Tuesday, March 28, 2017

Ahok : Syiah Aliran Aneh



DUNIA HAWA - Sore ini saya ketawa sendirian. Mendadak whatsapp saya dibanjiri video Ahok ketika berbicara di acara mata Najwa.

Perkataannya begini, "..di masjid Raya Daan Mogot, kita membawa Islam yang rahmatan lil'alamin, takmirnya membawa khutbah yang sejuk. Islam Nusantara. Bukan Wahabi bukan Syiah. Bukan yang aneh-aneh.."

Dan entah kenapa, teman-teman saya yang Syiah mendadak kebakaran jenggot. Mereka menuduh Ahok "menistakan" Syiah, karena menganggap Syiah adalah aliran yang aneh.

Satu kali putar saja, saya bisa mengerti maksud Ahok. Tapi untuk meyakinkan, saya putar rekaman video itu 3-4 kali dengan kesimpulan yang sama.

Saya bingung, "Apa yang aneh ya?".

Ahok 100 persen betul dalam pandangan saya. Masjid di Indonesia - terutama yang berada di bawah naungan pemerintah - memang seharusnya dikelola oleh model Islam Nusantara. Islam yang sejuk dan rahmatan lil'alamin atau rahmat bagi alam semesta.

Dan Islam Nusantara itulah yang mayoritas di Indonesia, yang selama ini dikawal oleh Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.

Adapun ketika Ahok bilang "bukan yang aneh", karena tidak banyak muslim di Indonesia yang mengerti apa itu "Syiah" dan apa itu "Wahabi". Karena itu wajar di pandangan muslim awam, Syiah dan Wahabi dianggap aneh.

Saya jadi bengong aja melihat teman-teman Syiah yang kebakaran jenggot. Lha salahnya Ahok apa?

Kalau misalnya di masjid Raya Daan Mogot itu tiba-tiba takmirnya dari Syiah, sedangkan muslim awam tidak paham apa itu Syiah, bukankah itu malah menjadi senjata untuk memfitnah Syiah? "Wah, masjid Syiah nih..".

Dan karena banyak yang tidak mengerti Syiah itu apa, mereka kemudian gampang di provokasi bahwa Syiah itu sesat. Dan yang kena selain Pemprov DKI, tentu yang bermazhab Syiah.

Sedangkan yang Wahabi, karena memang ajarannya yang radikal, dakwahnya yang frontal sampai mengkafirkan orangtua Nabi Muhammad SAW.

Dan kedua aliran ini jelas dipandang "aneh" oleh mayoritas muslim awam di Indonesia yang tidak tahu apa itu Syiah dan apa itu wahabi. Mereka tahunya Islam saja, sesuai apa yang mereka dapat dari orangtua dan guru mereka.

Sebenarnya -buat saya- Ahok malah ingin meredam isu Syiah dan Wahabi di Indonesia dengan membawa Islam Nusantara sebagai rujukan. Meskipin Ahok belum tentu paham apa itu Syiah dan apa itu Wahabi, tetapi ia pasti sudah mempelajari bagaimana isu Syiah dan Wahabi menjadi isu utama untuk dibentrokkan di Irak dan beberapa negara Timur Tengah.

Lalu, dimana salahnya?

Sesudah saya telusuri videonya, saya baru paham karena yang mengupload adalah seorang Syiah anti Ahok. Dan saya makin ketawa keras.

Jelas-jelas dibelakang Anies itu Wahabi semua, mulai dari Abu Jibril sampe PKS. Lha dia protes ke Ahok, tapi dia Syiah yang satu barisan sama Wahabi.

Hebat bener koh Ahok. Baru pertama tercatat dalam sejarah Islam sesudah berabad-abad lamanya, Syiah dan Wahabi yang biasanya seperti air dan minyak, menyatu dan bergandeng tangan.

Saya angkat secangkir kopi untuk Ahok dan sekaligus saya telpon teman di Irak.

"Wan, ente kalo pengen Wahabi ma Syiah gak bentrok di Irak, bilangin ke pemerintah lu bawa Ahok ke sono. Pasti mereka gandengan kayak unta pacaran..". Seharusnya yang tersinggung itu para jomblo. "Syiah ma Wahabi aja gandengan, elu kapannn?"

@denny siregar


Surat Ahmad Dhani untuk Inul Bermuatan Pidana, Ini Penjelasan Hukumnya


DUNIA HAWA - Ahmad Dhani menanggapi komentar Inul Daratista di akun Instagram lewat sebuah surat yang dipostingnya melalui akun Facebook Ahmad Dhani. Dalam surat yang ditujukan kepada Inul, Dhani menyatakan bahwa perkataan Inul yang menyinggung ulama tidak berdasarkan data dan fakta. Bahkan dalam surat tersebut, Ahmad Dhani secara terang-terangan dan eksplisit menyebut nama Rizieq Shihab. Namun surat Dhani kepada Inul bermuatan pidana, yakni fitnah dan pencemaran nama baik Inul, dikarenakan:

Ahmad Dhani blunder. Inul Daratista tidak pernah menyebut nama ulama manapun juga. Bahkan Inul juga sama sekali tidak pernah tidak menyebut inisial nama dari ulama yang dimaksud. Jadi Inul tidak pernah melakukan penghinaan terhadap ulama manapun juga.

Karena jika berbicara penghinaan, maka nama orang yang dihina tersebut harus ada dalam komentar Inul, tetapi fakta menujukan tak ada nama seorang pun dalam komentar Inul. Dan jika Inul dilaporkan karena melakukan penghinaan ulama, adalah sesat hukum, dikarenakan dalam hukum Indonesia, tidak ada terminologi ‘’penghinaan ulama’’, yang ada hanya terminologi ‘’penghinaan’’.

Jadi clear, Inul tidak menghina ulama manapun juga! Catat itu! Kalau ada yang ngotot dan tidak terima kalau saya membela Inul yang kini dianggap menghina ulama, saya tantang, tolong tunjukan kepada saya, mana pasal penghinaan ulama diatur, pasal berapa, ayat ke berapa dan atau pada butir ke berapa dan diatur dimana? Tunjukan pasal penghinaan ulama dulu sebelum menuduh Inul menghina ulama!

Tetapi tiba-tiba, Ahmad Dhani dengan cepat bahkan secepat kilat merespon komentar Inul. Dhani dengan beraninya menyatakan: ‘’Nul, tuduhanmu kepada Habib Rizieq itu tidak berdasar bukti yang valid dan kongkrit’’.

Lho, kalimat itu apa maksudnya? Karena jelas, Inul tidak pernah menyebut nama Habib Rizieq sebagaimana yang dituduhkan Dhani kepada Inul. Inul hanya menulis komentar ‘’ orang pakai sorban melakukan ‘sex Skype’’. Hanya itu yang ditulis Inul.  Justru Dhani yang blunder fatal, karena berani bahkan berulang-ulang menyebut nama Rizieq secara jelas dan eksplisit.  Penyebutan nama Habib Rizieq oleh Dhani adalah penghinaan terhadap Habib Rizieq.

Pertanyaan hukumnya, apakah kalimat Inul: ’ orang pakai sorban melakukan ‘sex Skype’’, mengandung pidana? Sama sekali tidak ada pidananya! Yang namanya penghinaan, sasarannya (subjek hukumnya) harus jelas, kalimat itu tidak jelas ditunjukan kepada siapa, jadi berhentilah menuduh Inul menghina ulama apalagi tidak bisa menujukan kepada saya soal pasal penghinaan ulama.

Karena jika Inul dituduh menghina ulama, ulama yang mana merasa dihina Inul? Toh, Inul tidak menyebut nama ulama dan atau inisial ulama yang dimaksud , jadi tidak bisa menuduh Inul menghina ulama jika tidak ada nama ulama dalam komentar Inul! Apalagi Inul dalam komentarnya hanya menyebut Skype bukan Whatsapp!

Jadi, selain melakukan penghinaan terhadap Rizieq, Dhani juga melakukan pencemaran nama baik dan fitnah terhadap Inul. Pencemaran nama baiknya bisa dilihat pada kalimat Dhani: ‘’Nul, Tuduhanmu kepada Habib Rizieq itu tidak berdasar bukti yang valid dan kongkrit’’. Inul tidak pernah menuduh Habib Rizieq, bahkan nama Habib Rizieq saja tidak ada pernmah ada dalam komentar Inul. Sebab, justru Dhani sendiri yang menganggap sekaligus menyimpulkan ulama yang dimaksud adalah Habib Rizieq, Sehingga, Dhani yang menghina Rizieq. Jadi nama Inul secara langsung lewat media sosial, telah dicemarkan oleh Dhani, dan ini adalah pidana.

Selain pencemaran nama baik, Dhani juga telah memfitnah Inul. Inilah kalimat Dhani yang memfitnah Inul: ‘’Nul, bagaimana mungkin fitnah dalam sebuah video Youtube kamu jadikan DALIL untuk menjatuhkan VONIS kepada seseorang yang saya tau beliau menjaga keSUCIan nya selama hidupnya’’. Menjadi fitnah kepada Inul, dikarenakan dalam komentar Inul di akun Instagram nya, Inul ama sekali tidak pernah menyebut kalimat ‘’video Youtube’’. Justru Dhani yang tiba-tiba mengarang-ngarang cerita dengan menyebut ‘’video Youtube’’, seolah-olah Inul menyebut itu, padahal tidak pernah sama sekali. Jadi ini jelas fitnah Dhani kepada Inul.

Jadi, blunder fatal yang dilakukan oleh Ahmad Dhani yang menuduh Inul macam-macam,  bisa menjadi senjata ampuh bagi Inul untuk membuat pengaduan , karena surat Dhani kepada Inul bermuatan pidana, yakni nama baik Inul telah tercemarkan dan difitnah. Dan seolah-olah apa yang Dhani tulis dalam suratnya tersebut benar ditulis Inul, padahal sama sekali tidak benar bahkan tidak pernah ada. Dan semua yang ditulis Dhani dalam suratnya yang di posting melalui akun Facebook nya adalah bertentangan dengan fakta, dan sudah menjadi fitnah bagi Inul.

Dan untuk Ahmad Dhani boleh-boleh saja jika ingin membela Rizieq, tapi mengapa pembelaan tersebut harus sampai dikaitkan dengan Inul? Toh, Inul tidak tahu-menahu dan tidak ada kaitannya sama sekali dengan Rizieq. Inul juga sama sekali tidak pernah memperdulikan Rizieq, lalu mengapa dalam pembelaannya tersebut, Dhani sampai memfitnah bahkan mencemarkan nama baik Inul?  Lakukanlah pembelaan tanpa mencemarkan nama baik dan memfitnah Inul. Ingat loh itu pidana pembelaan yang seperti itu.

Berikut isi surat Dhani kepada Inul:


Surat Untuk INUL

By AhmadDhani

Nul…
Tuduhan mu kepada Habib Rizieq itu tidak berdasar bukti bukti yang valid dan kongkrit.

Nul…
Bagaimana mungkin fitnah dalam sebuah Video YouTube kamu jadikan DALIL untuk menjatuhkan VONIS kepada seorang yang saya tau beliau menjaga keSUCIan nya selama hidupnya.

Nul…
Apa kamu tau VONIS mu itu tidak akan menjadi FAKTA HUKUM sampai dunia ini berakhir???

Nul…
VONIS mu itu cuma buat hiburan bagi Ahoker… mereka memang senang masak sekaligus makan FITNAH dan GHIBAH.

Nul…
Manusia hidup itu punya REPUTASI…
Kalo AhmadDhani di tuduh suka Perempuan, itu sudah jadi REPUTASI… tapi tiba tiba
AhmadDhani di fitnah ada main dengan LAKI LAKI…
Orang gak percaya Nul…
AhmadDhani REPUTASI nya bukan itu.

Nul…
Habib Rizieq itu punya REPUTASI tidak Poligami dan Sejenisnya…
Kamu mesti tau dulu Nul… sebelum menjatuhkan VONIS pada siapapun

Nul…
Penista Agama kok di bela…
Ra Mudeng aku Nul…

Komentar Inul di akun Instagram nya:


“Yg sok alim dan oraknya di dengkul pasti mikirnya agama gak mikir beliau gubernur bpk kita semua’ hahahhaa aku seh gak lihat beliau lg nyalonin lagi … aku cuma bayangin yg pake syurban bisa mojok ama wanita sambil main sex skype itu piyeee critane bisa jadi panutan ! Jgn merusak moral kita soal Rasis-Sara-dan agama ‘ aku gak main politik tp aku cukup bangga duduk berdampingan org yg menjaga jakarta saat ini’ dan aku tak ikut campur urusan politik krn bukan bidangku !!! Klo org yg mau ceramahin aku akan sy block dn pastinya yg gak suka silahkan unfollow ‘ krn aku bukan kerugian sm org yg otak pikiran didengkul ‘ sekali lagi saya org yg nasionalismenya tinggi .!!! Yg koment apekkk tak block !!! Sorry,”

Komentar Inul di atas tidak ada pidananya sama sekali.

@ricky vinando


Alasan yang dibuat-buat Bumi Datar Untuk Memboikot UUS Lagi


DUNIA HAWA - Lihat kekonyolan Bumi Datar, mana pernah habis. Hari-hari mereka yang di penuhi dengan rasa kebencian itu selalu mengukir sebuah cerita-cerita baru yang menohok karena sangat konyol. Apakah benar cara mereka seperti itu? Tentu tidak, tapi bukannya sadar dan membenahi diri, mereka malah berbangga akan prestasinya tersebut.

Sejauh sejarah ini mencatat, dalam beberapa bulan terakhir sudah terdengar berbagai macam aksi boikot yang terjadi, semua karena menyatakan pendapat, lagi-lagi kebebasan berpendapat bagi mereka adalah sebuah hinaan kepada ulama, kaitannya selalu dekat dengan alasan tersebut.

Sari Rot, karena klarifikasi, Uus karena memviralkan Shampo, Ernest karena berpendapat, Inul karena berkomentar, ya kurang lebihnya semua karena beraspirasi, Kalau dipihak kami berpendapat akan diklaim menghina “ulama” Sedangkan mereka yang menghina lambang negara, mereka yang menghina Presiden Indonesia, mereka yang ingin rasanya meneriakkan Anjing dan Babi itu, sepertinya tidak ada masalah, selalu baik-baik saja. Jadi menurut mereka ulama yang harus dibela, tapi bukan kepala negara, kepala negara harus di hina sehina-hinanya begitu?

Pola pikir mereka yang dikit-dikit mengangap suatu pendapat adalah sebuah hinaan kepada ulama sungguh sangat disayangkan. Mereka sungguh fanatik sekali dalam membala ulama, tapi tidak dengan negeri ini. Mereka fanatik sekali menyuarakan bela agama, tapi mereka melupakan nasionalisme negara, memusuhi semua warga yang sudah jelas adalah warga Indonesia, tapi bagi mereka warga yang tidak sependapat dengannya adalah musuh besar yang harus (bahkan) halal buat dihilangkan.

Lupakah kita dengan Indonesia adalah tanah air kita? Tempat berlindung dihari tua, tempat kita merajut kehidupan dari awal mula lahir membuka mata hingga akhirnya kita mampu tumbuh menjadi dewasa.

Persatuan sepertinya pudar terasa di masa sekarang ini, ketenangan mungkin tidak bisa kita rasakan seperti sedia kala, kericuhan karena haus kekuasaan, semuanya merubah mindset bangsa perlahan tapi pasti.

Terlihat jelas bahwa jerih payah orang-orang busuk ini sudah berhasil meracuni anak bangsa yang tidak mengerti apa-apa. Aktivitas boikot-boikot yang mematikan rejeki seseorang, mematikan nafkah seseorang, merendahkan derajat dan harga diri seseorang, mungkin bagi mereka adalah sebuah kebanggaan, menurut mereka ini adalah sebab dari mulut kami yang berpendapat, kami berpendapat di boikot, mereka berpendapat tidak pernah ada masalah, lantas dimana keadilan sosialnya?

Inul di Boikot, Uus Ikut di Boikot lagi


Kejadiannya hari minggu lalu, tanggal 26 Maret 2017, sebenarnya pada saat awal saya belum tau alasan apa lagi Uus di boikot? Mencoba mencari detail lewat timelinenya, ternyata Uus cukup responsif menjawab mahkluk bumi datar, sehingga mungkin isu awalnya jadi ketutup dan sulit dicari (terlalu banyak cuitan).

Hari ini mungkin saya mendapat ringkasannya dari bumi datar alasan Uus di Boikot.

Uus menilai bahwa publik tidak dewasa karena sudah memboikot Inul.

Boikot aja semua orang sampe semuanya ga kerja. Terus teriak-teriak ke pemerintah soal lapangan kerja. Atuhlah hayu dewasa.

— Uus (@Uus__) March 26, 2017

Uus juga menulis boikot publik terkait kasus Inul sebaiknya tidak dilakukan. Alasannya, agar tercipta rasa damai.

Siap kak. Maaf cuma menyampaikan biar damai-damai aja. Ga berpihak sama siapapun kok.

— Uus (@Uus__) March 27, 2017

Uus menyayangkan pemboikotan Inul, karena dianggap berpotensi mematikan rezeki Inul.

Saya mah ga bilang Inul bener. Boleh marah tapi jangan sampe mutus rejeki orang lain. 

— Uus (@Uus__) March 26, 2017

Uus bahkan dengan berani membalas netizen yang memintanya berbenah diri sebelum menghujat ulama.

Aku boleh ngomong hal yang sama ga?

— Uus (@Uus__) March 26, 2017

Ya kurang lebih dari 4 poin diatas sudah meringkas semua sebab Uus bakal di boikot lagi oleh kaum bumi datar, padahal apa yang disampaikan Uus logis bukan? Tidak ada yang salah. lantas kenapa bumi datar merasa marah? Sudah jelas karena mindset mereka sudah diset untuk membenci, untuk menghakimi secara langsung, untuk tidak bertindak sopan terhadap “Pembela dikubu lawan”

Mereka didik untuk saling membenci, bukan untuk saling mengkasihi dan mengayomi, tapi di didik untuk membuli, dan menghabisi siapapun sesuai seruan pentolannya ini.

Sungguh sedih rasanya melihat perbedaan bangsa seperti ini, dahulu yang awalnya semua sepaham dengan bumi ini bulat, kini terbagi menjadi dua kalangan bumi bulat dan bumi datar, seiring berjalannnya waktu mereka yang buta tidak bisa melihat kebenarannya yang nyata. mereka hanya mempercayai dari sumber pentolan-pentolan mereka saja tanpa di verifikasi ulang benar atau tidaknya. Mereka ini sebenarnya korban, korban penipuan yang dilakukan oleh orang-orang yang memanfaatkan keberadaan mereka ini. Sungguh berdosa apabila memang ada orang yang seperti itu, karena dirinya itu yang membuat bangsa Indonesia menjadi terpecah belah hingga sekarang.

Tercatat sudah ada 3 Artis yang cukup tersiar lebih sering bahwa mereka di boikot, walau ada beberapa artis lain diluar sana tapi tidak seheboh ketiga ini. Besok siapa lagi yang akan di boikot? Semuanya aja diboikot bung, jangan nanggung-nangung, termasuk jangan pakai produk kafir, jangan pakai semua barang dari kafir, alesannya muter-muter ga logis soal dibeli atau apa, intinya kalau emang bisa bikin, kenapa beli produk kafir, kenapa makai produk kafir, kenapa ngasih duit ke kafir.

@bani


Akhirnya, Ketua KPU DKI Akan Sidang Dugaan Pelanggaran Kode Etik Pada 30 Maret


DUNIA HAWA - KPU DKI memang agak aneh dalam pilkada kali ini. SARA yang merebak dimana-mana seakan-akan didiamkan. Spanduk-spanduk tidak secara aktif diturunkan dan Ketua KPU DKI Sumarno bahkan pernah memasang foto profil doa gerakan 212 di akun WhatsApp-nya. Sumarno masih menklaim dirinya netral soal pemasangan foto 212 tersebut.

Nah, sekarang Sumarno akan menjalani sidang kode etik. Sidang tersebut digelar oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) untuk menindaklanjuti adanya laporan terhadap Sumarno.

“Kan mau ada sidang DKPP hari kamis di MPR tempatnya,” ujar Sumarno di Kantor KPU DKI Jakarta

Sumarno dilaporkan karena sejumlah hal yaitu pernah menggunakan foto doa bersama pada 2 Desember 2016 atau dikenal dengan sebutan 212 sebagai foto profil WhatsApp-nya, bertemu dengan calon gubernur DKI nomor pemilihan dua Anies Baswedan pada saat pemungutan suara ulang (PSU) pada 19 Februari 2017, dan keterlambatan pelaksanaan rapat pleno penetapan peserta putaran kedua Pilkada DKI Jakarta pada 4 Maret 2017.

Jelas kubu mana yang dirugikan oleh tindakan Ketua KPU DKI ini. Alasan dirinya memasang foto gerakan 212 pun cukup aneh.

“Kata Presiden, ini doa bersama. Presiden ada di situ dan karena ini bukan acara yang enggak ada kaitan sama pilkada, hanya indah aja kan dari sisi Monas di bawahnya, itu doang. Jadi enggak ada kaitan sama independensi dan netralitas,” kata Sumarno.

Ya, presiden hadir. Tapi Jokowi hadir untuk menenangkan massa, bukan buat doa saja. Kalau doa ga perlu demo. Malahan Sumarno menyebut gerakan 212 ini tidak ada hubungan dengan Pilkada. Ini sudah ngeles tingkat tinggi. Jelas-jelas demo ini sangat politis, untuk menjegal Ahok.

Memasang foto gerakan yang anti-Ahok jelas menunjukkan bahwa Sumarno terkesan ikut-ikutan Anti-Ahok. Gerakan 212 kan ingin memenjarakan Ahok, kalau gitu apa Sumarno juga ingin Ahok dipenjara juga? Kan foto gerakan tersebut dipasang di foto profilenya. Kalau menyebut diri sendiri netral maka sulit sekali untuk mempercayainya.

Tiba-Tiba Amnesia


Nah, soal masalah makan malam dengan Anies, Sumarno memberkan pernyataan yang bertolak belakang sekarang.

“Saat itu disebut saya sedang makan malam dengan Pak Anies sehingga acara tidak dimulai,” ujar Sumarno tanggal 15 Maret saat bercerita tentang hari Ahok-Djarot walkout dari rapat pleno KPU DKI.

“Tidak sempat makan kok disebut makan sama Pak Anies. Saya juga malah enggak ketemu Pak Anies pada waktu itu. Hanya tahu bahwa katanya Pak Anies sudah di ruang VIP, tapi saya tidak ketemu. Bagaimana saya makan malam sama dia,” kata Sumarno tanggal 17 Maret.

Jadi bingung, Sumarno ini memang makan bersama Anies atau tidak? Kok bisa pernyataannya berbeda setelah berselang beberapa hari saja? Kalau memang Sumarno menyatakan kebenaran, seharusnya apa yang dikatakannya konsisten. Memang makan bersama Anies atau tidak.

“Soal PSU itu pertemuan yang tidak disengaja. Jadi pertemuan itu bukan di tempat tertutup, bukan ngumpet-ngumpet, semua orang tahu, tidak direncanakan,” kata dia.

Mungkin saja hal ini benar, Sumarno tidak tahu bahwa Anies akan hadir saat Pemungutan Suara Ulang. Tapi yang aneh kok Anies tidak ditegur? Anies kan tidak perlu untuk hadir disana. Mana boleh seorang pasangan calon hadir di TPS yang bukan tempatnya memilih. Itu bisa mempengaruhi pemilih lho.

Jika DKPP nantinya memutuskan hal yang dilaporkan terkait Sumarno tersebut melanggar kode etik, dia akan menerimanya sebagai peringatan.

“Tapi kalau tidak, seharusnya meluruskan simpang siur, rumor, fitnah yang berkembang, pencemaran nama baik, kalau itu tidak benar,” ucap Sumarno.

Semoga DKPP bisa meluruskan semua ini. Apakah Sumarno ini memang melanggar kode etik atau tidak. Apakah pantas bagi seorang Ketua KPU untuk memasang foto profil gerakan 212 yang jelas-jelas anti salah satu calon. Jangan sampai masyarakat melihat KPU DKI juga Anti-Ahok. Masalah ini harus diselesaikan dengan jelas.

Kalau memang tidak bersalah, ya berarti normal dong kalau Ketua KPU memasang foto gerakan yang anti salah satu calon.

@evan kurniawan


Ketidaknyamanan Umat Kristen Atas Al-Maidah 51


DUNIA HAWA - Sejak Desember 2016 lalu, Surat Al-Maidah 51 menjadi ayat Al-Quran yang paling banyak disebut-sebut oleh masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Ada dua hal yang dipermasalahkan sebuhungan dengan Al-Maidah yang disebut Ahok dan dipopulerkan oleh Buni Yani, yaitu; kelancangan Ahok menggunakan ayat Al-Quran dalam pidatonya dan makna terjemahan kata “awliya”.

Sebelum kasus Ahok ini, aku tidak pernah tahu kalau non muslim tidak boleh menggunakan ayat Al-Quran. Kata “pakai” yang disebutkan Ahok mengiringi ayat Al-Maidah 51 menjadi kontroversi dan berujung pada persidangan yang wajib dihadirinya setiap Selasa. 

Setahuku, umat Kristen tidak pernah memperkarakan umat lain yang mengkutip Alkitab, walaupun salah. Misalnya Amin Rais beberapa tahun lalu. Dalam sebuah wawancara dengan televisi Amin berkata, 

“Suatu ketika ada seorang perempuan kedapatan berzinah, dia dibawa ke hadapan Yesus untuk minta pendapat cara menghukum perempuan tersebut.  Kemudian Yesus berkata “Barang siapa diantara kamu ada yang tidak pernah berzinah, dialah yang pertama melemparkan batu kepada perempuan ini.”

“Ternyata tidak ada yang melempar, karena semua orang Yahudi ketika itu pernah berzinah.” Tambah Amin Rais. Padahal Yohanes 8:7 itu mengatakan “Barang siapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melempar batu kepada perempuan itu.” 

Ada perbedaan besar arti kata berzinah dan berdosa. Dan umat Kristen tidak pernah menyebut Amin bermulut lancang.

Sehubungan dengan kasus penistaan Al Maidah yang dituduhkan pada Ahok, umat Islam Indonesia - dari umat biasa hingga ahli agama - terbelah dua dalam menyikapinya. Sebagian menganggap ucapan Ahok di kepulauan Seribu itu adalah penghinaan terhadap Al-Quran, sedangkan sebagian lagi menganggap tidak ada unsur penghinaan.

Banyak pengamat atau pun bukan, mengakui bahwa kasus Ahok menjadi besar karena ada hubungannya dengan Pilkada yang sedang berlangsung di DKI Jakarta. Terang benderang terlihat ada pihak yang menggunakan ucapan Ahok ini sebagai senjata untuk menjatuhkan elektabilitasnya, bahkan kalau memungkinkan memenjarakannya sehingga tidak ikut dalam pertarungan. Berbagai upayapun dilakukan untuk menjegalnya.

Demo berjilid-jilid yang dihadiri umat dari berbagai daerah pun terselenggara. Merek dagang produk ataupun jasa dengan label Al-Maidah pun bermunculan. Seminar atau diskusi baik ilmiah maupun tidak, diselenggarakan oleh berbagai pihak dengan berbagai tujuan, tergantung penyelenggara. Ratusan tulisan dari penulis amatir hingga professional bermunculan di portal bonafit hingga abal-abal.

Seperti yang sudah saya sebutkan di atas, selain kelancangan mulut Ahok, ada masalah lain yang mengikuti yaitu makna terjemahan kata “awliya”.  Ada yang menterjemahkannya menjadi pemimpin dan adapula yang mengartikannya menjadi teman setia.

Di media sosial ramai netizen mempertahankan arti terjemahan menurut versi yang dia yakini. Si A bilang, awliya itu artinya pemimpin, si B membantah dengan mengatakan artinya teman setia atau sahabat. Kemudian si A menambahkan, kalau jadi sahabat saja tidak bisa, bagaimana bisa jadi pemimpin. Sungguh pelik nian masalah ini.

Sebenarnya banyak versi tafsir akan kata tersebut. Tapi baiklah kita ambil dari yang resmi versi terjemahan dari Depag RI, yang ternyata pun berbeda, seperti ini:

• Terjemahan Al-Maidah 51 edisi lama Depag RI: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu);”

• Terjemahan Al-Maidah 51 edisi baru Depag RI: “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai teman setia-(mu);”

Pendukung Ahok menterjemahkan awliya menjadi teman setia, sedangkan lawan Ahok menterjemahkannya menjadi pemimpin. Aku paham, tujuan perbedaan arti ini adalah untuk memenangkan sebanyak mungkin hati warga DKI Jakarta yang muslim saat mencoblos di hari pemilihan.

Sejak awal, aku selalu menekan perasaan dan berkata dalam hati bahwa arti ayat itu bukan urusanku. Seperti dulu aku sempat berkecil hati dan menekan perasaan tatkala disebut kafir oleh beberapa Muslim.

Di dalam Alkitab, Yesus melarang umatnya menyebut orang lain kafir. Sehingga itulah kacamata yang kupakai melihat orang lain, dan merasa kecewa pada ucapan orang lain yang gampang menyebut kafir. Kemudian aku merubah persepsiku.

Aku tidak bisa berharap semua orang memakai kacamata yang sama seperti yang kupakai. Aku tidak bisa melarang orang lain berkata kafir terhadapku. Tapi aku bisa menerimanya dan tidak membalasnya mengatakan orang lain kafir. Cara pandang seperti itu membuat aku lebih santai, malah kadang aku menyebut diri sendiri kafir.

Kemudian muncul lagi terjemahan Al Maidah 51, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu) ataupun teman setia (mu).” 

Sejak Desember kemaren, selalu ada rasa nyeri di hati setiap mendengar atau membaca ayat itu. Di timeline twitter umpamanya, arti ayat itu senantiasa mengalir tak henti terutama Desember hingga Februari kemaren. Bulan Maret ini memang tidak seintens bulan-bulan sebelumnya. Tapi akhir Maret ini akan mulai lagi. Aksi 313.

Maksud ayat itu adalah jangan jadikan orang Nasrani itu pemimpinmu, kata yang satu. Kemudian yang berseberangan berkata, maksudnya adalah jangan jadikan orang Nasrani itu jadi teman setiamu!

Yang berdebat tentu sesama muslim dengan membawa-bawa Nasrani sebagai objek yang dipertaruhkan posisinya antara tidak bisa jadi pemimpin atau tidak bisa jadi teman setia. Apa pun keputusannya sama-sama menyayat hati. 

Bagi teman-teman Muslim mungkin tidak terpikir efek kalimat itu terhadap kami, tapi kami yang Kristen, sering saling berpandangan tidak percaya mendengar arti ayat tersebut. Dalam batin kami, “Apakah sahabatku si anu itu tidak menganggapku sahabat karena dia diperingatkan untuk tidak menjadikan kaum Nasrani jadi teman setia?”

Tentu sangat tidak nyaman mempunyai pikiran seperti itu bukan? Aku kembali pada caraku membanalkan arti kafir. Aku tidak bisa meminta apalagi memaksa orang untuk menjadi sahabatku tapi aku bisa menganggap orang lain sahabat, apapun latar belakang etnis, budaya ataupun agamanya. 

Pasti akan ada yang mengatakan bahwa aku salah mengartikan ayat itu, bahwa aku harus tahu asal-usul turunnya ayat itu, atau arti dari bahasa aslinya, dan lain-lain. Tapi ayat itu secara vulgar demikian adanya terbaca di ruang publik yang terdiri dari aneka ragam agama dan kepercayaan. Ayat itu beredar bukan untuk kalangan sendiri.

Ada yang mengatakan ayat itu turun saat perang. Tapi saat ini kita tidak sedang perang, kenapa digunakan? Saya tahu, tidak semudah itu menyamakan persepsi untuk semua orang, terutama antar orang yang sedang berjuang mendapatkan posisi politik. Segala hal dapat dilakukan. Tapi apa boleh buat, ayat itu sudah jadi santapan umum.

Aku juga tidak menutup mata bahwa GP Ansor selalu membantu menjaga umat Kristen beribadah saat ibadah malam Natal. Aku tidak tahu hal ini ada kaitannya dengan Al Maidah 51 atau tidak. Memjaga umat lain itu apakah termasuk menjadikan mereka teman sejati? Kalau iya, berarti ayat itu memang hanya untuk masa perang.

Teringat pepatah lawas, engkau tidak bisa melarang burung terbang di atas kepalamu, tapi engkau bisa mengusirnya supaya dia tidak hinggap di kepalamu. Kita tidak bisa membatasi apapun yang dikatakan orang terhadap kita, tapi kita bisa memilah mana yang kita masukkan ke dalam hati. 

@mery dt


Anies Ngotot DP 0, Ahok: “Uang dari Mana?”, Komisaris BTN “Hampir Tidak Mungkin Dilaksanakan”


DUNIA HAWA - Calon Gubernur DKI Jakarta nomor urut tiga Anies Baswedan kembali memaparkan program uang muka atau down payment (DP) 0 persen atau 0 rupiah. Saat debat Ahok telah memaparkan bahwa program tersebut tidak mungkin dilakukan. Komisaris utama BTN juga menjawab sama seperti Ahok. Mengapa?

Dalam debat di salah televisi swasta, Senin (27/3/2017) malam, Anies menegaskan program tersebut tidak membuat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membayar seluruh pembelian rumah oleh masyarakat, melainkan hanya DP-nya saja.

“Kalau harga rumah Rp 350 juta maka masyarakat DKI Jakarta harus bayar DP Rp 52 juta dan itu yang mau kami hilangkan, kami ringankan,” kata Anies.

“Pemerintah harus turun tangan, bukan menyediakan rumah sewa terus. kami berikan DP nol rupiah,” ujar Anieis

“Tadi bilang ada satu juta anak muda yang pengen beli rumah. Lalu pemerintah pengen nolong dia. Supaya dia tidak perlu DP, tidak perlu bunga. Cicil sama pemerintah. Kalau 350 juta kali satu juta rumah, 350 triliun. Itu uang dari mana

Kemudian Anies malah nyinyir “Pilihannya sederhana, Gubernur yang putus asa melihat kenyataan itu, atau Gubernur yang mau mencari solusi melihat kenyataan itu.”


Namun Mantan Direktur Jenderal Pembiayaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang kini menjabat sebagai Komisaris Utama BTN Maurin Sitorus justru menyatakan DP 0 Rupiah hampir tidak mungkin dilaksanakan. Sampai saat ini, beberapa pihak baik pemerintah maupun swasta masih menganggap gagasan tersebut kontroversial

Menurut Maurin, uang muka itu merupakan hal yang diperlukan dalam urusan pembiayaan atau pembelian rumah.

Uang muka diperlukan sebagai kepemilikan dan tanggung jawab debitur atas kredit pemilikan rumah (KPR).

Semakin tinggi uang muka, maka semakin kecil KPR tersebut bermasalah atau macet.

“Uang muka 0, kemungkinan KPR bermasalah akan tinggi dan tentu hal tersebut tidak baik bagi bank pemberi KPR dan juga terhadap perekonomian nasional,” imbuh Maurin.

Sedangkan Direktur PT Metropolitan Land Tbk Wahyu Sulistio menilai, program tersebut bisa saja dilaksanakan apabila Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta memberikan bantuan (subsidi) sangat besar.

“Mungkin saja kalau pemprov mau menalangi ke developer tapi sekarang permasalahannya untuk di Jakarta ini sudah tidak memungkinkan bangun landed house lagi,” jelasnya.

Berkaitan dengan hal tersebut, KompasProperti  menghitung kebutuhan dana yang mesti dialokasikan Pemprov DKI Jakarta untuk perumahan dengan program DP 0 persen tersebut.

Saat ini, berdasarkan data Pusat Pengelolaan Dana Pembiayaan Perumahan (PPDPP) Kementerian PUPR, backlog atau kekurangan rumah di Jakarta mencapai 1,3 juta unit (rumah tangga).

Itu artinya, jika dipukul rata DP rumah adalah Rp 52 juta seperti disebut Anies, maka alokasi APBD yang harus digelontorkan Pemprov DKI Jakarta senilai Rp 67,6 triliun.

Sebagai informasi, APBD Pemprov DKI Jakarta pada 2017 yang telah disahkan mencapai Rp 70,191 triliun. Ini artinya nyaris 96,5 persen APBD DKI Jakarta terserap untuk DP Rumah.

Hitungan dengan data lebih akurat memang menyatakan bahwa hal tersebut hampir mustahil dilakukan. Dan jika dipaksakan maka sisa APBD DKI hanya 3,5% dari 70,191 Triliun. Entah apakah ini yang dimaksud oleh Anies dengan pemerintahan yang efektif. Selama debat Anies kerap mengkritisi penggunaan anggaran DKI yang menurut data dia masih dibawah 70%. Jika ini yang dia maksud dengan pemerintahan yang efektif, rasanya benar-benar efektif dalam menghabiskan anggaran, satu program ludes semua anggaran.

Selain itu Ahok juga berpendapat bahwa Bank tidak mungkin mau memberikan rumah tanpa DP dan tanpa bunga karena bank juga harus untung, itu prinsip perbankan. Lalu yang membuat saya tertawa terbahak-bahak adalah ketika Anies ngotot soal DP 0 rupiah. Setelah sebelumnya berkali-kali Ahok diserang, akhirnya Ahok mulai menyerang, “Saya ga suka bohongin orang untuk menarik simpati”.

Dengan sisa anggaran sekecil itu, lalu bagaimana dengan program-program lainnya? Apalagi Anies menjanjikan dana bagi ormas-ormas dari APBD. Lalu sisa untuk warga Jakartnya berapa?

Jadi pertanyaannya apakah Anies memang benar-benar akan melakukan program tersebut dan program lainnya sesuai janjinya? Dengan resiko APBD ludes begitu saja. Atau benar apa yang dikatakan oleh Ahok bahwa ini hanya cara untuk menarik simpati saja?

@gusti yusuf


Logika Sesat Anies, Dana Kampanye Hampir Semua Dari Sandi Agar Tidak Ada ‘Hutang Budi’ ke Siapapun


DUNIA HAWA - Di Pileg kemarin banyak orang yang mendadak gila setelah kalah. Alasannya karena uang modal mereka yang jumlahnya bisa Milyaran habis buat kampanye. Mengapa mereka rela untuk menghabiskan uang sebanyak itu?

Tentu saja agar bisa ‘balik modal’ saat menjabat. Melihat biaya yang habis untuk kampanye sangat besar, cara balik modal ini sangat berkemungkinan tidak bersih. Hal yang sama juga terjadi bila ingin menjadi kepala daerah. Kalau dana kampanye habis besar pasti ingin balik modal.

Nah, sekarang ada kesesatan pikiran dari Anies yang luar biasa. Melihat Sandiaga Uno menghabiskan hingga puluhan Milyar untuk dana kampane Anies-Sandi, tidak mungkin seorang pembisnis tidak mau balik modal. Anies malahan mengatakan kalau dana kampanye hampir semuanya dari Sandi, maka tidak ada hutang budi ke siapapun.

Ke SIAPAPUN katanya. Disini terlihat Anies jelas-jelas berbohong. Kalau Sandi yang menyediakan dana kampanye, maka jelas mereka sudah berhutang budi kepada Sandi. Duit itu tidak jatuh dari langit, apalagi kalau sudah puluhan Milyar. Pembisnis itu menghitung untung rugi lho.

Coba pikirkan, apa alasan pribadi yang mendorong Sandiaga Uno ingin menjadi Gubernur di Jakarta? Setelah gagal menjadi Cagub, jadi Cawagub pun boleh. Alasan ‘demi rakyat’ itu cuman basa-basi. Alasan pribadi mesti menguntungkan dirinya sendiri.

Ahok sendiri memiliki alasan pribadi untuk menjadi Gubernur Jakarta. Ahok ingin dikenang, ingin namanya tercatat sebagai keturunan Tionghoa yang melawan arus hingga bisa menjadi Gubernur Ibukota sebuah negara yang mayoritas muslim.

Ahok ingin dikenal sebagai pemimpin yang bersih dan jujur. Bagi orang Tionghoa, reputasi itu lebih penting dari apapun. Mereka sangat takut menipu bukan karena dosa atau hukum pidana, tapi karena orang di lingkungan mereka akan mencibir.

Oleh karena itu Ahok bisa rajin bekerja dan menolong banyak orang. Bukan semata-mata demi rakyat, tapi juga demi dirinya dikenang sebagai pemimpin yang baik.

Kalau Sandi? Alasan paling logis adalah bisnis. Kalau sudah berada di lingkungan pemerintahan, maka seorang pembisnis bisa memberikan ‘kemudahan’ untuk bisnisnya. Kalau menang di Jakarta ya langsung bisa balik modal la. Tidak perlu nyolong, tapi pakai cara memakai perusahannya sendiri untuk melaksanakan proyek.

Kalau ada yang bilang kalau ini terlalu mencurigai Sandiaga maka saya tanya balik. Siapa yang rela duitnya habis puluhan Milyar tanpa balik modal? Kalau Bill Gates sih dia ga peduli. Duitnya terlalu banyak, mau dihabisi pun susah. Kalau Sandi? Wah, dia saja sudah minta agar biaya kampanye dihemat. Dia kok yang menanggung biaya kampanye putaran pertama dan kedua.

Anies juga mengkritik cara penggalangan dana Ahok. Katanya itu cara sentralistis, cara kuno. Lho? Bukannya Anieslah yang paling sentralistis. Dana sebagian dari satu orang untuk satu pasangan. Kalau tidak sentralistis itu apa lagi?

Ahok pun bingung, apa mungkin habis duit sebanyak itu orangnya ga bakal nagih? Ahok sih enteng-enteng saja. Dia bisa membayar rakyat dengan menjalanka progam pro-rakyat. Ahok ga habis duit kok. Apalagi dengan rakyat yang membayar Ahok, Ahok menjadi berhutang budi ke rakyat. Tidak seperti kubu Anies yang berhutang budi ke Sandiaga.

Jawaban terakhir Anies soal ini pun absurd, sulit dimengerti. Katanya iuran dikumpul di kampung-kampung dan di kampung tersebut ada perkumpulan warga. Kalaupun betul, dana ini tercatat atau tidak? Kalau tidak tercatat ini sudah pelanggaran. Kumpul-kumpul yang dimaksud pasti dalam rangka mendukung Anies.

Mana boleh dana seperti ini tidak dicatat. Apalagi iuran macam apa yang didapat dari warga? Katanya cara ini desentralistis, entahlah apa maksudnya. Bahasa yang dipakai Anies kebanyakan ngambang. Teori semua.

Kampanye ini sangat jelas menunjukkan bahwa Anies itu cuman pandai berteori. Sulit untuk mengerti apa yang diucapkannya. Logikanya pun terbalik-balik, dana dari Sandi supaya tidak ada hutang budi.

Atau mungkin maksud Anies ke Sandi tidak ada hutang budi tapi hutang proyek? Stress kalau terus melihat logika Anies. Ahok saja sudah bilang di debat semalam, dia ga suka ama orang yang membohongi demi menarik simpati.

Salam Manies

@evan kurniawan


Ahok Membangun Masjid, Anies Mempolitisasi Masjid


DUNIA HAWA - Ahok telah menorehkan sejarah emas bagi umat Islam dengan membangun puluhan masjid, baik saat menjadi Bupati Belitung Timur maupun ketika menjadi Gubernur DKI Jakarta. Perbuatan amal baik itu ia lakukan semata-mata ingin menunaikan amanah orang tua dan orang tua angkatnya untuk memakmurkan umat Islam. Menurut Ahok, membangun masjid adalah bagian dari membangun jati diri umat.

Hal ini berbanding terbalik dengan Anies Baswedan. Ia justru menjadikan masjid sebagai tempat politik untuk mencapai kekuasaannya. Anies menjadikan masjid sebagai rapat pemenangan dengan memperalat agama untuk kepentingan jangka pendek. Ia menggunakan masjid sebagai mimbar kampanye politik praktis.

Membangun Masjid


Selama menjadi Gubernur DKI Jakarta, Ahok telah membangun beberapa masjid besar dan megah. Padahal, sebelumnya Pemprov DKI tidak memiliki satu pun masjid raya, karena Masjid Istiqlal, Masjid At-Tin dan Masjid Sunda Kelapa bukan milik Pemprov DKI Jakarta. Di antara masjid yang dibangun Ahok adalah Masjid Fatahillah di Balai Kota, Jakarta Pusat, Masjid Agung di Daan Mogot, Jakarta Barat, Masjid al-Hijrah di Rusun Marunda, Jakarta Utara, dan Masjid al-Muhajirin di Rusun Pesakih, Jakarta Barat.

Ahok juga membangun puluhan masjid di setiap rusun-rusun yang dibangun Pemprov. Ia juga membangun puluhan musholla untuk setiap Ruang Publik Terbuka Ramah Anak (RPTRA). Ahok juga memberi bantuan ke masjid-masjid, musholla dan majelis taklim. Ahok bertekad akan terus membangun dan memperluas masjid di Jakarta dengan cara membeli lahan yang ada di sekitar masjid.

Pada 2015, berdasarkan SK Gubernur Nomor 2589 Tahun 2015, Ahok memberi bantuan pada 118 musholla, masjid dan majelis taklim dengan kisaran bantuan sebesar Rp. 15 juta s/d 75 juta. Pada 2016, berdasarkan SK Gubernur Nomor 308 Tahun 2016, Ahok juga memberi bantuan ke 125 musholla, masjid dan majelis taklim dengan kisaran bantuan sebesar 15 juta s/d 100 juta rupiah.

Saat pertama kali menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, Ahok ingin sekali melihat Balai Kota mempunyai masjid yang megah untuk digunakan sebagai tempat ibadah PNS yang muslim. Ahok ingin para PNS bisa nyaman melaksanakan ibadahnya saat bekerja. Keinginan itu ia wujudkan dengan membangun masjid Fatahillah di Balai Kota.

Ide pembangunan masjid di Balai Kota bermula ketika Ahok melakukan Safari Ramadhan ke kantor Wali Kota Jakarta Barat dan Jakarta Pusat. Menurut Ahok, dua kantor pemerintahan tersebut memiliki masjid yang besar dan megah, sementara di Balai Kota yang merupakan kantor Gubernur serta kantor beberapa Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) DKI tidak memiliki masjid. Selama ini PNS di lingkungan Balai Kota hanya shalat di Musholla Fatahillah. Oleh karena itu, menurut Ahok, pembangunan masjid adalah kebijakan yang harus segera direalisasikan.

Ahok juga telah membangun puluhan masjid dan musholla di setiap rumah susun (rusun) yang dibangun Pemprov. Bahkan, di Daan Mogot –salah satu rusun terbesar- Ahok telah membangun masjid besar dan megah yang diberi nama masjid KH. Hasyim Asy’ari. Masjid ini dibangun dengan luas 20.000 m2 agar mampu menampung seluruh umat muslim yang tinggal di rumah susun. Ahok menjadikan masjid ini sebagai salah satu Masjid Raya di Jakarta.

Ahok bertekad akan terus berusaha memakmurkan umat Islam. Ia memajukan Masjid Jakarta Islamic Center (JIC) Jakarta Utara, sebagai Etalase Keilmuan Keislaman dan Wisata Religi, dengan harapan banyak orang nanti bisa belajar Islam di JIC. Ahok juga bertekad akan membangun masjid di Jakarta Selatan dan Jakarta Timur dengan nama Masjid KH. Ahmad Dahlan dan Masjid Cokroaminoto. Semua kebijakan ini merupakan kepedulian Ahok terhadap umat Islam karena menyejahterakan umat Islam, berarti menyejahterakan masyarakat yang dipimpinnya.

Mempolitisasi Masjid


Ironisnya, saat Ahok membangun banyak masjid, justru Anies Baswedan menggunakan masjid sebagai tempat politik. Ia menggunakan masjid sebagai tempat rapat dan strategi pemenanganya. Padahal, tidak ada Undang-undang/peraturan KPU yang membolehkan masjid sebagai tempat kampanye. Namun, bagi Anies, segala cara adalah halal demi memenangkan kontestasi Pilkada DKI, termasuk menjadikan masjid sebagai tempat kampanye.

Beberapa masjid kerap digunakan Anies sebagai tempat kampanye. Misalnya ia berkampanye di Masjid Agung Al-Furqon, Kompleks Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Anies bahkan menggunakan momentum Maulid Nabi untuk berkampanye di sebuah Masjid Menteng Dalam, Tebet, Jakarta Selatan. Menjelang Aksi Bela Islam, Anies juga berkampanye di Masjid Al-Azhar, di acara shubuhan pada (15/1/2017).

Seharusnya, kalau memang tidak ada biaya untuk rapat di gedung pertemuan atau hotel, tim Anies bisa menggunakan rumah sebagai rapat. Karena menjadikan masjid sebagai tempat kampanye sama halnya mengotori tempat ibadah yang suci ini. Akhirnya, tempat ibadah tidak lagi menjadi sakral karena politik tidak bisa dicampuradukkan dengan agama.

Dalam sejarah Islam, politisasi masjid semacam ini pernah terjadi pada saat kepemimpinan Muawiyah bin Abu Sufyan. Muawiyah menjadikan masjid sebagai tempat politis, ia memerintahkan pemuka agama di seluruh masjid untuk melaknat Ali bin Abi Thalib di setiap khotbah Jumat. Demi mempertahankan kekuasaan, Muawiyah rela mempolitisasi masjid untuk memperoleh legitimasi umat.

Keadaan seperti itu mirip dengan apa yang terjadi di berbagai masjid di Ibu Kota mutakhir ini, yang mana pada saat sholat jumat, Masjid dijadikan tempat pembunuhan karakter oleh khotib Jumat terhadap salah satu paslon dengan caci maki dan pelaknatan. Bahkan banyak masjid yang melarang mensholatkan pendukung pemimpin non-Muslim. Masjid dipolitisasi untuk kepentingan calon tertentu atas nama agama.

Di Timur Tengah, yang atmosfer politiknya cukup panas, oknum-oknum politisi juga kerap mempolitisasi masjid. Tempat-tempat ibadah tak luput dari upaya politisasi. Masjid menjadi magnet dengan berbagai manuver politik praktis di atas mimbar-mimbar masjid. Mulai dari pembunuhan karakter lawan politik dengan taktik (vonis kafir) sampai propaganda kekerasan yang memecah belah dan meluluhlantahkan keutuhan negara.

Politisasi masjid ini membuat negara-negara di Timur Tengah porak-poranda karena khatib dan penceramah memiliki kebebasan melakukan hujatan melalui mimbar masjid hingga mengaburkan agama yang sakral dan profan. Bahkan penggerakan masa kerap dilakukan di hari Jumat seusai shalat Jumat. Mirip sekali dengan apa yang terjadi di Ibu Kota.

Tentu saja kita tidak ingin negeri yang damai ini terbakar api perpecahan karena perilaku oknum politisi yang menggunakan agama sebagai alat politik. Pengalaman Politik di Timur Tengah semestinya memotivasi bangsi ini untuk semakin waspada, karena fenomena alih fungsi masjid menjadi komoditas atau alat politik praktis sudah lama terjadi di negeri ini, apalagi dalam momentum Pilkada DKI.

Banyak khotib yang meminta umat Islam untuk tidak memilih calon pemimpin non-muslim dalam Pilkada DKI. Seruan ini jelas merupakan politik praktis, bukan politik keumatan. Umat Islam mempunyai tanggungjawab moral menjawab tantangan ini. Rasul bahkan pernah memerintahkan, dalam rangka menjaga “kesucian” masjid, dilarang melakukan perniagaan di masjid, begitu pula mengumumkan barang yang hilang di dalamnya.

Sudah sepatutnya umat Islam lebih cerdas menggunakan rumah Allah sesuai dengan fungsinya, yaitu untuk beribadah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah, bukan kampanye yang bisa memecah belah. Sikap Anies yang telah menggunakan masjid sebagai mimbar kampanye politik praktis adalah sikap menodai kesucian agama. Ia telah mengotori kesucian agama hanya demi kepentingan politik semata.

@ ibnu said


Meceki Saat Nyepi

Renungan Nyepi



DUNIA HAWA - NYEPI merupakan sebuah hari suci, bukan hari raya.

Sebab kalau kita merujuk ke ‘hari raya’, tentunya di sana ada konsep pesta atau pemenuhan kesenangan indrawi.

Dan sangat disayangkan, tak sedikit umat Hindu di Bali, justru berpikir bahwa Nyepi merupakan sebuah hari raya.

Maka tidak heran, saat Nyepi ada umat kita yang menonjolkan keinginan indrawinya. Seperti berjudi, salah satunya meceki.

Selain menodai hari suci, tindakan ini juga melanggar hukum.

Selain itu, umat yang mementingkan indrawinya, biasanya akan keluar rumah saat Nyepi.

Mereka malah melakukan aktivitas di jalan raya, seperti bersepeda hingga makan makan di tengah jalan raya seperti sedang piknik di kebun raya.

Ada pula umat kita yang justru mencoratcoret jalan raya dan berselfi di tengah jalan.

Tentunya hal seperti ini sangat mencoreng hari suci kita.

Sebab di satu sisi kita melarang umat lain yang tinggal di Bali untuk tidak melakukan aktivitas.

Sementara kita malah hura-hura. Kalau begini, justru umat lain yang mendapatkan pahala Nyepi.

Bukan umat kita, karena mereka justru menodai Nyepi. Dalam hari suci Nyepi, ada konsep Catur Bratha, yang terdiri dari amati gni (tidak menghidukan api), amati karya (tidak bekerja), amati lelungan (tidak bepergian) dan amati lelanguan (tidak berpesta).

Itu artinya, saat Nyepi kita tidak boleh melakukan aktivitas eksternal (di luar diri). Namun yang diakukan adalah aktivitas internal, dalam bahasa Bali disebut ‘mecelep ke jero ten ke jaba’.

Catur Bratha inilah sesungguhnya panduan umat Hindu untuk mengontrol nafsu duniawinya.

Dalam teks disebutkan, ‘Wisaya Kharma’, yang artinyan sesuatu yang bersifat pemenuhan indrawi harus dihentikan saat Nyepi.

Sebab saat Nyepi kita harus menuju ‘sunya’ atau kosong.

Maka dari itu, sebaiknya saat Nyepi tidak ada aktivitas eksternal.

Karena ego tidak akan berdaya kalau kita tidak melakukan interaksi.

Ketika Nyepi kita harus mengerdilkan ego, bukan malah memenuhi  keinginan ego. Kalau kenyataannya seperti ini, Nyepi yang selama ini kita bangga-banggakan, tak lain hanya kebanggaan semu.

Kalau kita masih melakukan aktivitas eksternal saat Nyepi, maka janganlah marah ketika Nyepi dilecehkan oknum umat lain.

Untuk apa marah, kalau kita sendiri tidak menjalankan konsep Nyepi sesuai ajaran agama.

Karena itu, marilah kita bersama- sama intrspeksi diri. Mulailah kita memandang bahwa Nyepi merupakan sebuah hari suci, bukan hari raya.

Jangan kita mamaksakan umat lain untuk Nyepi, sementara di sisi lain masih ada umat kita malah foya-foya.

Sebab, kalau kita memaknai hari suci kita sesuai esensinya, maka tidak perlu ditekankan, umat lain pasti akan menghargai dan bertoleransi tanpa paksaan. 


@Ida Pandita Mpu Jaya Acharya Nanda


RAHAJENG NYANGGRA RAHINA JAGAT ” NYEPI ” CAKA WARSA 1939

Konferensi Pers Hari Suci Nyepi Nasional Tahun Baru Saka 1939-2017


DUNIA HAWA - Latar belakang sejarah Nyepi sesungguhnya berawal dari sejarah kelahiran Tahun Saka yakni tonggak atau babak baru dalam sejarah kehidupan masyarakat Hindu yang bermukim di lembah Sungai Sindu, suatu daerah yang sangat subur dan akhirnya menjadi rebutan antara beberapa suku bangsa yang bermukim di sekitarnya, antara lain Pahlawa, Yuehchi, Yuwana, Malawa dan Saka. Yang lebih tragis, perebutan tersebut sampai menimbulkan peperangan silih berganti dan nyaris tidak kunjung selesai. 

Pada tahun 78 Masehi, bangsa yang berkuasa di  wilayah tersebut adalah bangsa dari dinasti Kushana dari suku bangsa Yuehchi dengan rajanya bernama Raja Kaniska I. Raja Kaniska I mengubah arah perjuangannya dari dominasi politik dan meliteristik beralih ke sistem sipil yakni membangun kebudayaan dan memperjuangkan kesejahteraan sosial. Komunikasi politik digagas dalam membangun budaya yang lebih menekankan pada toleransi antar suku bangsa yang ada, bersatu padu membangun kehidupan harmonis dan masyarakat sejahtera yang mengutamakan kepentingan bersama (sosial) atau Dharma Siddhi Yatra. 

Keberhasilan melakukan perubahan esensial dalam perikehidupan masyarakat ini dijadikan tonggak sejarah bagi peringatan Tahun Baru Saka (Kalender saka secara resmi diberlakukan) bagi kehidupan manusia di jagat raya ini dalam upaya bersama-sama mewujudkan kedamaian. Sejarah penting inilah yang menginspirasi adanya peringatan Hari Raya Nyepi,  selaras dengan tujuan perubahan yang dilakukan Raja Kaniska I, termasuk Perayaan Nyepi yang diselenggarakan masyarakat Hindu di Indonesia.

HAKEKAT NYEPI


Pada hakekatnya Nyepi adalah rangkaian upacara dalam rangka peringatan menjelang datangnya Tahun Baru Saka bagi umat Hindu. Peringatan Tahun Baru membawa konsekuensi logis dilaksanakannya evaluasi kehidupan, terhadap kehidupan tahun yang lalu, sehingga jelas tergambar potret kehidupan kita tahun yang telah lewat. Kejelasan gambaran hidup tersebut, memungkinkan kita mencanangkan program/resolusi untuk kehidupan tahun yang akan datang ke arah yang lebih baik, lebih positif dan lebih kondusif, damai dan sejahtera. Inilah satu bukti masyarakat Hindu menerapkan manajemen hidup yang sesungguhnya tidak jauh dari ilmu pengetahuan tentang manajemen kehidupan manusia yang dikembangkan saat ini.

Dalam rangka evaluasi itulah umat Hindu memerlukan suasana hening, sepi, dan tenang untuk melakukan renungan/kilas balik/introspeksi/retrospeksi terhadap kehidupan kita yang telah lewat. Ibarat kita melihat bayangan bulan di tempayan yang berisi air atau pun di laut. Di dalam air yang tenang kita akan menemukan sejatinya bayangan bulan tersebut secara utuh dan sesungguhnya, sebagaimana yang diarahkan oleh pustaka suci Kakawin “Arjuna Wiwaha”  berikut ini : 

“Sasi wimba haneng gatha mesi banyu/ndan asing suci nirmala mesi wulan/iwa mangkana rakwa kiteng kadadin/ring sang angambeki yoga kiteng sakala”.
Dinyatakan bahwa: hanya dalam kejernihan pikiran, kita akan mampu melihat Tuhan. Kejernihan pikiran itu dapat dicapai melalui Yoga. Demikianlah seorang pendaki spiritual sejati selalu rindu akan puncak keheningan. Ketika berada pada puncak keheningan/sunya tersebut, seseorang akan dapat merasakan kedamaian/keindahan/ spiritualitas/ketuhanan yang sukar dilukiskan dengan pengalaman indrawi.

TUJUAN NYEPI


Secara filosofis intisari dari tujuan Nyepi adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui profile kehidupan kita di tahun yang sudah lewat;

2. Setelah mengetahui bagaimana profile kehidupan kita di masa lalu, kita bisa membuat target kehidupan/resolusi kehidupan kedepannya guna mencapai kualitas kehidupan yang lebih baik sesuai amanat kehidupan sebagai manusia sebagaimana disuratkan dalam ajaran Sarasamuccaya, berikut:

“Ri sakwening sarwa bhuta, iking janma wwang juga wenang gumawayaken ikang cubhacubhakarma, kuneng panentasakane ring cubhakarma juga ikang acubhakarma phalaning dadi wwang”(Sarasamuccaya sloka 2)
(Di antara semua makhluk hidup yang ada, hanya kelahiran sebagai manusialah, yang dapat melaksanakan perbuatan baik ataupun buruk; tugas kita yang paling esensi adalah melebur/merubah perbuatan yang tidak baik menjadi baik/benar, inilah konsekuensi kelahiran sebagai manusia).

RANGKAIAN NYEPI


Terkait dengan Esensi Nyepi yakni melaksanakan evaluasi/kilas balik, introspeksi/retrospeksi tersebut di atas, maka rangkaian penyelenggaraan Nyepi paling tidak dilaksanakan dengan 4 tahapan kegiatan, yang secara keseluruhan saling terkait dan merupakan satu kesatuan utuh, yang mendukung prinsip utama Nyepi. Tahapan yang dimaksud adalah:

1. Melasti/Makiyis: adalah prosesi spiritual keagamaan sebagai upaya penyucian alam semesta dari segala kekotoran dan kejahatan akibat dari perputaran karma selama 1 tahun yang penuh dengan intrik, gejolak, nafsu, dan berbagai sisi negatif kemanusiaan. Penyucian ini tidak berhenti pada tataran alam semesta, tetapi juga pada diri setiap manusia. Jadi setiap orang harus menyucikan diri dan lingkungannya, karena hal tersebut akan mendukung pelaksanaan Nyepi/Hening tersebut. Prosesi ini dilaksanakan seminggu sebelum Nyepi atau maksmial 2 hari sebelum Nyepi.

2. Tawur Kesanga: yang prinsipnya adalah penyelarasan/harmonisasi dari lima unsur alam dan diri manusia (Panca Maha Bhuta). Dengan adanya penyelarasan/harmonisasi itulah maka manusia akan dibantu dengan suasana kondusif untuk melakukan renungan.  Tawur Kesanga dilaksanakan sehari sebelum Nyepi tepatnya pada bulan Mati/Tilem sasih Kesanga yang tahun 2017 ini jatuh pada tanggal 27 Maret 2017.

3. Nyepi: setelah dua tahap sebelumnya dilalui, yakni pembersihan dan harmonisasi diri dan lingkungan, maka diharapkan setiap orang akan siap untuk melakukan proses berikutnya yaitu “menyepi” itu sendiri, bagaikan kepompong yang mengisolasi diri. Kegiatan ini merupakan kegiatan utama Nyepi yang intinya merupakan: renungan/kilas balik/evaluasi/introspeksi/retrospeksi. Pada tahun 2017 ini, Hari Raya Nyepi jatuh pada tanggal 28 Maret 2017.

Secara teknis Nyepi ini dilaksanakan dengan melakukan empat disiplin kehidupan (Catur Brata Penyepian), yakni mengendalikan amarah (Amati Geni), menghindari kegiatan fisik (Amati Karya), menghindari bepergian (Amati Lelungaan) dan tidak menikmati hiburan (Amati Lelanguan). Dengan keempat dispilin tersebut maka Suksma(diri sejati manusia) akan bisa fokus dalam keheningan untuk melaksanakan renungan/kilas balik/evaluasi/introspeksi/retrospeksi dimaksud. Inilah satu ciri khas pelaksanaan perayaan tahun baru bagi umat Hindu, bukan dengan beramai-ramai, namun menyepi.

4. Ngembak Geni: merupakan tahapan akhir dari renungan/kilas balik/evaluasi/introspeksi/retrospeksi yang jatuh sehari setelah Nyepi. Pada tahun 2017 ini Ngembak Gni jatuh pada tanggal 29 Maret 2017.

Setelah menjalani kegiatan utama Nyepi diharapkan setiap orang sudah memiliki gambaran profile dari kehidupan masa lalu. Beberapa aspek kelemahan dari kehidupan masa lalu yang berdampak negatif bagi diri sendiri dan pihak lain, pada Ngembak Gni ini dikomunikasikan kepada para pihak dengan jalan memohon maaf (simakrama) dilandasi rasa tulus ikhlas. 

Dengan seluruh proses tersebut, selanjutnya diharapkan setiap orang telah berkomitmen untuk menjalani Tahun Baru dengan semangat baru dan dengan berbagai resolusi yang mengarah kepada kehidupan yang lebih baik, lebih positif dan lebih kondusif lagi.

KETUA UMUM PANITIA NASIONAL

PERAYAAN NYEPI SAKA 1939 TH 2017

IRJEN POL Drs KETUT UNTUNG YOGA,SH,MM

@hindubanten