Thursday, March 30, 2017

Narkoba yang Memicu Hasrat Berhubungan Seks


DUNIA HAWA - Dari banyaknya jenis narkotika dan obat-obatan terlarang, secara garis besar dapat digolongkan menjadi dua bagian. Narkotika yang mengandung efek stimulan dan efek depresan.

Uniknya, menurut Deputi Bidang Rehabilitasi BNN, Kusman Suriakusumah, narkotika dengan efek stimulan bisa memicu keinginan bagi pemakainya untuk melakukan seks bebas.

“Yang pendiam tiba-tiba jadi aktif, yang sudah aktif jadi makin aktif,” ujar Kusman.

Biasanya, narkotika dengan efek stimulan seperti ekstasi dan shabu, dikonsumsi di tempat hiburan bersama banyak kawan. Inilah yang mendorong pemakainya lebih intens berinteraksi secara fisik, dan menyebabkan seks bebas.

“Saat sedang kumpul-kumpul biasanya berpelukan, saling raba, karena yang membuat dia senang adalah reseptor-reseptor di kulit. Kalau sudah saling raba, ada rangsangan. Jika tak terkendali akhirnya terjadi seks bebas,” kata Kusman.

Itulah mengapa, pemakai narkoba seperti ekstasi dan shabu-shabu banyak digerebek di tempat hiburan atau sedang beramai-ramai dengan banyak orang. Tak heran, narkotika disebut sebagai obat perusak moral.

Pemakaian narkotika yang berlebihan, tak jarang membuat pengkonsumsinya meninggal. Selain karena over dosis, ada penyebab lain yang berbeda antara narkotika dengan efek stimulan dan depresan. Menurut Kusman, zat adiktif bersifat depresan seperti heroin dan morfin ‘membunuh’ pemakainya pelan-pelan dengan menekan pusat pernapasan di otak.

“Dia jadi tidak bisa bernapas, akhirnya meninggal,” katanya.

Sedangkan zat adiktif bersifat stimulan mematikan dengan menyerang pembuluh darah otak dan jantung. Karena memaksa diri bersikap aktif, jantung memompa lebih cepat dan pembuluh darah di otak bekerja lebih keras. Bisa-bisa, kata Kusman, itu akan pecah dan menyebabkan pemakainya meninggal.

“Stimulan banyak dipakai akhir-akhir ini, membuat pemakainya lebih aktif dan gembira. Sedangkan depresan menjadikan orang pemurung, sedih, menyendiri,” ucap Kusman lagi.

Seluruh zat adiktif itu, sebenarnya berbahaya, terutama jika diberikan oleh orang yang bukan ahli obat. Morfin misalnya, yang di dunia kesehatan berguna mengurangi rasa sakit. Namun jika diberikan oleh orang yang tidak mengerti soal kadar obat dan pemakaian yang berlebihan, bisa berbahaya sampai mengakibatkan pengkonsumsinya meninggal.

@vivalife


Kesaksian Ulama di Tengah Gempuran “Islam” Siap Saji


DUNIA HAWA - Persidangan atas dugaan penodaan agama yang menyeret Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok telah menguras banyak pikiran, tenaga, dan energi. Sudah terlampau banyak yang harus kita korbankan dalam kasus yang bermula dari pidato Ahok di Kepulauan Seribu itu: kohesivitas sosial, stabilitas politik, sektarian agama serta etika keteladanan yang harus dipertaruhkan.

Tak sedikit umat Islam yang mencela para ulama yang sudah melampaui kita sebagai orang awam dalam konteks kajian keagamaan hanya karena berbeda pandangan.

Kasus mutakhir menimpa Rais Syuriah PBNU, KH Masdar Farid Mas’udi, yang berpendapat bahwa tidak boleh memaknai surat al-Maidah ayat 51 secara terpisah dari surat al-Mumtahanah ayat 8. Menurut Kiai Masdar, surat al-Mumtahanah memperjelas kriteria pemimpin yang boleh dipilih. Dua ayat itu harus dilihat secara holistik.

“(Dalam surat al-Mumtahanah ayat 8) bahwa yang tak boleh dipilih sebagai ‘auliya’ (pemimpin) adalah orang non-Muslim yang memerangi kamu dan mengusir kamu dari negeri kamu. Kalau sekadar beda agama, enggak masalah,” kata Masdar saat menjadi saksi dalam sidang dugaan penodaan agama dengan terdakwa Ahok, di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan, kemarin (29/3/2017).

Hartono Ahmad Jaiz, misalnya, dalam tulisannya menilai pendapat Kiai Masdar itu memalukan dan benar-benar serampangan.

Sebelumnya hal serupa menimpa KH Ahmad Ishomuddin, salah satu pengurus Syuriah PBNU, juga saat menjadi saksi dalam persidangan kasus yang sama. Sebagaimana dimaklumi, dalam persidangan ke-15 kasus dugaan penistaan agama, Kiai Ishomuddin memberikan pendapat tentang “awliya” yang mempunyai banyak tafsir (multitafsir), tidak monotafsir,

Pendapat dua kiai yang berbeda dengan para pendahulunya di Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini mendapatkan reaksi cukup keras dari kalangan masyarakat. Sebagian masyarakat di daerah bahkan menggelar aksi memprotes pernyataan Kiai Ishom, apalagi tersebar kabar bahwa dia telah dipecat dari kepengurusan MUI.

Perlu dicatat bahwa Kiai Ishomuddin memberikan saksi dalam persidangan kasus dugaan penodaan agama tidak mengatasnamakan dirinya sebagai pengurus Nahdlatul Ulama, apalagi MUI. Hal ini lahir atas kehendak dirinya secara personal untuk membuka bias ayat suci al-Qur’an yang belakangan memang dijadikan dalih untuk menuduh Ahok telah melakukan penodaan agama.

Alhasil, yang ditegaskan Kiai Ishomuddin bahwa tak ada penodaan agama dalam pidato Ahok di Kepulauan Seribu itu karena konteks turunnya ayat tersebut berbeda.

Ilustrasi di atas sebenarnya menunjukkan bagaimana kita sebagai orang awam gampang sekali melempar cacian dan kehilangan sopan santun. Kasus dugaan penodaan agama barangkali satu deret dari deretan kasus yang memperlihatkan bagaimana kita dengan mudahnya mencibir ulama yang kajian keislamannya lebih tinggi dari kita. Dengan mudah kita memberikan penilaian tanpa mengetahui derajat keilmuan kita sendiri yang mungkin teramat rendah.

Kiai Masdar dan Kiai Ishomuddin bukan nama terakhir yang tertimpa musibah cibiran bahkan hujatan dari orang awam seperti kita ini. Kiai Musthofa Bisri (Gus Mus), Buya Syafii Maarif, Kiai Ma’ruf Amin, dan Kiai Said Aqil Siradj adalah beberapa ulama yang kena cibiran dan hujatan serupa. Mereka kerap dicibir bahkan dihujat melalui ragam kanal yang berbeda-beda, terutama di media sosial. Tapi dengan kebesaran hati dan sikap tabayyun, mereka tidak pernah menaruh dendam bahkan membuka hati untuk memaafkan.

Padahal, kita pahami bersama, para ulama di atas mempunyai banyak santri dan pengikut yang apabila digerakkan untuk melegitimasi pendapatnya sangat mungkin terjadi. Tetapi faktanya mereka tidak pernah melakukan semacam itu. Sebab, mereka sadar bahwa kohesivitas sosial lebih penting di atas segala perbedaan. Mereka lebih mengutamakan ketenteraman, kerukunan serta kesatuan ketimbang perpecahan.

McDonaldisasi


Pertanyaannya, kenapa pada perkembangan mutakhir banyak di antara kita yang kerap menjustifikasi perbedaan pandangan atau tafsir terhadap Islam melulu keliru dan seolah harus menjadi musuh, dan bahkan teramat gampang terlontar kata kafir? Padahal, mereka yang memberikan tafsir adalah para ulama yang kapasitas keislamannya dapat dipertanggungjawabkan.

Di tengah arus deras teknologi dan informasi yang tak terbendung, orang gampang mempercayai sesuatu, termasuk atas ayat-ayat agama dan segala macam perintah atau larangannya. Mereka lebih nyaman dan mempercayai dakwah-dakwah yang disampaikan ustaz-ustaz “selebriti” atau tulisan pendek tentang “ayat-ayat” lewat media sosial ketimbang kajian atau kitab para ulama yang sudah menghabiskan banyak bacaan dan referensi.

Instanisasi inilah yang tampaknya telah merambah dalam pola pikir kita. Kutipan ayat yang parsial serta patahan konteks yang tidak lagi sesuai dengan kehidupan kita hari ini dengan mudah dipercayai lantas dilakukan. Penggunaan begitu saja ayat-ayat dari pencarian di Google, misalnya, karena tidak membutuhkan waktu lama. Dan, akhirnya, kuantitas lebih diutamakan ketimbang kesahihan dan kualitasnya. Lebih jauh, kontrol melalui dalil yang lebih bercorak normatif dan positivistik untuk mengatur aspek kehidupan.

Konstruksi empat unsur itu tentu teramat merugikan, sebab hanya bertolak dari pemahaman normatif dan tekstual. Maka, apabila unsur itu digunakan untuk menilai perbedaan pandangan justru yang akan terjadi adalah bencana dan petaka sosial, meminjam istilah Charles Kimball dalam buku Kala Agama Jadi Bencana (2013). Ia pasti akan dengan mudah mengatakan yang berbeda sebagai liyan dan perlu mendapatkan gelar kafir.

Penggunaan model cepat saji sebagaimana dialami sebagian umat Islam belakangan ini mirip dengan tesis sosiolog Ritzer tentang McDonaldisasi. McDonaldisasi merupakan restoran cepat saji yang meningkatkan homogenisasi dan standrisasi. Ia mengandaikan bahwa konsumen untuk mendapatkan makanan tidak perlu membutuhkan waktu lama, tapi instan (Ritzer, 2014).

Konsumen tidak secara kritis mengkaji makanan yang sudah tersaji. Konsumen menjadi personal yang pasif, hanya menerima apa pun yang ditawarkan. Dan hasilnya ialah, ketika hal itu dilakukang secara berulang akan bermetamorfosis menjadi kebenaran tunggal. Begitu pula dalam memahami agama dan ayat-ayat al-Qur’an.  Fathorrahman Ghufron (2015) mengatakannya sebagai model konsumsi yang “paling dibenarkan” dan segala yang bertolak belakang dengan pola cepat saji dianggap sebagai aturan baku gaya makan yang fundamental.

@ahmad riyadi


Satu TNI, Satu Polisi di Satu TPS, Tamasya Al Maidah Terancam Gagal!


DUNIA HAWA - Ada kabar baik dan angin segar berhembus dari pihak kepolisian yang mengatakan bahwa akan mempersiapkan satu TNI dan satu polisi untuk menjaga keamanan TPS, khususnya bagi mereka yang merasa terintimidasi dari salah satu pendukung paslon tertentu.

Kabar gembira untuk kita semua, kulit manggis sudah ada ekstraknya… Ups..

Pada putaran pertama, wacana ini sempat ditolak oleh Sumarno ketua KPU DKI yang dicurigai memiliki aroma dan bau yang sama dengan bau-bau pendukung Anies Sandi. Alhasil, perolehan keseluruhan dari pasangan Anies Sandi hanya berpaut tipis. Mungkin saja ada hubungan antara ketidak setujuan Sumarno dengan perolehan suara Anies Sandi yang tidak disangka-sangka menempatkan tipis di bawah posisi Pak Ahok dan Djarot.

“Karena hasil laporan dari putaran pertama ada yang (intimidasi). Seluruh paslon (pasangan calon) melaporkan kepada kami bahwa ada rasa intimidasi, sehingga kami mengambil langkah satu TPS dijaga satu polisi dan satu TNI,” kata Iriawan di Kantor KPU DKI, Rabu (29/3/2017).

Angin segar bagi pendukung Ahok Djarot, angin gurun panas dan menyengat bagi pendukung Anies Sandi

Melihat karakter pendukung Ahok Djarot yang tidak memiliki latar belakang radikal dan ekstrim, tentu penempatan satu TNI dan satu Polisi di satu TPS tidak bertujuan untuk menghalangi pendukung Ahok Djarot. Mereka adalah pendukung yang mendukung dengan cara yang rasional, masuk akal, dan memberikan kebebasan di dalam memilih pasangan calon.

Namun berbeda dengan pendukung Anies Sandi, mereka adalah orang-orang FPI, FUI, yang radikal, ekstrim, dan terkenal kerap kali menggunakan cara-cara kekerasan untuk mendulang suara. Lihat saja aksi-aksi yang dilakukan dari 411, 212, 313, dan beberapa lagi yang saya malas sebutkan. Mereka (yang bukan warga Jakarta) datang ke Jakarta untuk melakukan provokasi. Pada era reformasi sampai dengan era SBY, memang demonstrasi merupakan cara yang efektif, murah, dan berdampak.

Negara di Bawah Kepemimpinan Pak Jokowi Tidak Mempan Didemo

Sekarang negara Indonesia dipimpin oleh Presiden Jokowi yang nampaknya kurang mempan digoyang dengan isu-isu demo. Lihat saja aksi ormas radikal yang terjadi belakangan ini. Biaya yang dikeluakan untuk melakukan demo ini tidak kecil, namun sedikitpun tidak memengaruhi pemerintahan.

Jika mau adil, memang perubahan terjadi pada percepatan penuntasan status Ahok sebagai tersangka, namun hal ini juga menjadi senjata makan tuan untuk pendukung Anies Sandi. Keadilan harus ditegakkan. Ahok yang didakwa, membuat Anies dan Sandi tidak kebal hukum. Merekapun juga tidak kebal dari dakwaan.

Baca ini untuk referensi: Tim Anies Sandi Tuding Polisi Pilih Kasih dalam Mengusut Laporan Mereka? Lihat Ahok!

Aksi Tamasya Al Maidah terancam gagal dan cacat… Yahhh..

“Gagal maning, gagal maning.” – Kalimat sinetron fiksi jadoel

Lagi-lagi kegagalan dirasakan oleh pendukung Anies Sandi, FUI dan FPI. Tamasya Al Maidah terancam gagal dengan keberadaan polisi dan TNI di satu tempat pemungutan suara (TPS). Jikalau memang tetap terjadi, ancaman-ancaman Al Maidah akan menjadi sebuah senjata lunak, tumpul, dan rapuh. Keberadaan TNI dan Polisi akan menjaga keamanan dan kebebasan bersuara.

Saya yakin dengan pengamanan yang diperketat ini, Jakarta Timur dan Jakarta Selatan yang (katanya) merupakan kantong Anies Sandi, mungkin perlahan-lahan akan membela Ahok.

Warga Jakarta Timur dan Jakarta Selatan sekarang aman memilih Ahok Djarot!

Pesan bahagia untuk warga DKI, khususnya Jakarta Selatan dan Jakarta Timur yang mendukung Ahok Djarot namun takut karena adanya intimidasi dari warga sekitar, Anda nanti bebas memilih AHok Djarot! Suara Anda dijamin, dijaga dan dilindungi oleh aparat keamanan NKRI dengan keberadaan satu polisi dan satu TNI di satu TPS!

Betul yang saya katakan.

@hysebastian


Membaca Sosok KH Hasyim Muzadi di Pentas Nasional


DUNIA HAWA - Indonesia kembali kehilangan putra terbaik bangsa, sosok dan sekaligus kiai karismatik asal Tuban itu telah wafat menghadap Sang Khalik untuk selamanya. Mantan Ketua PBNU itu telah mengembuskan napas terakhirnya di Malang, Jawa Timur.

Di kalangan kaum NU, sosok KH Hasyim Muzadi menjadi panutan yang tidak asing lagi. Bahkan di mata tokoh nasional seperti Prof. DR. Mahfud MD, seperti yang dikutip dari Harian Kompas, KH Hasyim Muzadi bukan sekadar tokoh NU, melainkan juga sebagai tokoh bangsa. Bagi Mahfud, Kiai Hasyim merupakan sosok yang bisa memberi teladan hidup sebagai orang Islam dan Indonesia sekaligus.


Dalam jati diri Kiai Hasyim, tutur Mahfud, keislaman dan keindonesiaan terlihat sebagai satu paduan yang harmonis, tidak konfrontatif. "Pak Hasyim itu bukan sekadar tokoh NU tapi tokoh bangsa karena dia menguatkan bangunan toleransi di Indonesia. Saya kira itu yang tidak dibantah dari Kiai Hasyim," demikian pernyataan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu.

Hasyim Muzadi dan Riwayat Organisasi


Pengasuh Pondok Pesantren Al Hikam, Depok, KH Hasyim Muzadi wafat pada Kamis (16/3) setelah sempat sakit. Semasa hidup, Kiai Hasyim dikenal aktif dalam berbagai organisasi Islam. Kiai Hasyim lahir di Bangilan, Tuban, Jawa Timur pada 8 Agustus 1944 dari pasangan H. Muzadi dan Hj. Rumyati. Beliau menamatkan pendidikan dasar pada 1955 hingga pendidikan tinggi pada 1969 di Jawa Timur.

Masa muda Kiai Hasyim diisi aktivitas di berbagai organisasi. Beliau sempat menjadi Ketua Ranting NU Bululawang-Malang, Ketua Anak Cabang GP Ansor Bululawang-Malang pada 1965, Ketua Cabang PMII Malang dan Ketua KAMI Malang pada 1966. Hingga akhirnya beliau menjadi Ketua PWNU Jawa Timur periode 1992-1999.

Dalam Muktamar ke-30 di Kediri pada 1999, Hasyim terpilih sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Kyai Hasyim terpilih kembali menjadi Ketua Umum PBNU untuk ke dua kalinya dalam Muktamar NU ke 31 di Boyolali.

Dalam Muktamar NU ke-32 di Makassar pada 2010, Kiai terpilih menjadi Wakil Rais Aam PBNU (2010-2015), bersama KH A. Musthofa Bisri mendampingi Ketua Rais Aam KH. M. A. Sahal Mahfudh. Di kancah politik, suami Hj. Muthomimah tersebut sempat menjadi anggota DPRD Kota Malang-Jawa Timur dan anggota DPRD Provinsi Jawa Timur pada 1986-1987 dari PPP.

Pada Pilpres 2004, Kiai Hasyim juga sempat maju menjadi Calon Wakil Presiden mendampingi Capres Megawati Soekarnoputri. Namun pasangan capres dan cawapres ini gagal memenangi pilpres kala itu. Pada 2011, Kiai Hasyim membuka Sekolah Tinggi Kulliyatul Quran (STKQ) Al-Hikam Depok di Kelurahan Kukusan, Beji, Depok. Perguruan Al-Hikam ini merupakan yang kedua berdiri setelah yang pertama berdiri di Kota Malang, Jawa Timur.

Tak lama berselang, beliau juga mendirikan Pesantren Mahasiswa Al-Hikam lokasi yang sama dengan STKQ Al Hikam di Beji, Depok. Kiai Hasyim yang kini masih menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) sempat menjalani perawatan di RS Lavalette, Malang. Beliau wafat pada Kamis, 16 maret 2017 pada pukul 06.15 WIB.

Selain itu KH Hasyim Muzadi adalah tokoh yang terlibat dalam organisasi Internasional Conference of Islamic Scholars (ICIS), yang bermarkas di Jalan Dempo, Matraman Jakarta, dan beliau duduk sebagai Sekjennya. Dikutip dari ICIS jakartablogspot bahwa ICIS adalah rumah bersama bagi lintas umat dan lintas agama untuk mendialogkan berbagai isu penting terkait dengan masalah-masalah lintas agama.

Hasyim Muzadi dan Pondok Al-Hikam 


Pondok pesantren Al-Hikam Malang adalah pondok Pesantren Mahasiswa Al Hikam resmi berdiri pada 17 Ramadan 1413 bertepatan dengan 21 Maret 1992. Sebagai pelopor pesantren khusus mahasiswa, Al Hikam ingin menjadi lembaga pendidikan Islam yang mampu memadukan dimensi positif perguruan tinggi yang menekankan pada ilmu pengetahuan dan teknologi dengan dimensi positif pesantren yang akan menjadi wahana penempaan kepribadian dan moral yang benar berdasarkan nilai-nilai Islam sebagaimana yang dijelaskan dalam situs resmi Alhikam ac.id.

KH. Hasyim Muzadi mendesain proses pembelajaran di pondok Al-Hikam dengan cara cara yang mengakomodasi perkembangan jaman, dimana di dalamnya memadukan ilmu agama, pengetahuan dan teknologi. Di saat pondok pesantren dilihat sebelah mata karena hanya melahirkan santri santri yang melek Agama dan tidak melek pengetahuan dan teknologi maka KH Hasyim Muzadi membuktikan dengan merintis pondok pesantren tinggi mahasiswa di mana santri adalah berasal dari kalangan mahasiswa.

Awal berdirinya pesantren Mahasiswa Al-Hikam digagas oleh KH. A. Hasyim Muzadi. Sebagai ulama, ia merasa memiliki tanggung jawab berkhidmat pada umat seperti yang dipesankan oleh para gurunya. Ada tiga dasar pemikiran utama kenapa Pondok Pesantren Mahasiswa harus terwujud:

Alasan Romantisme


Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim, menuntut ilmu di pondok pesantren sudah menjadi tradisi di masyarakat. Namun perkembangan dan tuntutan era modern, telah mengubah referensi di kalangan keluarga muslim sendiri dalam memilih lembaga pendidikan.


Pondok pesantren yang sudah terbukti mampu melahirkan tokoh-tokoh besar lambat laun dianggap sebagai lembaga pendidikan yang sudah tertinggal zaman sehingga sekolah-sekolah umum berubah menjadi primadona. Fenomena seperti ini rupanya juga dirasakan dalam keluarga Hasyim Muzadi sendiri.

Oleh karena itu, ia merasa memiliki tanggung jawab untuk menggagas sebuah pesantren yang akan menjadi wadah penggemblengan ilmu agama dan juga melahirkan generasi yang memiliki peran di berbagai bidang untuk menjawab kebutuhan era modern seperti sekarang. Hingga akhirnya trandasi pendidikan pondok pesantren pun terus berlanjut dan berkembang.

Alasan Strategis


Hasyim Muzadi yang sangat aktif dalam berbagai bidang termasuk dalam dunia pendidikan, politik, dan organisasi masyarakat paham betul terhadap kondisi di Indonesia. Lulusan perguruan tinggi sudah barang tentu akan menempati posisi-posisi strategis di dalam mobiltas zaman baik dalam pemerintahah maupun di sektor-sektor lain.

Para lulusan ini perlu dibekali pengetahuan agama yang matang sehingga ketika menjalankan amanah dan peran sesuai bidang masing-masing, tidak keluar dari syariat agama Islam. Itulah kenapa santri dari kalangan mahasiswa menjadi target sasaran Pesantren Al Hikam. Dan harapannya, Al Hikam mampu melahirkan penerus bangsa yang mempunyai integritas keislaman dan keilmuan yang baik.

Alasan Akademik


Perpaduan antara ilmu pengetahuan dan ilmu agama merupakan salah satu tujuan Hasyim Muzadi untuk mendirikan Pesantren Mahasiswa. Untuk mewujudkan gagasan tersebut, harus tercipta lingkungan belajar yang mendukung di mana santri akan mendapat pengajaran ilmu agama yang selalu memiliki relevansi dengan ilmu pengetahuan yang didapatkan santri dari perguruan tinggi masing-masing.

Sebagai langkah awal dalam mendirikan pesantren, Hasyim Muzadi yang pada waktu itu terkenal sebagai aktivis organisasi Nahdlatul Ulama dan mubaligh, merintis pengajian rutin setiap Jumat yang dilakukan secara bergantian dari rumah ke rumah. Pada tahun 1984, bersama dengan masyarakat Jantisari di atas tanah wakaf keluarga M. Cholil Alwi, ia membangun surau kecil yang nantinya akan menjadi pusat pembinaan keagamaan.

Kegiatan keagamaan yang dirintis dan dibina Hasyim Muzadi di musala kecil yang diberi nama At Taubah berjalan lancar dan mendapat respon positif dari warga masyarakat Jantisari dan sekitarnya. Pada tahun 1986, pamong desa Tulusrejo H. Nachrowi mewakafkan tanahnya seluas 800 meter persegi untuk pembangunan masjid. Dan pembangunan masjid akhirnya selesai pada tahun 1989 dan diberi nama Al-Ghazali.

Ketika masjid sudah berdiri, Hasyim Muzadi melanjutkan kegiatan pengajian rutin yang digelar setiap malam Ahad dan malam Kamis. Jemaah yang hadir pun semakin banyak termasuk dari warga Jantisari, Bantaran, Bukirsari, Kendalsari dan Karang Tengah. Khusus malam Kamis, dilaksanakan dengan istigosah yang berlanjut hingga sekarang. Seiring berjalannya waktu, semakin besar pula kepercayaan masyarakat padanya. Dan, cita-cita Hasyim Muzadi mendirikan pesantren mendapat dukungan besar dari masyarakat.

Setelah itu disepakati bersama-sama panitia untuk membentuk yayasan yang akan menjadi sentral semua program yang akan dikembangkan. Maka pada tanggal 3 Juli 1989, resmi berdiri Yayasan Al-Hikam. Yayasan ini bergerak dalam tiga bidang garapan; pertama, Majlis Ta’lim dan Dakwah; kedua, Pengembangan Sumber Daya Manusia; ketiga, Pesantren Mahasiswa Al Hikam sebagai garapan utama.

Pada awal berdiri, Al-Hikam hanya menerima santri dari kalangan mahasiswa perguruan tinggi non-agama di Malang. Sejak tahun 2003, Al-Hikam mulai menampung santri lulusan pesantren salaf trandisional dari seluruh pelosok negeri untuk dididik dalam Sekolah Tinggi Agama Islam Al Hikam atau Ma'had Aly Al-Hikam.

Adanya perbedaan latar belakang santri ini kemudian dikenal istilah santri "pesma" untuk santri yang mukim di pondok tapi kuliahnya di luar dan santri Ma’had Aly. Untuk santri yang mukim dan kuliah di Al-Hikam. Maka dengan ikhtiar ini, diharapkan akan terwujud komunikasi antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan dalam “learning society’’ yang tercipta di tengah-tengah pondok pesantren Al Hikam.

Kurikulum yang diterapkan di pondok Al Hikam ini adalah menerapkan sistem kurikulum integral yang memadukan aspek teoritis (in-class) dan praktis (daily life) yang diorganisir dalam sebuah sistem terpadu (Pengasuhan - Pembelajaran - Pendampingan) yang saling berkaitan dan saling mendukung.

Pelaksanaan kurikulum ini didukung oleh tiga bidang yang menangani tugas sistemik Pesantren secara proporsional, yaitu; Dirosah menangani bidang pengajaran, Kepengasuhan menangani bidang mental-spiritual dan Kesantrimahasiswaan mendampingi proses aplikasi dan aktualisasi diri serta memandu para Santri mahasiswa dalam pengembangan karakter dan kepribadiannya.

Penerapan kurikulum integral di Pesantren Mahasiswa Al-Hikam ini diharapkan dapat terlaksana efektif karena seluruh santri mahasiswa dalam mengikuti proses pendidikannya tinggal di dalam asrama selama 24 jam, sehingga proses trasmissi dan transformasi dapat dilakukan secara berkesinambungan dan berkelanjutan sebagaimana yang dijelaskan di situs resminya alhikam.ac.id.

Demikian kisah perjalanan sang pencerah bangsa dan negara, semoga dari pondok pesantren di Indonesia memuculkan kembali calon calon tokoh ulama intelektual dan intelektual ulama.

@asep abdurahman


Sekjend FUI : Demo 313 Untuk Menangkan Anies-Sandi


DUNIA HAWA - Bila kita amati gerakan aksi demo berkelanjutan mengatasnamakan agama terkait kasus Ahok, akhir-akhir ini ada skenario yang diubah. Sang sutradara yang semula dipegang oleh FPI dan GNPF, kini diambil alih oleh FUI, tapi produsernya masih sama. Hal ini tentunya bukan tanpa sebab.

Kita bisa melihat bagaimana para pentolan FPI dan GNPF MUI semacam Rizieq Shihab dan Bachtiar Nasir yang saat ini sedang tersandung berbagai kasus, kenapa untuk sementara tiarap dan hanya sebagai tamu undangan. Bisa saja kemungkinan karena sudah ada deal dari kepoliisian agar keduanya dihimbau untuk tidak menggerakkan massa lagi, atau memang keduanya lebih bersikap hati-hati jangan sampai menambah rumit kasus yang menjeratnya. Selanjutnya pemegang komando diserahkan pada Sekretaris Jenderal FUI Muhammad Al Khathtath yang sampai saat ini relatif masih “bersih” dari kasus hukum.

Kemungkinan lain yang sepertinya lebih masuk akal mengapa pemegang komando saat ini dipegang oleh FUI dan Rizieq Shihab serta Bachtiar Nasir lebih memilih tiarap, hal ini terkait dengan dukungan massa yang hadir. Kasus yang menjerat Rizieq dan Bachtiar Nasir setidaknya berpengaruh juga pada massa yang sempat mengikuti aksi-aksi demo sebelumnya. Bagi orang-orang yang kemarin hanya ikut-ikutan karena terkena hasutan propaganda dengan dalih penistaan agama, tentunya akan berpikir ulang untuk turun ke jalan lagi. Orang pun berpikir kalau penggerak demonya saja bermasalah dengan hukum, apa benar yang diperjuangkan dengan demo-demo yang katanya menuntut penegakan hukum ini adalah murni demi keadilan.

Tujuan pengambil alihan pemegang komando demo oleh FUI jelas agar masyarakat awam dan cuma ikut-ikutan yang mulai ragu agar kembali tertarik dengan pimpinan baru dalam aksi demo kali ini. Harapan penyelenggara demo-demo selanjutnya kedatangan massa besar seperti aksi 212 bisa terulang kembali.

Kemurnian aksi demo yang digembar-gemborkan bertujuan penegakan hukum dan keadilan yang sudah disangsikan oleh banyak kalangan karena dinilai lebih berbau politik, akhirnya dibuka sendiri oleh mulut penggeraknya. Terbukti bukan semata karena masalah agama tapi memang ada tujuan politis terkait Pilkada DKI 2017. Hal yang diungkap oleh Al Khathtath (susah banget nyebut nama orang Indonesia ini…) seperti ditulis cnnindonesia.

“Aksi besok tidak bubar di istana. Kami akan pulang bareng dan menuju titik yang dituju untuk Salat Maghrib. Ini dalam rangka kesatuan umat Islam bela Islam, Alquran dan memenangkan gubernur muslim Jakarta,” ujar Sekretaris Jenderal FUI Muhammad Al Khathtath kepada wartawan di Jakarta, Kamis (23/3).

Bagi yang masih belum sadar bahwa demo-demo berkelanjutan selama ini hanya bertujuan politik, hendaknya cepatlah bertobat dan tidak perlu ikut-ikutan lagi. Sebelum adanya kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok, kelompok-kelompok inilah yang dulu juga menolak Ahok sewaktu dilantik menggantikan Jokowi sebagai Gubernur DKI. Bahkan sempat mengangkat Gubernur tandingan, Fahrurrozi Ishaq, yang notabene adalah anggota Forum Umat Islam (FUI).Jadi jelas motif politiknya kelihatan sekali.

Lihatlah seruan ketua umum PBNU yang merupakan organsisasi massa Islam terbesar Indonesia dan bisa dikatakan representasi dari kebanyakan ummat. Jauh sebelumnya sudah mengingatkan dan melarang ikut-ikutan aksi demo karena jelas tujuannya politis. Bahkan menanggapi aksi 313 yang akan digelar kembali menyatakan larangan untuk mengikutinya dan memberikan tamparan keras..

Ketum PBNU KH. Said Aqil Siroj mengatakan : “FUI itu siapa, ormas apa, ormas yang mengatasnamakan forum ummat islam, ummat islam yang mana. NU sama sekali tidak berada dibawah FUI. NU paling tidak anggotanya sekitar 60 juta, sama sekali tidak pernah merasa terdaftar menjadi bawahannya, anteknya FUI“.

Untuk saat ini dan kemudian hari, diyakini peserta demo tidak akan pernah lagi sebesar ketika digelar aksi 212. Peserta yang datang tidak jauh dari simpatisan dan kader partai berseberangan dengan Ahok. Semacam PKS yang memang dikenal solid bila menggalang kader dan simpatisannya untuk terjun ke jalan dalam aksi demo ataupun acara tertentu. Sebagai bentuk unjuk kekuatan saja tapi bila dibuktikan saat Pemilu suaranya minim.

Selain itu peserta lainnya adalah person, ormas ataupun kelompok yang memang punya persamaan pandangan dan idiologi sehaluan dengan FPI dan FUI. Itu nanti bisa diliat bila demo tersebut jadi digelar dan silahkan buktikan saja….

Salam Anu

@elde


MUI, NU, Muhammaiyah Satu Suara: Aksi 313, Tidak Perlu


DUNIA HAWA - Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah satu suara menyikapi aksi unjuk rasa 313 yang akan digelar Jumat, 31 Maret 2017 di Jakarta.

KH Ma’ruf Amin, menilai tidak perlu ada aksi massa lanjutan pada 31 Maret 2017 besok – atau dikenal “Aksi 313”. Usai bertemu Presiden Jokowi di Istana Merdeka hari ini, Ma’ruf mengatakan aksi-aksi demonstrasi sebenarnya tidak perlu lagi.

“Kalau menurut saya, kalau besok itu seharusnya kita sudah tidak perlu lagi demo-demo itu sebenarnya. Sudah cukup, sudah terdengar keinginan-keinginan itu,” kata Ma’ruf di Kantor Kepresidenan, Jakarta, Kamis 30 Maret 2017.

Kalau memang Jumat 31 Maret besok tetap ada aksi, Ma’ruf meminta agar tertib dan isu yang diusung tidak lari ke mana-mana. Sebab kondusifitas di masyarakat saat ini harus terjaga. Kedaulatan NKRI, lanjut Ma’ruf, harus dijaga oleh semua pihak.

“Saya mengharap dilakukan dengan santun dan tidak ada isu-isu yang tidak tertib atau isu-isu yang melebar ke mana-mana, kemudian pada pemerintahan apalagi sampai upaya untuk mengganti pemerintahan. Saya kira itu ngawur itu, dan tidak tepat,” jelasnya.

Komunikasi Dengan Jokowi


Seperti dilansir Viva. co. Id, Ma’ruf yakin gejolak-gejolak yang mencuat sejak akhir 2016 lalu itu lambat laun akan hilang. Hal itu ia yakini, karena sejauh ini komunikasi yang dibangun Presiden Jokowi menurutnya sudah efektif.

“Sehingga insya Allah kalau menurut saya selesai mendengarkan apa yang dikemukakan Presiden, itu saya kira akan nantinya akan hilang gejolak-gejolak itu. Karena beliau selalu komunikasi dengan kelompok-kelompok ini. Istilahnya menyapa semua pihak,” jelas dia.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal PP Muhammadiyah, Abdul Muti, menegaskan bahwa pihaknya tidak terlibat dan tidak mendukung rencana Aksi 313. Karena itu jika ada warga Muhammadiyah yang mengikuti aksi hal itu merupakan sikap pribadi dan merupakan tanggung jawab sendiri.

“Akan tetapi Muhammadiyah menghormati mereka yang melakukan aksi sepanjang sesuai dengan hukum, tidak menimbulkan kerusakan, dan mengganggu ketertiban umum terutama pelaksanaan Pilkada DKI Jakarta,” kata Abdul.

Memaksakan Kehendak


Secara hukum, rencana aksi 313 tidak ada masalah. Sesuai UU, warga negara berhak untuk menyampaikan pendapat dengan lisan atau tulisan. Akan tetapi, penyampaian pendapat aspirasi dan pendapat secara terbuka di muka umum, melalui media massa, media sosial atau media lainnya harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab dan sesuai dengan ketentuan hukum.

Menurut Abdul, jika memperhatikan tuntutan agar Presiden Jokowi memberhentikan Ahok sebagai gubernur DKI, rencana aksi 313 dinilai bermuatan politik.

Sebab, secara yuridis tuntutan aksi sulit dipenuhi. Ahok sekarang sedang menjalani proses hukum sebagai tersangka penistaan agama. Walaupun penetapan Ahok sebagai tersangka merupakan proses hukum tersendiri, proses pengadilan tersebut sesuai dengan tuntutan aksi 411 dan 212.
Di samping itu, meski berstatus terdakwa, secara hukum Ahok tidak atau belum bersalah karena pengadilan belum memutuskan Ahok sebagai terpidana.
Karena itu dia tidak bisa diberhentikan dari jabatan gubernur.

“Yang mungkin dilakukan adalah memberhentikan Ahok untuk sementara dan menunjuk Plt sampai proses hukum selesai atau habis masa jabatan. Atau digantikan oleh wakil gubernur sampai masalah hukum tuntas. Alasannya adalah untuk kemaslahatan dan pertimbangan etik dan etis,” ujarnya.

Melihat realitas dan kemungkinan terpenuhinya tuntutan, kata Abdul, rencana aksi 313 tidak banyak membawa manfaat. Ada kesan rencana aksi 313 selain politis juga memimbulkan kesan memaksakan kehendak.

Kesimpulan


Ini artinya bahwa FUI sebagai penggerak aksi unjuk rasa 313 yang akan dilaksanakan besok adalah berdiri sendiri.

Kita dengar kabar bahwa FPI tidak akan melibatkan diri juga pada aksi unjuk rasa besok dan memerintahkan massa untuk tidak membawa bendera atau simbol kelompok. Namun kita juga tahu siapa dibelakang aksi unjuk rasa 313 ini.

Seperti yang disampaikan oleh Ketua PBNU ketika di wawancara oleh satu stasiun TV swasta, Beliau mempertanyakan “Siapa FUI itu sendiri? Ormas apa? Ormas yang mengatas namakan umat Islam, umat Islam yang mana? NU tidak pernah merasa terdaftar menjadi bawahannya anteknya FUI.

Tidak senang Ahok, jangan dipilih. Tidak senang Anies, Jangan dipilih. Ngapain demo?

Pernyataan Ketua PBNU jelas bahwa organisasi Islam Indonesia tidak mendukung gerakan unjuk rasa apapun alasan dibelakangnya

@etika ebenezer


Pengkhianatan Intelektual Anies Baswedan


DUNIA HAWA - Republik ini tidak dirancang untuk melindungi minoritas. Tidak juga untuk melindungi mayoritas. Republik ini dirancang untuk melindungi setiap warga negara, melindungi setiap anak bangsa! Tak penting jumlahnya, tak penting siapanya. Setiap orang wajib dilindungi. Janji pertama Republik ini: melindungi segenap bangsa Indonesia. Saat ada warga negara yang harus mengungsi di negeri sendiri, bukan karena dihantam bencana alam tetapi karena diancam saudara sebangsa, Republik ini telah ingkar janji. Akhir-akhir ini nyawa melayang, darah terbuang percuma ditebas saudara sebahasa di negeri kelahirannya. Kekerasan terjadi dan berulang. Lalu berseliweran kata minoritas, mayoritas di mana-mana. (Anies Baswedan).

pilih peimimpin yang merajut tenun kebangsaan bukan yang merobeknya demi kekuasaan (Anies Baswedan).

Ramainya perbincangan soal kontrak politik di media sosial yang berisi penerapan nilai-nilai syariat Islam jika Anies Baswedan dan Sandiaga Uno terpilih sebagai gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta mendapat respon beragam dari warga.

Meskipun ini masih sebatas isu dan wacana, melihat kelompok ormas yang berada di belakangnya, seperti FPI misalnya. Kita sulit untuk tidak mengatakan bahwa pasangan Anies-Sandi mencoba untuk tidak mengakomodasi  wacana ini.

Tidak percaya? Baiklah, kita mencoba flashback ke belakang untuk melihat sepak terjang FPI dalam “memperjuangkan” pemberlakuan perda syariat Islam. Anda tentu masih ingat mengenai isu yang bergulir pasca razia warteg Ibu Saeni. 

Isu itu sendiri telah menjadi 'pertarungan' antara kubu pro syariat Islam dan yang kontra. Kompas Group dituding menjadi salah satu sponsor anti syariat Islam dengan mem'blow up' besar-besaran tulisan tentang 'kemalangan' Ibu Saeni yang menuai simpati berupa penggalangan dana oleh Netizen anti syariat senilai Rp 265 Juta.

Pro Kontra syariat Islam kemudian berkembang menjadi isu pencabutan sekian ribu Perda yang diantaranya adalah Perda syariat, demikian tuduhan FPI. Bagi FPI, pencabutan Perda Syariat akibat pemberitaan masif media anti syariat harus dilawan. Untuk itu mereka menggeruduk kantor Kompas Group minggu lalu. Mereka menuntut pemberitaan yang berimbang.

Kita kembali ke isu pembelakuan Perda Syariat Islam di Jakarta. pada skala tertentu, berkembangnya wacana penerapan kontrak politik Jakarta Bersyariat yang terjadi dalam putaran pemilihan kepala daerah (Pilkada) Jakarta 2017, berbahaya bagi demokrasi di Indonesia.

Ini jelas bertentangan dengan prinsip dasar negara kita yang menaungi semua golongan. Konstitusi kita, terutama yang terdapat pada pasal 29 UUD 1945 ayat 1 dan 2, yakni: (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa; (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Jika merujuk kepada bunyi Pasal 29 ayat (1), negara Indonesia seolah berdasarkan kepada agama, namun bukan pada agama tertentu, tetapi semua agama yang diakui keberadaannya oleh negara. Kemudian jika merujuk kepada ayat (2), maka apapun agama yang dipeluk oleh rakyat; adalah kewajiban negara untuk menjamin tanpa pandang dan pilih agama apa termasuk kepercayaan.

Pengamat politik dari Universitas Airlangga Surabaya, Airlangga Pribadi Kusman, menyesalkan konsep penerapan nilai-nilai syariat yang jadi perbincangan di Pilkada Jakarta 2017. Menurutnya, terdapat bias antara konsep syariat yang memang diharapkan dengan kepentingan kelompok-kelompok intoleran di Jakarta.

Wacana Jakarta Bersyariat ini dikhawatirkan bukan menampilkan nilai Islam yang adil dan toleran. Tapi justru memperkuat persepsi tentang diskriminasi terhadap kelompok lain di Jakarta.

Konsep syariat yang diwacanakan menjadi perda jika pasangan Anies-Sandi terpilih, berpotensi memperkuat sentimen di masyarakat. Masyarakat tidak alergi terhadap konsep syariat, tapi ini jadi seperti dipolitisasi untuk kepentingan pragmatis. Hal inilah yang mengkhawatirkan.

Lebih dari itu, pemberlakuan Perda Syariat Islam juga tidak baik untuk memajukan demokrasi secara keseluruhan. Calon-calon pemimpin di Jakarta harusnya tak hanya berkomitmen terhadap pelayanan pemerintah pada rakyat saja, tetapi juga terhadap keadilan, keadaban, dan yang terpenting nilai toleransi antargolongan.

Ketika ada salah satu calon yang didukung (kelompok intoleran) tapi tak memberikan sikap yang jelas menghentikan wacana intoleran ini, masyarakat perlu khawatir jika ia terpilih maka bisa didikte kepentingan-kepentingan golongan.

Lebih lanjut, Syansudin Haris, peneliti politik LIPI, mengatakan bahwa  wacana menukar dukungan dengan janji penerapan peraturan untuk golongan agama tertentu, merupakan proses kampanye yang tidak sehat.

Dari sini, kita ambil poin pentingnya, yakni memobilisasi isu agama atau sektarian itu tidak sehat. Tidak mendidik dalam proses demokrasi masyarakat kita. Pengakomodasian isu-isu agama dan sektarian dalam Pilkada, hanya akan menghambat proses membangun demokrasi yang mendidik bagi masyarakat. Bagaimanapun, Jakarta bukanlah kota untuk satu agama atau golongan saja. Jakarta juga cerminan Indonesia yang menaungi berbagai golongan dan entitas (meltingpot).

Akhirnya, sekali lagi, jika memang benar Anies-Sandi mengakomodasi wacana pemberlakuan Perda Syariat Islam ketika yang bersangkutan memenangi kontestasi politik pemilihan Gubernur di Jakarta, itu berarti Anies telah menghianati intelektualnya sendiri. Pertanyaan yang layak diajukan adalah, apakah anda masih memilih calon Gubernur yang mengkhianati intelektualnya sendiri?

@iqbalz