Wednesday, March 22, 2017

Jawaban Djarot yang Brilian “Tampar” Sandiaga dengan Elegan


DUNIA HAWA - Sindir menyindir antara Djarot dan Sandiaga memang tidak bisa di hindari lagi. Tapi ada baiknya begitu. Sindiran dibalas dengan sindiran. Dengan begitu, masyarakat DKI Jakarta jadi tahu karakter sebenarnya dari calon pemimpin yang akan mereka pilih nantinya.

Sebelumnya, Djarot yang menyindir Sandiaga karena Sandiaga meminta kepolisian menunda pemeriksaan atas dirinya pada hari Selasa (21/03/2017) kemarin untuk kasus dugaan tindak pidana penggelapan pejualan lahan di Jalan Curung Raya, Tangerang, Banten, pada tahun 2012 yang lalu dengan alasan sibuk kampanye.

“Pak Ahok itu lho setiap Selasa masih disidang, enggak pernah mangkir, taat pada hukum ya enggak,” ujar Djarot di Kebon Jeruk, Selasa (21/3/2017).

Djarot menyindir Sandiaga dengan cara membandingkan sikap Sandiaga dengan sikap Ahok yang tidak pernah mangkir dari jadwal persidangan setiap minggunya. Djarot juga menekankan bahwa padatnya jadwal tidak bisa dijadikan alasan oleh seseorang untuk tidak taat kepada hukum.

Rupanya sindiran Djarot tersebut tidak diterima oleh Sandiaga. Sandiaga juga melemparkan sindiran yang tidak kalah pedasnya.

“Ini perseteruan dua orang super kaya. Mungkin Pak Djarot enggak ngerti kasusnya, kasihan juga komentar sesuatu hal yang dia tidak mengerti,” kata Sandiaga di Recapital Building, Melawai, Jakarta Selatan, Selasa (21/3/2017).

Pedas memang pedas tapi sayang ada yang dilupakan Sandiaga. Sandiaga lupa menyindir dengan “santun” seperti jargon yang diusung oleh pasangannya yakni Anies Baswedan. Sehingga masyarakat menilai sindiran yang diutarakan Sandiaga tersebut menjadi blunder. Mempertontonkan kesombongan tidak pada tempatnya.

Apa balasan dari Djarot? Itu yang kira-kira ingin diketahui oleh masyarakat.

“Jelas saya enggak mengerti, kan bukan kami yang berseteru. Maka, supaya semua orang mengerti perseteruan dua orang super kaya itu, ya datang dong (saat dipanggil polisi),” kata Djarot di Sunter Agung, Jakarta Utara, Rabu (22/3/2017).

Nah, jawaban Djarot yang brilian ini telah “menampar” Sandiaga dengan elegan. Telak! Setelah saya telaah, ada benarnya juga apa yang dikatakan Djarot. Bagaimana kita bisa mengerti perseteruan dua orang super kaya kalau dipanggil polisi saja Sandiaga mangkir.

Kalau Sandiaga datang, nanti akan banyak mulut yang berucap “Ooo… begini toh perseteruan antar dua orang super kaya. Tidak ada jambak-jambakan rambut kayak perseteruan antar dua orang wanita”.

Secara logika, kalau Sandiaga tidak bersedia memenuhi panggilan polisi, berarti memang ada apa-apanya. kalau tidak salah, kenapa mesti takut. Iya kan?

“Berarti memang ada masalah kalau seperti itu,” ujar Djarot.

Tuh, Djarot saja berpikiran seperti orang kebanyakan.

“Saya angkat topi Pak Sandiaga sukses, punya integritas, sehingga kini menjadi pengusaha yang super kaya,” kata Djarot.

Kalau masalah Sandiaga yang super kaya, tidak cuma Djarot tapi semua orang mengakuinya. Itu adalah fakta yang tidak bisa dibantahkan lagi. Tapi mempertunjukkan kesombongan lewat sindiran, itu yang membuat banyak orang tidak berkenan.

***

Pertarungan di Pilgub DKI ini selain panas juga dipenuhi hal-hal menarik. Selalu ada hal-hal tak terduga yang terjadi. Ini bisa menjadi patokan sampingan bagi masyarakat DKI Jakarta untuk menilai siapa yang pantas memimpin ibukota untuk lima tahun kedepannya.

@muhammad hatim


Anomali Anis Baswedan


DUNIA HAWA - Ahok, sekali lagi adalah tokoh yang tengah naik daun, berbagai upaya telah dilakukan oleh pihak yang tidak suka dengan kiprah politiknya di Ibu Kota. 

Gaya berpolitiknya yang kerap menggunakan 'jurus mabuk', membuat sejumlah politikus terusik. Ia melabrak sistem politik di Ibu Kota yang kerap tersandera oligarki, berbagai sektor strategis ia benahi. 

Ia menuai banyak pujian, Ibu Kota kini hadir dengan wajah yang lebih ramah, walau masih terdapat persoalan sana-sini yang masih menjadi pekerjaan rumah gubernur, olehnya kritik menjadi hal niscaya, walau hal itu kerapkali jadi alat yang digunakan lawan-lawan politik untuk menyerangnya.

Usai dulu pembahasan soal Ahok dan segala dinamika politik yang terjadi karena ulahnya. Pada tulisan ini saya ingin mengetengahkan soal Anis Baswedan dan politik sektarian yang kini tengah hiruk-pikuk di Ibu Kota.

Anis Baswedan adalah tokoh pendidikan, kita harus mengakui itu. Jasa-jasanya terhadap dunia pendidikan di daerah-daerah tertinggal melalui program Indonesia mengajar patut diapresiasi, ia adalah lilin di tengah berbagai problematika dunia pendidikan yang melanda wilayah-wilayah yang tak terjangkau berkah pembangunanisme.

Lewat Indonesia mengajar beserta programnya yang lain seperti kelas inspirasi dan turun tangan, nama Anis kemudian dikenal oleh masyarakat secara luas, terutama para guru, praktisi, pegiat dan pemerhati pendidikan. 

Tak ayal, popularitasnya yang semakin meningkat membuat Jokowi yang terpilih sebagai presiden RI pada pemilu 2014 yang lalu, mendudukkannya dalam jajaran menteri kabinet kerja sebagai menteri pendidikan. 

Namun di pertengahan tahun 2016 yang lalu, ia harus menerima keputusan reshuffle, yang membuatnya harus terdepak dari kabinet kerja.

Selain kiprahnya yang populer dalam dunia pendidikan, Anis Baswedan juga dikenal sebagai tokoh muslim moderat. Mantan rektor Universitas Paramadina ini kerap hadir dengan ide-pemikirannya yang mencerminkan toleransi dan pluralisme dengan visi kebangsaan yang adiluhung.

Hal tersebut membuatnya kerap diafiliasikan dengan kelompok pemikir liberal dengan berbagai cap dan stigma yang mengiriginya.

Pembelaannya terhadap kelompok minoritas seperti syi'ah yang kerap menjadi sasaran diskriminasi dan kekerasan kelompok radikal, juga semakin mempertegas garis demarkasi dengan kelompok yang kerap menggunakan cara-cara kekerasan dalam aksinya tersebut. 

Hal itu membuatnya dikenal sebagai tokoh pluralis yang mencerminkan toleransi dan moderasi, sekaligus membuatnya harus menerima stigma sebagai penganut syiah dan pemikir liberal dengan konotasi negatif.

Potret tentang sosok Anis Baswedan di atas seketika berubah saat ia memutuskan maju di kontestasi Pilkada DKI. Ia menjadi orang yang berbeda, banyak yang lalu kecewa, khususnya golongan pro demokrasi. 

Hal itu terjadi, karena di tengah upaya membangun demokratisasi di bangsa ini yang salah satu poin utamanya adalah meneguhkan kesetaraan semua warga negara, ia tampil dengan menggandeng isu SARA dengan gaya politik yang sektarian.

Lawannya yang merupakan seorang Tionghoa beragama Kristen ia dan pendukungnya tampilkan sebagai sosok penista agama dan perusak kebhinnekaan. 

Ia benar-benar diuntungkan oleh kasus dugaan penistaan agama yang menimpa Ahok. Isu agama lalu menjadi kendaraan politik yang efektif mendulang dukungan kelompok sektarian yang terus-menerus beroperasi menghantui warga dengan jualan surga-neraka.

Anis Baswedan dalam Pilkada DKI, benar-benar adalah sosok yang anomali, ia seolah sedang menikmati permainan politiknya di atas isu intoleransi yang semakin menguat, visi toleransi dan moderasinya seolah tenggelam di tengah pusaran kabut kepentingan politiknya untuk menjadi DKI satu. 

Disebut pusaran kabut kepentingan politik, karena para pengusungnya adalah kelompok yang selama ini berseberangan dengannya secara ideologis, kelompok yang giat menghembuskan diskriminasi dan mempraktikkan intoleransi dengan terang.

Anis Baswedan, kini begitu intim dengan kelompok Islam yang dulu sering dikritik bahkan berseberangan dengannya. 

Bahkan, ia mulai menjalin keakraban dengan keluarga Cendana dan anasir kelompok warisan orde baru, sedang kita tahu betul, Anis adalah salah satu tokoh yang dulu kerap mendengungkan kontra orde baru, bahkan menjadi pengkritik Suharto yang ulung.

Inilah realitas dan rill politik ala Anis Baswedan, dengan ambisinya menuju DKI satu, visinya untuk merajut tenun kebangsaan menjadi kata-kata pemanis lidah belaka. 

Dibelakangnya kelompok intoleran bahu-membahu untuk memenangkannya di Pilkada putaran ke dua nanti. Kita tentu tak ingin Ibu Kota, yang menjadi miniatur republik, dikuasai oleh mereka yang kontra kebhinnekaan yang merupakan kodrat bangsa ini. Intoleransi dan sektarianisme adalah antitesa bagi bangsa ini.

@zulfahmi idris

Ridwan Kamil dan Syahwat Politiknya


DUNIA HAWA - Ada yang bilang bahwa majunya Ridwan Kamil sebagai kandidat dalam Pemilihan Gubernur Jawa Barat periode 2018-2023 melalui jalur dukungan partai adalah bentuk penyalurannya terhadap syahwat politiknya secara pribadi.

Benar atau tidaknya, tentu Ridwan Kamil sendiri yang mengetahui hal itu. Kita, terutama saya yang hanya sebagai pengamat amatiran, hanya mampu menerka-nerka tanpa tahu betul isi hati si Akang.

Seperti diketahui, Minggu, 19 Maret 2017, pemilik sapaan akrab Kang Emil ini resmi mendapat dukungan dari Partai Nasional Demokrat sebagai salah satu peserta Pemilihan Gubernur Jawa Barat. Ia sendiri mengaku menerima dengan baik aspirasi siapa pun yang memang berniat baik untuk mendukungnya. Ini adabnya berterima kasih ketimbang dirinya harus menolak dukungan tersebut yang terkesan menunjukkan sikap kesombongan belaka.

“Toh, keputusan pastinya masih jauh. Esok lusa ada tambahan dukungan ya ditunggu, tidak juga ya diterima saja takdirnya,” demikian sikap Kang Emil yang ia paparkan melalui akun Facebook pribadinya, Senin (20/3/2017).

Ya, seperti juga pandangan Kang Emil, setiap pilihan politik tentu punya konsekuensi di masing-masingnya. Memilih yang ini atau itu, pasti selalu akan disertai dengan penolakan juga penerimaan. Dan suka atau tidak, yang bersangkutan tidak harus menjadikannya sebagai halangan. Berani maju untuk menang, hanya itulah sikap yang wajib dimiliki, teruntuk juga bagi Kang Emil.

Terkait dengan syahwat politik, kita harus akui bahwa siapa pun, termasuk Kang Emil, senantiasa akan punya syahwat yang demikian ketika terjun ke dunia politik. Syahwat politik, diakui atau tidak, adalah semacam visi yang mendorongnya untuk bertarung di medan perang yang sebenarnya.

Soal Kang Emil yang tidak mau mengakui itu, saya sendiri tak menjadikan sebagai satu hal yang wajib dipersoalkan. Karena, memang, tiap orang punya strategi tersendiri untuk membangun citranya di hadapan publik. Itu hak masing-masing orang yang karenanya tidak patut dipersoalkan secara lanjut.

Adapun soal dirinya menerima pinangan dari Partai NasDem, mengapa kita yang harus kebakaran jenggot? Namanya juga politisi. Tentu Kang Emil membutuhkan kendaraan politik, dalam hal ini partai politik, guna membantu mengantarkannya ke puncak di mana ia seharusnya berada: Gubernur Jawa Barat.

Penolakan yang Kerdil
Salah satu alasan mengapa Ridwan Kamil banyak ditolak dengan pilihan politiknya ini karena dirinya di-back up oleh partai pendukung penista agama. Ia didukung oleh salah satu pemilik stasiun TV yang identik dengan pendeskreditan agama Islam.

Sehebat apa pun seorang pemimpin, jika sudah berkoalisasi dengan penista agama, maka wajib untuk ditinggalkan. Sungguh alasan yang sangat tidak berdasar alias kerdil sekerdil-kerdilnya.

Jujur, saya justru tambah merasa risih mendengar alasan penolakan seperti itu. Pertama, sampai hari ini Partai NasDem tidak pernah terbukti menjadi partai pendukung penista agama. Lha, wong yang menista agama siapa coba? Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok? Apa buktinya?

Kedua, kalaupun memang iya, bisakah itu menjadi dasar penolakan yang utama? Sungguh, tak ada bukti valid yang menunjukkan bahwa dukungan dari partai penista agama membuat suatu pemerintahan di suatu wilayah menjadi hancur. Tak pernah ada dalam sejarah.

Alasan lain yang juga menjadi dasar penolakan Ridwan Kamil adalah soal konsistensi dan independensi.

Ya, Ridwan Kamil ditolak karena dianggap tidak konsisten secara politik. Ini persis dengan apa yang juga dialami oleh Ahok di Pilkada DKI Jakarta. Sebelumnya, keduanya sama-sama mengaku akan maju dalam kontestasi politik berjalur independen. Tapi apa yang terjadi? Keduanya memilih untuk diusung oleh partai.

Apakah benar ini bentuk penistaan terhadap konsistensi? Saya rasa tidak. Karena, soal konsistensi bukan hanya soal kata-kata saja, melainkan yang lebih utama terletak pada sikap. Dan persis pada titik inilah syahwat politik seorang Ridwan Kamil berfungsi. Pun demikian dengan sikap Ahok di Pilkada DKI Jakarta.

Bahwa keduanya, Ridwan Kamil dan Ahok, sama-sama ingin mengejar mimpinya sebagai pelayan rakyat di daerah pemilihan masing-masing. Bahwa Ridwan Kamil ingin menyelesaikan segala persoalan yang kini melilit Jawa Barat, sebagaimana Ahok yang ingin terus membenahi Jakarta dari segala persoalan yang juga kini melilit Ibu Kota, mulai dari persoalan banjir sampai perilaku koruptif di kalangan pejabatnya. So, bukankah ini sikap konsisten?

Terkait soal independensi, atas dasar apa kita bisa menilai seseorang independen atau tidak jika yang bersangkutan memilih strategi politiknya dengan harus berkoalisi dengan partai ini-itu? Sekali lagi, ini soal strategi kemenangan. Bahwa setiap orang ingin menang dalam sebuah pertarungan. Selama cara yang digunakan tidak mengkhianati proses, maka apa salahnya jika ia memilih untuk berkoalisi dengan partai tertentu atau tidak?

Lagi pula, mendapat dukungan dari partai, bukankah itu adalah sunnah dalam pertarungan politik? Dengan kata lain, tak ada “dosa politik” jika ini yang dijadikan pilihan. Namanya juga sunnah, bukan?

Mari, tak perlulah nyinyir-menyinyiri. Jika hal ini yang terus kita ributkan, kapan kita akan menjadi bangsa yang benar-benar merdeka? Kemerdekaan itu hanya bisa diraih dari sejauhmana kita mampu menggunakan daya berpikir dan bersikap kita secara merdeka pula.

Membatasi orang lain atau diri sendiri adalah bentuk ketidakmerdekaan alias ketidakbebasan. Bagaimana bisa kita merdeka jika kebebasan saja tidak bisa kita miliki dan kuasai? Bagaimana bisa merdeka jika kerjaan kita hanya terarah untuk saling batas-membatasi seperti itu? Mustahil!

@maman suratmat


Ridwan Kamil Mau Kemana?


DUNIA HAWA - Ketika Ridwan Kamil didukung Nasdem secara terbuka, saya sudah yakin kalau ia akan diserang. Ridwan Kamil bisa dibilang -maaf- terlalu naif. Ia berharap mendapat dukungan dari kedua belah pihak yang sedang berseteru keras. Dalam hal ini saya sedang mencoba membagi kedua kubu dalam dua barisan, yaitu barisan garis keras dan barisan nasionalis.

Kedua kubu ini sudah bertempur di pilpres 2014, di Pilgub DKI, dan nanti di Pilgub Jabar, yang kemudian endingnya adalah pertarungan keras di Pilpres 2019. Mereka tidak mungkin bersatu dalam waktu dekat ini.

Kalau melihat postingan di page Kang Emil, bisa terbaca pendukungnya banyak dari barisan garis keras dari komen-komennya. Mereka sangat mendukung ketika kang Emil berkunjung ke Buya Yahya ulama dari Cirebon pendukung aksi 212. Mereka semangat ketika kang Emil mendukung "politik" shalat Subuh berjamaah di Bandung.

Dan sekarang, mereka berbalik arah ketika kang Emil didukung Nasdem. Nasdem -dalam perspektif barisan garis keras- adalah musuh besar mereka. Itu karena Nasdem adalah pendukung Jokowi dan Ahok. Lihat saja aksi mereka ketika mengusir reporter Metro TV di aksi 212, televisinya Surya Paloh ketua umum Nasdem.

Itulah kenapa saya tidak yakin jika di Pilgub Jabar ini, Ridwan Kamil akan berpasangan dengan Kang Dedi Mulyadi.
Kenapa begitu?

Kalau melihat track record kang Emil saat menjadi Walikota Bandung, ia didukung oleh Gerindra dan PKS. Bahkan wakil walikotanya kader PKS. Dan untuk Jabar, PKS hanya mempunyai satu calon, yaitu Netty Heryawan, istri Aher.

Menaikkan Netty sebagai Cagub, jelas resiko besar bagi PKS, karena ia perempuan. PKS akan dituding menjilat ludahnya sendiri terhadap masalah kepemimpinan wanita.

Nah, strategi yang bagus bagi PKS adalah menaikkan seseorang sebagai Cagub dengan Netty sebagai Cawagubnya. Siapa pilihan yang tepat bagi PKS? Tentu Ridwan Kamil.

Kebetulan PKS juga berteman baik dengan Gerindra, dan Prabowo juga belum punya calon kuat di Jabar. Siapa yang memungkinkan untuk dicalonkan Prabowo? Tentu Ridwan Kamil.

Gubernur Ridwan Kamil dan Wagub Netty, persis komposisi Walikota dan Wakil di Bandung. Dan saya masih belum yakin kalau kang Emil kuat untuk menolak tawaran menarik dari koalisi Gerindra-PKS.

Apa sebabnya?

Karena dengan koalisi Gerindra-PKS yang berjumlah 22 kursi, membuat mereka sudah memenuhi syarat untuk memilih Cagub dari syarat KPUD minimal 20 kursi.

Kalau didukung Nasdem, kang Emil bisa apa? Wong Nasdem cuman punya 5 kursi doang di Jabar.

"Lah terus kenapa kok kang Emil gembira didukung Nasdem?".

Kang Emil itu sedang cari perhatian PDIP sebenarnya, yang sudah mempunyai 20 kursi sehingga bisa memilih sendiri. Ia berharap Nasdem bisa merayu PDIP, atau setidaknya dengan berita ia didukung Nasdem, PDIP meliriknya.

Tapi tau sendiri PDIP, keputusan mereka -terutama bu Mega- baru muncul disaat terakhir. Yah deg-degan lah kang Emil. "Gak pasti, nih..."

Karena itu, ada kemungkinan besar ia melompat ke koalisi Gerindra-PKS yang lebih menjanjikan karena PDIP PHP mulu. Dipegang-pegang doang, tapi gak dipakai-pakai.. begitu analogi penganten barunya..

Disinilah kebimbangan besar seorang Ridwan Kamil. Karena itu ia sangat intensif mengangkat namanya di media sosial dengan "membentuk tim pemenangan" di beberapa daerah dan melalui dukungan Nasdem. "Ayo, PDIP... Beli dong guaaaa.. Mumpung lagi Sale".
Pertanyaannya, maukah kang Emil kehilangan pendukung dari barisan garis keras yang sekarang sangat memujanya??

Yang bisa menjawab, "Ayo sana, ambil sepedanya.."

Seruput dulu, ah..

@denny siregar