Friday, March 17, 2017

Jokowi dan Bidak Catur di Jawa Barat


DUNIA HAWA - Dari hasil diskusi kemarin, seorang teman bertanya, "kenapa buat abang pilkada Jabar begitu penting?". Saya senyum dan mengambil secangkir kopi yang tersedia. "Pilkada Jabar ini sangat penting karena berhubungan dengan Pilpres 2019..". "Bukankah Pilpres masih jauh?" Tanyanya lagi. "Memang. Tapi semua partai sudah banyak yang memusatkan perhatiannya pada pilpres. Pilpres ke depan ini akan lebih panas dari sebelumnya. Ini karena banyak yang kecewa pada Jokowi karena kepemimpinannya. Terutama para mafia, mulai dari mafia pangan sampai migas.

Belum lagi negara barat yang kecewa karena Jokowi tampaknya lebih berkiblat ke Timur. Itu tampak dari hubungan dengan China, Rusia dan Iran yang terus meningkat. Apalagi sesudah simbol Amerika, Freeport, diobok-obok.."

"Terus apa hubungannya dengan Jabar?".
"Begini.." aku memperbaiki dudukku mencoba lebih nyaman sambil mengambil sebatang rokok yang siap menyala. "Kuberikan gambar besarnya".

"Pertama, Jabar itu dekat dengan Jakarta, pusat pemerintahan. Sesudah pilgub DKI, pilgub Jabar ini menjadi agenda penting karena berkaitan dengan penguasaan wilayah di sekitar pemerintah pusat.

Kita tahu bahwa pada aksi massa 411 dan 212 kemaren, banyak sekali massa yang dikoordinir dari Jabar. Dan itu rentan sekali dimanfaatkan untuk menggoyang Jokowi ketika mendekati Pilpres. Apalagi jika di DKI Ahok kalah, maka pertahanan pusat akan makin rentan terbuka".

Kuseruput kopiku yang sudah mulai mendingin.

"Kedua, jumlah pemilih di Jabar adalah terbanyak se Indonesia. Ada lebih dari 33 juta pemilih disana. Dan pada pilpres lalu di Jabar Jokowi kalah telak. Ini berkat Aher yang jaringannya sangat kuat disana.

Aher tidak tampak besar di media massa dan media sosial. Tetapi ia menguasai pedesaan melalui masjid-masjid, pengajian dan majelis. Dan strategi dia benar, karena Jabar 60 persennya adalah Kabupaten. Secara lapangan, Jabar adalah pedesaan bukan kota".

Temanku manggut-manggut mengerti dan aku mulai kembali seruput kopi.

"Nah ,pertarungan pilpres nanti akan membawa koalisi yang sama. PDIP dengan koalisinya melawan Gerindra PKS dan koalisinya.

Ini koalisi permanen yang dimainkan di DKI, di Jabar dan di Pilpres 2019. Jadi sudah bisa keliatan kan, bahwa nanti ujungnya ke Pilpres juga?" Kubakar rokokku yang sejak tadi hanya sebagai penghias jari.

"Jokowi kan muslim, apa masih laku isu sektarian untuk menghantam dia nanti?".
"Masak gak lihat bangkitnya Cendana kembali? Soeharto itu dikenal sebagai pemberantas PKI. Jadi isu yang dimainkan untuk menghantam Jokowi adalah isu bangkitnya PKI.

Kebayangkan ketika mendekati pilpres ada gorengan isu "Muslim vs PKI"? Dan ratusan ribu orang dari Jabar kembali bergerak ke pusat pemerintahan untuk menurunkan Jokowi? Bukan niat makar pastinya, tapi untuk menghancurkan kredibiltasnya dan menurunkan suaranya.

Disini saja potensi chaos mudah tercipta...."

Temanku mulai mengerti, "Oh, pantas Aher berencana menaikkan isterinya di pilgub Jabar. Itu untuk menjaga suara yang selama ini dia pelihara rupanya".

Aku tersenyum. Satu persatu kepingan puzzle tersusun membentuk gambar. Kunikmati cangkir kopi kedua yang tadi kupesan. Masih panas, lumayan..

"Lalu kira-kira siapa tokoh yang paling mampu melawan Aher dan kroninya di Pilgub Jabar?". Ah, ini menarik. Tapi sayang sudah malam. Kutepuk bahu temanku, "besok saja kulanjutkan..". Dia merengut seperti patung macan senyum yang sudah dibongkar.

**** part2

"Oke, kita lanjut lagi tentang Jawa barat ya". Temanku menyiapkan kopi, sekali-kali biar dia yang melayani, biasanya minta ditraktir mulu. Dia menunggu cerita yang semakin panas ini.

"Di awal kita sudah bicara betapa pentingnya Jabar untuk pilpres 2019. Karena itulah akan terjadi pertarungan sengit disini 2018 nantinya..

Dan kita tahu, Aher sudah menjabat selama 10 tahun disini. Tentu kaki-kakinya sudah sangat kuat dan kukunya mencengkeram dimana-mana.

Kemaren sudah kita petakan juga, bahwa sebagian besar dari Jabar bukan perkotaan tapi perdesaan. Penguasaan masyarakat desa inilah kekuatan Aher. Ia tidak banyak menggarap masyarakat kota karena sudah di garap oleh kader PKS, partainya..." Aku diam sejenak mengambil nafas sambil mengambil secangkir kopi yang masih panas.

"Karena itulah Aher harus menyiapkan seseorang dari dinasti-nya untuk meneruskan apa yang sudah dibangunnya. Dan siapa lagi yang paling dia percayai selain istrinya ?"

Temanku merapat karena cerita ini semakin menarik. Kami mengumpulkan kepingan-kepingan untuk membentuk sebuah puzzle besar.

"Masalahnya..." Sambungku lagi. "Akan sulit bagi istri Aher untuk menjadi Cagub pada saat sekarang ini karena ia pasti akan diserang dengan isu pemimpin wanita. Karena itu, Aher harus punya calon yang bagus, dimana istrinya nanti akan menjadi wakilnya.

Nah, calon Gubernurnya ini haruslah orang yang dikenal di masyarakat perkotaan, karena kalau desa sudah ia pegang dengan adanya istrinya... "

"Siapa kira-kira yang akan jadi calon Gubernur dari PKS, kalau bukan istrinya ?" Temanku gak sabar kayaknya. Aku ketawa. "Bentar ya.." kuambil rokok dan kusulut dengan santai. Diskusi itu lebih enak tenang dan santai.

"Ada beberapa calon yang memungkinkan.. " Kataku lagi. "Yang pertama adalah Dedi Mizwar..."
"Dedi Mizwar ??" Temanku bengong gak percaya.

"Kenapa heran ?" Tanyaku. "Dedi Mizwar punya nama bagus di Jabar. Ia populer disana. Dan itulah kenapa dulu Aher mengajaknya sebagai Wagub. Dan Dedi sendiri sudah berkata bahwa ia akan ikut di Pilgub Jabar, tinggal menunggu jika ada partai yang melamarnya...

Dedi Mizwar punya pengaruh di masyarakat perkotaan. Duet dia dulu dengan Aher adalah duet maut yang mengalahkan popularitas Rieke dan Teten Masduki, bahkan juga Dede Yusuf.

Memang masyarakat Jabar ini unik. Mereka suka yang berbau agamis. Dan Aher dengan Dedi bisa memadukan itu sehingga mereka dipercaya. Dedi terkenal dengan sinetron2 yang dia perankan yang berbau agama. Maka makin joss lah mereka berdua.."

Aku menghembuskan asap rokok dari bibirku sebentar. Dan temanku semakin tidak sabar..

"Lalu tokoh lainnya selain Dedi Mizwar siapa ?" Tanyanya sambil menggigiti tatatakan cangkir. Dia sudah sangat geram karena aku bergaya Charles Bronson waktu masih pake minyak rambut Mandom. Sok iye, kata emak dulu.

Kulanjutkan, "Masalahnya si Dedi Mizwar ini juga punya kelemahan.." Kataku lagi.
"Iyaaaaa... siapa yang laennyaaaa ???" Temanku matanya merah dan tumbuh tanduk dikepalanya.

"Sabarlah..." Kuseruput dulu kopiku. Butuh 20 menit buat cangkir kopi itu pindah dari tangan ke mulutku untuk mempertahankan gaya Mandom itu. Kebayangkan geramnya temanku ?

"Kelemahannya adalah jika Dedi Mizwar dipasangkan sama Netty istri Aher, PKS akan sendirian. Sedangkan PKS pasti butuh koalisi. Dan koalisi pertama yang mereka butuhkan adalah koalisinya sejak pilpres lalu, yaitu Gerindra..

Koalisi dengan Gerindra ini seperti koalisi sehidup semati. PKS hidup, Gerindra mati.. eh. Dan koalisi yang sudah terjalin baik sejak Pilpres 2014 lalu ini mereka pertahankan, di DKI dan di Jabar..
Jadi pasangan yang diusung haruslah pasangan yang disepakati Gerindra dan PKS..."

"Siapaaaa ?" Temanku mulai nanar pandangannya..

Aku tersenyum dan kembali seruput kopi. Gaya Mandom harus kupertahankan supaya tampak elegan. Dan mungkin butuh waktu sekian puluh menit lagi supaya cangkir ditangan pindah ke mulut.
Daripada kelamaan, mending kuteruskan nanti. 

#Gubrakkkkk... Kudengar suara benda jatuh. Rupanya temanku pingsan..

@denny siregar


Aher “Ngeles” Bangun Dinasti, Pura-Pura Lupa Soal Fatwa Haram Memilih Perempuan


DUNIA HAWA - Belum puas rasa-rasanya dia membangun Jabar menjadi Bandung Lautan Air, atau pembiakan mobil fortuner yang berjumlah 100 unit itu, 10 Tahun memimpin prestasi yang terlihat mungkin saya rasa sangat memprihatinkan, saya juga turut berprihatin karenanya, mungkin turut meneteskan air mata seperti Dedi Mizwar yang menjadi wakilnya. 

Mengenang Sejarah Aher 10 Tahun Menjabat. Kasus 100 Fortuner


Prestasi Aher soal 100 Unit Fortuner bisa dilihat dilaman berikut. Pembelian 100 unit mobil Fortuner pada kala itu menghabiskan duit rakyat sekitar RP 50 miliar, Angka yang luar biasa sekali bukan? Hanya untuk sebuah mobil yang dipakai oleh para pejabat.

Aher tidak mempermasalahkannya. Ketika Aher ditanya soal wacana pembelian mobil tersebut Aher menyerahkan keputusan pembelian itu pada pihak DPRD. Aher tidak mempermasalahkannya. Sangat lucu sekali. Saya bisa membandingkan kenyataan Aher dengan Ahok maupun Djarot.

Pertama soal Ahok, Ahok yang menjadi Gubernur DKI, mampu menolak permintaan DPRD mentah-mentah kalau itu dirasa tidak perlu, Ahok dengan tegas mengatakan “Tidak” sebagai bentuk penolakan. Beritanya ada pada link berikut.

Coba  bandingkan dengan Aher? It’s okey aja DPRDnya meminta apa, memutuskan apa, dia oke oke saja tanpa keberatan. Padahal 50 Miliar adalah uang milik rakyat yang bisa di gunakan untuk mensejahterakan rakyat, tapi malah hanya digunakan untuk 100 Orang DPRD yang mau hidup dalam kemewahan.

Kedua saya mengingat kasus Djarot dulu, ketika dia hanya memakai mobil toyota lamanya sebagai mobil dinas, dan tidak mau untuk mengganti mobil baru. Kedua pasangan serasi ini sama-sama punya prestasi yang tegas untuk menolak apabila dirasa tidak perlu. Beda banget sama Aher, kenapa bisa demikian? Ada yang bisa jawab?

Mengenang Sejarah Aher 10 Tahun Menjabat, Kasus Bandung Lautan Air


Saya sudah sering kali membahasnya pada artikel-artikel saya sebelumnya terkait masalah Banjir yang tak pernah ada solusi selama 10 Tahun ini.

Aher selalu sangat prihatin dan bahkan tidak hanya prihatin, tapi dia juga memberikan doa sebagai solusi, yang ternyata tidak membuahkan hasil apa apa.  Soal banjir tidak perlu dibahas, nanti kabur lagi kayak kemarin sampai sekarang belum pernah ada wawancaranya lagi (padahal saya menunggu)

Beritanya Aher buru buru kabur. Biarkan saja dia jadi gurunya Anies Baswedan dalam Pilkada kali ini, saya tidak perlu membahasnya lagi.

Mau dibahas masalah yang lain tidak perlu, cukup sekian dulu. lanjut kemasalah inti sekarang.

Aher Beri Restu Istri Maju Pilgub


Tidak hanya memberikan restunya, Aher juga membantah kalau pencalonan istrinya ini terkait dengan Politik Dinsti.

Lucu banget ya, Bukan politik dinasti lantas apa dong pak? Kenapa harus istri bapak? Bapak sudah 10 Tahun, sekarang istri bapak nambah 5 tahun lagi? Super sekali ya pak. Berarti wacananya 15 Tahun ini akan ada Fortuner jilid 2 atau Bandung Lautan Air episode ke 99 kalu ya pak?

Terlepas dari Aher yang tidak mau menyerahkan tahta kepimimpinannya dijabar ini, saya cuma melihat satu hal yang unik. Calon yang di usung menggantikan dirinya itu adalah Istrinya sendiri, seorang “perempuan”
Apakah kalian lupa ketika Megawati akan maju menjadi Presiden 2004 silam, PKS langsung menghujat dengan alasan memiliki pemimpin wanita adalah haram hukumnya. Pura-pura lupa atau memang di anggap tidak ada pernah ada sejarah seperti itu ya?

Keren memang PKS ini, kalau dari partai yang bukan partai mereka atau koalisinya maka “Haram” hukumnya, Fatwa dikeluarkan, isu agama lagi-lagi ditebar, kebiasaan dari jaman dahulu hingga sekarang belum pernah berubah.

Kalau gitu saya sekarang juga memainkan isu yang sama. Lupakah pak Aher dengan fatwa itu? Padahal MUI sudah menengaskan bahwa fatwa seperti itu tak perlu ditanggapi.

Kenapa ya isu agama ini selalu dibawa-bawa setiap kali ada pemilihan kepala daerah / pemimpin? Saya sungguh prihatin atas demokrasi kita yang jauh dari maju. Ego kekuasaan dan bagi-bagi Fortuner seperti diatas itu sangat menjamur dikalangan para pejabat.

Di jaman yang serba maju ini  rasa-rasaku kita belum merdeka, merdeka dari orang-orang terdahulu yang selalu memperkaya diri dan kerabatnya saja, ketimbang mensejahterakan rakyat Indonesia. Semoga rakyat Indonesia kali ini bisa lebih cerdas dalam memilih.

Sekian dan Terimakasi.

@bani

Wow Serem, 800 Ribu Umat Islam Non DKI Sudah Daftar Buat Awasi TPS di Jakarta


DUNIA HAWA - Kalau ada rekor Guiniess Book of Records tentang Pilkada paling norak sepanjang massa, mungkin Pilkada DKI 2017 ini masuk hitungan. Baru kali ini dalam sejarah ada pilkada dimana sejumlah 800 ribu umat Islam garis keras di berbagai daerah yang telah mendaftarkan diri ingin ke Jakarta untuk jaga TPS-TPS.

Padahal ini pemilihan kepala daerah, bukan pemilihan kepala agama, namun yang konyolnya kok bisa ada orang dari luar daerah yang bukan warga DKI Jakarta dan tidak ada hubungannya dengan pilkada daerah mereka yang ingin datang ke Jakarta untuk jaga seluruh TPS di seantero Jakarta.

Menurut sang penggagas aksi tersebut yang juga merupakan Pengacara Gerakan Pengawal Fatwa MUI sekaligus Ketua Gerakan Kemenangan Jakarta, Kapitra Ampera, semenjak pendaftaran untuk mengikuti Program Tamasya Al Maidah yang dibuka pada hari Rabu tanggal 15 Maret 2017, sudah terdaftar 800 ribu umat Islam dari berbagai daerah yang mendaftar lewat aplikasi online.

Program yang dinamakan tamasya Al Maidah itu mengajak umat Islam dari daerah-daerah lain untuk datang ke Jakarta mendatangi tempat-tempat pemungutan suara untuk mengawasi proses pilkada Jakarta putaran kedua yang akan diselenggarakan pada tanggal 19 April 2017 mendatang.

Menurut Kapitra, ini soal Islam, agar adil. Menurut Kapitra yang paranoid ini, aksi  tamasya Al Maidah pada tanggal 19 April 2017 agar pelaksanaan pilkada di Jakarta dapat berlangsung aman dan adil dimana umat Islam yang akan mengawasi semua TPS di Jakarta, berperan sebagai wasit.

Kapitra bilang bahwa yang protes dan tidak setuju dengan aksi Tamasya Al Maidah berarti tidak suka Jakarta aman dan damai dalam momen pilkada yang akan datang.

“Kalau ada yang menolak, ini berarti orang tidak cinta damai. Tidak cinta pilkada berkualtias, yaitu yang fair, yang jujur adil dan transparan,” ujar Kapitra dengan sok yakin.

Yang jelas tindakan Kapitra ini sudah masuk dalam kategori inkonstitusional karena melebihi wewenang negara dalam urusan Pilkada. Selain itu dengan adanya pengerahan massa besar-besaran dari luar daerah ke Jakarta pada hari H pilkada DKI 2017 nanti tanggal 19 April 2019 hanya akan berpotensi intimidasi kepada warga yang mengikuti pilkada DKI agar warga Jakarta takut pilih no 2, khususnya saudara-saudari kita dari ras tionghoa.

Padahal sesuai aturan, hari H Pilkada adalah hari yang steril dari berbagai kepentingan. Tidak boleh ada penggalangan massa dari luar Jakarta karena selain akan mengganggu ketertiban dan kenyamanan warga Jakarta yang melaksanakan hak pilihnya, juga dapat menimbulkan gesekan.

Penegerahan massa dari luar Jakarta pada hari H 19 April 2017 nanti akan berpotensi terjadinya kekacauan dan bentrok fisik antara warga Jakarta dan para pendatang dari luar Jakarta. Intimidasi dengan memobilisasi dan mengarahkan massa jelas-jelas hanya akan mengganggu proses pilkada yang jurdil, bebas, dan rahasia.

Politik dan agama adalah dua hal yang berbeda, seperti air dan minyak. Jadi tidak bisa disatukan. Jika pengerahan massa dari luar Jakarta pada hari H pilkada DKI dibiarkan terjadi atas nama agama, maka ini hanya akan menjadi preseden buruk dimasa yang akan datang.

Jalan pintas yang mereka tempuh untuk menghabisi Ahok adalah melalui isu agama. Tamasya Al Maidah ini adalah bentuk frustrasi paslon penantang Ahok-Djarot karena adanya kekhawatiran dan ketakutan yang teramat sangat dimana mereka sudah memprediksi bahwa Ahok dan Djarot akan memang dalam putaran kedua nanti.

Mengerahkan massa dari luar daerah ke Jakarta untuk ikut campur urusan pilkada DKI dengan dalih agama adalah bentuk kehabisan akal yang berujung pada keputusasaan.

Pertanyaan yang paling mendasar dari aksi tamasya Al Maidah ini, siapakah aktor intelektual dibalik layar sebagai penyandang dananya? Tentunya kita semua sudah bisa memprediksi, suapa orangnya.

Kura-kura begitu.

@argo


Semampang Anies Resmi Menjadi Gubernur Jakarta


DUNIA HAWA - Membaca semua berita tentang rencana dan manuver politik Pak Anies Baswedan, membuat saya membayangkan, apa jadinya Jakarta seandainya dipimpin oleh beliau.

****

Satu hari di Bulan September 2018, di salah satu Halte Busway Jakarta.

Di tengah antrean panjang Busway, perhatian saya tertuju pada layar TV yang disediakan, akhir-akhir ini berita ASEAN Games terus membombardir media massa, tapi saat itu di layar kaca, saya melihat sosok Pak Anies Baswedan dengan seragam PNS sedang diwawancara, tidak soal ASEAN Games, namun soal Pilpres 2019.

Bulan Oktober 2017, Anies Baswedan dilantik menjadi Gubernur DKI Jakarta 2017-2023, memang setahun berselang setelah pilkada kontroversial tersebut orang sudah tidak lagi membahas. Kubu Pak Ahok-Djarot sudah move on, para relawan dan simpatisan juga sudah tidak lagi memusingkan, mereka menyayangkan tapi “ya sudahlah”.

Kolom media politik, sudah berganti dengan prediksi pemilihan presiden, tidak lagi membahas penistaan agama, karena Pak Ahok sudah dinyatakan bebas dan tidak bersalah. Seperti yang diramalkan, banyak pihak mulai mewacanakan Pak Anies untuk maju mencalonkan diri menjadi Presiden Republik Indonesia, menantang sang petahana Pak Jokowi.

Ditanya oleh wartawan, Pak Anies menjawab, “Seandainya rakyat Indonesia memanggil, saya siap kembali merajut tenun kebangsaan tapi saya tidak mau memikirkan itu, saya fokus mempersatukan rakyat Jakarta.” Tapi, survei menunjukkan bahwa Pak Anies adalah calon terkuat untuk bersaing dengan Pak Jokowi. Pak Anies dengan cepat menampik, “Pemilihan itu bukan cuma soal data, tapi juga soal rasa.”

Melihat jawaban Pak Anies, orang dengan mudah mengambil kesimpulan bahwa beliau “malu-malu mau”, mungkin sekarang sedang menunggu pinangan dari partai. Walau tidak lagi memerlukan presidential threshold, dukungan partai tetap sangatlah vital untuk bisa lancar bertarung di Pilpres 2019.Pertanyaannya, partai manakah yang berminat? PDIP sudah dengan Jokowi, Perindo dengan Harry Tanoe, Partai Idaman sudah mantap dengan Bang Roma.

Tersisa Demokrat, apakah mereka akan mencalonkan AHY? Bagaimana dengan duo mesra Gerindra-PKS? Apakah Prabowo masih berminat terjun atau takut kalah dua kali oleh Jokowi? Atau Prabowo meminang Anies untuk jadi calon wakilnya? Semua belum pasti, tahun 2019 akan terlihat dengan jelas peta politiknya. Sebagai masyarakat biasa, saya cuma berharap drama politik ini tidak membuat bikin susah rakyat.

Dari sejarah Pak Anies yang pernah ikut konvensi pemilihan calon presiden di Partai Demokrat, jelas Pak Anies memiliki hasrat untuk menjadi Presiden. Menjadi Gubernur DKI Jakarta, sepertinya cuma menjadi batu loncatan, sebelumnya beliau tidak pernah menunjukkan minat mengurus orang, atau membahas sesuatu di luar dari expertise-nya, dunia pendidikan.Keahlian beliau adalah membuat wacana, tapi eksekusi sering tidak berjalan.

Banyak program-program terdahulu  menjaditersendat, Pak Anies seperti tidak tahu apa yang sedang dia hadapi. Ibukota yang dulu sempat mengeliat bangun dari tidur panjangnya, sekarang sepertinya dipaksa untuk kembali terlelap.

“Jangan dorong-dorong, Pak!” teriak seorang Ibu yang ikut mengantri dengan tidak nyaman, sambil membekap tas-nya di dada.Entah siapa yang dia teriaki, karena halte ini penuh sesak. Makinsore kondisi halte busway ini semakin tidak nyaman, bau keringat orang pulang kerja bercampur dengan bau asap kendaraan yang masuk di halte. Antrean memang tidak sepanjang biasanya, karena banyak yang ‘menyerah’ dengan transjakarta dan kembali memilih angkutan kota.

Pak Anies menepati janjinya, dia mengalihkan subsidi Transjakarta ke angkot, akhirnya Jakarta semakin penuh dengan angkot yang ugal-ugalan. Jakarta menjadi mirip dengan kota Bogor, kota yang menurut Waze dua tahun lalu adalah kota nomor dua dengan lalu lintas terkacau di seluruh dunia.

Saya melirik jam tangan, sudah 45 menit menunggu, jumlah bis yang mencapai ribuan yang pernah dibeli Pak Ahok seperti tidak memberi pengaruh sekarang. Bis tidak bisa lewat dengan jalur yang dipenuhi oleh angkutan kota. Jakarta semakin macet,walau orang kaya sudah susah membeli mobil mahal, karena kebijakan Pak Sandi, tapi tetap saja orang akan membeli ‘mobil tidak mewah’, sama sekali bukan solusi yang jitu, dan harusnya ditelaah terlebih dahulu.

Di lain sisi, MRT, LRT dan ERP tidak kunjung rampung, menurut berita, anggaran sedang disesuaikan di meja DPRD, sehingga waktu penyelesaian pun menjadi molor. Di periode ini, sudah tidak lagi berita ribut-ribut antara DPRD dan Pemprov DKI, mereka terlihat sangat mesra.Saya merindukan gubernur yang ‘tidak santun’ itu.

Bosan menunggu, dua orang pemuda yang memakai seragam SMA mencoba menyalakan rokok di tengah kesumpekan. Seperti paduan suara, semua orang kompak memaki, termasuk saya, suasana panas sepertinya memang membuat jadi lebih mudah emosi.

Mendengar penolakan orang-orang, kedua pemuda tersebut langsung membuang rokok mereka yang baru terbakar di ujungnya. “Tenang, nanti beli lagi.” Kata salah satu dari mereka sambil tersenyum mencoba menghibur temannya. “Kan ada KJP plus. Bisa ambil tunai.”

Mendengarnya sudah bikin mual, uang jerih payah kita yang diambil pemerintah, malah diberikan ke mereka dengan percuma untuk merokok. Saya hanya bisa mengumpat dalam hati. Memang tidak diawasi? Tapi bagaimana juga pengawasannya? Mustahil.

Pak Sandi sendiri tidak tahu caranya, hanya bilang akan memantau, tapi memantau seperti apa? Membuat mini-drone yang menguntili setiap penerima KJP? Kebijakan yang aneh.

Namun setidaknya, sekarang saya punya rumah sendiri, kebijakkan Pak Anies DP 0%, atau DP 0 Rupiah, saya lupa namanya karena dulu berubah melulu, pokoknya program yang menjadi andalan Pak Anies,sangat membantu saya untuk mewujudkan mimpi saya untuk punya rumah.

Selama bertahun-tahun hanya sanggup ngekost, setidaknya sekarang saya sudah bangga memiliki rumah pribadi, rumah rusun pribadi lebih tepatnya, hmmm, rumah rusun sederhana pribadi yang paling tepat.Walau lokasinya lumayan jauh tapi setidaknya itu sudah menjadi milik saya.

Handphone saya bergetar, pesan masuk, dari Dinas Perumahan DKI Jakarta.Membaca isi pesannya seperti memutar isi perut saya, mendadak kebanggaan memiliki rumah menjadi sirna. “Tagihan pertama cicilan Rumah Susun Sederhana Pribadi sebesar Rp 2,350,000, sudah bisa dibayarkan melalui ATM Bank DKI.”

Saya mengkakulasi dengan cepat di otak saya, apakah gaji saya sanggup membuat saya bertahan hidup? Apakah setiap bulan harus seperti ini sampai dua puluh tahun? Sepertinya saya tidak akansanggup untuk bulan ini, terpaksa pinjam duit Bapak dulu.

Saya mengetik pesan untuk pinjam duit ke Bapak, semoga dikasih.Kenapa jadi memberatkan begini? Pak Anies dulu dengan heroik berkata program ini adalah wujud keberpihakan kepada rakyat, sekarang yang saya rasakan masalah seperti jebakan-betmen.

Si Bapak menjawab pesan, “Bapak ga ada duit, dipakai jalan-jalan ke Eropa. Bapak nggak mau kalah sama Pak RW yang sudah tiga kali jalan-jalan Jepang, soalnya dia kemarin dapat 3 miliar dari Pak Anies.” 

“Bapak dapat duit darimana kok bisa jalan-jalan keluar negeri?” balas saya penasaran, si Bapak punya kelontong, memang sudah lama dan omsetnya lumayan, tapi untuk ke Eropa mana cukup.Lagian ke Eropa kok nggak pernah ngajak-ngajak anaknya sendiri.

“Dari program OKE OCE! Bapak dapat modal usaha 300 juta buat buka cabang toko kelontong.”

“Jadi bapak sudah buka toko baru?”

“Ya belumlah, kan 300 juta-nya belum cair, masih harus urus surat-surat di kelurahan. Katanya sih cuma bisa dapat 50 juta, karena dipotong ini-itu, Bapak tidak ngerti.”

“Loh! Terus bapak ke luar negeri pakai duit apa?”

“Pinjam tetangga dulu.”

Kepala jadi pening rasanya. Saya mengurut kening yang sudah semakin hangat. Handphone saya masukan ke saku, tidak tahu harus membalas apa ke Bapak. Tidak hanya berurusan dengan cicilan rumah, tapi juga harus memikirkan utang si Bapak.

“Permisi. Permisi.” Saya memutuskan untuk keluar dari halte ini, mencari udara segar. Sepertinya tidak mungkin membelah orang-orang yang berdesakan di belakang, saya terpaksa nekat melompat keluar melalui akses penyambung bis dan halte.

Jalanan yang macet memudahkan saya ke sebrang, beberapa kali saya harus berhati-hati dengan banyak lubang di jalan.Banjir beberapa bulan lalu meninggalkan ‘bekas luka’ di jalanan Jakarta, sampai sekarang belum dibenahi. Meniru sang guru Pak Aher, Pak Anies ingin perbaikan jalan melalui sistem tender, jadi akan memakan waktu berbulan-bulan.

Pak Anies sepertinya menjadi murid yang baik dalam mengikuti langkah gurunya, kemarin ketika banjir, Pak Anies menyarankan untuk rakyat Jakarta berdoa supaya curah hujan tidak tinggi, mirip seperti Pak Aher.

Berbeda dengan dulu, kali ini Pak Anies mampu membawa pemprov DKI mendapat predikat WTP dari BPK dan sampai bulan September ini serapan APBD sudah mencapai 90 persen lebih. Tapi ironisnya, sungai dan kali di Jakarta kembali ditutupi oleh sampah, melihatnya Pak Anies hanya menggeleng kepala, “Warga Jakarta harus bertobat, jangan buang sampah ke sungai.” sekali lagi Pak Anies meneladani gurunya.

Pasukan orange, PPSU, sudah semakin berkurang, katanya anggaran sudah dialokasikan ke program Tiga Miliar tiap RW dan OKE OCE, jadi pemprov tidak sanggup lagi untuk membayar gaji PPSU.

Hari semakin gelap, macet pun tak kunjung selesai. Saya berjalan menyusuri trotoar, sesekali harus minggir ketika ada motor yang naik ke atas trotoar. Merasa “terusir” dari trotoar, saya mampir ke taman untuk istirahat sejenak. Tempat ini dulunya RPTRA tapi sekarang sepertinya tidak lagi ramah anak, lebih banyak pemuda berseragam ormas nongkrong di sini. Mereka sering sekali melakukan tindakan premanisme dan main hakim sendiri dengan alasan sweeping pasangan yang mesum di taman.

Pandji, jubir kampanye Anies-Sandi, dulu sesumbar bahwa Pak Anies adalah sosok yang sanggup menyatukan Jakarta.Nyatanya tingkat intoleransi di Jakarta meningkat, sekali lagi, Pak Anies meniru ‘prestasi’ Pak Aher. Karena ingin membahagiakan semua orang, Pak Anies seperti membiarkan yang mayoritas menekan yang minoritas. Tidak ada ketegasan dari Pak Anies, hanya niatan menyatukan Jakarta.

Aneh, pikir saya, tidak semua orang di Jakarta ini berniat baik dan memiliki motivasi yang baik. Menyenangkan mereka dan semua orang yang memiliki konflik kepentingan, adalah tindakan menjaring angin, alias sia-sia.

Pusing memikirkan Jakarta sekarang, saya mengambil botol air minum dari dalam tas lalu menegaknya. Saya mengistirahatkan punggung yang lelah dengan bersandar di tembok yang dulunya bersih sekarang penuh coretan “S.O.T.R”.

By the way, ke mana Pandji sekarang? Dia kembali sibuk tur dunia, dia mungkin tidak mau pusing urusan masyarakat kecil, apa yang dia lakukan dulu terlihat seakan mencari panggung untuk menunjukkan bahwa dia adalah orang hebat, dan ingin diakui sebagai orang hebat. Seperti dia bangga membawa Faisal Basri mendapat 5 persen, demikian dia bangga membawa Anies Baswedan mendapat 50 persen lebih. Bagaimana kondisi Jakarta setelahnya?

Dia tidak ambil pusing, yang penting dia sudah menepuk dada dan berkata “Nasioal-is-ME”, mungkin sekaligus kode setelah ini dia akan kembali menjadi jubir Pak Anies di Pilpres 2019, skala nasional!Who knows.

Handphone bergetar, Bapak menelepon.

“Ya Pak?”

“Besok temenin Bapak ke kantor gubernur yah. Bapak mau lapor ke Pak Anies masalah duit yang belum cair-cair dari kelurahan”

“Yakin? Bapak bukannya suka mabuk laut kalo naik kapal?”

“Loh kan ke Balai Kota bukan ke Lampung!  Masa naik kapal?”

“Pak Anies kan sekarang kantornya di Kepulauan Seribu, Pak.”

“EALAH! BIKIN SUSAH AJA!” teriak si Bapak.


@atefy akuba


Anies, Tommy dan Zig-Zag Politik Keluarga Cendana


DUNIA HAWA - Keluarga Cendana mulai bangkit kembali dengan memasuki gelanggang politik. Mereka menggunakan isu-isu romantisme Orde Baru, lobi politik untuk gelar kepahlawanan (daripada) Soeharto, dan memainkan jaringan kekuasaan serta modal kekayaan yang selama ini ditimbun dari uang rakyat.

Manuver politik keluarga Cendana sangat terasa pada Pilgub DKI 2017 ini. Gerakan-gerakan politik Cendana, melalui Tommy Soeharto, Tutut Soeharto dan Titiek Soeharto yang membangun aliansi dengan kelompok Islam dan front politik dari kelompok Prabowo Subianto, yang merupakan (mantan) menantu Soeharto.

Zig-zag politik Keluarga Cendana sangat terasa dengan mengambil momentum Pilkada DKI untuk panggung politik mereka. Tommy dan Titiek Soeharto membangun kedekatan dengan pasangan calon Anies Baswedan-Sandiaga Uno. Pasangan calon ini menggabungkan kekuatan massa dari Islam garis keras (FPI) dan kekuatan Orde Baru. Sungguh mengerikan. 

Kedekatan Anies-Sandi dengan Keluarga Cendana mulai mengemuka sejak Februari 2017 lalu. Pasangan calon ini, bertemu dengan Siti Hediyati Hariyadi (Titik Soeharto), yang kini menjadi anggota DPR-RI dari Partai Golkar. Pertemuan berlangsung pada Rabu (22/2) di kediaman Titiek, di kawasan Menteng, Jakarta Pusat.

Pada pertemuan ini, hadir pula Prabowo Subianto, mantan suami Titiek yang kini menjabat sebagai Ketua Umum Partai Gerindra, partai pengusung utama Anies-Sandi.

Dukungan ini, jelas tampak sebagai keberpihakan keluarga Cendana dengan kelompok Anies Baswedan-Sandiaga Uno. Namun, paslon ini ngeles, bahwa dukungan bersifat pribadi, bukan atas nama rezim Orde Baru. “Setahu saya (dukungan) pribadi saja, bukan dari keluarga Cendana. Bagi kami dukungan dari setiap warga negara itu penting dan amanah. Karena itu, kami akan pegang sebaik-baiknya,” ungkap Anies, seperti dikutip Kumparan (12/3).

Pada Sabtu (11/3), diselenggarakan pengajian di Masjid at-Tien. Pengajian ini, diselenggarakan untuk memperingati Supersemar dan Haul Soeharto. Pada pengajian ini, hadir Imam Besar FPI, Ustadz Rizieq Syihab, Arifin Ilham, Prabowo Subianto, dan barisan keluarga Cendana.

Narasi Anies-Tommy


Tommy Soeharto sepertinya sedang menata langkah menuju kekuasaan. Ia sedang memainkan bidak-bidak catur dalam panggung politiknya, menggunakan kekuasaan dan infrastruktur keuangan yang dimiliki jaringan Keluarga Cendana. Manuver Tommy harus dibaca sebagai langkah politik untuk menyusup ke panggung politik. Dan, Pilkada DKI Jakarta menjadi test-case yang penting untuk menata langkah ini. 

Isu-isu yang dimainkan di ruang publik maupun media sosial untuk mengenang Soeharto, sangat kencang. Kampanye bertajuk “Piye Kabare, Enak Zamanku to?” merupakan upaya untuk membangkitkan romantisme Orde Baru terhadap warga negeri ini. Upaya mengenang Orde Baru ini, menjadi bagian untuk memainkan 

Tommy Soeharto pernah menjadi aktor kriminal, karena pembunuhan terhadap Ketua Muda Bidang Hukum Pidana Mahkamah Agung (MA), Syafiuddin Kartasasmita (60) pada 2001. Pada waktu itu, korban diduga dibunuh karena menjatuhkan vonis hukuman penjara 18 bulan serta denda 30 miliar kepada Tommy yang dianggap bersalah, karena kasus tukar guling PT Goro Batara Sakti (GBS) dan Bulog. Pada waktu itu, Tommy kabur ketika hendak dijebloskan ke tahanan.

Pembunuh Syafiuddin Kartasasmita memang bukan dari tangan Tommy, namun ia sebagai otak di balik peristiwa keji ini. Dua pembunuh bayaran menghabisi nyawa Kartasasmita. Tim pelacak dari Polisi, yang dikenal sebagai Tim Kobra bergerak dan bekerja keras untuk menangani kasus ini. Akhirnya, Tommy tertangkap.

Pada waktu itu, dua pembunuh bayaran yang menjadi anak buah Tommy dihukum seumur hidup. Sementara, anak mantan Presiden Soeharto ini divonis 15 tahun penjara. Kemudian, Mahkamah Agung memutuskan pengurangan hukuman untuk Tommy menjadi 10 tahun. Singkatnya, dengan beberapa kali keringanan hukuman, Tommy hanya menjalani masa tahanan selama 5 tahun saja.

Jaringan gelap dan kekerasan Tommy sudah terjadi sejak ia masih muda. Ia dikenal sebagai putra Soeharto yang paling flamboyan, dengan beragam sepak terjang di dunia bisnis, preman dan kekuasaan. Pada 1980an, ia diduga menggunakan tentara untuk memaksa sejumlah pemilik tanah di Nusa Dua serta Pantai Dreamland Bali untuk menjual tanah dengan harga murah. Intimidasi dan ancaman kekerasan dari aparat militer yang digunakan Tommy untuk menekan rakyat kecil.

Karena kelakuan ini, serta pola bisnisnya yang makin tidak terkontrol, Benny Moerdani pernah mengingatkan presiden Soeharto untuk membatasi anak-anaknya. Benny merasa, tingkah polah anak-anak presiden Soeharto akan berbahaya bagi Orde Baru, legitimasi presiden dan menyengsarakan rakyat. Di luar dugaan, Soeharto malah menyingkirkan Benny karena kritiknya terhadap anak-anaknya yang dibela oleh Bu Tien.

Kita perlu jeli memahami relasi kuasa di Pilkada DKI 2017 ini, yang menjadi titik tolak politik Indonesia masa depan. Jangan sampai, Pilkada hanya menjadi panggung politik dari Keluarga Cendana, yang ingin memainkan bidak catur dalam politik masa kini.

@zuliansyah


Anies Baswedan dan Terorisme Model Baru


DUNIA HAWA - Pilkada DKI Jakarta menjadi pusat percontohan dari berbagai sudut. Diantaranya tentang demokrasi dan kemejemukan, politik sehat, dan juga isu SARA. Menariknya lagi selain daya tarik sebagai ibukota, paslon-nya merepresentasikan keragaman. Dari situ lah demokrasi di Jakarta diuji, apakah dengan mudah warga Jakarta termakan isu SARA atau tidak.

Putaran kedua kali ini semestinya muncul demokrasi yang sehat. Sebagaimana helatan pesta rakyat, pemilu adalah wujud demokrasi yang menyenangkan. Jangan sampai demokrasi sehat menyenangkan ini dinodai oleh fitnah, kebohongan dan juga kebencian.

Sayangnya, politik Jakarta hampir kehilangan orientasi. Politik identitasnya lebih kuat dibanding dengan orientasi kebangsaan. Politik tidak lagi sehat sebagai tujuan mewujudkan kesejahteraan rakyat. Politik jadi ajang rebutan kursi kekuasaan menggunakan berbagai cara.

Salah satunya menjadikan agama sebagai senjata berpolitik. Tindakan provokatif berupa ancaman agama sungguh tidak bisa dibenarkan. Sekali lagi perlu ditegaskan memanipulasi agama dalam tujuan-tujuan politik adalah sebuah penistaan. Apalagi menakut-nakuti jenazahnya tidak akan dishalatkan.

Ancaman demi ancaman di Jakarta telah meneror banyak warga beragama. Ini teror yang perlu diwaspadai bersama. Sudah sangat berlebihan kontestasi politik di Jakarta dengan mengancam warganya. Politik akhirnya tidak lagi menyenangkan tapi malah menyeramkan.

Anies Baswedan salah satu representasi paslon dari seorang aktifis-akademis. Tutur katanya halus, memikat. Semoga bukan sebuah kepura-puraan. Apalagi kalau bukan kepura-puraan. Politik ‘pura-pura’ lagi trend akhir-akhir ini, pura-pura santun tapi menebar ancaman, pura-pura taat tapi bermitra dengan kekerasan.

Ancaman berupa apapun yang meresahkan itu teror. Tidak bisa dibenarkan. Kita sudah menabuh genderang perang melawan terorisme. Kewaspadaan ancaman teror kita analisir melalui berbagai cara, mulai dari tingkat bawah hingga atas.

Namun kini ada terorisme model baru, yakni politik intoleran. Bahaya terorisme model ini menebarkan fitnah kebohongan kepada publik. Bahkan tidak sedikit melakukan ancaman. Ledakannya menimbulkan kecemasan publik. Ancamannya menjadikan kesenangan menjadi ketakutan.

Politik intoleran menjadikan agama sebagai sarana. Tidak sedikit menyerang atas nama kekuatan keumatan mayoritas. Teror model baru bernama politik ini tidak sekedar menyerang lawan, namun menyerang warga. Bahaya terornya mengakibatkan rasa khawatir bahkan permusahan.

Teror oleh politik intoleran memecah belah persatuan. Biasanya sesama tetangga baik-baik saja sekarang jadi bermusuhan karena beda pilihan. Biasanya berteman dengan orang berbeda agama kemudian juga bermusuhan. Demikian baya politik intoleran jika terus dibiarkan berkembang.

Terorisme politik kini telah bertindak luas. Khususnya di Jakarta, warga mesti tau benar mewaspadai bahaya politik intoleran. Membiarkan kelompok intoleran menguasai publik-politik sama saja menyerahkan demokrasi kepada sebuah masa depan yang suram.

Tidak mudah memang menganalisa sejarah hubungan politik dan agama. Sejauh ini hubungan keduanya tidaklah baik. Politik menjadikan agama sebagai faktor keumatan untuk mendulang suara. Dalam perkembangannya agama memang berada diluar jalur politik.

Sebagaimana ideologi kaum intoleran, seperti halnya terorisme. Mereka menebar wacana ideologis melemahkan nilai-nilai kebangsaan. Namun gagal. Kemudian memilih jalur politik untuk mencapai tujuannya. Inilah kewaspadaan yang perlu dipahami bersama, bahwa ada terorisme dalam dunia politik.

Indikasi kalangan intoleran sudah sering kita dengar. Ialah mereka yang menebarkan kebencian, ancaman dan kebohongan. Kaum radikal-teroris seringkali berujar kebencian, menghukumi, suka menuduh orang lain sesat kafir dan sejenisnya.

Kaum peneror ini tidak henti-hentinya menebarkan ancaman. Melalui berbagai cara. Salah satu yang paling baru adalah melalui politik. Merebut kekuasaan melemahkan ideologi kebangsaan.

Warga Jakarta sedang darurat terorisme politik. Kewaspadaan ini perlu ditingkatkan melalui kecurigaan terhadap politik yang tidak sehat. Diantaranya dengan mewasapadai gerakan politik kalangan garis keras.

Sepertinya tidak demikian dengan Anies Baswedan, justru ia menjadikan kelemahan Ahok dalam soal Agama sebagai titik serangan. Jika benar demikian ini ancaman yang tidak bisa dianggap remeh. Ini teror yang mengahantui kehidupan umat beragama

Semua tau rekam jejak FPI, PKS, dan golongan kaum radikal. Semua sekarang bergandengan tangan dengan Anies Baswedan. Tujuanya jelas menguasai Jakarta. sebenarnya Anies sedang pura-pura lupa atau tidak tau, jika kelompok intoleran sedang membangun basis politik. Atau memang sengaja Anies menjadikan momentum itu sebagai basis massa mempengaruhi suara warga Jakarta.

Politik Anies Baswedan ini tidak benar. Salah jika bermitra dengan kaum intoleran. Bagaimana mungkin mewujudkan Jakarta menjadi “maju kotanya bahagia warganya”, jika kaum intoleran berkuasa. Bagaimana hendak bahagia jika jenazah saja dilarang untuk dishalatkan.

Sudah sangat keterlaluan jika masjid-masjid di Jakarta kini berubah jadi ancaman bagi umat, khutbah berubah menjadi orasi politik. Tapi kita tau benar warga Jakarta sangat cerdas menentukan pilihan, mana pemimpin yang mereka butuhkan. Yang pasti, ia pemimpin yang mencintai keragaman dan toleran kepada perbedaan.


@febri hijroh mukhlis