Monday, March 20, 2017

Beragama dengan Dangkal


DUNIA HAWA - Sejak dahulu, meski tanpa pengetahuan yang memadai, saya tidak pernah percaya bahwa Nabi Muhammad SAW menyematkan kata "kafir" kepada non muslim.

Saya berpatokan bahwa Rasulullah adalah manusia suci dan ketika kesucian beliau bersumber dari sang Maha Suci, maka dirinya selalu berada dalam kebaikan. Beliau diturunkan bukan untuk meng-Islamkan manusia, tetapi memperbaiki ahlak dan menjadi rahmat bagi semesta alam.

Jalan yang dibawanya adalah keselamatan atau Islam, sebagaimana Nabi-nabi yang lain juga membawa jalan keselamatan yang sama kepada umat manusia pada zamannya.

Dan ketika pengetahuan saya bertambah, saya menemukan banyak hal yang mendukung bahwa kata "kafir" itu disematkan kepada mereka yang perilakunya keluar dari tuntunan Tuhan dan Rasul-nya. Itu berlaku juga kepada umatnya sendiri.

"Janganlah kalian menjadi kafir sepeninggalku..." Perkataan ini bukan ditujukan kepada non muslim tetapi kepada umatnya dan secara spesifik kepada mereka yang meng-klaim sebagai sahabat2nya yang berjumlah puluhan ribu orang itu.

Begitu juga dengan bahasa "Jangan menjadikan Yahudi dan Nasrani.." bukan kepada mereka yang Yahudi dan Nasrani secara keseluruhan, tetapi kepada para pendeta-pendeta dan pengikutnya yang dulu menentang dan memerangi beliau.
Dalam ayat lain, Nabi Muhammad SAW juga menyampaikan firman Tuhan, bahwa Yahudi dan Nasrani tidak perlu bersusah hati karena Tuhan memberikan perlakuan yang sama kepada mereka.

Adapun ayat yang tidak membolehkan mengangkat Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin adalah hal yang sangat wajar karena umat Islam harus dipimpin oleh Islam sendiri dalam wilayah ke-umat-an, seperti halnya umat Yahudi dan Nasrani dipimpin dari kalangan mereka sendiri.

Jika agama di ibaratkan "manual book", maka jelaslah yang bisa menjelaskan petunjuk itu adalah dari kalangan sendiri.

Tetapi yang terjadi sekarang bahasanya selalu di-generalisasi, dibuat seolah-olah keseluruhan, apalagi dibumbui oleh kepentingan. Padahal kalau kita pakai analogi sederhana ketika ada yang bilang, "Orang batak itu keras .. " Itu tidak berlaku bagi semua, tapi pandangan rata-rata.

Buktinya saya yang batak ini berperangai halus, santun dan imut tak berkesudahan. (Bentar, nyisir dulu)

Ketidak-mampuan mereka yang menerjemahkan sesuatu berdasarkan konteks "kapan", "dimana" dan "pada saat peristiwa apa" ayat dan hadis itu dikeluarkan, membuat banyak orang terjebak pada teks saja. Parahnya lagi banyak yang ho oh saja ketika ustadnya mengisi otak mereka. Yang penting si ustad berjenggot, jidat kapalan dan celana cingkrang, itu sudah patokan kebenaran.

Beragama itu sesungguhnya dituntut cerdas, karena itulah manusia disematkan akal untuk memahaminya. Jangan menjadi kerbau yang nurut saja ketika dibawa ke tempat pembantaian. Logika-logika harus penuh dulu sebelum meng-imani sesuatu.

Beragamalah seperti secangkir kopi. Ia bisa berada di kalangan menengah bawah sampai atas, tapi ada satu hal yang tidak bisa lepas darinya, yaitu kenikmatan.

@denny siregar


Kebangkitan Islam di Pilkada DKI adalah Omong Kosong


DUNIA HAWA - Politik Indonesia pasca Soeharto pada akhirnya seperti tidak menemukan sintesa atas lahirnya reformasi itu sendiri. Pergantian rezim pasca Soeharto sampai dengan rezim Jokowi, hanya ada dua pemimpin yang mencoba untuk mewujudkan pemahaman dari reformis itu sendiri, yaitu Alm. Gusdur dan Jokowi. Namun tidak sedikit para elite yang lantang pada 1998 ataupun sejumlah aktivis yang bertarung meruntuhkan diktator tekorup Soeharto, harus melacurkan idealisnya demi nama dan kuasa sekaligus populis dalam karya politik.

Singkat saja… Aku ingin sekali menuliskannya!

Pasca reformasi, Politik Nusantara seperti dipahami hanya secara moralis-normatif, yang mana hal itu hasil dari pertarungan kelompok reformis dengan oligarki rente bourjuis kuasa. Indonesia hari ini sedikit mengalami perubahan meski belum secara total, Jokowi adalah pemimpin yang bisa dikatakan reformis, hal ini dapat kita lihat dengan pelan tapi pasti apa yang telah dimandatkan oleh Soekarno sudah mulai berjalan, seperti BERDIKARI, membangun dari pinggiran, kesetaraan (ujung barat s.d ujung timur Indonesia), serta menjalin hubungan bilateral dengan Negara luar dengan tidak melupakan “menang sama menang”, selalu cair dengan rakyat dan tetap dengan kesederhanaan.

Adakah pemimpin setelah Soeharto, yang berlaku demikian? (silakan kawan jawab sendiri).

Kelompok Oligarki yang haus nama dan kuasa, tentunya memiliki ruang yang sempit untuk sewenang-wenang. Dalam hal ini mereka akan melakukan segala cara untuk mengembalikan bentuk dan sistem kekuasaan yang bakal menguntungkan mereka. Salah satunya melengserkan kekuasaan hari ini. Dalam histori Orde Baru, ketika kekuatan militer dan partai tempat berdiri tidak bisa lagi dijadikan alat utama untuk melanggengkan kekuasaan oleh kelas oligarki, maka tak sungkan kelompok tersebut memainkan senjata yang sangat sentiment, agama dijadikan rudal.

Keikutsertaan setiap elemen sosial yang juga banyak dipenuhi oleh kalangan muslim konservatif, dan mobilisasi massa dengan jargon membela agama, tidak lepas dari kerangka oligarki yang haus kekuasaan untuk sebuah agenda yang lebih besar, yaitu mengembalikan kekuasaan yang dapat menguntungkan kelompok mereka. Salah satunya memanfaatkan moment Pilkada DKI yang mana kita ketahui salah satu calonnya adalah non-muslim, kemudian tidak bisa dipungkiri bahwa Cagub tersebut lebih dekat pada kelompok kekuasaan hari ini.

Hom Pim Paaaaaa ….. !

Mereka kelompok yang jahat (Oligarki haus kuasa) menjadikan Cagub tersebut tersangka dengan isu SARA, yang dikomandoi kelompok fundamentalis FPI dan rekan-rekannya.

Sementara pada kenyataannya, aksi bela bela Islam telah memfasilitasi kepentingan-kepentingan capital dan kekuasaaan elite ekonomi politik tertentu dalam kontes pemilihan Gubernur DKI Jakarta. BUKAN perjuangan murni agama. Coba kita lihat kembali, keterlibatan tokoh-tokoh pendukung Anies Baswedan ataupun AHY dalam berbagai aksi yang marak beberapa bulan lalu.

Anies Baswedan yang merupakan salah satu calon gubernur dalam Pilkada DKI pada kenyataannya memberi dukungan dan keterlibatannya dalam acara peringatan ke-51 Supersemar bersama Tommy Soeharto. Dalam hal ini, apakah dapat dikatakan beberapa kelompok sosial yang terlibat dalam setiap aksi dengan nama membela agama belakangan ini adalah murni sukarela. TIDAK!. Dapat kita lihat atas pilihan dari berbagai tindakan mereka, yang tidak dapat dilepaskan ataupun dipisahkan dari struktur sosial yang oligarkis. Sederhananya aksi bela tersebut dapat dikatakan bagian dari instrument oligarki dalam upaya merebut dan mengembalikan kekuasaan yang dapat menguntungkan mereka dan capital.

Tentang Euforia kebangkitan Islam versi mereka melalui berbagai aksi islam menjadi retorika yang digunakan oleh kelompok oligarki dalam mengambil simpati dan dukungan politik, dan hal ini dapat dilihat dengan jelas seperti adanya Tamasya Almaidah, banyaknya para elite yang mendadak berpakaian religi, spanduk-spanduk yang dipasang dengan ayat-ayat suci, kemudian disebarkan secara massive di media sosial.

Ada yang bisa menjamin, bahwa semua ini akan berhenti sampai Pilkada DKI saja?

Bagaimana mungkin bisa berhenti, karena Pilpres 2019 adalah agenda besar dari kelompok oligarki yang haus kuasa yang tentunya tidak menyukai bentuk dan sistem dari kekuasaan hari ini.

Kebangkitan Islam yang didengungkan hari ini adalah retorika dan omong kosong!

Kenyataannya yang dibangkitkan adalah Cikeas kemudian bias dan kini Cendana melalui Oke Oce…

Disisi lain, tidak usah heran jika Anies Baswedan pandai berkata, karena pada kenyataannya sekarang ini bahwa kata menjadi lebih penting dari perbuatan, yang pandai bicara lebih menjadi panutan dari yang kerja nyata. Semoga kita semua tidak terjebak pada permainan karya kelompok oligarki ini. Retorika tanpa pembuktian adalah kesia-siaan. Dalam hal ini tentunya yang kerja nyata dan pro kepentingan rakyat adalah lebih baik karena sesuai amanah UUD 45, Pancasila sekaligus yang dicita-citakan para pejuang terdahulu.

@losa terjal


Anies-Sandi “Mulutmu Harimaumu”


DUNIA HAWA - Semakin hari ucapan Anies semakin membuat gerah. Bicaranya  nyinyir  nggak ketulungan. Sepertinya mereka lupa akan sebuah pepatah “mulutmu harimaumu”. Setelah saya perhatikan narasi-narasi yang disampaikan sepanjang pilkada DKI Jakarta ini selalu sopan, halus namun berisi sindiran yang mematikan. Paslon dengan nomor urut tiga ini makin cenderung menyuarakan provokasi dan propaganda yang memancing perselisihan. Belum termasuk pernyataan-pernyataan implisit yang seringkali bermuatan fitnah dan tuduhan terselubung kepada paslon pesaingnya di kontestasi demokrasi ini.

Bukan hanya Calon Gubernurnya, Calon Wakil Gubernurnya Sandiaga Uno, pun sama seperti itu. Lagi dan lagi Sandi terus menyerang Ahok dengan persepsi dirinya sendiri, dia tidak peduli jika ucapannya nanti akan menimbulkan fitnah.

Berulangkali Sandi mengeluaran statement tentang Ahok yang padahal dia saja tidak yakin akan statement tersebut. Setelah beberapa kali menyatakan pendapat yang bernada fitnah tentang Ahok, Sandi kembali menyerang Ahok terkait kampanye senyap yang dilakukan sang Gubernur Petahana. Tanpa dapat konfirmasi ke Ahok maupun timnya, dia langsung berspekulasi negative. Spekulasi ini mengundang cibiran dari mereka yang tahu alasannya kenapa Ahok melakukan kampanye senyap.

 “Jadi iya memang itu salah satu bentuk kampanye yang tentunya biasanya kalau operasi senyap itu bertemu dengan tokoh-tokoh yang tidak ingin di-publish. Bisa tokoh politik, bisa tokoh bisnis, untuk menggalang pendanaan,” ujar Sandiaga di Jalan Kebon Kelapa Tinggi, Kelurahan Utan Kayu Selatan, Matraman, Jakarta Timur, Minggu (12/3/2017).

Sandiaga menyebut jika pertemuan cagub-cawagub dengan beberapa pengusaha besar dan tokoh politik terkadang tidak boleh dipublikasi. Hal ini mungkin terjadi pada kampanye senyap Ahok.

“Karena yang ditemui Pak Basuki mungkin tidak mau di-expose, baik itu pengusaha, karena terdampak bisnisnya kalau misalnya nantinya Pak Basuki tidak menjabat lagi, maupun tokoh politik yang mungkin terancam posisinya,” sebut Sandiaga.

Sandiaga meminta warga untuk memaklumi aktifitas kampanye senyap Ahok. Pihaknya memandang kampanye senyap yang tidak boleh diketahui masyarakat pasti ada tujuannya, dan ini wajar dalam perpolitikan saat ini.

Sandi juga menilai wajar jika aktifitas kampanye senyap Ahok itu dilakukan dengan berbagai tujuan. Anies-Sandi memandang semua pertemuan dengan berbagai pihak seperti tokoh politik dan bisnis harus dibuka kepada masyarakat.

Sebenarnya ini adalah asumsi yang bisa menyesatkan masyarakat. Sebab Ahok melakukan kampanye senyap bukan dengan tujuan yang disebutkan Sandi. Bahkan sangat melenceng dari tujuan sebenarnya.

Sama halnya dengan Anies, baru-baru ini dia mengeluarkan opini yang tidak semestinya. Celotehan menyangkut Djarot yang menghadiri undangan dari peringatan 51 tahun supersemar di TMII menimbulkan berbagai reaksi. Seperti kita tahu, Djarot dikatai dengan banyak makian ketika menghadiri acara tersebut oleh pendukung Anies.

Kepada salah satu media online, Anies memberikan opini publik yang menyedihkan perihal sikap tak beradab yang ditunjukkan terhadap kesantunan Djarot dalam menghadiri undangan resmi yang beliau terima. Anies menuturkan secara tidak langsung bahwa Djarot layak menerima hal tersebut karena dianggap oleh Anies sebagai pemimpin yang telah melecehkan warganya. Berikut ini kutipan pernyataan Anies di media tersebut:

“Karena itu jangan pernah melecehkan, karena masyarakat juga akan merespon balik. Jadi kalau pemimpin menghargai rakyat, insya Allah rakyat menghargai pemimpin,” ungkap Anies di Kebun Sirih, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu, (12/03).

Anies tak menyadari bahwa Anies justru lebih banyak turut andil di dalam menumbuhkan rasa kebencian di benak pendukungnya. Bukan saja karena basis massa pendukung Anies-Sandi selama ini merupakan kelompok penebar ujaran kebencian dan rasis terbesar seperti FPI, tetapi juga di kala Anies mendapatkan memontum untuk mendinginkan suasana, ia malah menyiramkan “bensin” agar suasana memanas.

Semua dilakukan tak lain hanya ingin mencapai satu tujuan, memenangkan Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 ini. Publik sudah tahu bagaimana Anies merangkul kelompok ormas anti kebhinnekaan semacam FPI dan sejenisnya. Orang-orang seperti ini menghalalkan segalanya hanya demi kekuasaan, termasuk intimidasi dan kekerasan atas nama Tuhan dan keagamaan. Padahal kedua hal ini hakikatnya sangat bertentangan.

Setidaknya ada beberapa hal yang saya garis bawahi atas pernyataan Anies-Sandi yang provokatif dan bermuatan kebencian.

@wilny


Anies Baswedan: Saya Heran Kenapa Ahok Selalu Melanggar Aturan


DUNIA HAWA - “Saya ingin tahu, Pak Ahok terima atau tidak keputusan PTUN, saya heran kenapa Pak Ahok Kekeuh‎ betul untuk reklamasi, kekeuh melanggar aturan,” ujar Anies dengan senyum sinis penuh kemenangan.

Rupanya kini Anies punya senjata baru untuk menghajar Ahok. Anies penuh dengan harap-harap cemas dengan keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang membatalkan proyek reklamasi.

Beginilah kalau Reklamasi dipolitisasi demi kepentingan politik Anies Baswedan agar ia menang jadi Gubernur DKI. Anies lalu melontarkan statement tantangan dengan memposisikan jika dirinya Ahok, maka tidak akan mengajukan banding terhadap putusan PTUN karena reklamasi dinyatakan melanggar tata kelola dan tidak berpihak kepada rakyat kecil.

Statement ini jelas, tujuannya agar Ahok tidak jadi naik banding, sehingga jika Ahok tidak jadi naik banding karena ditantang Anies, maka putusan PTUN itu akan menjadi senjatanya Anies untuk mendiskreditkan Ahok terus menerus.

Padahal Anies tidak pikir bahwa Ahok akan naik banding, seperti dulu kasusnya pulau G. Setelah naik banding, Ahok menang. Ini yang ditakutkan Anies kalau Ahok menang lagi naik banding, maka dia tidak punya senjata untuk menyerang Ahok. Dengan sok bijaknya seolah-olah pro rakyat kecil, Anies Baswedan terus mempertanyakan sikap ‎Ahok yang bersikeras untuk menjalankan proyek reklamasi yang telah batalkan izinnya oleh Anies lalu menuding ngototnya Ahok dalam hal reklamasi sangat berbanding terbalik jika ada aturan-aturan yang berpihak kepada warga miskin, misalnya terkait uang muka nol rupiah.

“Hunian rakyat bawah malah dibuat aturan untuk ditiadakan, sebenarnya memihak kepada siapa, era gubernur yang tidak memihak rakyat kecil harus ditiadakan,” ujar Anies ketus.

Serangan Anies Baswedan dalam hal reklamasi bukan hanya kepada Ahok, namun juga terhadap Presiden Jokowi, ia ditunjukan tanpa malu-malu lagi. Skenario Anies Baswedan jika menang dalam Pilgub DKI ini, maka ia akan memberangus program reklamasi. Dengan tegas, Anies menyatakan dirinya bersama Sandiaga Uno menolak untuk melakukan reklamasi jika terpilih nanti.

Jadi kalau saat ini sempat berubah pikiran, Aniees bulang akan menfukung proyek rejlamasi yang merhoakan proyek pemrinfah ousat, maka itu hajga kamuflase belaka. Sebagai orang yang pernah merasakan sakit hati yang tiada terperi karena dipecat Presiden Jokowi dimana kini satu gerbong dengan oposisi pemerintah, proyek reklamasi ini akan menjadi senjata bagi Anies Baswedan untuk menyerang pemerintahan Jokowi.

Anies Baswedan menilai bahwa ada lebih dari 15 ribu nelayan di Jakarta yang kena dampak buruk reklamasi, menurut Anies yang bijaksana ini seharusnya pemerintah melindungi mereka bukan membuat hidup orang tambah susah. Provokasi terselubung ini tentunya agar ia menang dalam Pilkada DKI dan jadi Gubernur DKI Jakarta.

Anies Baswedan juga menuduh banyak kesalahan prosedur dan aturan yang ditabrak Ahok dalam proses pengurugan pantai di utara Jakarta tersebut. Anies mengaku tak takut dengan siapa pun terkait sikap yang diambilnya ini. Ia mengaku hanya berpegang dengan undang-undang.

Yang lebih tragis lagi, wakilnya Sandiaga Uno bahkan nekat berjanji akan mengembalikan uang warga yang sudah membeli tanah reklamasi jika mereka ia terpilih nanti. Sandiaga bilang ia tidak mau kepentingan reklamasi hanya dinikmati warga yang duitnya banyak.

Saat ditanya caranya bagaimana? Sandiaga bilang caranya gampang yaitu dengan memilihnya dan Anies, maka uang mereka akan kembali utuh. Tuh, kan? Betapa liciknya. Lagipula kalau mau ganti uangnya para pengusaha pakai uangnya siapa? APBD DKI yang Rp 72 trilyun itu?

Ini orang sebenarnya ngerti birokrasi apa nggak sih? Padahal proyek Reklamasi adalah proyek pemerintah pusat, bukan proyek prestisiusnya Pemprov DKI dimana kapasitas Pemprov DKI hanya sebagai pelaksana doang. Reklamasi di pantai utara Jakarta itu merupakan salah satu program prioritasnya Presiden Jokowi.

Sikap tegas Presiden Jokowi tetap pada pendirian dalam proyek Reklamasi tersebut adalah sebagai solusi untuk mengatasi rob dengan mengintegrasikan beberapa pulau buatan menjadi satu, yaitu Proyek Garuda untuk kepentingan nasional dan masyarakat Jakarta.

Dengan suara lantangnya Anies Baswedan dalam proyek reklamasi, artinya sudah mulai ada genderang perang yang ditabuhkan oleh Anies Baswedan. Bisa jadi Gerindra memakai Anies Baswedan untuk menggagalkan proyek reklamasi Karena selama ini apapun kebijakan Presiden Jokowi selalu ditentang oeh Gerindra.

“Jadi nggak usah diplintir-plintir lah sama tim di sana. Sudah jelas kita posisinya dari awal kita ingin agar kepentingan publik di nomor satukan, bukan kepentingan sekelompok orang apa lagi kepentingan komersial saja,” kata Anies.

Dengan ngototnya Anies Baswedan menolak proyek reklamasi, pertanyaan saya sederhana, apa memang bisa pemprov DKI dibawah kendalinya jika ia terpilih jadi Gubernur DKI membantah kebijakan pemerintah pusat, dalam hal ini peraturan Presiden?

Entahlah, saya tidak tahu, apakah sudah dipikirkan matang-matang statement-nya bahwa ia tidak takut terhadap siapapun, dalam artian, sekalipun terhadap Presiden? Saya melihat ada nada sakit hati terhadap Presiden Jokowi disini yang dilampiaskannya dengan menentang habis-habisan proyek reklamasi jika ia terpilih menjadi Gubernur DKI.

Jadi kalau Anies Baswedan bilang dia heran kenapa Ahok yang menurutnya selalu melanggar aturan, maka saya juga heran kenapa Anies ngotot ingin jadi Gubernur DKI, padahal sering asbun.

Kura-kura begitu.

@argo


Sepeda Jokowi


DUNIA HAWA - "Ya sudah, sana ambil sepedanya". Perkataan Jokowi ini begitu terkenal sekarang, sehingga kadang dibuat lelucon di media-media sosial.

Entah kenapa kalimat itu menjadi terkenal, meskipun dalam berbagai kesempatan pakde juga sering bagi-bagi buku ketika ketemu sama anak-anak di jalan. Mungkin karena kalimatnya yang cenderung lugu dan natural, dengan logat medok dan merakyat.

Kenapa juga "sepeda", belum terjawab..

Mungkin juga secara tidak sadar hadiah sepeda itu adalah mimpi Jokowi waktu kecil yang begitu mengidamkan sepeda untuk ke sekolah tapi bapaknya tidak mampu membelinya. Jokowi hanya memendam hasrat melihat anak orang berada naik sepeda, tanpa berniat manja meminta dan merepotkan bapaknya yang memang dalam kondisi tidak ada.

Dan ia berusaha memenuhi impian anak-anak yang sama dengan mimpinya.

Ikon sepeda Jokowi ini kemudian dikembangkan oleh tim kreatifnya di facebook page Presiden Joko Widodo dengan membuat pertanyaan yang berhadiah sepeda. Sampai sekarang, saya melihat postingan pertanyaan itu sudah mencapai 67 ribu like, 93 ribu komen dan 12 ribu share. Dahsyat memang


Sepeda memang alat transportasi yang merakyat. Pada awal-awal kemerdekaan, sepedalah yang menjadi alat transportasi utama. Dan dengan ikon sepeda, Jokowi tanpa sadar juga sudah menunjukkan betapa ia adalah bagian dari rakyat. Insting dasar yang keluar dari kepribadian aslinya...

Ada seorang teman yang mengusulkan, "Seharusnya sepeda itu tidak hanya berbentuk sepeda saja, karena sepeda banyak. Tapi ada satu ciri yang menandakan bahwa sepeda itu dari Jokowi, mungkin berbentuk plat khusus yang dipatri di sepeda itu".

Usul yang sangat bagus, karena pemberian dari seorang Presiden pasti membanggakan penerimanya, apalagi Presiden itu pemimpin yang dia cintai. Dan itu kelak akan diceritakan ke anak-cucunya.

Dan sepeda dengan plat Presiden itu satu saat akan menjadi incaran kolektor dengan harga berlipat-lipat dari harga seharusnya.

Lepas dari itu, kita melihat satu usaha besar dari seorang Presiden untuk mendekatkan diri dengan rakyat yang dicintainya. Hal yang sudah sangat lama tidak kita lihat karena dulu kita dipaksa berpandangan bahwa jabatan Presiden itu sakral dan tidak tersentuh.

Semoga sepeda Jokowi itu bisa menjadi inspirasi bagi generasi mendatang yang bercita-cita untuk menjadi pemimpin, bahwa gelar dan jabatan sesungguhnya hanyalah kesepakatan manusia. Di mata Tuhan kita semua sama.

Kalau Jokowi itu sepeda, saya cukup secangkir kopi yang berusaha memadukan pahit dan manis dan berusaha mencapai titik keseimbangan maksimal sesuai kemampuan.

"Pakde, kapan saya bisa dapat sepeda?".

"Ya sudah, sana ambil sepedanya.. di toko sepeda.

@denny siregar