakarta bahwa:

Dalam 100 hari kerja mewujudkan terbentuknya Peraturan Daerah (Perda) pelaksanaan Syariah Islam di Jakarta yang terangkum dalam 9 pokok aturan dan lazim disebut sebagai Qonun Jinayat yaitu:

• Perda Wilayatul Hisbah
• Perda Ikhtilath
• Perda Khalwat
• Perda Liwath
• Perda Musahaqah
• Perda ‘Uqubat Cambuk
• Perda Maisir
• Perda Khamar
• Perda Zina

Demikian Kontrak Politik ini kami buat, dengan disaksikan Allah SWT dan Rasul-Nya, Alim Ulama dan seluruh umat Islam di Jakarta.

Kita lihat, banyaknya spanduk-spanduk bertemakan “Jakarta Bersyariah” dengan pokok-pokok Qonun Jinayatnya, ternyata bersumber dari kontrak politik di atas. Tidak mungkin kemunculan spanduk-spanduk dengan detail pokok aturannya, muncul dari sebuah ketiadaan. Atau kubu sebelah yang merekayasanya?


Kalau Anies merasa difitnah seakan-akan dirinya bermain SARA dengan mendukung konsep “Jakarta Bersyariah”, pertanyaan sederhanannya adalah: Apa kepentingan kubu Ahok-Djarot melemparkan fitnah dan rekayasa semacam itu? Apakah itu menguntungkan kubu Ahok-Djarot? Dan, apakah ada buktinya?

Sayangnya Anies adalah Anies. Caranya bertahan hidup adalah dengan terus mengikuti arus massa. Saat kubu syariah beramai-ramai mendukungnya, ia menerimanya dengan tangan terbuka. Saat kubu nasionalis beramai-ramai mengkritiknya, ia langsung merangkulnya, lalu mulai mencampakkan kubu syariah.

Bukankah posisi Anies tidak sedang bersikap tegas untuk mengatakan “Kami tidak pernah bermain SARA!”? Apa yang Anies katakan soal SARA hanya sebatas meredam amuk pihak-pihak pluralis yang merasa Anies sedang bermain SARA. Ia tidak pernah mengatakan secara tegas tidak ada kontrak politik soal “Jakarta Bersyariah”. Ia tidak pernah mengatakan secara tegas bahwa pihaknya tidak pernah menyetujui konsep “Jakarta Bersyariah”.

Akhirnya, Anies yang tanda tangan kontrak politik, malah Sandi yang buat pernyataan. Sandi yang menyatakan tak pernah ada kontrak politik “Jakarta Bersyariah”. Ia ingin Jakarta menjadi kota yang plural dan ramah bagi semua orang.

Sandi bisa mengatakan seperti itu karena memang bukan ia yang tanda tangan. Tapi, bukannya Sandi pernah bilang bahwa jangan alergi dengan konsep syariah. Meski Sandi tak berani masuk ke wilayah Perda dan Qonun Jinayat, setidaknya indikasi pihak mereka “ramah” dengan “Jakarta Bersyariah” tidak bisa ditutup-tutupi lagi. Seberapa rapinya bangkai ditutupi, pada akhirnya akan tercium juga.

Tapi… Mungkin saja dokumen di atas palsu. Mungkin saja dokumen di atas rekayasa kubu Ahok-Djarot, sebagaimana fantasi Anies Baswedan. Untuk itu, Anies sebagai pihak yang dianggap menandatangani kontrak politik tersebut harus buat pernyataan tegas ke publik. Bahwa dirinya tidak pernah menandatangani kontrak semacam itu. Dan kontrak semacam itu tak pernah ada. Juga pihaknya tidak pernah setuju dengan konsep “Jakarta Bersyariah”.

Apakah Anies berani mengungkapkannya?

Jawabannya, sangat tidak mungkin Anies menyatakan semua itu ke publik. Mengapa?

Di media atau di sosial media, mungkin para elite Timses Anies-Sandi bisa bermain dua muka tentang sikap mereka soal “Jakarta Bersyariah”. Tapi bagi akar rumput di bawah sana, konsep “Jakarta Bersyariah” adalah jihad mereka. Sekali Anies menyatakan tidak mendukung atau tidak ada sangkut pautnya dengan “Jakarta Bersyariah”, suara akar rumput akan goyang.

Akar rumput yang didominasi warga kelas bawah, yang sangat fanatik soal agama, yang maunya hitam-hitam atau putih-putih, tidak pernah mau tahu soal strategi politik untuk menggaet pihak lain. Mereka selalu bermain “pokoknya”.

Itulah sebabnya, Anies jadi serba salah. Ternyata, warga Jakarta, biar mayoritas muslim tapi mereka tetap rasional. Inilah alasan Anies tetap bermain di tengah, di perbatasan antara memilih konsep kebangsaan atau syariah untuk Jakarta.

@muhammad nurdin