Saturday, April 8, 2017

Dua Kata untuk Muslim Radikal: Tidak dan Lawan!


DUNIA HAWA - Gerakan muslim radikal tak henti-hentinya menyumbat nafas kedamaian. Hanya karena cita-cita, tujuan berdasar kepentingan kelompok, segala aral yang dinilai merintangi dibabat tanpa ampun. Cara-cara yang dipakai pun bak binatang liar tak bertuan. Ia gunakan otot tanpa akal.

Jelas bukan hal yang patut diwaspadai jika menilai muslim radikal dari segi pemaknaannya saja. Bahkan justru patut ditumbuh-suburkan jika meniliknya dari aspek makna belaka.

Hanya saja, melihat sikap dan tindak-tanduk mereka-mereka yang tergolong di dalamnya, sebut misalnya FPI, FUI dan HTI, maka hanya ada dua kata untuk muslim radikal ini: tidak dan lawan!

Yang Merasa Benar Sendiri


Sebelum beralih kepada cara menolak sekaligus melawan, perlu kiranya penegasan persepsi tentang apa yang saya maksudkan dari muslim radikal itu.

Pertama dan utama, saya tidak sepakat jika ada yang menyebut bahwa muslim itu satu; penganut Islam tanpa embel-embel yang menyifatinya—meski tentang “muslim” itu sendiri tidak melulu identik dengan Islam; muslim tak harus bermakna orang/umat/penganut Islam sebagaimana Ali A. Rizvi yakini dalam Sang Muslim Ateis: Perjalanan dari Religi ke Akal Budi.

Misalnya, ketika ada yang menyebut diri sebagai orang Islam (muslim), maka pertanyaannya kemudian, Islam apa yang dianut? Islam sunni; sunni apa? NU; NU apa? moderat; moderat apa? liberal; dan seterusnya dan seterusnya.

Karenanya, penyebutan muslim radikal adalah tepat. Tak ada kecacatan dari segi penulisan. Ini hanyalah penegasan bahwa Islam itu kaya akan aliran-aliran dari para penganutnya sendiri. Tak ada yang satu. Itu banyak. Bisa dua atau lebih.

Lantas, apakah muslim radikal itu? Saya mengenalnya sebagai orang Islam yang merasa benar sendiri,, sekelompok muslim yang merasa diri paling benar sedang yang lain dianggap salah. Mereka itu, ya seperti orang-orang dalam ormas FPI, FUI dan HTI.

Kenapa orang-orang FPI, FUI dan HTI tergolong muslim radikal, yang merasa benar sendiri? Lihat saja gelagatnya. Kelompok-kelompok ini sangat keras menegakkan perubahan sesuai yang mereka inginkan. Tak peduli apakah itu bertentangan dengan kehendak pihak-pihak lain, yang mereka tahu hanyalah menomor-satukan kehendaknya. Sama sekali tak ada kepedulian terhadap pihak-pihak yang berada di luarnya yang kemungkinan besar mengalami kerugian karena tindakan membabi-butanya.

Dalam hal penegakan nahi munkar misalnya, apalagi yang sudah difatwakan MUI bahwa itu adalah salah, bertentangan dengan ajaran Islam alias haram, ormas seperti FPI dan FUI senantiasa akan mengawal hingga menghancurkannya. Mulai dari kebebasan berekspresi, berpikir, hingga kepemimpinan non-muslim, selama itu dianggap bertentangan dengan Islam, berlandas fatwa MUI, wajib untuk mereka lawan, hancurkan semusnah-musnahnya.

Efeknya? Konflik sosial jadi tak terhindar. Cita-cita semua orang untuk bisa hidup rukun dan damai di negeri yang katanya ber-bhinneka tuggal ika, terkesan jadi utopis karenanya. Mustahil bisa menikmati apa-apa yang dirasa baik, apa-apa yang menurut kebutuhan diri adalah perlu untuk dipenuhi.

Ya, yang merasa benar sendiri, itulah yang saya maksudkan dari kaum muslim radikal. Tapi pemaknaan ini sekadar penegasan persepsi semata. Bukan hal yang harus berlaku secara universal.

Mereka, kelompok yang merasa diri paling benar itu, mungkin tak sadar konteks jika semua orang yang hidup di samping kiri-kanannya lahir dan tumbuh secara berbeda-beda. Bahwa tidak semua dirinya yang dianggap baik itu adalah baik juga untuk semua. Mereka tak sadar jika keadilan hanya bisa tercipta di mana tiap individu yang berbeda-beda mendapat, memiliki dan menikmati kebutuhannya masing-masing.

Kesannnya mungkin paradoks jika kita menilai, apalagi sampai melarang tindakan ormas yang tak berakal sebagai hal yang salah di mana mereka menganggapnya sebagai sesuatu yang benar. Tetapi selama masih dalam tataran gagasan, menyampaikan bukan memaksa, maka tindakan semacam itu diperbolehkan. Sah adanya.

Andai misalnya mereka hanya menyampaikan juga, semisal seperti MUI yang hanya memberi fatwa tanpa penekanan berupa paksaan untuk memberlakukannya, maka dua kata tadi, yakni “tidak” dan “lawan” itu jadi haram hukumnya untuk diberlakukan.

Sayang, yang diharapkan tidak demikian. Yang diharapkan justru sebaliknya. Untuk itu, kata “tidak” dan “lawan” wajib kiranya didemonstrasikan terhadap mereka, muslim radikal, yang selalu merasa paling benar sendiri.

Sebuah Kewajiban


Adalah wajib jika dua kata itu diseru dan didemonstrasikan terhadap mereka. Itu berguna untuk mencipta kedamaian. Meski tahu bahwa upaya ini tidak akan pernah mencapai totalitasnya, selalu akan ada saja yang akan tumbuh sebagai pengacau, tapi setidaknya kita telah bertindak untuk meminimalisirnya.

Ya, semua orang tak harus menganggap itu sebagai kewajiban. Sebab hanya yang cinta kedamaian hidup sajalah yang akan merasa demikian. Selebihnya, entah. Ada yang apatis, dan tentu saja ada pula yang akan berlaku sebaliknya sebagai pengacau.

Mengingat ini adalah kewajiban bagi mereka yang memang cinta damai, maka cara untuk itu harus kita urai. Setidaknya ini bisa menjadi landasan dalam memulai.

Pertama, memantapkan tekad. Tekad ini adalah pemahaman utuh tentang ideologi bangsa, yakni bersatu dalam perbedaan; toleran dalam keberagaman; bhinneka tunggal ika. Dengan kata lain, hidup harus menurut konteks.

Oleh karena kita bernaung dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang punya aturan main berupa Pancasila sebagai filsafat bangsa dan UUD 1945 sebagai konstitusinya, maka kepentingan Islam harus dinomor-sekiankan, kalau perlu dialpakan sama sekali jika konteks tindakan itu berada di ruang publik.

Kedua, mendiseminasikan tekad. Kita tahu, tak ada perubahan tanpa gagasan sebagaimana tak ada gagasan tanpa muatan ide yang disebarluaskan. Caranya? Bisa bermacam-macam. Jika menurut pada cara saya, media tulisanlah yang paling ampuh.

Tapi satu hal yang patut dipastikan, yakni pelaksanaan kata-kata. Jangan munafik. Jangan suruh orang lain berbuat sedang dirimu sendiri tidak berlaku seperti itu. Inilah pendiseminasian tingkat tinggi: menyebarluaskan dengan contoh, menjadikan diri sebagai teladan.

Dan yang terakhir adalah menunggu hasil. Jika tekad sudah bulat, sudah mendiseminasikannya secara lisan, tulisan, maupun tindakan, maka langkah terakhir yang tersisa adalah menunggu untuk kemudian memetik hasilnya.

 Meski demikian, patut pula untuk saya tegaskan bahwa, langkah kedua-lah yang paling harus menjadi keutamaan. Karena apalah makna dari tekad tanpa upaya. Pun demikian demikian hasil tanpa upaya. Hematnya, semua ditentukan oleh yang kedua itu. Sementara dua di antaranya hanyalah penunjang dan akibat. Proses (upaya) itulah yang hakiki.

@maman suratman


HTI: Gagal Paham Suriah (1)


DUNIA HAWA - Baru-baru ini beredar di medsos, foto baliho HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) yang berisi propaganda ‘bendera Rasulullah’. Karena saya sejak 2011 sudah mengikuti konflik Suriah, maaf saja, melihat bendera itu langsung teringat pada bendera salah satu kelompok “jihad” (tapi sudah masuk ke dalam list teroris internasional PBB), yaitu Jabhah Al Nusra. Pada saat yang hampir bersamaan, tokoh HTI (tapi sudah keluar dan kini jadi Sekjen Forum Umat Islam, ormas yang juga aktif menyerukan “jihad” ke Suriah) Muhammad Al-Khaththath, ditangkap polisi dengan tuduhan makar.

Saya pun teringat pada acara “Pengajian Umum dan Bedah buku HTI, Gagal Paham Khilafah”. yang diselenggarakan Keluarga Mahasiswa NU ITB dan Komunitas Anak Peduli Bangsa Bandung (27/1/2017). Dalam tulisan berikut ini saya akan memaparkan ulang apa yang saya sampaikan dalam acara tersebut, agar kita bisa mengambil benang merah dari dua fenomena yang saya sebut di atas.

Konflik Suriah dimulai dengan aksi-aksi demo menentang pemerintah yang mirip dengan aksi demo di berbagai negara Arab dalam gelombang Arab Spring 2011. Isu yang diangkat waktu itu adalah demokratisasi. Namun, demo tidak pernah tereskalasi, yang terjadi hanya demo-demo minor, dan bahkan provokatornya itu-itu lagi sebagaimana tertangkap kamera video.

Amnesty International melaporkan bahwa rezim Assad menghadapi demo dengan represif dan telah terjadi kejahatan kemanusiaan. Namun, bila kita menyimak isi teks laporan itu dengan cermat akan terlihat metodologi penelitian yang dilakukan tidak valid, antara lain pengumpulan bukti-bukti tidak dilakukan langsung oleh staf AI di lapangan, melainkan melalui wawancara telepon dan wawancara pada orang Suriah di Lebanon dan Turki. Asas corroboration dan cross-checking juga tidak dilakukan, sehingga laporan ini tidak valid.

Sebaliknya laporan jurnalis-jurnalis independen (tidak bekerja pada media mainstream) justru menunjukkan bahwa di antara para demonstran ada yang angkat senjata sehingga selalu ada polisi yang jatuh korban (misalnya bisa dibaca laporan Thierry Maysan yang sejak awal sudah berada di Suriah). Bahkan sejak demo pertama, Assad sudah memberikan tanggapan yang persuasif, ia mengutus wakilnya, Dr. Buthaina Shaaban untuk bernegosiasi. Selanjutnya, Assad memenuhi berbagai tuntutan demonstran, seperti pencabutan State Emergency Law warisan rezim ayahnya, Hafez Al Assad, perubahan UUD (antara lain membatasi masa jabatan kepresidenan), dll.

Semua upaya demokratis ini diabaikan dan tiba-tiba saja isu berganti menjadi “penegakan khilafah”. Dan sejak itulah Hizbut Tahrir Indonesia terlihat amat gencar mempropagandakan berita tentang ‘kekejaman rezim Assad’ yang penuh nuansa kebencian pada ‘Syiah Nusairiyah’ (publik tidak banyak tahu apa itu, yang ditangkap hanya Syiah-nya saja dan menyamaratakan dengan semua Syiah). Padahal, di media internasional, nama Hizbut Tahrir tak banyak disebut. Kita di Indonesia tahu bahwa anggota HT ikut bertempur di Suriah karena cerita-cerita orang HTI sendiri.

Hal ini rupanya diakui oleh tokoh HT asal Suriah yang tinggal di Libya. “Baba mengkritik media Arab dan Barat yang mengabaikan keberadaan Hizbut Tahrir dan menutup perannya. Baba mengatakan kepada Al-Akhbar, Hizbut Tahrir telah ada di Suriah sejak lama dan telah menjadi target pelarangan rezim Baath,” demikian ditulis dalam berita yang dirilis situs HTI.

HT berbeda dengan Ikhwanul Muslimin yang rekam jejaknya jelas pernah melakukan pemberontakan terhadap Rezim Assad tahun 1982, lalu sejak awal konflik 2011 sudah bergabung dalam koalisi oposisi di Turki, bahkan mubalig IM bernama Moaz al Khatib pernah menjadi ketua kelompok koalisi tersebut (Syrian National Coalition for Opposition and Revolutionary Forces (SNCORF). Terkait dengan gerakan bersenjata, IM sejak awal menunjukkan keberpihakan pada Free Syrian Army, kemudian Jaish Al Islam dan beberapa afiliasinya.

Para pengamat politik Timteng, khususnya Suriah, memang hampir tak pernah menyebut nama HT sebagai aktor dalam konflik ini. Yang jelas, di Indonesia, aktivis HT sangat ‘berisik’ soal Suriah, tak jauh beda dengan rekan sejalan-tak sepemikiran mereka, Ikhwanul Muslimin.

Situs mediaumat.com menulis,” “Hizbut Tahrir memobilisasi para pejuang Islam di sana untuk menandatangani Mitsaq al-‘Amal li Iqamati al-Khilafah. Hizbut Tahrir juga telah menyiapkan RUUD Negara Khilafah yang siap kapan saja diterapkan. Hizbut Tahrir juga telah mempersiapkan para aktivis terbaiknya untuk menjalankan roda pemerintahan.”

Siapa pejuang alias mujahidin yang dimaksud oleh HT? Tidak jelas, tidak pernah ada deklarasi terbuka, HT berpihak kepada siapa. Indikasi awal yang saya temukan adalah situs HT Inggris memuat utuh wawancara majalah Time dengan pejabat resmi Jabhah Al Nusrah dengan tanpa catatan (sanggahan atau komentar).

Lalu pada 2013, Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia, Ismail Yusanto mengakui,  Hizbut Tahrir pernah mengikuti sumpah setia dengan banyak kelompok mujahidin yang ada di Suriah, termasuk dengan Al Nusra. 

Siapa Al Nusra?


Banyak kader Al Nusra yang berasal dari jaringan jihad Abu Mus’ab al-Zarqawi, yang dibangun tahun 2002,menyusul kepulangan Zarqawi dari Afganistan. Pejuang  jihad Syria yang bertempur bersama Al-Zarqawi di Herat, Afghanistan pada tahun 2000 dikirim untuk membangun cabang jaringan ini di Syria dan Lebanon, dengan Al-Zarqawi memegang kontrol dari Irak. Pasukan jihad Syria ini membangun semacam tempat persinggahan bagi para jihadis dari berbagai negara yang akan masuk ke Irak. Selama masa ini pula,  mereka menjadi saluran utama distribusi dana bantuan yang digalang para jihadis di negara-negara Arab dan Teluk.

Tahun 2007, pemerintah Suriah mengambil sikap tegas terhadap aktivis jihad ini dan menangkapi anggota jaringan Al Zarqawi. Dalam operasi ini, Sheikh Abu al-Qaqaa yang berperan dalam pengiriman pasukan jihad dari berbagai negara asing ke Irak, tewas. Banyak di antara pasukan jihad yang berhasil melarikan diri ke Irak lalu mereka kembali ke Suriah pada tahun 2011. Di antara mereka yang kembali untuk ‘berjihad’ di Suriah adalah Abu Mohammad al-Julani. Dia pun mendirikan  Jabhah Al Nusrah, dan menjadi pemimpinnya.

Karena itu, banyak pengamat, serta berbagai tulisan, sering menyebut Al Nusra sebagai Al Qaida. Mereka punya banyak ‘derivasi’ atau ‘keturunan’, namun semua bergabung dalam satu keluarga besar Al Qaida. Al Nusra (dan Al Qaida) masuk dalam daftar teroris internasional. Aksi-aksi mereka memang sangat berbau teror, mulai dari pengeboman, bom bunuh diri, pembantaian massal, dll

@dinasulaeman


Paham Toleransi Beragama dalam Majapahit


Ulasan Buku “Gajah Mada”


DUNIA HAWA - Saling menghargai dan menghormati sesama warga merupakan ajaran yang sudah diberikan oleh nenek moyang kita sejak Indonesia belum bernama ‘Indonesia’. Hal itu bisa kita ketahui dari kerajaan besar yang pernah berdiri dan berkembang pesat di wilayah Nusantara seperti Majapahit pada sekitar abad ke-13 M.

Apakah kerajaan Majapahit mengajarkan persatuan dan kesatuan? Hal itu bisa kita lihat dari novel yang ditulis Langit Kresna Hariadi dengan berjudul Gajah Mada. Buku Gajah Muda merupakan cerita Kerajaan Majapahit dengan menyoroti kebesaran Mahapatihnya, Gajah Mada. Buku ini terdiri dari lima seri dengan judul besar yang sama, yaitu Gajah Mada.

Dari kelima seri buku tersebut, buku Gajah Mada: Madakaripura Hamukti Moksa merupakan buku kelima yang mengisahkan tentang Gajah Mada yang mengundurkan diri dari jabatan Mahapatih. Pengunduran tersebut dikarenakan tragedi Perang Bubat yang menjadi tragedi berdarah antara kerajaan Majapahit dengan Kerajaan Sunda Galuh.

Tragedi tersebut menyeret Gajah Mada yang pada saat itu bertindak sebagai Mahapatih menjadi orang yang paling bertanggung jawab atas kejadian tersebut. Sampai pada akhirnya, Gajah Mada meninggalkan jabatannya dan yang pada awalnya mengambil sumpah Hamukti Palapa untuk menyatukan Nusantara, kini memilih Hamukti Moksa di tempat yang selanjutnya dinamakan Madakaripura.

Madakaripura merupakan tanah perdikan milik mahapatih Gajah Mada dari kerajaan Majapahit. Tanah perdikan tersebut saat ini lebih terkenal dengan air terjunnya yang terletak di Dusun Branggah, Desa Negororejo, Kecamatan Lumbang,Kabupaten Probolinggo, Provinsi Jawa Timur.

Dalam novel tersebut, terdapat cuplikan perisitiwa yang menunjukkan bagaimana kuatnya saling menghormati dan menghargai pada masa Majapahit. Pengarang menceritakan mahapatih Gajah Mada dalam perjalanannya saat menuju tanah perdikan mengalami berbagai peristiwa. Salah satunya yaitu  peristiwa yang terjadi di  Perkampungan Pamadan. Kampung Pamadan merupakan sebuah desa yang harus dilalui ketika akan menuju tempat Madakaripura tersebut.

Saat itu, Gajah Mada mendapati perkampungan dalam keadaan sepi. Padahal ketika beberapa kali didatanginya merupakan tempat yang amat hidup dan penuh geliat. Gajah Mada bertanya-tanya dalam hati. Ke mana perginya mereka. Untuk memastikan penasarannya, ia memutuskan berbelok ke sebuah rumah. Namun, setelah mencoba masuk ke dalam rumah, ia tidak mendapati seorang pun di sana. Akhirnya, Gajah Mada memutuskan untuk melanjutkan perjalanan.

Setelah berpacu dengan kudanya beberapa saat, ia melihat ada hal yang berbeda. Sebuah rumah, merupakan satu-satunya rumah yang mengalami nasib berbeda, hangus terbakar dan dengan kasat mata terlihat adanya jejak-jejak perusakan. Berbekal pengalaman yang dimiliki sebagai mantan pasukan khusus Bhayangkara, ia mencoba menelusuri jejak hangusnya tersebut.

Pada akhirnya, Gajah Mada terbelalak melihat pemandangan yang mendebarkan dari ketinggian tempatnya berada. Ia melihat sekelompok orang dalam sebuah barisan berhadapan dengan kelompok lain yang bersikap sama. Dua kelompok itu terlihat seperti sedang bersiap untuk berperang habis-habisan. Selanjutnya, mereka diketahui berasal dari orang-orang yang berasal dari desa Saleces dan desa Pamadan.

Konflik itu tersulut oleh peristiwa yang bermula dari anak gadis Ki Buyut Saleces yang dibawa lari oleh Ki Pintasmerti. Hal itu sertamerta dilakukan akibat dari penolakan secara mentah-mentah dari Ki Buyut Saleces, pemimpin dari desa Saleces, yang anak gadisnya dipinang oleh Ki Pintasmerti, pemimpin dari desa Pamadan. Penolakan itu mempunyai dua alasan. Pertama, anak gadisnya telah dijodohkan dengan kerabat bangsawan Lumajang.

Alasan kedua yaitu dari pihak Ki Buyut Saleces beragama Syiwa, sedangkan Ki Pintasmerti menganut Budha. Akhirnya, imbas dari perseteruan tersebut adalah bentrok dari kedua warga tersebut.

Sebelum terjadi perpecahan yang menimbulkan korban, akhirnya Gajah Mada menampakkan diri di tengah-tengah dua kelompok itu. Ia meminta keterangan lebih lanjut dari dua pihak yang berseteru. Sampai pada akhirnya, ia mengetahui bahwa sebenarnya kedua anak mereka saling mencintai. Namun, karena alasan yang sudah disebutkan di atas, mereka akhirnya melakukan tindakan tersebut.

Selain itu, Gajah Mada juga terkejut dengan fenomena yang ada di warga Saleces, bahwa mereka semua menganut Syiwa. Setelah Gajah Mada bertanya kepada warga, ternyata Ki Buyut Saleces sebagai pemimpin melarang warganya menganut ajaran selain Syiwa. Jika ada yang menganut Budha, Ki Buyut mengancam mereka.

Dari pengakuan tersebut, pada akhirnya Gajah Mada dengan suara lantang menjelaskan bahwa Majapahit memberikan pengakuan kepada agama Syiwa dan agama Budha serta meminta kepada semua penganutnya untuk hidup rukun dan berdampingan. Hal itu semuanya diatur dalam Tripaksa. Karena mereka udah melakukan kesalahan, mereka disuruh menghadap ke kotaraja Majapahit untuk menghadap Prabu dan meminta hukuman yang setimpal.

Pada akhirnya, dengan karisma yang dimiliki oleh Gajah Mada, mereka menghadap kepada Prabu serta meminta hukuman yang setimpal atas perbuatannya dalam melanggar aturan toleransi yang terkandung dalam Tripaksa tersebut.

Gambaran yang dilakukan oleh penulis buku ini membawa pembaca untuk menyelami kurun waktu abad ke-13 M. Pembaca dapat memahami Majapahit secara historis, geneologis, dan ideologis. Tokoh-tokoh yang terdapat dalam kerajaan Majapahit juga dapat pembaca temukan di dalam buku yang banyak menghadirkan rujukan buku sejarah dan kitab kuno yang ditulis oleh Empu Prapanca secara otoritatif ini.

Kajian buku yang mengupas habis sejarah kebesaran Majapahit pada masa mahapatih Gajah Mada ini, menggambarkan betapa besar dan luasnya pengaruh yang disebarkan oleh nenek moyang kita terdahulu. Bahkan, sebelum Pancasila lahir sebagai dasar negara, fenomena kehidupan yang ditampilkan dalam buku ini sudah menerapkan itu semua.

Bahkan, sila ketiga menyebutkan bahwa negara kita menjadikan asas persatuan sebagai landasan bangsa, hal itu sudah diajarkan jauh sebelum Indonesia menjadi seperti sekarang. Persatuan itu tidak hanya kelompok-kelompok tertentu saja, entah kelompok suku maupun agama, tetapi persatuan yang dibingkai melalui keragaman budaya serta agama yang menjunjung tinggi toleransi.

Review buku secara singkat ini tentu belum menghadirkan semua informasi dan gagasan penulis buku secara utuh sehingga pembaca dapat memahami lebih jauh lagi dengan membaca bukunya secara langsung. Selamat membaca!

@m ilhamul qolbi 


Mengenal Awal Perang Suriah


DUNIA HAWA - Supaya kaum bumi datar pinter dikit gak dikit-dikit masalah agama. Suriah mempunyai peranan penting dalam perkembangan politik .

Hal ini dikarenakan posisi strategis Suriah yang menghubungkan antara tiga benua, yaitu Eropa, Asia, dan Afrika.

Suriah memiliki perbatasan dengan Lebanon, Turki, Irak, Israel, Jordania dan Laut Mediterania. Dan yang lebih penting, Suriah mempunyai akses langsung ke Laut Tengah dan posisinya yang berada di simpul jalur sutra.

Sehingga berbicara soal Suriah bukan tentang berapa banyak cadangan minyak dan gas yang dimilikinya (cadangan minyaknya masih kalah dengan Arab Saudi, Irak, dan Iran), tetapi lebih kepada keberadaan strategis Suriah itu sendiri sebagai “jantung Timur Tengah” dimana anggapan bahwa jika dapat mengontrol Suriah maka akan mengontrol jalur energi di Timur Tengah.

Suriah dilewati oleh pipa-pipa minyak dan gas oleh negara-negara lintas benua. Pengiriman minyak akan lebih efisien dengan jalur pipa yang melewati Suriah karena biaya pengiriman lebih rendah, lebih cepat dan aman.

Biaya pengiriman minyak dengan kapal dan jalur kereta berkisar antara $10 sampai $15 per barel. Sedangkan pengiriman minyak mentah menggunakan jalur pipa yang melewati Suriah hanya sekitar $5 per barel. Negara produsen bisa menghemat $10 per barel dan negara konsumen bisa mendapatkan minyak dan gas dengan harga yang sangat terjangkau.

Bukan hanya soal ongkos dan harga minyak. Namun Suriah menjadi “jalur” setiap daerah kaya minyak seperti Irak dan Iran untuk mengirim minyaknya menuju Laut Mediterania sehingga dapat di kirim kepasaran Eropa dan AS.

Minyak dan gas yang berada di Teluk Persia dan Laut Kaspia bakal melewati Suriah untuk menuju Timur Laut Mediterania yang kemudian di kirim ke Eropa dan Amerika Serikat. Inilah alasan yang membuat Suriah menjadi “eksotis” di mata negara-negara maju layaknya Amerika dan Uni Eropa yang bernafsu untuk menaklukan Suriah dibawah komandonya.

Dan terbukti, pada Juli 2011, CNN melansir adanya kesepakatan kerjasama antara Suriah, Iran, dan Irak soal pembangunan pipa gas alam.

Pipa raksasa itu menelan biaya 10 miliar dolar AS dengan masa pengerjaan selama tiga tahun. Rusia dan China menjadi salah satu pemegang saham utama dalam proyek ini. Pipa tersebut akan membentang dari pelabuhan Assalouyeh (dekat ladang gas alam terbesar Iran, South Pars) hingga Damaskus (Suriah) melewati sebagian wilayah Irak.

Iran disebut akan mengembangkan pipa tersebut hingga pelabuhan Mediterania, dengan Lebanon sebagai pintu gerbang ke pasar Eropa. Bahkan hendak diperpanjang menuju Yunani melalui dasar Laut Mediterania. South Pars adalah ladang gas alam terbesar di dunia dengan cadangan mencapai 51 triliun meter kubik. South Pars adalah ladang gas alam lepas pantai yang terdapat di Teluk Persia.

Jelas, proyek ini akan menjadi pesaing proyek pipa gas Nabucco yang menjadi kesepakatan antara Uni Eropa, AS dan Turki, yang akan mengalirkan gas dari Laut Kaspia ke Eropa dan AS melalui Turki.

Jaringan pipa ini berawal di perbatasan timur Turki dengan Georgia kemudian terus ke Iran lewat Istanbul, Bulgaria, Rumania dan Hongaria ke Austria. Kemampuannya mencapai 31 milyar meter kubik dan biaya pembangunannya mencapai 8 milyar euro.

Proyek pipa gas Nabucco akan menempatkan Turki sebagai bagian penting jaminan keamanan energi Eropa dan AS. Pipa gas Nabucco ini akan menjadi aspek penentu hubungan Turki-Uni Eropa.

Sialnya, Rusia dan negara-negara di wilayah Kaspia seperti Turkmenistan, Kazakstan dan Uzbekistan enggan bergabung dalam Nabucco. Rusia lebih memilih menyalurkan gasnya ke pipanya sendiri Nord Stream, melalui laut Baltik ke Jerman dan South Stream melalui Bulgaria (Arsip Gatra, dalam artikel Pipa Gas Saluran Politik, 2007).

Pipa gas yang hendak dibangun Iran-Irak dan Suriah jelas membahayakan keamanan pasokan gas Eropa dan Amerika Serikat karena berpotensi menjadikan Iran sebagai pengendali saluran dan pasokan energi di Timur Tengah.

Hal ini juga berbahaya bagi produsen-produsen besar energi di Timur Tengah seperti Arab Saudi, Qatar dan Uni Emirat Arab.

Yang notabene adalah mitra bisnis AS, terutama soal penentuan harga gas atau minyak dunia dan soal kelancaran pasokan.

Singkat kata, monopoli AS dan Eropa terhadap energi di Timur Tengah tentu akan berakhir jika kerjasama tiga negara tersebut dibiarkan tumbuh dan berkembang. Maka pilihannya Bashar Al Assad harus tumbang, untuk menggagalkan proyek pipa tersebut. Jika tidak, Amerika dan Uni Eropa, mau tak mau bakal tambah bergantung dengan pasokan energi dari Rusia yang harganya relatif tinggi.

Lantas, apa kepentingan Rusia dan China di Suriah sehingga mendukung rezim Bashar Al Assad?

Menurut Moscow Times dilansir oleh Republika, nilai investasi Rusia yang berada di Suriah berjumlah sebesar $ 19,4 milyar pada tahun 2009. Dan Stroitransgas, adalah salah satu perusahaan penyedia gas alam milik Rusia yang beroperasi di Suriah.

Bahkan Stroitrangas pernah terlibat dalam proyek pembangunan saluran gas alam terpanjang di Suriah yakni sepanjang 200 km dari wilayah timur Homs di daerah Al Raqqa dan saluran gas alam ini menyumbang pengembangan konstruksi gas pipa alam di wilayah Arab. Sehingga Suriah merupakan mitra strategis Rusia di kawasan Timur Tengah.

Sedangkan China secara aktif terlibat dalam industri minyak Suriah. China National Petroleum Corporation adalah mitra joint venture perusahaan minyak nasional Suriah dan Royal Dutch Shell di Al-Furat Petroleum Company, produksi minyak konsorsium utama di Suriah. Selain itu, Sinochem adalah perusahaan minyak Cina yang aktif dalam tender-tender eksplorasi minyak di Suriah baru-baru ini (BBC Indonesia, dilansir 2011).

Sehingga Suriah sangat strategis bagi Rusia dan China. Keterlibatan Rusia dalam konflik Suriah bukan hanya upaya pengamanan dan penyelamatan investasi namun juga sekaligus untuk mengamankan wilayah Laut Kaspia yang relatif berdekatan dengan Suriah.

Yang ditakutkan, segerombolan pemberontak ISIS bakal memperluas pengaruhnya ke wilayah sekitar Kaukasus, Laut Kaspia dimana sumber gas alam Rusia bermukim. Semakin luasnya pengaruh ISIS juga merupakan pertanda semakin luasnya pengaruh Amerika Serikat dan sekutunya.

Sedangkan bagi China, Suriah bukan hanya sekedar mitra bisnis. Namun proyek pipa gas bisa menyuplai pasokan gas di tengah kemajuan ekonominya yang memerlukan pasokan gas yang semakin banyak.

Gas kini menjadi primadona energi abad ke-21 karena relatif bebas polusi dan harganya pun lebih murah. Semua negara-negara maju membutuhkan gas demi menjalankan roda ekonominya. Maka tak khayal, jika ia menjadi sumber utama pertarungan. Menjadi ikhwal yang diperebutkan.

Di lain sisi, Amerika Serikat dan Uni Eropa sedang dilanda krisis yang akut dan berkepenjangan. Kehadiran China dan Rusia di Timur Tengah membuat kepentingan geostrategi AS kacau dan frustasi. Membuat proyek “Balkanisasi” AS terhambat.

Mungkin ini adalah permulaan memudarnya hegemoni AS di Timur Tengah. Dan hal ini membuat posisinya semakin sulit ditengah ia harus mengimpor 60 persen dari total konsumsi energi dunia. Faktor ketergantungan pada energi pula yang membuat Eropa berhati-hati dalam membicarakan Rusia dan Timur Tengah.

@denny siregar