Saturday, March 25, 2017

Ini yang Menyebabkan Jokowi Diam Soal Izin Pabrik Semen di Rembang


DUNIA HAWA - Keputusan Mahkamah Agung yang mengabulkan permohonan peninjauan kembali (PK) yang diajukan oleh para penggugat yang atas tergugat Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan tergugat intervensi PT Semen Gresik.Tbk, atas penerbitan Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/17 tahun 2012 tertanggal 7 Juni 2012 tentang Izin Lingkungan Kegiatan Penambangan oleh PT Semen Gresik.Tbk, di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, adalah bertentangan dengan banyak aturan hukum dan tidak sesuai dengan hukum acara tata usaha negara, dikarenakan:

Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo (sebelum Ganjar Pranowo) telah mengeluarkan izin lingkungan dan telah disosialisasikan sejak 22 Juni 2013. Sementara pihak penguggat baru melayangkan gugatannya ke PTUN Semarang pada 1 September 2014. Padahal gugatan ke PTUN hanya dapat diajukan dalam tenggang waktu 90 hari sejak keputusan itu diterbitkan oleh Bibit Waluyo.

Sehingga keputusan PTUN Semarang yang menolak gugatan penggugat dan PTUN Surabaya yang memperkuat putusan PTUN Semarang sudah tepat dan benar secara hukum, tetapi yang justru mencurigakan ada apa dengan Mahkamah Agung? Mengapa Mahkamah Agung sampai nekad menabrak hukum acara tata usaha negara, khususnya UU Nomor 5 Tahun 1986: Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Karena sesungguhnya sudah tidak ada alasan hukum apapun ataupun pertimbangan hukum apapun dari Mahkamah Agung untuk menerima gugatan tersebut, dikarenakan gugatan baru diajukan 438 hari (terhitung sejak 22 Juni 2013-1 September 2014).

Bahkan tidak hanya hukum acara tata usaha negara saja yang ditabrak, Mahkamah Agung juga telah mengingkari Putusan MK Nomor 1/PUU-V/2007 terkait permohonan uji materill terhadap tenggang waktu 90 hari tersebut, dalam salah satu pertimbangan MK: ‘’Mahkamah berpendapat setiap undang-undang menyangkut keputusan/penetapan TUN selalu ditentukan tenggang waktunya. Hal tersebut justru untuk memberikan kapastian hukum sampai kapan keputusan tersebut dapat digugat’’.

Jadi bisa dibayangkan Mahkamah Agung saja sampai nekad menabrak putusan MK Nomor:1/PUU-V/2007 dan mengabulkan gugatan para penggugat yang menolak pembangunan pabrik semen , secara terang-terangan telah merusak dan mengacaukan hukum acara tata usaha negara, juga menimbulkan ketidakastian hukum, dikarenakan Mahkamah Agung telah mengabaikan batas tenggang waktu 90 hari untuk menguggat suatu keputusan pejabat administrasi negara. Padahal pembatasan tenggang waktu adalah mutlak di semua tingkatan pengadilan, termasuk tenggang waktu di Pengadilan Negeri. Sehingga ada apa dengan MA?

Selain itu,  Mahkamah Agung juga telah Pasal 93 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengeloaan Lingkungan Hidup. Dalam pasal tersebut secara eksplisit dinyatakan bahwa yang jadi syarat wajib atau mutlak untuk diajukannya gugatan atas keputusan TUN berupa izin lingkungan hanya apabila izin lingkungan dikeluarkan tanpa dilengkap dengan dokumen AMDAL.

Sedangkan fakta hukumnya , Gubernur Jawa Tengah selaku tergugat baru mengeluarkan izin lingkungan setelah adanya dokumen AMDAL. Padahal secara hukum jelas dan terang-benderang bahwa tidak tidak ada alasan ataupun pertimbangan hukum apapun bagi MA untuk mengabulkan permohonan PK yang diajukan oleh para penggugat atas tergugat (Gubernur Jawa Tengah) dan tergugat intervensi (PT. Semen Gresik.Tbk), dikarenakan para penggugat sudah tidak memiliki dasar hukum yang kuat untuk menggugat izin lingkungan tersebut, dikarenakan izin lingkungan itu dikeluarkan setelah adanya dokumen AMDAL, bukan sebaliknya.

Bahkan tergugat intervensi (PT. Semen Rembang.Tbk) pun telah melakukan kajian lingkungan hidup yang tercantum dalam dokumen AMDAL beserta Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL), atas dasar dokumen AMDAL tersebut, tergugat (Gubernur Jawa Tengah) menerbitkan Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/10 tahun 2012 tentang Kelayakan Lingkungan Hidup Rencana Penambangan dan Pembangunan Pabrik Semen oleh PT Semen Gresi.Tbk di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah tertanggal 30 April 2012, yang untuk selanjutnya disebut  sebagai ‘’Keputusan Gubernur Kelayakan Lingkungan Hidup), yang berati rencana usaha penambangan dan pembangunan pabrik semen sudah layak dari aspek lingkungan hidup.

Tetapi satu hal yang perlu diingat dari putusan PK MA mengenai pembangunan pabrik semen di Kendeng, bahwa sekalipun dalam amar putusan PK ,MA menyatakan bahwa Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor: 660.1/17 tahun 2012 tertanggal 7 Juni 2012 (yang dikeluarkan Bibit Waluyo- Gubernur Jawa Tengah sebelum Ganjar Pranowo) tentang Izin Lingkungan Kegiatan Penambangan oleh PT Semen Gresik.Tbk, di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, adalah batal dan mewajibkan tergugat (Gubernur Jawa Tengah saat ini, Ganjar Pranowo) mencabut Surat Keputusan Gubernur Nomor: 660.1/17 tahun 2012 tertanggal 7 Juni 2012 tentang Izin Lingkungan Kegiatan Penambangan oleh PT Semen Gresik.Tbk, di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Amar PK MA tersebut bukan berarti MA memerintahkan agar pembangunan pabrik semen dibatalkan, tetapi amar putusan PK MA hanya memerintahkan agar dilengkapi dulu dokumen lingkungan hidupnya termasuk KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis), bukan menghentikan pembangunan pabrik semen, itu yang perlu dipahami dan dicatat dari aspek hukumnya. Dan keputusan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang kembali menerbitkan izin lingkungan lewat Keputusan Gubernur Nomor 660.1/6 Tahun 2017 tentang Izin Lingkungan Kegiatan Penambangan dan Pembangunan Pabrik Semen PT Semen Indonesia di Kabupaten Rembang, adalah sudah sesuai dengan hukum, dikarenakan sudah didahului dengan adanya dokumen AMDAL, KLHS hanya sebagai pelengkap AMDAL saja.

Karena salah satu kelemahan penggugat adalah tidak memiliki bukti kalau izin lingkungan dikeluarkan tanpa adanya dokumen AMDAL, itulah kelemahan hukum para penggugat, sehingga sudah benar secara hukum jika izin lingkungan kembali dikeluarkan dan itu tidak melanggar putusan PK Mahkamah Agung, karena justru Mahkamah Agung lah yang melanggar syarat formil gugatan keputusan TUN dan mengacaukan hukum acara tata usaha negara, terutama batas tenggang waktu. Sehingga sangat wajar jika Presiden Jokowi tidak mau ikut campur dalam urusan pembangunan pabrik semen ini, dikarenakan memang tidak ada kesalahan prosedur hukum , semua sudah berjalan sesuai aturan hukum, hanya saja tinggal menunggu pelengkap AMDAL, yakni KLHS. Setelah dokumen AMDAL dilengkapi dengan KLHS, maka pembangunan pabrik semen akan tetap berjalan.

@ricky vinando


Gus Ishom Dipecat, Rizieq Dipelihara


DUNIA HAWA - Lagi dan lagi MUI menampakkan keberpihakannya dalam ranah politik yang tidak objektif. Kesaksian Gus Ishom dalam sidang Ahok yang ke-15 menuai kritik dari MUI bahkan harus dipecat. Ironisnya alasan pemecatan tersebut dikatakan bahwa kesaksian dari Gus Ishom dapat memecah belah umat (Islam). Berarti apa yang dilakukan FPI dengan Imam besarnya Rizieq Shihab justru kebalikannya yaitu mempersatu. Karena tidak ada protes dan kritikan “keras” yang ditujukan kepada ormas seperti FPI oleh MUI.

Kalau kita lihat dan baca status Gus Ishom di media sosial (akun pribadinya), sangat jelas Ishom mencintai kemajemukan dalam kebangsaan, yang artinya tidak mengkotak-kotakkan orang ke dalam sektarian atau sekat politik identitas apalagi soal pilihan pilkada. Dalam hal ini kita dapat melihat bahwa Gus Ishom memandang Agama secara luas, tidak dipersempit atau dipahami secara tunggal semata, dengan demikian tidak saling bertentangan melainkan saling melengkapi.

Seperti diketahui, dalam sidang yang digelar di auditorium Kementan itu, Gus Ishom menyatakan, putusan MUI yang menyatakan Ahok menista agama, kurang tepat. Sebab, MUI tidak melakukan klarifikasi atau tabayyun terhadap Ahok.

“Saya setuju poin tertentu, misalnya bahwa keharmonisan umat harus tetap terjaga, tapi pada keputusan yang merugikan orang lain tapi tidak tabbayun (klarifikasi), itu yang saya tidak sependapat,” tegasnya.

Sikap MUI itu disebutnya, memicu masalah ini jadi semakin besar. Apalagi, arti kata “auliya” yang terdapat di surat Al-Maidah ayat 51 yang disebut Ahok, tidak mesti berarti pemimpin.

Gus Ishom mengaku sudah meriset 30 kitab tafsir. Tak satu pun yang menyebut arti auliya adalah pemimpin. Auliya diterjemahkan sebagai teman setia, penolong, aliansi pembantu keperluan orang-orang beriman. Menurutnya, asal-usul turunannya ayat Al-Maidah 51 ialah peperangan antara umat Islam dengan kaum Yahudi dan Nasrani pada zaman Nabi Muhammad.

Hakim kemudian bertanya, jika menjadikan teman setia saja tak boleh, bagaimana dengan pemimpin? Gus Ishom bilang, alasan hukumnya keliru. Menurutnya, surat Al-Maidah 51 hanya dapat diterapkan dalam konteks peperangan saat terjadi puncak permusuhan. Jadi bukan untuk menyerang atau merendahkan lawan politik, misalnya dalam kampanye.

Gus Ishom jelas sadar bahwa yang terjadi belakangan ini hanyalah kepentingan politik. Ironis memang terdengar kabar bahwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) disebut telah memecat KH Ahmad Ishomuddin, saksi ahli agama Islam yang juga rais syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Jakarta dan dosen Fakultas Syari’ah IAIN Raden Intan, Lampung. Pemecatan dilakukan karena pernyataan Ishomuddin saat menjadi saksi meringankan untuk terdakwa penista agama Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok bisa memecah belah umat Islam.

Komisi hukum MUI, Anton Digdoyo, mengatakan, pemecatan terhadap Ishomuddin dilakukan setelah Anton mengirim kirim pesan WA ke ketum dan waketum MUI Pusat usai sidang Ahok, Selasa (21/3, malam. Pesan agar Ishomuddin juga ditembuskan ke sekjen MUI. Dalam pesannya Anton menyatakan, pihaknya akan keluar dari MUI.

“Jika tidak dipecat dalam waktu satu bulan ke depan, saya resign dari MUI,” ujar Anton.

Mantan jenderal polisi ini menuturkan, pemecatan terhadap Ishomuddin terpaksa dilakukan karena pernyataannya dalam membela Ahok telah meresahkan umat Islam. Karena dalam kesaksiannya, Ishomuddin menyatakan surah al-Maidah ayat 51 sudah tak relevan lagi. Padahal, Alquran itu berlaku sejak kenabian Muhammad SAW 15 abad silam sampai hari kiamat.

Tak relavan itu karena sadar konteks. Tidak serta merta text book. Justru apa yang dikatakan Gus Ishom adalah pemahaman yang luas, dan dibenturkan dengan realita hari ini serta juga sadar histori (sejarahnya) kenapa ayat itu turun.

“Alhamdulillah Pimpinan MUI Pusat sudah hubungi saya Kamis 23 Maret 2017 bahwa yang bersangkutan (Ishomudin) telah dikeluarkan dari MUI.

Dalam pemecatan Gus Ishom, kita sudah dapat berpikir dengan logis bahwa siapa yang sebenarnya diadu domba. Wah parah jika kesaksian Gus Ishom dikritik, sementara kelakuan FPI dirangkul dengan mesra bahkan dipelihara.

Sekali-kali jangan selalu mengikuti arus, ada baiknya untuk berani menghantam karang. Salut dengan Gus Ishom yang tidak terjebak dengan politik identitas yang menjadi kebanggaan 7 juta massa aksi tapi dikibulin.

@losa terjal


Rhoma Irama Yang Kerap Menyerang Ahok, Anaknya Kini Ditangkap Polisi


DUNIA HAWA - Rhoma Irama, pedangdut yang kini berpolitik pernah berpidato yang isinya dianggap bermuatan sara. Ia pun kerap menyerang Ahok, hanya karena Ahok Cina dan dia anggap kafir. Ia juga pernah mengatakan bahwa kampanye yang mengusung suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dibenarkan. Hari ini anaknya Ridho Rhoma ternyata ditangkap polisi usai mengkonsumsi narkoba jenis sabu.

Rhoma Irama nampaknya sangat tidak suka kepada Ahok, hingga tidak mengundang Ahok saat syukuran partainya, Partai idaman. Saat itu Rhoma Irama hanya mengundang Paslon no 3 dan nomor 1.

“Kami hanya undang Agus, dan Anies. Sementara Ahok tidak kami undang karena sudah terdakwa,” ucap Rhoma Irama.

Tentu kita masih ingat pada tahun 2012 saat Jokowi dan Ahoh maju sebagai pasangan calon Gubernur, Rhoma Irama pernah berpidato yang isisnya membolehkan penggunaan SARA dalam berkampanye

Diperbolehkan menggunakan yang namanya SARA, diperbolehkan oleh yang namanya dewan pembina KPU Prof DR Jimly Ashiddiqie. Kenapa? karena ini zaman keterbukaan, karena ini zaman demokratisasi, tidak boleh ada yang ditutup-tutupi. Rakyat, umat harus dijelaskan siapa calon pemimpin mereka, maka SARA dibenarkan.

Pernyataan yang aneh, justru demokrasi itu memandang semua orang sama tanpa membeda-bedakan berdasarkan suku, ras dan agama. Setiap orang bebas memilih tanpa memandang SARA.

Kalau sudah seorang Kristen memimpin Ibu Kota Jakarta, negara yang mayoritas Muslim ini maka umat Islam menanggung aib besar di mata dunia internasional, Inalillahi. Saya tahu banyak umat Muslim yang mengidolakan Jokowi, saya tahu betul, betul, karena memang beliau orangnya, menurut mereka dia sabar, santun, ini, itu, idola banget deh. Tapi inget Jokowi hanya batu loncatan nanti yang berkuasa adalah Ahok yang nonmuslim, Ahok yang cina, Ahok yang Kristen, inalillahi, naudzubillah min dzalik.

Nah ini SARA beneran, masa dengan pemimpin yang Kristen lalu jadi aib internasional? Hanya pemilihan Gubernur lalu jadi aib internasional? Sepertinya ini berlebihan. Aib itu justru memaksa orang lain memilih calon pemimpin tertentu di negara demokrasi. Dan omongan dia tidak terbukti, Jokowi Presiden dan Ahok Gubernur, keduanya malah bersinergi dengan baik.

Dan ketika diminta menanggapi kasus dugaan penistaan agama beginilah jawabannya.

“Substansinya, ‘Jangan mau dibohongi surat Al-Maidah’. Ini tanpa kompetensi, berbicara soal Islam dan tafsir sama sekali salah. Ini penistaan agama,” ujar Rhoma Irama di kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Idaman, Jakarta Timur.

Dan ketika demo pun ia ikut hadir

Pedangdut Rhoma Irama hadir di tengah ribuan orang yang turun ke jalan hari ini, (4/11). Sama seperti pendemo yang lain, Rhoma mengenakan pakaian serba putih lengkap dengan kain penutup kepala putih dan sorban hijau. Rhoma juga mengenakan kaca mata hitam.

Ya begitulah kalau sudah benci, sejak 2012 ia sudah tidak suka Ahok dengan mengungkit Cina dan Kristen. Ia hanya melihat dua hal tersebut tanpa mau memperhatikan hal-hal positif yang telah Ahok perjuangkan untuk umat Islam.

Entah lah apakah ini teguran atau karma. Hari ini anaknya yang juga penyanyi dangdut ditangkap polisi karena kedapatan menggunakan narkoba jenis sabu.

“Iya Ridho Rhoma ditangkap,” kata Kabag Humas Polres Jakbar Kompol Purnomo

Ridho Rhoma ditangkap petugas Satuan Narkoba Polresta Jakarta Barat di kawasan Daan Mogot, pada Jumat (24/3/2017) malam, karena penggunaan narkoba jenis sabu.Demikian disampaikan Kasat Narkoba Polres Metro Jakarta Barat, AKBP Suhermanto saat dihubungi wartawan, Sabtu (25/3/2017).

“Dia kami tangkap dengan barang bukti 0,7 gram shabu,” ungkap Suhermanto.

Suhermanto belum bisa menjelaskan lebih perihal penangkapan putra bungsu Raja Dangdut Rhoma Irama. Pihaknya akan merilis penangkapan Ridho Irama ini di kantor Polresta Jakbar pada malam ini. Ridho Rhoma ditangkap polisi di sebuah hotal kawasan Pesing, Jakarta Barat.Dia diamankan petugas di lobi hotel itu dengan barang bukti satu paket sabu. Di samping itu, polisi juga membawa dua rekan yang bersangkutan. Kabarnya, paket sabu yang dibeli Ridho Rhoma seharga Rp 1,8 juta

Tentu kabar ditangkapnya Ridho Rhoma merupakan tamparan keras bagi ayahnya Rhoma Irama yang ketua Partai Islam Damai dan Aman ini. Apalagi sejak tahun lalu partainya sedang berupaya memenuhi syarat kepengurusan wilayah sebanyak 75 persen di tingkat kabupaten dan kota dan 50 persen di tingkat kecamatan.

@gusti yusuf


Pragmatisme Politik Anies Baswedan


DUNIA HAWA - Ketika saya mengetahui Anies Baswedan mencalonkan  diri menjadi Gubernur DKI Jakarta berpasangan dengan Sandiaga Uno, yang akhirnya mengantarkan bersangkutan melenggang ke putaran kedua kontestasi Pikada DKI bersama pasangan Ahok dan Djarot, saya mencoba untuk membaca kembali buku yang ditulis Anies berjudul “Merawat Tenun Kebangsaan; Refleksi Ihwal Kepemimpinan, Demokrasi, dan Pendidikan”.

Seperti judul bukunya, saya langsung fokus ke sebuah tulisan “Ini Soal Tenun Kebangsaan. Titik!”. Tulisan yang pernah dimuat di Harian Kompas pada 11 September 2012 itu sangat menarik, karena bagaimanapun juga, tulisan adalah refleksi dari sikap dan seperangkat tata nilai moral yang dianut penulisnya.

Pada awal tulisan itu Anies menulis, “Republik ini tidak dirancang untuk melindungi minoritas. Tidak juga untuk melindungi mayoritas. Republik ini dirancang untuk melindungi setiap warga negara, melindungi setiap anak bangsa!”. Ini adalah sebuah pernyataan yang sangat keren. Awalnya saya menduga bahwa, nilai-nilai keneragawanan telah terinternalisasi sedemikian rupa pada diri seorang Anies.

Lebih lanjut Anies menulis, “Tenun kebangsaan itu dirobek, diiringi berbagai macam pekikan seakan boleh dan benar. Kesemuanya terjadi secara amat eksplisit, terbuka dan brutal. Apa sikap negara dan bangsa ini? Diam? Membiarkan? Tidak! Republik ini tak pantas loyo-lunglai menghadapi warga negara yang pilih pakai pisau, pentungan, parang, bahkan pistol untuk ekspresikan perasaan, keyakinan, dan pikirannya. Mereka tidak sekadar melanggar hukum, tetapi merontokkan ikatan kebangsaan yang dibangun amat lama dan amat serius ini”.

Menurut saya, bagian ini tambah keren, karena Anies mencoba untuk mengajak kita semua untuk memerangi perilaku-perilaku inkonstitusional. Apalagi perilaku-perilaku yang termanifestasikan dalam kekerasan. Anies, sekali lagi, mencoba mengajak kita untuk memusuhi, entah itu individu, ataupun kelompok yang menggunakan kekerasan dalam memaksakan kehendaknya.

Ini penting. Mengapa? Max Weber mengatakan, “the monopoly legitimate use of physical force”, tidak ada kelompok lain di dalam masyarakat yang boleh memakai kekrasan kecuali (aparat) negara. Ini bukan hanya bertujuan menjaga kedaaulatan negara, tetapi sekaligus menjaga ketertiban di masyarakat. Tertib masyarakat akan hancur jika tak ada monopoli pemakaian kekerasan. Alias The end of nation state. (I Wibowo dalam Negara dan Bandit Demokrasi).

Tapi begitulah, tidak ada yang abadi di dunia ini, kecuali perubahan itu sendiri. Anies telah bertransformasi. Sebagai sebuah makhluk yang unik, seringkali perubahan manusia itu didasarkan atas “kepentingan” manusia itu sendiri. Kini, setelah Anies mencalonkan diri menjadi calon Gubernur DKI, bagaimana mungkin dia bermesraan dengan kelompok yang dahulu dia sarankan untuk ditindak tegas, karena telah, meminjam istilah Anies, “merontokkan ikatan kebangsaan”?

Tapi kita harus menyadari, Anies kini mentransformasikan dirinya dari seorang intelektual-cendekiawan menjadi politisi. Dalam konteks ini, saya tertarik dengan tulisan Munim Sirry: “Kita perlu menampatkan Anies sekarang dan seterusnya sebagai seorang politisi yang sedang bermanuver mencari dukungan untuk mendulang suara. Otak politik (political mind) menuntunnya ke FPI karena memang tidak banyak pilihan lain yang tersedia baginya. 

Setelah elektabilitas calon gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menurun akibat tuduhan penistaan agama yang menjeratnya hingga ke pengadilan, rupanya dukungan calon pemilih tidak beralih ke Anies. Dari berbagai survei terlihat dukungan terhadap Anies stagnan dan tak ada limpahan rahmat dari penurunan elektabilitas Ahok. Alih-alih mendekati dan menarik simpati masyarakat yang semula mendukung Ahok, Anies mengambil jalan pintas menyambangi markas FPI. Dia mengira, dengan mendekati FPI dia akan dapat memperluas basis dukungan. Kalkulasi politik ini tampak prematur dan ongkos yang harus dibayar Anies terlalu mahal”.

Sebagai seorang politisi, fokus pekerjaan Anies kini cuma satu, yakni mencari dukungan sebanyak-banyaknya. Dalam hal mencari dukungan ini, seringkali membuat orang menjadi pragmatis. Dalam konteks inilah kita perlu mendengarkan Julien Benda, yang dia istilahkan dengan “penghianatan kaum intelektual. Yang merujuk pada keterlibatan kaum intelektual dalam politik praktis; takaran-takaran moral bagi sepak terjang kaum intelektual dalam dunia politik praktis. Yang memandang intelektual sebagai dari aparatur negara yang sarat dengan kepentingan praktis.

Ide dasar pragmatisme yang menekankan semata-mata pada realita dan kemanfaatan sesaat menimbulkan sikap inkonsistensi pada penganutnya. Sikap pragmatis cenderung menggunakan segala macam cara untuk mewujudkan suatu kepentingan dengan mengabaikan prinsip-prinsip kebenaran, kebaikan, dan kepantasan. Walhasil, sikap pragmatis ini tidak akan pernah menyelesaikan persoalan secara menyeluruh karena pengusung-pengusungnya hanya melihat kepentingan jangka pendek yang menguntungkan diri atau kelompoknya. 

Bermanfaat dan menguntungkan bukan berarti benar, tetapi hanya sekadar memuaskan naluriahnya. Di sinilah sikap plin-plan dan tidak punya pendirian sangat kentara. Begitu kemanfaatan jangka pendek hilang, mereka akan mencari kemanfaatan yang lain. Akhirnya, persoalan utama yang dihadapi masyarakat tidak akan pernah terselesaikan. Lagi-lagi rakyatlah yang akan menjadi korban. Politik kemudian hanya sekadar alat untuk melestarikan kepentingan elit politik, bukan untuk rakyat.

Begitulah, pragmatisme politik telah merubah seorang Anies. Bagaimana menurut anda?


@iqbalz 


Ahok Merawat Pikiran Cak Nur, Anies Justru Memadamkannya


DUNIA HAWA - Di depan Front Pembela Islam (FPI) Anies Baswedan mengaku telah memadamkan pemikiran Nurcholish Madjid (Cak Nur) di Paramadina. Sosoknya yang diharapkan dapat meneruskan dan merawat pemikiran Cak Nur justru memadamkannya dengan menjual idealismenya demi kepentingan politik semata. Sebaliknya, Ahok selalu konsisten dalam memperjuangkan nilai-nilai perjuangan Cak Nur.

Anies yang merupakan suksesi Cak Nur di Universitas Paramadina seharusnya menjadi garda terdepan dalam merawat ide-ide dan gagasan Cak Nur, bukan malah memadamkannya. Padahal, ide dan pemikiran Cak Nur tentang keislaman dan keindonesiaan perlu kita perjuangkan bersama dalam kehidupan beragama kita.

Cak Nur dengan ide keislaman dan keindonesiaan telah  berhasil membawa nuansa baru dalam kehidupan beragama di Indonesia. Corak kehidupan beragama di Indonesia dibuatnya menjadi lebih toleran dan inklusif. Bahkan, Islam di tangan Cak Nur mampu diramu menjadi Islam yang Rahmatal Lil Alamin, yakni menjadi agama yang ramah dan membawa kedamaian tidak hanya bagi pemeluknya, tetapi juga umat agama lain.

Konsep Keislaman yang dicanangkan Cak Nur dalam melihat kemajemukan atau pluralitas keagamaan di Indonesia sudah menjadi sunnatullah. Bukan dalam arti menyamakan semua agama, namun hanya mengakomodasi keberagaman agama dan keyakinan masyarakat Indonesia. Masyarakat nantinya harus bertanggung jawab terhadap apa yang diyakininya.

Di sisi lain, Konsep keindonesiaan yang digaungkan oleh Cak Nur adalah tidak mencampuradukkan kepentingan politik dengan dogma-dogma agama. Artinya, Cak Nur mengupayakan untuk menduniawikan hal-hal yang duniawi dan mengukhrowikan hal-hal yang bersifat ukhrowi.

Ini semua adalah sebuah fakta historis bahwa sejak dulu para founding father kita merumuskan Indonesia sebagai negara Pancasila. Artinya, Indonesia bukanlah negara agama, melainkan negara yang berlandaskan hukum dan Pancasila sebagai pedoman hidup dalam berbangsa dan bernegara.

Karena dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara di Indonesia yang masyarakatnya beragam, tentu sikap saling menghargai dan menghormati merupakan kunci terciptanya keharmonisan. Selain itu, keberagaman Indonesia merupakan anugerah yang diberikan Tuhan yang patut disyukuri dan dijaga.

Merawat Pikiran Caknur


Pada Kamis (23/3) Ahok sowan ke istri Cak Nur, Omi Komaria Madjid dalam rangka bersilaturrahim. Dalam kesempatan tersebut, Ahok diberikan buku Ensiklopedia Nucholish Madjid, sebuah buku yang memuat seluruh pemikiran Cak Nur yang berjumlah 4 jilid.

Pemberian buku ini menjadi sebuah pesan untuk Ahok dari keluarga Cak Nur agar selalu memperjuangkan nilai-nilai pemikiran Cak Nur. Salah satunya, Indonesia bukan sebagai negara agama, melainkan sebagai negara Pancasila. Selain itu, ketika Ahok menjadi seorang pemimpin harus melindungi segenap bangsa tanpa memandang agama, golongan, suku, etnis, dan ras.

Sebenarnya Ahok sudah mengimplementasikan nilai-nilai yang diajarkan Cak Nur selama ini. Selama menjadi Gubernur Jakarta, Ahok tidak pernah memperlakukan secara khusus terhadap golongan tertentu.

Bahkan, Ahok yang seorang minoritas sangat peduli sekali terhadap Islam. Bagaimana marbot-marbot diberangkatkan Umroh yang setiap 2 bulan sekali berjumlah 40 orang. Selain itu, di era Ahok sebanyak 7 masjid berhasil dibangun dengan megah. Hal ini menjadi bukti kongkret Ahok dalam menjalankan nilai-nilai yang selama ini Cak Nur ajarkan.

Di sisi lain, penggunaan agama sebagai alat politik untuk menjatuhkan lawannya sangat ditentang oleh Ahok. Sebelum kasus penistaan agama di Pilkada Jakarta yang sudah terlihat jelas dipolitisasi, Ahok sudah mendapatkannya ketika menjadi Cagub Bangka Belitung tahun 2007.

Dalam urusan politik, Ahok tidak pernah membawa nama agama dalam perjalanan karir politiknya. Ahok hanya berlandaskan konstitusi yang berlaku di Indonesia, yang mana membolehkan semua warga Indonesia menjadi pemimpin tanpa melihat suku, agama, ras dan etnis.

Pemisahan agama dengan urusan politik memang seharusnya dipisahkan. Selain dapat memecah-belah bangsa, hal ini juga mampu mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara kita sebagai bangsa yang majemuk dan menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi dalam segala bidang.

Bukan hanya menjadi pelajaran saja, nilai-nilai perjuangan Cak Nur Ahok implementasikan dalam kehidupan nyata. Sebagai pemimpin, ia terbukti tidak pernah memandang warganya dari sudut agama apa yang diyakini. Ahok hanya memandang mereka adalah warga Jakarta yang harus dilindungi dan diperhatikan nasibnya.

Anies Memadamkannya


Seharusnya Anies dalam mengimplementasikan nilai-nilai perjuangan Cak Nur harus melebihi apa yang sudah dilakukan oleh Ahok selama ini. Namun, tindakan Anies selama ini justru membuat api perjuangan Cak Nur padam.

Padahal, dulu Anies kerapkali menggaungkan tenun kebangsaan dan sangat anti sekali terhadap ormas-ormas yang bertindak sewenang-wenang. Di samping itu, ia juga begitu geram terhadap ormas yang membawa nama agama dan tuhan dalam pembenaran dalam tindakannya.

Kini, Anies telah berubah. Merajut tenun kebangsaan yang selama ini digaungkannya ia khianati dengan berkunjung ke salah satu ormas yang dulu ia benci, FPI. Kunjungan Anies, tidak lain adalah untuk meminta dukungan politik  dalam pencalonannya menjadi Cagub Jakarta.

Sangat disayangkan, konsistensi Anies dalam menyikapi kelompok-kelompok yang mengatasnamakan agama dan Tuhan dalam pembenaran tindakannya dan memperjuangkan khilafah telah berubah. Anies bukan lagi menjadi garda terdepan dalam menjaga nilai-nilai kebangsaan Cak Nur, melainkan ia kini menjadi pemuja kelompok intoleran demi syahwat politik semata.

Di samping itu, cara-cara berkampanye kubu Anies-Sandi dengan mengintimidasi warga Jakarta dengan ayat dan mayat sungguh keterlaluan. Ayat-ayat suci al-Quran dijadikan pembenaran bahwasanya pemimpin harus muslim. Ditambah lagi, tidak disalatinya jenazah pendukung dan pembela Ahok tergolong perbuatan sadis.

Hal ini menggambarkan konstitusi sudah bukan lagi menjadi pijakan dalam demokrasi kita, melainkan agama. Tentu, hal ini sangat tidak dibenarkan karena Indonesia bukanlah negara agama melainkan negara hukum.

Harapan masyarakat terhadap Anies untuk terus mengawal nilai-nilai perjuangan Cak Nur telah sirna. Nilai-nilai perjuangan Cak Nur yang selama ini Anies perjuangkan telah dipadamkan oleh tindakan dirinya sendiri. Anies tanpa malu dan ragu ia lakukan hanya sebatas kepentingan pribadinya semata, menjadi Gubernur Jakarta.

 Banyak sekali pemikiran-pemikiran Cak Nur yang sangat relevan dalam kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara kita. Sehingga, kita sebagai generasi penerus harus terus memperjuangkan nilai-nilai pemikiran Cak Nur dalam menjaga persatuan dan kesatuan tanpa memandang golongan tertentu.


@ibnu said 


Kefrustasian Politik Muslim


DUNIA HAWA - Pertama, kata ‘muslim’ dan kata yang serumpun dalam tulisan ini, tentu saja dimaksudkan dengan makna sinekdoke totem pro parte: menyebutkan keseluruhan untuk maksud hanya sebagian kecil saja. Ini penting untuk diklarifikasi di awal.

Geliat perpolitikan umat islam mengalami signifikansi secara kuantitas pasca runtuhnya orde baru. Dimana sebelumnya gerak perpolitikannya dikebiri dengan hanya memiliki satu wadah saja, yakni PPP. Meskipun sebelumnya memang umat islam terpolarisasi dalam berbagai partai. Euforia ini nampaknya menjadi momentum yang cukup memberikan catatan akan adanya kesadaran umat islam bahwa dalam sebuah wadah negara, gerakan politik praktis menjadi keniscayaan agar umat islam ikut serta menentukan kebijakan-kebijakan politik yang memberikan warna keislamannya sendiri.

Pasca 1998, kebebasan dalam berdemokrasi menjadi kunci gerbang berdirinya partai-partai Islam. Partai-partai ini mampu meraih suara yang signifikan. Namun pertanyaannya kemana arah gerakan politik islam di Indonesia? Nampaknya inilah yang gagal dijawab oleh para politikus muslim tersebut. Sehingga alih-alih menjadi subjek penentu, umat islam hanya menjadi objek: lumbung suara yang selalu diobok-obok baik oleh politikus nasionalis maupun oleh politikus muslim sendiri. Tidak adanya arah navigasi itulah yang akhirnya menjadikan kefrustasian politik muslim.

Ketiadaannya visi dan kefrustasian yang pada akhirnya mengarahkan gerak politik yang islam selalu menabrak politik sebagai gerakan menuju common good. Hilangnya nilai-nilai etis dalam gerakan politik muslim yang seharusnya bertumpu pada mashalihul ammah.

Pemilu 2014 serta pilkada-pilkada selanjutnya semakin menguatkan citra tersebut. Gerakan politik baik yang dilakukan oleh elite partai-partai islam maupun oleh akar rumput hanya diwarnai oleh benturan-benturan sektarian menandakan kemandegan dari umat islam serta elite-elitenya untuk memformulasikan bentuk pertarungan yang beradab di alam demokratis. Gerakan politik islam hanya berbasis pada pengerahan masa, isu-isu SARA serta propaganda-propaganda naif lainnya.

Isu yang selalu berputar pada isu komunisme, syiah, liberal serta stereotype yang sengaja dibuat untruk mendiskreditkan lawan politik. Alih-alih menawarkan terobosan untuk membangun masyarakat muslim yang civilized. 

Tentu saja, teknik lama yang menjijikan ini, selain hanya akan memperburuk citra islam, juga akan menghilangkan kepercayaan publik terhadap kompabilitas islam dalam membangun civil society. Semakin keras gaung isu-isu tersebut dimainkan semakin anjlok kepercayaan yang diperoleh.

Pemilu DKI Jakarta 2017 menjadi contoh gambaran nyata saat ini, gerakan masa yang nyata politis, terbungkus dengan dalih-dalih agama menandakan kefrustasian umat islam dalam memenangkan pertarungan politik. Selain itu, juga menggambarkan betapa para elite politik muslim memanfaatkannya untuk meraih kekuasaan. Dalam kasus ini, gerakan politik islam justru menjadi kental dengan gerakan politik Machiavellian.

Menjadikan islam sebagai imagined identity untuk menghimpun gerakan politik islam dalam pertarungan politik DKI nampaknya memang berhasil. Namun menyeret islam dalam pertarungan politik praktis, dengan menihilkan nilai-nilai etis islam sendiri adalah kekeliruan besar. Dan sangat disayangkan jika itu dilakukan oleh tokoh yang pernah memimpin sebuah Universitas yang menjunjung nilai-nilai etis islam.

Nampaknya, tidak ada yang bisa diharapkan dari gerakan politik islam pada pemilu maupun pilkada-pilkada yang akan datang. Strategi pertarungan masih akan menggunakan keluguan umat untuk kemudian diarahkan bertarung dengan senjata yang sama. Jika ini yang terjadi, gerak politik islam hanya akan menjerumuskan keluguan umat ke jurang peradaban yang suram dan tidak memberikan maslahat sedikitpun. 

Elite politik yang selalu mendaku memperjuangkan kepentingan umat, harus mulai malu dan menyadari kekhilafannya, lalu kemudian menata kembali strategi gerakan politik untuk kemaslahatan umat.


@doamad tastier


Islam Ramah Yang Menebar Senyum


DUNIA HAWA - Berislam semestinya memunculkan kedamaian, baik damai di hati, damai dalam perbuatan, maupun damai dalam berhubungan dengan orang lain. Dengan adanya kedamaian akan muncul jaminan keselamatan. Baik keselamatan untuk diri sendiri, maupun keselamatan untuk orang lain dan lingkungannya.

Islam memiliki arti selamat. Rasulullah SAW.  sendiri menyatakan, bahwa  seorang muslim  adalah orang yang orang lain terjamin keselematannya, dari gangguan provokasi lisan maupun kejahilan tangan. Rasulullah  SAW. juga  menekankan  bahwa implemntasi keimanan adalah memberikan keamanan dan kedamaian atas harta dan kehidupan orang lain.

Al muslimu man salima al muslimuna  min lisanihi wa yadihi wa al muhajiru man hajara maa naha  Allah ‘ anhu wa almu’minu man aminahu al nasu ’ala dima’ihim wa amwalihim, Seorang muslim adalah orang kaum muslim lainnya terselamatkan  dari lisan dan tangannya, orang yang berhijrah  adalah orang yang meninggalkan  hal-hal terlarang  untuk dilakukannya dan seorang mukmin adalah orang yang memberikan keamanan bagi orang lain atas darah dan harta mereka’’ [HR. Tirmidzi dan Nasai ].

Dengan demikian menapaki jalan keislaman adalah menepiskan ketegangan, rasa ketakutan dan memastikan adanya kedamaian dalam kehidupan. Orang yang mengaku islam tetapi kerap kali menebar teror dan ketakutan jelas bukanlah idealitas seorang  muslim yang dicirikan oleh Rasulullah SAW.

Seorang teroris mudah sekali dikenal dari wajahnya  yang selalu tegang, tak pernah tersenyum, dan tak memiliki selera humor sama sekali. Saya ingin menyebut seorang Sahabat Rasulullah SAW. dari kalangan Ansor yang terkenal sebagai pelawak dan senang melucu. Namanya adalah Nuaiman Bin Amru. Banyak leluconnya yang menyebabkan Rasulullah SAW. tertawa, setiap kali Rasulullah SAW. berjumpa  dengan Nuaiman,  beliau tak dapat menahan diri untuk tersenyum.

Beberapa Sahabat pernah ‘dikerjai’ oleh Nuaiman dan akhirnya tertawa bersama. Bukan hanya Sahabat,  Rasulullah  SAW.pernah ‘ dijahili’ oleh Nuaiman dan karenanya memaklumi tingkah lakunya, karena tahu bahwa itu hanya sekedar lucu-lucuan dan seru-seruan saja agar suasana menjadi cair dan tidak tegang.

Suatu ketika Nuaiman melihat penjual madu  yang kepanasan dan keletihan setelah berkeliling menjajakan madunya di Madinah. Setelah seharian berkeliling tak satupun dagangannya terjual. Nuaiman menemui penjual madu itu dan diajaknya menuju rumah Rasulullah SAW. Setelah mendekati rumah Rasulullah SAW. Nuaiman menyuruh penjual madu menunggu seraya membawa sebotol madu, kemudian berikanlah madu itu kepada Rasulullah SAW.

“Ya Rasulullah , aku tahu engkau suka madu. Oleh karena itu aku berikan madu ini untukmu sebagai hadiah” sepintas Nuaiman senyum-senyum sendiri. Lalu ia menjumpai penjual madu dan mengatakan, “ aku akan pergi  karena masih ada urusan, sebentar lagi penghuni rumah itu akan keluar dan membayar kepadamu harga madu itu “

Sang penjual madu cukup lama menunggu, tapi tak satupun  yang keluar dari rumah itu. Maka ia beranjak menuju rumah dan mengetuk pintu, “ wahai penghuni rumah , bayarlah harga maduku “

Rasulullah SAW. di dalam rumah terkejut, tetapi segera memahami  bahwa ini pasti ulah Nuaiman yang sedang membuat lelucon,  agar Rasulullah SAW. tersenyum. Tanpa  berkata apapun Rasulullah SAW. menemui penjual madu dan membayar harga madu itu.

Tatkala beliau bertemu dengan Nuaiman di kemudian hari, beliau tersenyum dan berkata “ apa yang telah engkau lakukan terhadap keluarga Nabimu wahai Nuaiman ?”. sambil cengengesan Nuaiman menjawab “ ya Rasulullah, aku tahu engkau suka sekali menimati madu. Tapi aku tidak punya uang untuk membeli dan menghadiahkan kepadamu. Maka aku mengantarkan saja kepadamu dan semoga aku mendapat taufiq ke arah kebaikan”.

Lihatlah, betapa kehidupan keislaman di zaman Rasulullah SAW. pun begitu rileks, penuh dengan keceriaan, dan jauh dari ketegangan, apalagi ketakutan dan terror.

Propil Nuaiman kira-kira mirip  seperti Abu Nawas dan Juha, orang-orang yang penuh humor dan membuat kesan islam menjadi ceria dan tidak menegangkan. Sepertinya dalam perjalanan sejarah selalu saja da orang yang menceriakan suasana dengan lelucon dan humor yang menyegarkan, meski terkadang rada usil.

Tangerang,  Mess Guru,  Maret 2017.


@sartaman