Thursday, March 16, 2017

Langkah Politik AHY Jelas Untuk Menang Siapa


DUNIA HAWA - AHY-Sylvi mewaraskan demokrasi kita? Pertanyaan itu muncul di benak saya ketika beberapa jam lalu membaca salah satu artikel di kompas(dot)com, berjudul: "Agus-Sylvi Serahkan Suara Mereka Kepada Pilihan Rakyat".

Paslon rumah apung ini telah gagal dalam Pilkada DKI namun perannya dalam menggiring opini masyarakat untuk selalu mengenang Kepala Dinasti Cikeas masih terus berlanjut. Opini tentang apa? tentang asas demokrasi yang dielu-elukan oleh para pemuja SBY dan merasa hal itu diciderai oleh Jokowi.

Dalam video singkat yang diunggah Media Kompas, Agus katakan bahwa pemilih harus menggunakan hak konstitusinya sesuai hati nurani. Dari sisi demokrasi sekular warisan reformasi, hal ini positif. Tapi akan jadi sesuatu yang menyentil bila kemudian statement itu dibenturkan dengan kejadian di Lapangan Blok S Februari lalu, sobat ingat? AHY didukung oleh semangat Bela Agama. Dia dibai'at dan calon pemilih disumpah untuk memilih AHY atau setidaknya pilih paslon seiman.

Pertanyaan kedua yang muncul adalah "Apakah AHY memisahkan dirinya dari sekelompok orang yang berkomitmen untuk memenangkan paslon Muslim? atau dia berada dalam komitmen yang sama?"

Bila ia memisahkan diri dalam komitmen tersebut, tentu acara doa bersama yang digelar bulan kemarin di Lapangan Blok S hanya sandiwara politik yang sengaja dibuat untuk meningkatkan euphoria anti pemimpin non-muslim. Tapi bila AHY terlibat dalam komitmen yang sama, menjadi sebuah pelanggaran etik apabila ia menyerahkan suara pemilihnya kepada masing-masing pemilih. Apalagi dengan kata-kata diplomatis seperti "gunakan hak konstitusi dan pilih dengan hati nurani" karena dibai'at untuk memilih AHY adalah aktifisme yang mengebiri hak konstitusi dan sangat tidak sesuai dengan hati nurani.

Jadi AHY sebenarnya dukung siapa? sobat bisa tentukan dukungan AHY dari inkonsistensinya. Bila ia meyakini "Jakarta akan sejahtera bila muslimnya sejahtera", mengapa tidak dengan tegas ia katakan "kami menyerahkan suara AHY-Sylvi pada Anies-Sandi" ? Ini dialektika politik yang berusaha dikembangkan menjadi beberapa modul opini. Tujuannya agar pendukung Paslon 3 masih memiliki harapan bahwa pemilih AHY-Sylvi akan melempar suaranya di putaran kedua untuk Anies-Sandi.

Tapi saat ini sudah tidak terlalu penting berbasa-basi soal ini. Sebagian pendukung Agus sudah melepaskan atribut AHY-Sylvi dan menggantinya dengan almamater taplak warteg a.k.a kotak-kotak. Walaupun hal ini tak dianggap sebagai ketentuan Demokrat secara resmi. Yang dapat dijadikan acuan sah atas nama partai apabila aktifitas simbolik itu dilakukan oleh AHY-Sylvi --- begitu kan, sobat?

Ya, statement Agus "pilih dengan hati nurani" adalah statement resmi bahwa partai Demokrat dalam hati terdalam tak perduli dengan agama paslon yang maju dalam Pilkada putaran kedua ini. Dan ini mengafirmasi kecurigaan banyak orang bahwa Demokrat masih gelisah dan khawatir Anies memenangkan Pilkada DKI.

Beginilah politik, terkadang satu pihak memusuhi pihak lain bukan karena ingin menghancurkannya tapi menjaga agar tidak ada pihak lain lagi yang memusuhinya. Dan terkadang satu pihak mendukung pihak lain bukan untuk memenangkannya, tapi agar tidak ada lagi yang berminat mendukungnya.

Tapi fenomena saat ini, satu kubu dimusuhi oleh dua pihak sekaligus, sementara masing-masing pihak yang memusuhi kubu tersebut saling tidak percaya dan saling khawatir dikhianati.

Jawaban atas pertanyaan "Jadi AHY dukung siapa?" Saya bisa jawab, "AHY dukung Ahok"

@habib acin muhdor


Ridwan Kamil di Persimpangan Jalan


DUNIA HAWA - Panasnya pilgub Jabar sudah dimulai. Meski masih 2018 nanti, tapi beberapa tokoh sudah mulai ancang-ancang. Selain Ridwan Kamil, Dedi Mizwar juga sedang mencari pegangan.

Dua orang ini memang bukan orang partai. Mereka sedang mencari dukungan, siapa partai yang mau melamar mereka. Lebih asik bahas kang Emil, karena kalau bahas Dedi Mizwar nanti saya nangis mulu lagi.

Ceritanya, pada waktu panas-panasnya penjaringan pilgub DKI, kang Emil disebut sebagai salah satu kandidat seksi untuk melawan Ahok yang masih menjadi calon independen. Maka datanglah kang Emil ke Jakarta untuk melihat, "bener gak sih, gua seseksi itu?".

Dari sumber yang bisa dipercaya, ternyata pada waktu ke PDIP, kang Emil dilarang untuk tarung di Jakarta. "Lu siap-siap untuk Jabar 1 aja," begitu kata PDIP. PDIP memang belum punya calon kuat di Jabar sesudah kekalahan Rieke & Teten.

Janji ini dipegang kuat oleh kang Emil. Tapi belum selesai. Kabarnya lagi, kang Emil ketemu Prabowo. "Bagaimana, pak? Apakah saya bisa dicalonkan untuk melawan Ahok?". Prabowo manggut-manggut. "Jangan dulu, Gerindra gak punya calon kuat untuk Jabar. Kamu nanti disana aja".

Sebagai catatan, kang Emil waktu menjadi walikota Bandung didukung oleh Gerindra dan PKS. Dan Gerindra - PKS jugalah yang waktu pilgub DKI dengan semangat membaja ingin mencalonkan dia sebagai lawan tanding kuat Ahok.
Nah, apakah koalisi kedua partai ini juga akan mengusung kang Emil di Jabar? 

Tunggu analisa saya nanti ya.

Kita lanjutkan.. Maka kang Emil pun pulang ke Bandung dengan memegang kedua janji tersebut. Dan berjanji untuk fokus selesaikan masa tugas di Bandung sampe 2018.

Nah pilgub Jabar semakin dekat. Bagaimana reaksi kang Emil? Tentu dong kang Emil bergerak kembali untuk menagih janji itu. Kepada siapa ? Ke Gerindra atau PDIP ? Ya, kalau bisa dua-duanya, kalau ngga ya salah satu aja.

Kang Emil pun menyusun tim pemenangan. Lobi-lobi dilakukan untuk mengangkat namanya ke permukaan kembali dengan harapan entah PDIP atau Gerindra meliriknya kembali.

Sementara ini yang baru deklarasi baru Nasdem, tapi Nasdem hanya punya 5 kursi. Sedangkan dibutuhkan 20 kursi baru partai bisa mencalonkan seorang Gubernur. Jadi tetap kang Emil butuh Gerindra atau PDIP.

Masih bingung di simpang jalan, kabar baru datang dari Bandung yang membuat kang Emil tambah pusing.

Relawan kang Emil yang dulu memenangkannya menjadi Walikota mendesak ia untuk fokus di Bandung saja. Sampai sekarang, Bandung belum punya calon yang sebagus kang Emil. Ditakutkan kalau kang Emil maju di Jabar, maka Bandung akan mundur kembali jika calon Walikota nanti dari kelompok lama.
Ditarik sana-sini, tentu membuat kang Emil bingung. Ternyata terlalu seksi itu gak enak juga. Ibarat wanita, bingung menentukan pilihan. Yang satu ganteng bingits, tapi masa depan suram. Satunya lagi jelek amit-amit tapi dompetnya tebal.
Tambah mantan yang dulu ngajak balikan lagi. "Disini aja sayang, biar kita hap hap lagi seperti dulu.." Auwwww..

Sudah bingung mau pilih yang mana ditambah gak boleh keluar Bandung, datang lagi satu "ancaman" kuat, si seksi tetangga sebelah Kang Dedi Mulyadi yang namanya terus naik ke permukaan dan punya kendaraan kuat yaitu Golkar yang sudah pegang 17 kursi.

Makin galau kayaknya kang Emil..

Sulit untuk memilih dan merenung di sudut sambil memegang secangkir kopi. "Apakah aku harus rela berdua dengannya? Benarkah di poligami itu indah?". Mari kita tanya pada Aa sajah.

@denny siregar


Anies-Sandi Memainkan Api SARA


DUNIA HAWA - Warga Jakarta dan jagad media sosial dihebohkan dengan video baiat warga untuk memilih Gubernur Muslim dan menolak Gubernur kafir, atau munafik. Video tersebut membenarkan beberapa spekulasi yang mengemuka, bahwa kubu Anies-Sandi yang memainkan isu SARA. Sungguh, sikap Anies tersebut sudah masuk dalam wilayah “merah”, karena bisa mengancam keharmonisan di tengah kebhinnekaan.

Anies-Sandi seharusnya belajar dari tragedi Mesir, Irak, dan Suriah yang hancur karena isu SARA. Bukan malah memainkannya yang hanya untuk memuaskan gairah nafsunya menjadi Gubernur Jakarta dan mengorbankan persatuan dan keberagaman yang sudah lama terjalin di Jakarta.

Sudah terbukti, betapa bahayanya jika suatu negara atau wilayah jika isu SARA tidak bisa dikendalikan dan berkembang begitu cepat. Lihat saja, negara-negara yang pernah mengalaminya seperti Mesir, Irak, Yaman dan Suriah.

Di Mesir, Muhammad Morsi dan pendukungnya Ikhwanul Muslimin ketika itu ingin mencoba membentuk Mesir menjadi lebih Islami. Langkah pertama yang diambil Morsi adalah menyingkirkan kaum Kristen Koptik dan Islam Progresif dari panggung perpolitikan.

Bukan hanya itu, Morsi juga mengkhianati janji kampanyenya yang akan menggandeng semua warga Mesir tak terkecuali, termasuk warga yang menganut Kristen Koptik di pemerintahannya. Dan lihat apa yang terjadi setelah itu, warga Mesir terbelah menjadi dua antara pendukung Morsi, Ikhwanul Muslimin dan pendukung Islam Progresif dan umat Kristen Koptik. Jadi, konflik Mesir bukan hanya Islam dan Non-Islam, akan tetapi sesama Islam juga terlibat dalam kubangan konflik SARA tersebut.

Lain halnya dengan Irak dan Suriah. Di Irak konflik berkepanjangan antara Sunni-Syiah yang notebene-nya sama-sama Islam menjadi perang yang menakutkan. Banyak korban tak bersalah berjatuhan, termasuk anak-anak kecil yang tidak tahu apa-apa.

Hampir sama apa yang dialami Irak, Suriah juga memiliki konflik SARA yang menakutkan. ISIS yang mengaku sebagai penegak hukum Allah di dunia membabat habis yang tak sepaham dengannya, termasuk Islam Sunni-Syiah. Dari konflik-konflik tersebut tidak ada yang diuntungkan, yang ada hanyalah kerugian dan kematian konyol yang merugikan semua pihak.

Tentu, Indonesia khususnya Jakarta tidak ingin seperti kejadian di tiga negara tersebut. Hanya gara-gara perbedaan politik, agama diseret ke dalam kepentingan politik. Yang tak lain tujuannya adalah agama hganya dijadikan alat untuk melenggangkan tujuan orang-orang tertentu dalam memenangkan pertarungan politik.

SARA di Pilkada Jakarta


Belum selesai isu penistaan agama yang jelas-jelas dipolitisasi. Kini, Pilkada Jakarta diramaikan lagi isu SARA dengan bertebarnya spanduk tentang larangan disalatinya jenazah pendukung Ahok di masjid dan mushalla. Ditambah lagi, video kubu Anies-Sandi yang membaiat ibu-ibu untuk memilih gubernur Muslim dan mengintimadasi pemilih gubernur non-muslim/kafir dengan label sebagai munafik.

Padahal, konteks munafik surat at-Taubah yang menjadi landasan kubu Anies-Sandi adalah ‘Abdullah bin Ubay bin Salul. Sedangkan, cap munafik atau kafir sendiri pada seseorang sangat dilarang oleh Imam Ghazali.

Dalam kitabnya, Bidayatul Hidayah melarang tindakan memvonis kafir, munafik, atau musyrik pada orang Islam lain. Alasannya, karena keimanan adalah rahasia hati yang hanya menjadi urusan pribadi masing-masing kita dengan Allah SWT.

Kubu Anies-Sandi dalam video tersebut seakan-akan mengklaim Islam milik mereka dan yang tak sependapat dengan mereka dinyatakan salah dan tidak benar. Padahal, Imam Ghazali sudah sangat jelas meyatakan dilarangnya label munafik atau kafir terhadap seseorang.  Sedangkan, tingkat keilmuan Imam Ghazali sudah diakui dunia dan tidak diragukan lagi.

Pemahaman kubu Anies-Sandi seperti mengingatkan kita terhadap ISIS dan Ikhwanul Muslimin. Betapa tidak, ISIS berkali mengungkapkan dalam beberapa videonya bahwa yang tak sepaham dengan dirinya atau yang menghalangi perjuangannya akan dibantai dan dianggap musuh.

Berbeda tipis dengan Ikhwanul Muslimin. Mereka sangat menginginkan sekali berdirinya negara Islam hingga cara apapun dilakukannya demi tujuan tercapai. Jika sudah memegang kekuasaan, mereka perlahan-lahan menyingkirkan kaum yang tak sependapat dengan ideologinya.

Sedangkan kita tahu, kubu Anies-Sandi didudkung banyak organisasi dan partai yang beraliran sama dengan Ikhwanul Muslimin. FPI misalnya yang jelas-jelas dalam visi-misi organisasinya menggelorakan berdirinya Khilfah Islamiyah, begitu juga dengan PKS.

Label kafir dan munafik terhadap pemilih selain Anies-Sandi dalam video baiat tersebut sangat keterlaluan. Hanya gara-gara perbedaan politik persatuan dan keberagaman Jakarta yang sudah mapan dan membawa ketentraman digadaikan.

Padahal, dalam wadah NKRI tidak ada yang disebut kafir, yang ada warga Indonesia. Yang mana, orang pemeluk Islam disebut orang Islam, pemeluk Kristen disebut orang Kristen, pemeluk Hindu disebut orang Hindu dan seterusnya. Karena, titik acuan NKRI adalah Pancasila, bukan Islam.

Kita tahu, NKRI ada bukan hanya karena orang Islam semata, melainkan berbagai elemen keagamaan yang sekarang diakui Indonesia juga turut ikut andil dalam memperjuangkan NKRI. Sehingga, Pancasila sebagai dasar negara sudah final dan sudah diakui seluruh rakyat Indonesia, kecuali para pemberontak dan mereka yang ingin merongrong-rong kebhinnekaan yang sudah terjalin cukup lama.

Bahkan, Ulama besar NU KH Achmad Siddiq pernah mencetuskan ide tentang trilogi persaudaraan (ukhuwah): persaudaraan Islam (ukhuwah Islamiyah), persaudaraan kebangsaan (ukuhuwah wathaniyah), dan persaudaraan kemanusiaan (ukhuwah basyariyah).

Tujuannya, persaudaraan orang muslim bukan hanya pada kalangan sesama muslim saja melainkan persaudaraan sesame manusia dan sebangsa. Hal ini diperkuat dengan ungkapan Ali bin Abu Thalib, yang menyatakan “Dia yang bukan saudaramu dalam iman adalah saudara dalam kemanusiaan.”

Seharusnya, kubu Anies-Sandi harus banyak belajar tentang keberagaman dan kebhinnekaan. Bukan malah menjadikan warga Jakarta terpecah belah hanya karena perbedaan politik. Bahkan, intimidasi melalui agama terus dikobarkan dan menggadaikan ketentaraman dan keberagaman warga Jakarta yang selama ini sudah sejuk dan aman demi nafsu politik memeangkan Pilkada Jakarta semata.

Oleh karena itu, kita sebagai warga yang cerdas jangan mudah terprovokasi dan menolak segala bentuk dan upaya yang mengusik nilai-nilai Pancasila. Bahwa, Indonesia ada itu karena masyarakatnya yang beragam dan saling menghormati. Di samping itu, menjadikan isu SARA sebagai senjata untuk menjegal Ahok-Djarot oleh kubu Anies-Sandi adalah cara-cara yang tidak elegan dan memecahbelah bangsa.

@muhammad ramli


Jangan Pernah Lelah Memainkan SARA


DUNIA HAWA - Sejak saya menyadari keberadaan saya di dunia saya, saya diberitahu oleh orang-orang yang lebih dulu lahir sebelum saya, bahwa saya berbeda. Suku saya bukan suku asli Indonesia dan saya selamanya tidak akan bisa menyebut diri saya sebagai asli Indonesia. Bukan hal yang aneh kalau kawan-kawan main saya akan berteriak: “China, China, makan babi!” atau “China haram!”. Saat itu dan sampai sekarang saya yakin, kawan-kawan main saya itu tidak menyadari maksud sebenarnya dari teriak-teriak China-China tersebut. Saya Indonesia. Tapi yang ‘asli Indonesia’ tidak mengakui saya.

Nomor KTP saya berbeda ujungnya dengan kawan-kawan pribumi asli. Dulu, saya malah harus membawa-bawa surat K1 sebagai bukti saya keturunan WNI. Karena saya belum buat surat K1, saya membawa fotokopi surat K1 milik nenek saya.

Jelas saya tidak pernah meminta dilahirkan sebagai suku yang dicubit sana sini. Beda dengan suku Arab yang memiliki tempat terhormat di kampung kami. Atau suku India yang terkenal dengan kepelitannya, tapi tidak pernah diteriaki, “India, India, makan sayuran!”. Atau juga anak-anak Indo yang menempati kasta paling terhormat di kampung kami.

Namun satu hal yang saya sangat ingat, tidak pernah sekali pun kawan-kawan kecil saya itu berteriak, “China kafir”. Kata kafir tersebut tidak muncul di benak saya sampai saat ini, saat Pilkada DKI dengan Ahok sebagai calon Gubernurnya. Kafir ternyata identik dengan haram.

Kalau melihat saksi fakta di persidangan mengenai bagaimana Ahok telah membangun pesantren dan masjid-masjid di mana Ahok mengabdi, jelas ‘keasengan’ Ahok mengalahkan pengabdiannya. Ibarat air dan minyak. Kelihatannya saja sama-sama benda cair, tapi tidak akan pernah bisa menyatu. Saat diaduk, akan bercampur sesaat, tapi begitu didiamkan sejenak, kembali terpisah. Ibarat setitik nila, rusak susu sepanci-pancinya. Begitulah juga yang saya rasakan.

Puluhan tahun hidup di lingkungan penduduk asli Indonesia, menikah dengan orang asli Indonesia, tidak menjadikan saya asli Indonesia. Saya tetap orang aseng. Dan di Pilkada DKI kali ini, keasengan itu sangat kuat terasa.

Baru sekali ini saya melihat bagaimana keasengan seorang China menjadi batu hambatan untuk mengabdi. Dalil-dalil agama dijadikan layar pemisah. Bendera-bendera kebhinekaan malah dikibarkan tinggi untuk menjadi pembatas. Ucapan-ucapan kasar diteriakan seperti ajian mematikan.

Apa salahnya menjadi China di negeri ini? Mengapa hal yang sama tidak berlaku bagi keturunan Arab, India, atau bule? Apakah Jong China tidak ikut berjuang menjadikan negeri ini: Indonesia? Mengapa dirasa tidak pantas keturunan China menjadi pelayan rakyat Indonesia?

Tiuplah terus badai SARA itu saat Pilkada. Pecah-belahlah rakyat ini dengan racun perbedaan keturunan. Jangan pernah lelah memainkan isu SARA. Suatu hari nanti, pasti berhasil. Niscaya, kita akan melihat ujung dari Sumpah Pemuda.

@liza lie


PKS Membolehkan Pemimpin Non-Muslim


DUNIA HAWA - PKS merupakan partai yang sangat getol menyuarakan bahwa memilih pemimpin non-Muslim adalah haram. Bahkan Partai ini kerap menggunakan ayat-ayat al-Qur’an sebagai argumentasi teologis untuk mendukung kebenaran pendapatnya.

Ternyata seruan PKS ini hanya berlaku di Ibu Kota. Faktanya, dalam Pilkada serentak 2017, PKS mendukung 22 Calon Kepala Daerah non-Muslim di berbagai daerah di Indonesia. Realita ini menegaskan bahwa PKS membolehkan pemimpin non-Muslim.

Pembodohan Publik


Di Jakarta, kader-kader PKS secara terang-terangan menolak Ahok karena beragama Kristen dan beretnis Thionghoa. Bahkan mereka kerap medoakan Ahok di depan publik agar tidak terpilih menjadi Gubernur DKI 2017.

Begitu juga dengan kelompok-kelompok fundamentalis-radikalis seperti Front Pembela Islam (FPI) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang juga sangat getol menolak pemimpin non-Muslim dan melontarkan ayat-ayat al-Qur’an agar publik tidak memilih Ahok.

Tentu, sikap seperti ini adalah pembodohan publik. Jika ingin konsisten menggunakan al-Maidah 51 semestinya jangan setengah-setengah. PKS dan kalangan fundamentalis-radikalis semestinya juga mengharamkan pemimpin-pemimpin non-muslim di berbagai daerah di negeri ini. Seperti di Bali, Papua, Maluku, dan daerah-daerah lainnya.

Atas konsekuensi menggunakan al-Maidah 51, mereka juga semestinya konsisten menolak para pejabat publik di negeri ini yang beragama non-Islam. Seperti bupati, gubernur, menteri dan semua pemimpin negara yang non-muslim.

Sayangnya, yang terjadi justru sebaliknya, mereka tidak menolak pemimpin non-Muslim. Mereka secara terang-terangan mengusung pemimpin non-Muslim sebagai kepala daerah. Begitu juga dengan partai-partai berbasis Islam lain juga memberikan dukungan terhadap calon kepala daerah non-Muslim.

Ini semua menunjukkan bahwa sebenarnya PKS tidak memandang agama dalam mencalonkan kepala daerah, namun lebih pada track record dan kinerja. Sebagaimana menurut Toha al-Hamid, seorang kader PKS Papua, bahwa adalah wajar jika PKS tidak selalu mengusung figur Muslim.

Keliru besar jika menganggap PKS selalu mendukung calon muslim. Menurut Toha al-Hamid, PKS mempunyai semangat Pancasila. Bahkan di Kabupaten Tolikara dan Lanny Jaya, PKS memiliki wakil di DPRD yang non-muslim.

Kepentingan


Pertanyaannya, mengapa PKS menolak mendukung Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) namun mendukung banyak calon non-muslim di daerah lain? Apakah ayat dan dalil haramnya non-muslim hanya berlaku untuk Ahok ?

Maka jawabannya bisa banyak kemungkinan. Bisa jadi karena memiliki sentimen pribadi dengan Ahok , atau secara kalkulasi politik tidak menguntungkan partai, atau ingin memperoleh legitimasi publik Jakarta agar PKS dianggap partai paling islami. 

Atau bahkan hanya atas dasar pertimbangan ekonomi dan bisnis semata. Namun itu semua tak lain bermuara pada faktor kepentingan. PKS yang sangat yang gencar berkampanye agar memilih kepala daerah Muslim hanya akal-akalannya saja. Faktanya mereka membolehkan pemimpin non-muslim.

Menurut Mardani, salah satu tokoh PKS, meskipun PKS adalah partai Islam, namun memberi peluang bagi siapapun orang Indonesia, apapun latar belakang nya baik agama, suku dan golongan yang berbeda untuk menjadi pemimpin. Hal ini karena Indonesia adalah negara majemuk yang terdiri dari berbagai suku dan keyakinan keagamaan yang berbeda.

Dari realita ini, semestinya PKS dan berbagai ormasi radikal jangan membohongi publik. Ini sama artinya menjual ayat-ayat agama untuk kepentingan politik sesaat. Dan tentu saja Islam mengecam perilaku memperjual belikan ayat-ayat suci.

Di permukaan, PKS seakan-akan konsisten mengusung pemimpin muslim atas dasar Q.S. Al-Maidah 51. Namun faktanya sudah sejak dulu Parpol berlabel Islam ini kerap mengusung/mencalonkan beberapa Paslon non-Muslim.

PKS yang berlatar belakang Islam perlu “Muhasabah” atau berbenah diri dan jangan membodohi publik karena publik sudah paham atas politisasi agama ini. Jika tidak, cepat atau lambat PKS akan ditinggalkan oleh pendukungnya sendiri.

Jangan sekali-kali menggunakan Surat al-Maidah sebagai senjata politik “pamungkas” untuk membungkam posisi Ahok sebagai petahana. Karena ini mencoreng nilai-nilai luhur ajaran agama.


@ahmad hifni


OK-OTRIP, Proyek Sandiaga Uno Yang Menyelesaikan Masalah Dengan Masalah


DUNIA HAWA - Tidak cukup dengan OK-OCE, kali ini Sandiaga memperkenalkan progam baru yaitu OK-OTRIP. Progam ini katanya akan mengandeng supir angkot. Katanya, janji dulu pelaksanaannya nanti. Program ini merupakan konsep untuk menerapkan tarif transportasi terintegrasi sebesar Rp 5.000

Koncepnya cukup sederhana yaitu di angkot akan dibuat card reader yang memerluka kartu khusus. Pemakai angkot cukup men tap-in kartu mereka dan saldo akan otomatis berkurang Rp.5000. Tapi saldo tidak akan berkurang lagi bila tap-in lagi ke bus Transjakarta dalam waktu dekat. Berarti naik angkot lalu naik bus Transjakarta biayanya tetap yaitu Rp.5000.

Ngomong Itu Gampang


Secara teori hal ini sungguh indah didengar. Naik angkot lalu naik transjakarta cukup Rp.5000. Hal ini berbeda dengan sekarang yang bila rumahnya jauh dari halte Transjakata maka perlu naik angkot dulu baru naik bus Tranjakarta yang biayanya Rp.3500.

Tapi ingat dulu, kalau dilaksanakan maka setiap angkot perlu untuk disertai card reader (proyek lagi) dan SEMUA penumpang wajib memiliki kartu khusus untuk naik angkot. Angkot tidak lagi akan mengangkut anak sekolah bila mereka tidak memiliki kartu. Pertanyaannya, apakah angkot tidak akan menaikkan penumpang bila mereka tidak memiliki kartu?

Pasti masih mereka naikkan. Uang dari penumpang ini tunai dan tidak masuk sistem elektronik, tidak mungkin supir angkot menolaknya. Hal ini juga tidak menyelesaikan masalah utama dari supir angkot yaitu mobil yang sudah tua, ngebut dan ngetem sembarangan. Progam OK-OTRIP ini sungguh indah didengar padahal isinya sedikit.

Juru bicara Anies-Sandi, Pandji Pragiwaksono, menjelaskanbahwa tidak semua kawasan permukiman di Jakarta bisa dilalui bus. Di situlah dia menilai perlu menggandeng angkot-angkot untuk jadi angkutan pengumpan.

“Jangan angkot dihapus dan diganti bis 9-10 meter seperti keinginan Pak Basuki,” ujar dia.

Pandji mengatakan, Anies-Sandi berencana merangkul angkot dan mengubah sistemnya jadi lebih akuntabel dan profesional. Ia yakin dengan cara ini tidak akan ada lagi angkot-angkot ngetem ataupun sopir tembak.

Hal ini tidak mungkin, tidak ada hubungan OK-OTRIP dengan ngetem ataupun supir tembak. Justru angkot itu adalah angkot karena bisa ngetem sembarangan. Bila ada halte untuk angkot, maka lebih baik naik Transjakarta. Sudah lebih bersih dan besar, tidak ngebut lagi. Pandji ini seperti orang yang mengatakan panadol bisa menyembuhkan batuk, tidak nyambung.

Pandji kembali menegaskan bahwa Anies-Sandi akan menggandeng angkot untuk terlibat. Ia menyebut nantinya di pintu angkot akan dipasang card reader untuk tap-in tap-out, seperti yang saat ini diterapkan di halte Transjakarta.

“Ketika turun dari angkot dan hendak naik Transjakarta, maka penumpang akan tap-inkartunya lagi di halte Transjakarta. Apabila jarak antara tap-out di moda sebelumnya dan tap-in di moda lanjutannya kurang dari 30 menit, maka saldo tidak akan terpotong lagi,” kata Pandji

“Sampai sini saya mau mengatakan bahwa solusi yang Pak Basuki tawarkan tidak salah. Menghilangkan angkot dan menggantinya dengan bus bisa jadi solusi yang beliau anggap terbaik. Saya sangat yakin sudah beliau pikirkan. Beliau bahkan bisa jamin angkot kalau tetap mau beroperasi tidak akan bisa menang lawan beliau. Pada akhirnya, itu keputusan yang jadi hak pemimpin Jakarta. Anda tinggal memilih mau cara memimpin yang mana,” ucap Pandji

Baiklah kalau begitu. Mari kita buat hitungannya dulu. Moda transportasi terintegrasi ini akan berbiaya Rp 5000 untuk setiap penumpang dibanding RP 3500 untuk Tranjakarta sekarang. Masalahnya adalah, apakah supir angkot mau ikut yang begini? Bila mereka ikut, berarti mereka sudah tidak boleh menerima uang tunai lagi, tidak boleh ngebut, dokumen dan surat harus lengkap dan yang penting konsisi angkot harus bagus.

Anda yakin hal ini bisa terlaksana? Angkot itu milik perorangan, Pemprov tidak punya hak khusus kepada mereka. Makanya Angkot tidak bisa serta merta dihilangkan. Apalagi supir angkot terkenal sangar, masih ingat perseteruan trangportasi online dengan supir angkot? Siapa yang serang duluan? Siapa yang nabrak ojek online?

Mereka bisa main menghajar tanpa lihat aturan, yakin mereka bisa ikut progam ini tanpa masalah? Memang betul kalau Pilkada janji-janji yang ada itu indah. Tapi ingat, janji itu janji, tidak ada sanksi bila tidak memenuhi. Palingan dimaki rakyat setelah itu ya selesai. Pilihlah janji yang masuk akal, bukan janji yang pelaksanaannya banyak masalah seperti OK-OTRIP ini.

@evan kurniawan