Sunday, March 12, 2017

Djarot Dizalimi, Ia Memaafkan; Anies Sudah Salah Malah Menyalahkan


DUNIA HAWA - Ada yang aneh dari benak seorang akademisi yang katanya lulusan S3 Amerika. Entah di mana sikap santun yang selalu (kata orang) tersematkan pada mantan menteri yang dicukupkan ini. Saya bingung setiap kali membaca respons Anies yang jauh dari kata santun. Dan jeleknya, beliau selalu mengidentikan dirinya dengan label agamis.

Kesantunan dan religius adalah dua predikat yang memang lekat dengan budaya kita, salah satu Negara yang tumbuh kembang di dalam paradigma timur. Memaafkan, mengakui kesalahan untuk berbenah dan berkata jujur adalah nilai-nilai luhur yang memang menempel dengan stigma kearifan, baik secara universal maupun budaya lokal. Namun makin ke mari, saya tidak menemukan itu pada diri Anies Baswedan, pria yang digadang-gadang lebih baik dari paslon yang satunya.

Memang ironis, tapi betul suatu pepatah lama yang mengatakan “Jangan membeli kucing dalam karung”, kenali dahulu sebelum memilih. Karena kalau sudah dibeli, barang tidak bisa kembali, kira-kira seperti itu. Pepatah ini makin terasa pas dengan kondisi pilkada DKI Jakarta. Sama pasnya kalau saya berjodoh sama Raisa. “Ya Allah, Tuhan YME, kapan penulis zomblo bisa dapat Istri kayak Raisa?” (lho?!).

Makin kemari, semua citra instan yang dulu coba dibangun oleh Anies-Sandi malah makin luntur oleh ulah mereka sendiri, dan kali ini yang saya garis bawahi adalah sikap tak elok dari seorang calon pemimpin. Kalau dulu Anies suka menyindir Ahok yang suka menyalahkan pihak lain ketika terjadi problema di DKI Jakarta, lah sekarang kok Anies juga melakukan hal yang serupa?

Hal ini terlihat dari dua respons yang sangat bertolak belakang dari Anies dan Djarot yang kebetulan secara bersamaan hadir di dalam peringatan 51 tahun dikeluarkannya Supersemar di Masjid At-Tin, TMII. Kita tahu bagaimana Djarot yang diundang secara resmi malah dicaci maki oleh pendukung Anies. Herannya, Anies yang mengetahui hal tersebut malah menuding tindakan tersebut sebagai kewajaran dan membenarkannya. 

Yang menjadi pertanyaan di benak saya, di manakah citra santun dan agamis dari Anies? Ketika kesempatan untuk menampakkan karakter yang luhur itu datang, kok tidak muncul ekspresi dari karakter yang diakui milik paslon menteri yang sudah dicukupkan ini? Jangan-jangan Anies hanya bersandiwara selama ini? Ya ampun, semoga cinta Raisa kepada saya bukan hanya sandiwara belaka. Amin.

Lain Anies, Lain Djarot


Berbeda dengan Anies, Djarot yang dizalimi malah bersikap ramah dan memaafkan. Tidak ada satu katapun dari kalimat dan sikapnya yang seperti menyalahkan warga yang memakinya, ataupun pihak penyelenggara, apalagi paslon kompetitornya. Saya kutip pernyataan Djarot di salah satu media massa.

“Kita harus jawab dengan perilaku yang baik, dengan senyum, dengan sapa. Mereka juga saudara kita, warga kita,” kata Djarot, di sela-sela berkampanye di Grogol Utara, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Minggu (12/3/2017).

Djarot mengatakan ingin meneladani ajaran Nabi Muhammad SAW yang sabar menghadapi orang-orang yangmenentangnya.

“Apa yang saya terima itu kecil, enggak ada apa-apanya dibandingkan yang dicontohkan oleh Rasul. Beliau dihina, bahkan dilempari kotoran, dicaci maki, bahkan mau dibunuh, enggak apa-apa. Karena itulah kita ingin meneladani ajaran Rasul untuk memperbaiki, menyempurnakan akhlak kita semua,” ujar Djarot.

Sebelum meminta orang memperbaiki akhlak, Djarot ingin memulainya dari diri sendiri. Dia menyatakan tidak ingin menyalahkan siapa-siapa terkait insiden pada Sabtu malam tersebut.

“Maafkan saja, ya enggak apa-apa,” ujar Djarot.

“Doakan supaya segera diberikan hidayah, diberikan cahaya supaya terbuka hatinya sehingga bisa menerima kita semuanya, sebagai sesama warga bangsa. Mereka itu juga saudara saya, sebangsa dengan saya,” ujar Djarot.

Dari pernyataanya dan sikapnya selama ini saja kita dapat menilai, siapa yang santun dan agamis secara asli, dan siapa yang hanya produk KW demi pilkada DKI. Bahkan Djarot pun diterima dengan baik oleh pihak penyelenggara, yaitu keluarga mendiang Alm. Bapak Soeharto. Ibu Titiek Soeharto sempat menghampiri beliau dan mengungkapkan terima kasihnya karena sudah bersedia hadir. Lihat, betapa teduhnya suasana keakraban seperti ini sekalipun beliau tahu dukungan politiknya berbeda. Lalu kenapa Anies malah memanasi?

Sekalipun berkompetisi di ajang pilkada DKI, Djarot tetap mengedepankan persatuan dan kesatuan bangsa. Karena ini sikap yang sepatutnya dari seorang yang benar-benar santun dan agamis. Kalau hanya demi menjadi gubernur lalu tuding sana-sini dan menebarkan isu-isu perselisihan serta kebencian (dan isunya adalah isu SARA pula), calon pemimpin macam apa yang akan kita dapatkan?

Saya khawatir kalau pemilihan kepala daerah kita hanya akan terus diwarnai dengan pencitraan yang kopong belaka. Padahal, DKI Jakarta adalah etalase demokrasi kita yang harus menjadi teladan bagi daerah-daerah lain. Jikalau DKI Jakarta saja sampai mempertontonkan kemenangan dari paslon yang hanya pencitraan sewaktu pemilihan, lalu menafikan paslon yang benar-benar berkarakter lurus, apa kata dunia? Demokrasi kita telah dilecehkan kawan. Dan mereka melecehkannya sambil mem-bully dan menertawakan masyarakat.

Akhir kata dari saya bagi para pembaca, betul jikalau Anda tidak setuju kepada Ahok dan Anies karena mereka tidak santun, juga Sandiaga Uno yang sering bicara ngawur dan banyak menuding paslon lain dengan tudingan segregasi yang berbau fitnah, maka pilihlah Djarot. Karena dari ketiganya, tidak ada yang sesantun dan seagamis Djarot. Inshallah Djarot jadi gubernur DKI Jakarta, gubernur Islami yang sesungguhnya. Amin.

@nikki tirta


Secangkir Kopi untuk Pembela Islam


DUNIA HAWA - Temanku yang baik, pahamkan ini. Bela Islam itu adalah dengan mempertontonkan akhlak yang bagus di depan non muslim, karena Nabi Muhammad SAW turun untuk memperbaiki akhlak manusia dan dimulai dari akhlak umatnya.

Bela Islam itu bukan menjadikan negara yang sudah disepakati bersama sejak awal berdasar Pancasila menjadi negara Islam, tetapi bagaimana mempertahankan negara dari serangan ideologi asing yang ingin menghancurkan kesatuan dengan dalih agama.

Bela Islam itu bukan dengan mempertontonkan kebanggaan terhadap agama dan golongan, tapi bagaimana seorang muslim mampu menjadi ilmuwan yang dihargai oleh banyak orang dan karyanya bisa membantu banyak umat manusia.

Bela Islam itu bukan dengan turun ke jalan berteriak-teriak agama telah dinistakan, wong agama diturunkan sebagai petunjuk umat manusia di bumi oleh Tuhan, lalu bagaimana bisa ternista?
Yang menista sebenarnya adalah yang menganggap bahwa Tuhan mudah dinistakan.

Bela Islam itu bukan dengan mempertontonkan kebodohan seperti tidak menshalatkan jenazah yang berbeda pilihan politik. Islam itu agung sehingga bisa memisahkan mana perkara dunia dan mana yang akhirat, mana yang materi dan mana yang non materi.

Bela Islam itu bukan dengan sibuk menghias diri dengan pakaian yang seolah menggambarkan keimanan. Karena Iman hanya diketahui melalui dalamnya ilmu dan bagaimana ia tunduk membumi dan menjadikannya berfungsi.
Yang suka berpakaian iman adalah iblis. Iblis sangat bisa berpakaian gamis, tapi ia tidak akan pernah mampu menyembunyikan ahlaknya yang tidak humanis..

Bela Islam itu bukan dengan sibuk mempertontonkan bacaan Alquran yang indah dan ritual yang tidak pernah ketinggalan. Pernahkah kamu mendengar bahwa iblis dulu dianggap malaikat oleh bangsanya karena ketaatannya yang luar biasa pada Tuhan selama ribuan tahun, hingga ia jatuh karena kesombongannya?
Bela Islam itu ibarat secangkir kopi. Ia hitam dan pahit, sebuah keburukan sempurna bagi yang tidak mampu menikmatinya secara mendalam.

Sebelum membela Islam, tanyakan dulu benarkah anda Islam? Karena Islam itu bukan berbasiskan klaim semata. Islam adalah usaha pencapaian menuju ketundukan total kepada Tuhan dengan mengikuti petunjuk Nabi-Nya.

Islam-mu tidak perlu dibela, dirimu sendirilah yang membutuhkan pembelaan..

Jadi, tidak perlu mengukur keIslamanku, teman.. karena bukan urusanmu, itu urusanku dengan Tuhan. Kamu bukan Tuhan, Malaikat pun bukan. Mungkin saja dibandingkan aku kamu jauh lebih bajingan, hanya kamu tidak merasakan..
"Aku hanya menyampaikan satu ayat, brother, untuk kebaikanmu.." Begitu katamu kepadaku. Hei kamu lupa, Nabi Muhammad SAW dikenal sebagai pribadi dengan akhlak yang agung sehingga beliau dinamakan "Yang dipercaya", sebelum menyampaikan satu ayat kepada umat manusia.

Pertanyaanku, apakah akhlakmu sudah cukup untuk menyampaikan satu ayat kepadaku? Atau jangan-jangan kamu yang lebih membutuhkan penyampaianmu sendiri.

Lebih baik seruput kopi dulu dan pastikan itu kopi sebelum kamu menyampaikannya kepadaku. Jangan-jangan itu air comberan, karena kamu meminum kopi hanya berdasarkan "katanya".

@denny siregar


Keberanian Haji Djarot, Masuk di Kerumunan Pendukung Anies-Sandi yang Garang


DUNIA HAWA - Koko putih lengan panjang, dengan kopiah yang menempel di kepalanya. Ia berjalan dengan menebar senyum ke setiap orang. Ia berjalan santai tanpa tekanan, menghadapi massa yang dari tadi menyorakinya. Suasana ribut yang sarat ejekan terhadap dirinya, ia hadapi seperti saat bertemu warga. Ia tak terprovokasi, ia tak pernah merubah air mukanya.

Ia adalah Haji Djarot Saiful Hidayat. Calon wakil gubernur dari Basuki Tjahaja Purnama, yang dianggap penista agama oleh orang-orang yang kini tengah menyorakinya.

Sekelebat terdengar teriakan “kafir…” Juga terdengar seorang ibu-ibu yang terteriak “hidup tiga pak..” Haji Djarot hanya menyalami sang ibu dari jauh, sembari memberikan senyumnya yang paling meneduhkan, hingga gigi-gigi putihnya kelihatan.

Sepanjang jalan di pelataran Masjid At-Tin, Haji Djarot terus saja menerima caci maki para pendukung Anies dengan lapang dada. Ia sama sekali tak terpancing. Tidak jelas cacian yang mereka teriakan. Karena bukan satu dua orang lagi. Tapi banyak orang yang meneriaki Haji Djarot.

Ada seorang anak muda. Ia sengaja kekapkan tangannya di mulut untuk menghasilkan teriakan yang lebih nyaring di tengah bisingnya suasana. Ia berteriak sekuat tenaga “woi… anak babi.. usir..”

Haji Djarot telap melangkah dengan pasti. Ia tidak terlalu mempedulikan mereka yang terus menyorakinya. Ia tetap pada tujuannya datang ke Masjid At-Tin, TMII, Jakarta Timur, yakni untuk menghadiri undangan acara Haul Soeharto.

Saya tak bisa membayangkan. Di pelataran “Rumah Allah” orang-orang yang berseragamkan “pakaian takwa” lengkap, bisa-bisanya melemparkan ujaran-ujaran tidak sopan dan tidak berakhlak. Kalau di jalanan silahkan saja. Menyebutkan semua penghuni kebun binatang Ragunan pun silahkan saja. Tapi ini di Rumah Allah, malah dijadikan kesempatan untuk mencaci maki orang yang mereka tidak suka.

Di kawasan masjid saja, orang-orang ini dengan gagah berani mampu melemparkan secara membabi-buta ujaran-ujaran kebencian yang jauh dari norma akhlak. Apalagi jika di jalanan. Mereka bisa lebih garang dari ini.

Padahal, orang-orang ini mencitrakan diri mereka sebagai yang paling agamis dan yang paling islami. Tapi, nilai-nilai agama juga nilai-nilai Islam seperti jauh panggang dari api. Apakah saya salah jika menyimpulkan, mereka itu cuma berlaga agamis dan islami. Padahal, esensi dari Islam yang mengatakan “Muslim adalah yang orang lain selamat dari tangan dan lisannya” sangat jauh dari kehidupan orang-orang itu.

Orang-orang tersebut sungguh memalukan. Bahkan kampungan. Mereka seperti datang dari suatu tempat antah-berantah, menyaksikan sebuah keanehan dalam dinamika kehidupan yang baru mereka jumpai. Lalu, sifat aslinya keluar. Berteriak tak karuan. Membawa nama-nama binatang. Mirip manusia pritimif yang tak pernah bersentuhan dengan peradaban.

Tidak hanya saat masuk saja. Saat Haji Djarot meninggalkan acara sebelum acara selesai. Perlakuan yang sama juga ia rasakan. Ia kembali diteriaki “kafir” dan segala macam umpatan-umpatan khas bumi datar yang percaya monas mampu menampung 7 juta manusia.

Malahan, Haji Djarot sempat ditimpuki oleh botol air. Perilaku tak beradab ini, di Rumah Allah, sungguh sangat memalukan. Terbuat dari apa nurani mereka hingga tak tahu bersikap yang sopan itu seperti apa. Meski Haji Djarot adalah lawan dari Anies-Sandi, sebagai pendukung Anies, seharusnya kalian bisa bersikap santun. Bukankah Anies itu santun?

Saya justru heran. Mengapa Haji Djarot dikatakan “kafir” hanya karena ia Cawagub dari Ahok? Ini kan aneh rasanya. Secara, Haji Djarot sudah haji, sudah menunaikan rukun Islam yang kelima, sudah sempurna tuntutan Islamnya. Kekafiran jenis apa yang ada di dalam diri Haji Djarot?

Belum tentu yang berteriak-teriak itu sudah menyempurnakan tuntutan Islamnya. Toh, paslon yang mereka dukung pun (Anies), belum sempurna tuntutan keislamannya. Anies kan belum pergi haji, umrah mungkin sudah.

Padahal, apa yang menghalangi Anies untuk berangkat haji? Harta? Kesehatan? Larangan dari pihak Saudi? Semuanya kan sudah terpenuhi syarat-syaratnya. Mengapa belum juga menunaikan tuntutan kelima dalam rukun Islam?


Saya benar-benar salut dengan aksi Haji Djarot kemarin. Ini membuktikan bahwa seorang pemimpin tidak takut meski harus bertandang ke wilayah orang yang membencinya hingga tujuh turunan. Seorang calon pemimpin harus berani berhadapan dengan mereka yang tidak suka padanya.

Bukan kali ini saja Haji Djarot bertindak seberani ini. Sebelumnya, Djarot juga mendatangi sebuah masjid yang diisukan melarang menshalatkan jenazah mereka yang pro Ahok-Djarot.

Ini contoh pemimpin sejati. Berani untuk menghadapi keadaan yang paling sulit sekalipun.

@muhammad nurdin


Jokowi Emang Gila


DUNIA HAWA - Memang "sial" jadi Menteri di era Jokowi. Di era-era pemerintahan lalu, menjadi menteri adalah sebuah prestise. Bahkan posisi menteri malah dijadikan sunber uang bagi partai. Menteri adalah jabatan politis, sebagai orang kepercayaan Presiden untuk melakukan tugas-tugas yang jauh dari kemampuan akademisnya.
Kerjaan menteri dulu adalah melobby DPR, mengatur anggaran, bagi-bagi rejeki, sesudah itu ongkang-ongkang kaki. Yang kerja biar staf ahli dan dirjennya.

Tapi tidak di era Jokowi.

Disini menteri ditarget untuk memberikan hasil sesuai rencana yang disepakati bersama antar Presiden dan mereka. Presiden menjaga ritme kerja mereka dan terus memantau perkembangan.

Sebagai contoh saat Jokowi menetapkan bahwa pertanian adalah poin utama dalam kesejahteraan masyarakat. Dan pondasi dasar dari produksi pangan adalah ketersediaan air.

Melihat bahwa beberapa daerah mempunyai potensi untuk mengembangkan pangan, tapi wilayah mereka jika kemarau rentan kekeringan, Jokowi memerintahkan 3 Kementrian bersatu menyelesaikan masalah utamanya, yaitu irigasi.

Menteri Pertanian, Menteri Pedesaan dan Menteri PU dipaksa untuk menyelesaikan masalah irigasi dengan membangun waduk-waduk dan embung. Embung adalah tempat penampungan air di kala hujan dan jadi solusi di kala kemarau.

Tidak tanggung-tanggung, ketiga Kementrian itu ditarget bangun 30 ribu embung di beberapa wilayah. Dana yang dipergunakan adalah dana desa yang sudah dianggarkan 500 juta pertahun. Kebayang kan, para menteri itu tidak bisa tidur sebelum target mereka tercapai?

Bahkan di Kutai Kartanegara, embung yang dibuat malah bisa dijadikan tempat penampungan air bersih untuk warga dan bisa langsung diminum. Kebayang jika 30 ribu model embung yang sama dibangun di banyak wilayah. Masyarakat sudah tidak perlu khawatir lagi air bersih dan tetap bisa mengairi pertanian mereka di musim kemarau.

Selain embung, Jokowi juga membangun 49 waduk untuk memperkuat irigasi. Jokowi mungkin malu dengan Malaysia yang sudah punya waduk 3 kali lebih banyak dari Indonesia.

Jokowi bekerja benar-benar menyentuh akar permasalahan. Ia ingin hasil pertanian kita satu waktu akan ekspor, karena itu dia membangun infrastruktur pengairannya. Karena tanpa kecukupan air, ekspor pangan itu sejatinya omong kosong.

Apa yang dikerjakan Jokowi sekarang ini baru akan dinikmati hasilnya beberapa tahun kedepan. Mungkin ada waktunya hasil panen kita melimpah ruah, sehingga harus ekspor dan Indonesia kembali menjadi negara agraris selain negara maritim.

Biar para mahasiswa gak tereak-tereak "harga cabe naik" lagi merampok kebiasaan tukang sayur dan emak-emak pake jarik.

Apa yang dilakukan Jokowi sekarang bukanlah keajaiban, tapi sudah seharusnya sejak dulu dilakukan. Sayangnya, dulu para menteri lebih suka jadi sapi perahan, sehingga mereka sendiri yang akhirnya harus mendekam di penjara karena korupsi miliaran.

Dengan target gila seperti itu, kapan sempat para menteri lobby-lobby lagi di hotel bintang lima dengan kopi secangkir seratus ribuan dan bisik-bisik siapa dapat apa dan bagaimana caranya?

Jokowi emang gila. Dia berusaha keras membalikkan stigma negara kita yang gemah ripah loh jinawi tapi selalu diperkosa oleh para tikus berdasi, kembali menemukan kedigdayaannya kembali. Angkat secangkir kopi!

@denny siregar


Jenazah Ditolak? Jangan Khawatir Ada GP Ansor


DUNIA HAWA - Spanduk-spanduk penolakan jenazah pendukung Ahok ramai bertebaran. Awalnya banyak yang menyangsikan mereka akan benar-benar akan melakukan itu. Tapi ternyata hal tersebut benar-benar terjadi salah satunya seperti yang dialami oleh keluarga Hindun. Padahal mensholatkan jenazah itu fardhu kifayah, wajib bagi orang-orang sekitarnya. Mereka beralasan bahwa Nabi tidak mensholatkan orang munafik, seolah-olah mereka seperti Nabi.

“Sampai ada orang atau kelompok orang yang tidak membolehkan mensalatkan jenazah yang beda pilihan politik, kan ini sudah keterlaluan menggunakan agama. Padahal dalam Islam mensalatkan jenazah muslim itu adalah fardu kifayah. Kalau orang disuruh meninggalkan kewajiban ini dosa siapa, kan nggak boleh begitu,” ujar Ketua Umum Pengurus Pusat GP Ansor Yaqut Cholil.

Melihat fenomena yang keji ini, maka Pengurus Pusat GP Ansor telah mengimbau kepada seluruh pengurus GP Ansor di berbagai daerah agar mengurusi jenazah muslim yang ditolak pengurusannya oleh warga. Bahkan dengan paket lengkap yaitu menggelar tahlilan untuk mendoakan jenazah tersebut.

“Kita perintahkan di seluruh cabang kalau ada warga yang muslim yang meninggal dan tidak diurus jenazahnya karena perbedaan politik, kami perintahkan kepada sahabat-sahabat pegurus GP Ansor untuk merawat jenazah itu. Baik untuk mensalatkan, mengkafani, menguburkan bahkan mentahlilkan selama 40 hari kita laksanakan,”

Nabi itu dapat petunjuk dari Allah. Allah lah yang mengatakan kepada Nabi “Jangan sholatkan si A”. Nabi kemudian tidak mensholatkan tetapi hanya Nabi saja, sementara sahabat-sahabat Nabi tetap mensholatkan. Alasan lainnya karena karena doa Rasul maqbul jadi tidak selayaknya Rasul turut mendoakan kaum Munafik.

Entah lah ini sebenarnya umat Islam aliran apa sampai merasa dirinya nabi, nampaknya sih umat Islam aliran Pilkada. Hanya garang disaat-saat urusan Pilkada, tapi lemah syahwat ketika uang rakyat dicuri koruptor. Mungkin ini yang disebut oleh Denny Siregar umat yang tuhannya Anies-Sandi?

Jelas-jelas mensholatkan jenazah itu wajib, kok ditolak? Mungkin mereka lebih takut Anies-Sandi kalah daripada murka Allah. Belum lagi soal gerakan sholat subuh berjamaah, sudah dari dulu Allah menyuruh sholat subuh berjamaah tapi hati mereka tidak tergerak. Namun ketika mereka takut Anies-Sandi kalah, maka ramailah di masjid mengerjakan sholat subuh berjamaah, nampaknya jenis ghirah Pilkada.

Mengenai tudingan munafik, kafir, syirik dan sebagainya kepada sesama muslim sebenarnya sudah diperingatik oleh Imam al-Ghazali dalam kitabnya Bidayah al-Hidayah “Janganlah engkau memvonis syirik, kafir atau munafik kepada seseorang ahli kiblat (orang Islam). Karena yang mengetahui apa yang tersembunyi dalam hati manusia hanyalah Allah SWT…….” Kalau kita sih ikut Imam al-Ghazali yang jelas-jelas ilmu tinggi. Entah siapa Imamnya kalau umat Islam aliran Pilkada.

Juga Kitab Aqidah Thahawiyah yang menjadi pegangan ulama salaf mengingatkan kita semua:

“Kami tidak memastikan salah seorang dari mereka masuk surga atau neraka. Kami tidak pula menyatakan mereka sebagai orang kafir, musyrik, atau munafik selama tidak tampak lahiriah mereka seperti itu. Kami menyerahkan urusan hati mereka kepada Allah ta’ala”.

Kecaman terhadap penolakan jenazah serta pemaksaan terhadap warga untuk mendukung Anies-Sandi termuat dalam status Emmy Hafild ini

“Marah, sedih, tidak percaya. Inilah perasaanku malam ini. Alm Ibu Bania yang meninggal kemarin atau hari ini, dipersulit pengurusan jenazahnya karena anaknya semua memilih Ahok. Pak RT nya sudah mendata semua warganya yg coblos Ahok. Akhirnya jenazah diurus setelah keluarga itu buat pernyataan di atas materai bhw tgl 19 coblos Anies.Saya kira itu berita bohong, masak sih ada Ketua RT yang seperti itu? Saya lapor kepada Lurah Pdk Pinang dan minta untuk ngecek kebenarannya, sambil berharap itu tidak mungkin terjadi, dan itu hoax. Ternyata kejadian itu benar adanya dan sekarang sudah ditangani polisi. Alm ibu Hindun juga di Jln Karet Karya 2, Rt 5/ Rw 2 juga mengalami perlakuan yang sama."

Saya sedih sekali, Pilkada menyebabkan umat Islam Jakarta menjadi biadab seperti ini? Mengapa Anies Sandi berdiam diri saja menghadapi kebiadaban seperti ini, mendiamkan modus operandi penistaan jenazah? Pilkada, kerakusan untuk meraih kekuasaan, menyebabkan seseorang hilang rasa kemanusiaannya, hilang kewarasannya dan tumpul norma-norma peradabannya. Segitu pentingnyakah jabatan bagi seorang Anies sehingga membiarkan ini terjadi dan meraih keuntungan dari situ? Astaghfirullah hal adziim, hanya ada satu kata, "LAWAN!!”

@gusti yusuf

Blunder Anies-Sandi Minta Dukungan Pengusaha yang Disebut ‘Babi’ oleh Rizieq


DUNIA HAWA - Anies-Sandi terus menggalang kekuatan. Kini pasangan ini sudah mendapat dukungan hebat dari pengusaha yang dipanggil ‘babi’ oleh Rizieq Shihab. Dialah konglamerat Hary Tanosoedibjo, pengusaha dan pemilik raksasa media Group MNC.

Soal sebutan ‘babi’ dari Rizieq ini, itu terjadi empat tahun silam. Tribunnews mengutip ucapan Rizieq saat memberikan orasi berapi-api di Bundaran HI 14 September 2013. “Hary Tanoe adalah babi. Siap potong babi? Siap bakar babi? Siap kemplang babi?”

Anies-Sandi tidak peduli ucapan ‘babi’ dari Rizieq itu. Politik ya politik. Segala cara perlu dilakukan untuk meraih kekuasaan. Siapapun yang mau mendukung, dengan hati gembira diterima. Deal-deal apapun di balik dukungan itu, akan diakomodasi. Yang jelas, menang dulu. Soal gontok-gontokan, itu soal kemudian.

Khusus Rizieq-FPI misalnya, Anies tetap bangga mendapat dukungan dari mereka. Walaupun Rizieq tersangka penista Pancasila, dua kali terpidana, dan diduga terlibat kasus heboh Firza Hots, Anies tetap meminta dukungan Rizieq. Anies-Sandi melonjak kegirangan ketika FPI mau terjun langsung mengawal kotak-kotak suara di setiap TPS pada tanggal 19 April mendatang.

Dukungan sangar dari Hary Tanoe memang sepintas menambah kekuatan Anies Sandi. Dalam kacamata Anies-Sandi, dukungan propaganda media dari Hary Tanoe sangat signifikan untuk mempengaruhi pemilih. Selain dukungan media Tanoe, Anies-Sandi juga bisa mendapat dukungan dana. Maka dukungan yang diperoleh Anies-Sandi dari Hary Tanoe, merupakan tambahan eforia menuju kemenangan.

Akan tetapi dukungan dari Hary Tanoe itu menambah berbagai blunder bagi Anies-Sandi. Dukungan Hary Tanoe juga jelas sarat kepentingan. Hary Tanoe yang bermimpi menjadi presiden lewat partainya Perindo, akan mulai menyetir Anies-Sandi kelak. Lewat DKI, Perindo akan mulai berbicara. Jelas selain keuntungan ekonomi yang bakal diperoleh, Hary Tanoe juga akan memetik keuntungan politik menuju Pemilu legislatif dan Pilpres 2019 mendatang. Jadi ada perang kepentingan di dalamnya.

Saya lihat bahwa dukungan Hary Tanoe menjadi blunder bagi Anies-Sandi, itu di dasarkan fakta-fakta sebelumnya. Saat Tanoe mendukung dan mengkampanyekan habis-habisan Partai Hanura 2014 lalu, hasilnya sama sekali tidak signifikan. Padahal, saat itu lewat media-media yang dimilikinya, Hary Tanoe sangat yakin bahwa Hanura akan menyodok dan menjadi partai papan atas di Republik ini.

Hary Tanoe mungkin bermimpi bahwa masyarakat Jakarta bisa dininabobokan oleh TV. Nyatanya, masyarakat Jakarta yang mobilitasnya tinggi, tak punya waktu menonton banyolan TV atau Koran-koran milik Hary Tanoe. Pun media online Hary Tanoe semacam Okezone, Sindonews bukanlah rujukan utama.

Pembangunan opini yang akan dibangun oleh Hary Tanoe demi memenangkan Anies-Sandi dan menjungkalkan Ahok sebetulnya akan sia-sia. Buktinya hantaman keras Hary Tanoe kepada Ahok selama ini tidak berhasil. Bahkan Ahok sukses memperoleh suara tertinggi di Pilkada DKI Jakarta 15 Februari lalu.

Itu berarti serangan media Hary Tanoe kepada Ahok sebetulnya sudah stagnan. Jelas kegagalan media Hary Tanoe untuk menyerang Ahok, selain disebabkan karena masyarakat Jakarta  sudah melek informasi, juga karena di-counter-attack oleh media yang dimiliki oleh Chaerul Tanjung seperti Detik.com dan Tempo. Kompas.com dan Tribunnews juga cenderung netral dalam mengekspos berita.

MNC Group terlihat kesulitan menempatkan diri selain menyerang Ahok. MetroTV pun mengarah mendukung Ahok. Posisi unik adalah TVOne yang kebingungan antara mendukung Ahok atau mendukung Anies mengingat Ahok dianggap dekat dengan Presiden Jokowi. Ini kebingungan media yang kekanak-kanakan ala TVOne.

TVRI dan KompasTV serta Berita Satu yang cenderung netral dalam mengekspos berita dengan titik keadilan bagi Ahok. Dan inilah yang membuat Hary Tanoe gagal mempengaruhi opini publik lewat media-media yang dimilikinya. Publik cenderung malas membaca dan menonton apapun berita dari media-media Hary Tanoe.

Jadi jelas sekarang bahwa meminta dukungan dari Hary Tanoe yang disebut ‘babi’ itu oleh Rizieq menjadi blunder bagi Anies-Sandi. Para pendukung Anies-Sandi dari kaum khilafah akan kebingungan. Alasannya, sekarang di kubu Anies-Sandi ada pihak ‘babi’ yang juga dikenal kafir ikut mendukung Anies-Sandi.

Sekarang cara-cara Anies-Sandi untuk membangun imagenya terlihat semakin konyol. Lihat saja pengetahuan Anies soal DP mobil, motor yang disamakan dengan DP rumah. Dulu DP rumah nol persen dan bergeser ke DP rumah nol Rupiah. Kini menurut Anies kalau DP mobil, motor, nol persen, maka  rumah juga harus boleh DP nol persen.

Mungkin Anies tidak paham bahwa pemerintah sekarang masih mewajibkan DP motor 15% dan DP mobil 25 persen dan bukannya nol persen. Mungkin Anies juga sudah tidak paham bahwa di dalam kubunya sekarang sudah ada berbagai rasa. Ada rasa sapi ala PKS, rasa cabe rawit ala FPI dan rasa strawberry ala Hary Tanoe. Jika semuanya ini diblender menjadi jus, maka rasanya adalah rasa firsa hot.

@asaaro lahagu


Ahok Senyap, Anies Turunkan Spanduk, Fadli Zon Ketakutan


DUNIA HAWA - Menjelang pemungutan suara 19 April,  strategi kampanye Ahok berubah. Kalau pada putaran pertama, kampanye penuh dengan hiruk pikuk, kini penuh dengan kesenyapan. Ahok tidak lagi mau disorot oleh media. Tidak ada lagi flash mob di mall. Tidak ada lagi kampanye gegap-gempita. Karena semua itu bisa sudah stagnan.

Kini Ahok kampanye senyap. Ia datangi langsung para pemilih yang berpotensi memilih dirinya. Jika mendengar ada yang sakit, nikah, butuh pertolongan, ia datangi secara diam-diam. Jika ada warga Jakarta yang dilanda kemalangan, ia datangi. Ahok kini sedang merubah strateginya dari hiruk-pikuk ke bentuk sunyi-senyap. Ia mendatangi langsung para pemilih untuk mensosialisasikan berbagai programnnya.

Sasaran Ahok memang mereka yang dulunya memilih Agus. Suara kepada Agus inilah yang sedang diperebutkan oleh Anies-Sandi. Modal Anies-Sandi sendiri sudah mencapai 40%. Jadi tinggal mencari 11% untuk merebut posisi strategis gubernur DKI Jakarta.

Hal yang sama juga telah dimiliki oleh Ahok. Modal suara Ahok 43%, ditambah para pemilih  Ahok yang terjegal 2%, maka Ahok telah menggegam jumlah suara 45%. Itu berarti tinggal 6% lagi untuk suara yang harus dicari untuk memenangkan pertarungan. Dimana suara-suara itu dicari? Ya di gang-gang sempit, di pasar-pasar dadakan, di warung-warung kopi dan hajatan-hajatan sederhana.

Titik perhatian Ahok-Djarot sekarang adalah memastikan nama setiap pemilih terdaftar di DPT dan memastikan datang menyoblos pada tanggal 19 April mendatang. Pengawal kotak suara di setiap TPS juga telah dibentuk oleh tim pemenangan Ahok-Djarot. Ada sekitar 10.000 pasukan khusus yang telah dilatih untuk mengawal pencoblosan di setiap TPS.

Golkar dan PDIP juga terus meningkatkan peran dalam memenangkan Ahok. Ada kabar baru dari PDIP. Megawati akan menurunkan Risma untuk memenangkan Ahok di Jakarta. Jika Anies mendatangi Aher dari Jawa Barat, maka Ahok juga mampu mendatangkan Risma dari Surabaya.

Sementara itu untuk menetralisir keadaan, Ketua KPU DKI Sumarno dan Ketua Bawaslu DKI, Mimah Susanti diundang datang dalam rapat tertutup partai pengusung petahana Ahok-Djarot. Keduanya sukses dihadirkan di Novotel Hotel, Jakarta Pusat, untuk menjelaskan berbagai peraturan KPUD dan Bawaslu. Jelas ada pesan luar biasa membahana kepada KPUD DKI agar tetap netral dan jangan mencoba-coba untuk bermain.

Di media, perang propaganda oleh para cyber army Ahok-Djarot semakin meningkat. Kalau dulu sasaran tembak adalah Agus, kini 100%  serangan diarahkan kepada Anies-Sandi. Kabar bahwa ada pendukung Ahok yang sudah meninggal tidak mau disolatkan oleh Masjid pendukung Anies-Sandi, menjadi santapan empuk media untuk menyerang Anies-Sandi.

Opini publik di Jakarta yang masih waras kini semakin jijik kepada para pendukung Anies. Setelah para pendukung Anies melancarkan isu-isu SARA,  kini serangan kepada Ahok-Djarot dilancarkan lewat politik jenazah. Anies pun terpaksa buka suara. Tekanan dan bullian media, perintah Menteri agama, serta bergeraknya GP Ansor yang bersedia menyolatkan jenazah, membuat Anies mengeluarkan perintah untuk menurunkan spanduk hasutan penolakan menyolatkan jenazah itu.

Jelas menolak penyolatan jenazah hanya gara-gara mendukung Ahok, adalah tindakan konyol dan ketidakwarasan yang luar biasa. Kadar keagamaan orang-orang yang berilaku demikian sangat dangkal dan telah dirasuki fanatisme yang melewati batas. Jika Anies tidak meminta menurunkan spanduk tersebut, maka ia sama saja sebagai kaum tidak waras.

Kini menjelang Pilkada putaran kedua 19 April mendatang, tekanan kepada pasangan Anies-Sandi semakin menguat. Berbagai laporan tentang Anies-Sandi terkait pelanggaran hukum mulai diproses oleh aparat. Mengapa? Alasannya jelas. Anies-Sandi selama ini mengkampanyekan dirinya sebagai sosok bersih, santun, adil, tidak korup dan sosok tak bercela. Dan inilah yang mau diuji oleh aparat kepolisian dan KPK. Benarkah Anies-Sandi sosok santun dan bersih bagai malaikat?

Ketika aparat mulai menguji Anies-Sandi, Fadli Zon yang kebelet memenangkan sosok yang didukungnya, mulai ketakutan. Lewat cuitan-cuitannya di Twitter, ia melontarkan bahwa penguasa tertinggi sedang bermain di Pilkada DKI. Penguasa tertinggi sedang melancarkan strategi untuk menjegal Anies-Sandi.

Jelas Fadli Zon dilanda ketakutan. Ia takut kalau panggilan pemeriksaan yang dilakukan aparat kepada Anies-Sandi membuat pamor Anies-Sandi anjilok. Fadli Zon takut jika akhirnya Anies-Sandi ditemukan oleh aparat ternyata menyimpan bau busuk pelanggaran hukum dan tidak seperti yang digembar-gemborkan bersih, santun dan tak bercela. Dan ketakutan terakhir Fadzli Zon adalah jika Anies-Sandi ternyata pada akhirnya kalah oleh pasangan Ahok-Djarot.

Jadi, melihat kampanye senyap Ahok, partai pendukung sukses merapat ke KPUD dan Bawaslu, pendukung Anies meluncurkan senjata pamungkas, yakni politik mayat, politik jenazah. Dan ternyata ini membuat tekanan kepada Anies datang luar biasa. Akibatnya Anies terpaksa mengeluarkan perintah untuk menurunkan spanduk politik jenazah itu. Sementara itu, di tengah situasi pertarungan yang semakin sengit, Fadli Zon mulai dilanda ketakutan karena mulai mencium aroma kekalahan untuk ke sekian kalinya. 

Begitulah kura-kura.

@asaaro lahagu

Catatan tentang Dakwah dr. Zakir Naik


DUNIA HAWA - Saya akan mulai catatan ini dengan mengatakan sesuatu yang sudah jelas. Materi ceramah dr. Zakir Naik, sebagaimana umumnya para da’i, tidak didasarkan pada hasil studi yang mendalam. Naik sendiri bukan lulusan madrasah dan tidak belajar disiplin keilmuan Islam tradisional.

Yang berbeda dari umumnya para da’i ialah ceramah Naik tidak semata mengulang-ulang soal keimanan dan ketakwaan. Dia bermaksud memperlihatkan superioritas Islam dengan dua sasaran sekaligus: untuk mencegah kaum Muslim pindah agama dan menarik non-Muslim masuk Islam.

Dalam konteks India (dan, mungkin, negara-negara lain di mana kaum Muslim sebagai minoritas), dakwah model Naik itu cukup atraktif. Terbukti, dalam 20 tahun terakhir, dia telah menyampaikan lebih dari 2.000 ceramah umum di lebih dari 30 negara di dunia. Sebagian ceramah Naik dapat diakses di Youtube, tapi juga tersedia dalam versi cetak, berupa buku-buku saku.

Karena menekankan “superioritas Islam”, materi-materi ceramah Naik kerap bersentuhan dengan hal-hal di luar Islam dan dunia Muslim, baik terkait agama lain atau dunia lain terutama Barat. Tulisan ini akan mendiskusikan beberapa pandangannya tentang agama lain, dan akan segera tampak betapa pengetahuannya tentang isu-isu tersebut sangat dangkal (superficial).

Ahli Perbandingan Agama?


Naik memperkenalkan atau diperkenalkan sebagai ahli perbandingan agama yang dianggap berhasil membongkar “kesalahan” agama lain. Dalam berbagai ceramahnya, dia bukan hanya mengutip secara panjang lebar ayat-ayat dari al-Qur’an dan hadis, tapi juga dari Alkitab, Veda, Bhagavad Gita, Upanishad, dan Purana. Hal itu berarti, perhatian Naik bukan hanya tertuju pada kalangan Kristen, melainkan juga Hindu.

Perlu segera ditambahkan, barangkali menyadari situasi di India sebagai negara mayoritas Hindu dengan sentimen anti-Islam yang meningkat, sikapnya terhadap agama Hindu cukup lunak. Tentu saja, agama Hindu merupakan “saingan” utama yang ada di pikirannya dan dia ingin menggiring umat Hindu menerima Islam. Tapi, di tengah militansi Hindu, dia memilih sikap yang tidak terlalu konfrontatif. Barangkali dia belajar dari kasus yang menimpa gurunya, Ahmed Deedat, yang pada 1980-an menyampaikan ceramah tentang agama Hindu yang memicu ketegangan di Afrika Selatan, dan akhirnya dia dilarang masuk ke India.

Sikap Naik terhadap Kristen sangat keras. Tema ceramah yang menjadi favoritnya ialah soal ketuhanan Yesus dan ketidakotentikan Alkitab. Dia mengulang-ulang pertanyaan awam, bagaimana mungkin seorang manusia (Yesus) pada saat yang sama disebut Tuhan? Bagaimana mungkin Tuhan disebut Bapa atau Anak? Karena itu, Naik mempertanyakan jika kaum Kristiani masih bisa dikatakan menganut agama monoteis.

Tentu saja ini pertanyaan awam karena sudah dibahas panjang-lebar dalam tradisi Kristen, bahkan bisa dikatakan sebagai basis refleksi teologi Kristen. Mereka yang belajar sejarah Kristen akan tahu bahwa kaum Kristiani dalam sejarahnya yang panjang berupaya membela monoteisme yang diwarisinya dari Yahudi. Bagi kaum Kristiani, Tuhan adalah satu. Dalam frame of reference itu mereka meyakini Tuhan menjelmakan dirinya sebagai penyelamat dalam Yesus Kristus.

Naik mengajukan dua alasan kenapa kaum Kristiani “salah” dalam memahami ketuhanan Yesus. Pertama, Kitab Suci kaum Kristiani sendiri tidak pernah mengklaim Yesus sebagai Tuhan. Kata Naik, “In fact there is no a single unequivocal statement in the entire Bible where Jesus (pbuh) himself says ‘I am God’ or where he says ‘worship me’.” Kedua, konsep “satu Tuhan dalam tiga dan tiga dalam satu” dianggapnya tidak rasional atau “logically impossible.”

Sekali lagi, ini memperlihatkan kedangkalan pengetahuan Naik. Da’i yang kini tinggal di Malaysia itu tidak bisa membedakan antara konten sebuah dokrin dan bahasa yang digunakan untuk mengekspresikan sebuah doktrin. Memang, kata “Trinitas” atau pengakuan Yesus sebagai Tuhan tidak ada dalam Alkitab. Namun, pesan ketuhanan Yesus jelas dapat ditemukan di dalamnya. Lihat, misalnya, dalam Injil Yohanes 10:30 Yesus berkata “Aku dan Bapaku adalah satu” atau Yohanes 14 menyebutkan “Aku dalam Bapaku.”

Bagi Kristen awal, ayat-ayat di atas dan banyak lainnya membenarkan pengalaman spiritual mereka tentang keterlibatan Tuhan dalam menyelamatkan manusia. Dengan kata lain, Trinitas terkait sejarah keselamatan. Jika demikian yang mereka pahami, lalu apa urusannya Naik menyalahkan keimanan mereka dan bermaksud mendiktekan pemahamannya tentang Yesus dalam Alkitab? Itu keyakinan teologis Kristen, yang tak akan goyah karena seorang Naik.

Alasan yang kedua lebih konyol lagi karena semata didasarkan pada rumus matematika yang sangat dasar. Ulama-ulama Kristen sejak awal menyadari, kategori-kategori matematis tak akan mampu menyingkap realitas Tuhan. Karena itu, Trinitas itu dianggap misteri. Jadi, pernyataan Naik bahwa Trinitas tidak rasional merupakan kritik yang salah alamat.

Al-Qur’an dan Sains


Tema favorit lain adalah soal ketidakotentikan Alkitab. Biasanya, dia membeberkan ayat-ayat dalam Alkitab yang dianggapnya saling bertentangan satu sama lain atau tidak sesuai dengan sejarah atau sains. Ini tema klasik tentang tahrif (falsifikasi) yang diulang-ulang, dan kembali ditonjolkan dalam debat-debat yang dilakukan oleh Rahmatullah Kairanawi di India dan Deedat di Afrika Selatan. Saya juga tak perlu mengulangnya di sini.

Karena tujuan Naik adalah untuk memperlihatkan superioritas Islam, maka “problem Alkitab” itu dikontraskan dengan al-Qur’an. Misalnya, dia katakan bahwa jika Alkitab penuh dengan kontradiksi, tidak demikian halnya dengan al-Qur’an. Kemudian dia mengutip ayat al-Qur’an, misalnya surat al-Nisa (4) ayat 82: “Apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an? Kalau kiranya al-Qur’an itu bukan dari Allah, maka mereka akan temukan pertentangan yang banyak di dalamnya.”

Sebenarnya ini cara berargumen yang kacau. Untuk menilai konsistensi Kitab Suci agama lain, Naik menelisik pertentangan ayat-ayat di dalamnya. Tapi, terkait Kitab Sucinya sendiri, pembuktiannya diambil dari pernyataan Kitab Suci itu sendiri, bukan dari penelitian atas konsistensi sikap atau posisi al-Qur’an dalam kasus tertentu. Faktanya, sebagaimana Kitab Suci lain, al-Qur’an juga mengandung ayat-ayat yang bertentangan satu sama lain, sehingga dikembangkan konsep naskh (abrogasi).

Selain konsep abrogasi, para ulama Muslim mencoba menyelesaikan pertentangan (ta’arud) tersebut dengan melihat konteks turunnya ayat, yang dikenal dengan asbab al-nuzul. Di sini bukan tempatnya untuk mendiskusikan dua strategi yang dikembangkan oleh ulama untuk mengatasi inkonsistensi dalam al-Qur’an.

Yang lebih menarik sebenarnya adalah ceramah Naik soal kesesuaian al-Qur’an dengan sains. Lagi-lagi, tema ini sudah dibahas oleh banyak orang termasuk, yang paling terkenal, Dr. Maurice Bucaille, berjudul Le Bible, le Coran et la Science (1976). Dalam ceramahnya “Qur’an and Modern Science: Conflict or Conciliation” (1996), yang kemudian dibukukan berjudul The Qur’an and Science: Compatible or Incompatible?, Naik mengkonstatir bahwa al-Qur’an bukan hanya sesuai dengan sains tapi juga telah mengantisipasi penemuan-penemuan saintifik mutakhir.

Namun demikian, dia sama sekali tidak menyinggung kenyataan bahwa banyak penemuan saintifik itu dilakukan oleh sarjana-sarjana non-Muslim, bukan mereka yang mengimani al-Qur’an. Tujuannya semata untuk menunjukkan bahwa keilahian asal-usul al-Qur’an dapat dibuktikan (ini menurutnya!) oleh penemuan-penemuan saintifik. Dia memulai ceramahnya dengan menyebut keterbatasan Kitab Suci agama lain dan membandingkannya dengan universalitas al-Qur’an.

Naik tidak menyadari bahwa sebenarnya cukup berbahaya membuktikan keilahian asal-muasal al-Qur’an dengan kesesuaiannya dengan sains. Sebab, sains itu akan terus berkembang, bahkan kerapkali memunculkan kesimpulan saintifik yang sama sekali berbeda dari sebelumnya. Tapi, Naik tidak peduli dengan hal seperti ini karena tujuan apologetiknya untuk menunjukkan al-Qur’an itu sesuai dengan sains, sementara Alkitab penuh dengan ketidakakuratan secara saintifik.

Kita bisa bertanya, sejak kapan al-Qur’an menjadi buku sains? Berbagai contoh “saintifik” al-Qur’an yang dikemukakan Naik sebenarnya bersifat sangat elementer. Misalnya, istilah-istilah yang digunakan al-Qur’an terkait penciptaan manusia, seperti nutfah, ‘alaqah, mudghah. Atau, soal pertumbuhan yang digambarkan al-Qur’an secara “saintifik”, misalnya turun hujan dan baru muncul tumbuhan. Naik kemudian berkesimpulan bahwa tidak ada pertentangan al-Qur’an dengan sains.

Terhadap contoh-contoh itu, kita katakan betul. Tapi, bukankah istilah dan data “saintifik” tersebut sangat elementer? Kita tak perlu wahyu kalau hanya untuk mengetahui pengetahuan umum tersebut. Naik juga perlu menjawab pertanyaan ini: Bagaimana dengan deskripsi mukjizat yang dibenarkan oleh al-Qur’an? Bukankah semua itu tidak saintifik? Saya kira, Naik akan menjawab: Wa Allahu a’lam bi al-shawab.

@mun'im sirry


Mun'im Sirry

Assistant Professor di Fakultas Teologi Universitas Notre Dame, USA. Tiga karyanya: "Polemik Kitab Suci: Tafsir Reformis Atas Kritik Al-Quran Terhadap Agama Lain" (Gramedia, 2013), "Kontroversi Islam Awal: Antara Mazhab Tradisionalis dan Revisionis" (Mizan, 2015), dan "Scriptural Polemics: The Qur’an and Other Religions" (Oxford University Press, 2014)


Miris, Warga Kebayoran Ini Terpaksa Tandatangan Pilih Anies-Sandi


DUNIA HAWA - Cara-cara yang tidak sportif dan tidak manusiawi kembali terjadi di RT 05/RW02 Kelurahan Pondok Pinang, Kecamatan Kebayoran Lama. Yoyo Sudaryo (56), warga RT 05/RW02 Kelurahan Pondok Pinang, Kecamatan Kebayoran Lama, dan keluarganya dituding sebagai pendukung Ahok-Djarot hanya karena pernah bercanda dengan tetangganya bahwa ia tidak memilih Ahok yang Kristen, tapi pilih Djarot yang Muslim.

Namun nasib apes menimpa Yoyo Sudaryo, ia terpaksa harus menandatangani Surat Pernyataan bermaterei untuk memilih paslon Anies Baswedan-Sandiaga Uno pada hari pemungutan suara Pilkada DKI Jakarta putaran dua yang akan dilaksanakan pada tanggal 19 April 2017 karena ibu mertuanya Siti Rohbaniah (80) meninggal dunia dan ditolak disalatkan oleh pengurus masjid Darussalam Pondok Pinang.Yoyo Sudaryo dan keluarganya kesulitan mensalatkan jenazah mertua karena pengurus masjid tidak mau mengurus jenazah mertuanya. Jenazah mertuanya baru mau disalatkan oleh pengurus Masjid pada hari Kamis tanggal 9 Maret 2017 setelah Yoyo Sudaryo menandatangani surat pernyataan yang disodorkan oleh Ketua RT 05 Makmun Ahyar.“Kamis pagi, udah rapi mau dikafani, dimandiin, nggak ada masalah. Siangnya, pas mau disalatin saya disuruh tanda tangan, yang bikin tulisannya Pak RT. Isinya bahwa saya berjanji akan mendukung pasangan Anies-Sandi di putaran dua nanti. Ada meterainya juga,” ungkap Yoyo.Yoyo merasa heran kok bisa sampai begini dengan prilaku pengurus Masjid yang menolak mensalatkan mertuanya. Padahal ibu mertuanya tidak ikut memilih dalam putaran pertama pada tanggal 15 Februari 2017 karena sudah uzur.

Karena tidak tega jenazah ibu mertuanya jenazah ibu mertuanya tidak diurus, Yoyo akhirnya terpaksa menandatangani Surat Pernyataan itu yang disodorkan oleh Ketua RT 05, Makmun Ahyar.“Awalnya sih, saya nggak curiga, lagi kesusahan nggak nyangka nggak mau disalatin. Menurut saya mau pilih siapa itu urusan saya sama Tuhan. Tapi yang penting ibu saya disalatin,” ungkap Yoyo sedih.Entah cara-cara tidak berprikemanusiaan ini siapa yang memulainya dengan memprovokasi pengurus Masjid di seantero Jakarta untuk menolak mensalatkan jenazah para pendukung Ahok, yang jelas bukan dari kubu Ahok-Djarot, melainkan dari kubu Anies-Sandi. Secara logika berpikir memang demikian adanya.

Dulu pada putaran pertama, setiap kali Ahok dan Djarot kampanye, segelintir oknum terus membuntuti dan memprovokasi warga yang dikunjungi Ahok dan Djarot untuk menolak mereka, kini di putaran kedua pakai cara yang lebih tidak manusiawi lagi, yaitu menolak mensalatkan jenazah para pendukung Ahok.

Sesuatu yang tampaknya bodoh memang sengaja diatur sedemikian rupa. Tujuannya sudah jelas, untuk menciptakan kegaduhan dalam masyarakat.

Bagaimana sikap Bawaslu menindaklanjuti fenomena yang tidak sportif ini? Masih diam juga? Bukankah memilih Ahok dan Djarot adalah hak tiap warga negara dan urusan pribadi tiap orang? Perbedaan pilihan yang bersifat duniawi jangan dibawa ke akidah.

Bawaslu kok sepertinya melempem dengan pelanggaran-pelanggaran yang sering terjadi dalam pilkada DKI Jakarta selama ini, seharusnya mereka lebih aktif terhadap setiap pelanggaran yang terpampang dengan jelas didepan mata.

“Agama itu menerangi, bukan membenci.
Agama itu mengasihi, bukan memusuhi.
Agama itu rahmat, bukan kebencian.”

Padahal MUI sudah mewanti-wanti dan mengimbau agar umat Islam tidak melampaui batas dalam urusan pilkada DKI karena mengurus jenazah, mulai memandikan, mengkafani, mensalatkan, hingga menguburkan itu sudah jelas bagi umat Islam, yaitu suatu kewajiban dan hukumnya fardu kifayah.

Oleh karena itu, para Pengurus Masjid jangan pernah melampaui batas menghukum seseorang dengan menolak mensalatkan jenazah umat Islam yang meninggal. Jika tidak ada seorang pun yang melaksanakannya, maka semua orang yang bermukim atau bertempat tinggal di daerah tersebut berdosa.

Apakah Allah SWT pernah mewajibkan sebuah ibadah kepada orang yang sudah meninggal? Saya rasa tidak. Kewajiban agama hanya diperuntukan kepada mereka yang masih hidup. Artinya setelah manusia meninggal, maka segala kewajibannya otomatis gugur.

Jadi kalau Allah memerintahkan manusia untuk melakukan sholat jenazah, itu adalah kewajiban kepada mereka yang masih hidup. Yang terkena hukum wajib sholat jenazah itu adalah mereka yang saat itu masih hidup.

Kedegilan seperti ini makin memuakkan. Demi kepentingan politik segelintir oknum, mereka menolak kewajiban yang diperintahkan Allah SWT. Mereka tunggangi mesjid demi kepentingan politik segelintir oknum tamak dengan menjadikan masjid sebagai sarana intimidasi untuk memenangkan Cagub pilihan mereka dalam pilkada DKI ini.

Bisa kita bayangkan apa jadinya Jakarta ini jika cagub dan cawagub pilihan mereka memenangkan Pilkada DKI yang diperoleh dari cara-cara yang tidak manusiawi seperti itu?

Saran saya bagi para pendukung Ahok dan Djarot, pura-pura saja bilang dukung Anies dan Sandi, nanti pada tanggal 19 April 2017 baru ramai-ramai coblos paslon nomor 2 Ahok dan Djarot, biar pada gigit jari dan  nyahok sekalian koalisi Hambalang itu yang pengecut sehingga tidak sportif bertarung dalam Pilkada DKI ini.

@argo


Surga Tanpa (72) Bidadari


DUNIA HAWA - “Terus gimana bersihinnya?” Saya bertanya pada suami saat makan malam.

Beberapa jam sebelumnya ia menelepon ibunya. Kucing mereka dikabarkan akan segera mendapat perawatan. Bukan karena sakit. Sekedar perawatan rutin membersihkan gigi. Saya sempat mengulang kata-kata terakhir.

Perawatan membersihkan gigi kucing dilakukan secara profesional di dokter hewan langganan mereka. Lalu terlontarlah pertanyaan itu dari mulut saya. Spontan. Karena tak pernah terpikir sebelumnya. Bagaimana membersihkan gigi kucing?

“Ya dibius dulu kucingnya..,” suami menjawab santai.

“Hm, ada-ada aja,” saya bergumam.

“Lha, memangnya kamu pikir kucing tak butuh makan enak? Manusia aja butuh rutin ke dokter gigi supaya bisa makan enak,” suami tiba-tiba nyolot.

“Ya.. Tapi itu kan orang. Bukan kucing. Lagian kucing-kucing sini makannya udah cukup enak. Makanan khusus buat kucing. Lembut. Tanpa duri apalagi tulang. Harganya juga gak murah-murah amat. Bukan makanan sisa,” batin saya.

Tentu saja gerutuan itu hanya saya simpan dalam hati. Daripada makan malam kami saat itu jadi pahit gara-gara ribut soal kucing :)

Saya tak suka binatang peliharaan. Keluarga saya pun rasa-rasanya tak pernah ada yang tergila-gila hewan tertentu untuk dirawat. Waktu kecil dulu kami memelihara ayam. Saya kira lebih karena alasan pragmatis saja saat itu memelihara ayam. Daging dan telurnya bisa dikonsumsi.

Nenek saya pun pernah punya sapi dan kambing. Tapi lagi-lagi saya kira lebih karena alasan mutualisme simbiosis saja nenek memelihara binatang-binatang itu. Tenaga dan susunya bisa dikonsumsi. Lagipula harga jual mereka juga tinggi menjelang hari raya.

Keluarga suami saya pemelihara serius kucing. Semuanya. Bapak-ibunya. Anak-anaknya. Sampe tante dan om-nya. Sangking seriusnya mereka merawat kucing sampai saya pikir tarafnya hampir sama dengan “gila”.

Mereka memperlakukan kucing selayaknya bayi. Bila para anggota keluarga itu lama tak jumpa atau saat bertelepon, salah satu pertanyaan yang tak pernah luput adalah apa kabar si A atau B, nama kucing mereka. Saat berpisah pun mereka akan menitip salam pada si kucing.

Saya tak tahu dari mana asal kegilaan mereka pada kucing. Yang pasti bukan karena mendengar ceramah ustaz tentang teladan Rasulullah yang menyayangi kucing, tentu saja, hakul yakin!

Sejak tinggal dan bergaul dengan orang-orang di negeri empat musim ini banyak betul hikmah hidup yang saya pelajari. Semua itu saya dapat tanpa perlu mendengar ceramah-ceramah para juru dakwah.

Saya sering tertegun-tegun dengan perlakuan orang-orang yang sering dianggap kafir ini terhadap makhluk hidup di muka bumi. Bukan hanya hewan peliharaan, tapi juga-juga hewan liar yang hidup di alam bebas.

Pemerintah-pemerintah lokal misalnya, serius memikirkan bagaimana bebek-bebek dan angsa liar tetap bisa asik berenang di sungai-sungai yang mengalir di kota atau kampung mereka.

Mereka punya program serius menjaga air dan lingkungan sungai tetap sehat sebagai habitat para hewan untuk tetap hidup dan beranak pinak. Tanpa pernah diusik. Bahkan haram hukumnya nyolong telur-telur mereka.

Di banyak tempat juga akan mudah ditemui perkumpulan berisi orang-orang yang secara suka rela membangun pagar pembatas di hutan-hutan lokal setempat. Pagar pembatas itu dibuat agar kodok-kodok yang biasa nyanyi di empang dan rawa-rawa di hutan lokal tidak nyasar, “ujug-ujug” nyebrang jalan dan mati terlindas kendaraan yang lewat.

Saya pernah nonton acara televisi yang membahas bagaimana persiapan menjelang musim dingin agar landak-landak dan tupai yang berkeliaran di kebun tidak mati kedinginan.

Mereka mencontohkan bagaimana membangun shelter-shelter alam yang terdiri dari ranting-ranting dan tumpukan daun-daun yang banyak rontok di musim gugur sebagai tempat perlindungan hewan-hewan liar ini.

Burung-burung yang terbang bebas di udara pun tak kalah mendapat perhatian. Tidak, bukan dengan dikurung di sangkar dan digantung di pekarangan rumah. Tapi membuat rumah-rumah kecil yang digantung di atap atau pepohonan untuk tempat singgah para burung sebelum mereka terbang bebas entah ke mana.

Rumah-rumah alam burung ini biasanya diisi dengan biji-bijian dan air sebagai pakan burung. Bila musim semi tiba biasanya akan banyak terdengar kicauan burung yang mampir makan-minum di bilik-bilik asmara para burung ini :)

Bila terhadap hewan liar saja mereka sebegitu perhatiannnya, bisa dibayangkan bagaimana seriusnya mereka merawat hewan peliharaan. (Khusus di Jerman, orang malah dikenakan pajak bila memelihara anjing. Toh aturan ini tak menyurutkan warganya untuk punya anjing di rumah-rumah mereka).

Bukan saja saat hewan-hewan ini hidup tapi juga urusan saat mereka tak lagi bernyawa. Sebuah berita lokal di televisi pernah menurunkan berita tentang perlunya membuat area khusus untuk pemakaman anjing-anjing dan hewan peliharaan warganya.

Orang-orang ini saya percaya tak perlu muluk-muluk memikirkan bagaimana kehidupan dan tinggal di surga yang entah seperti apa bentuknya di alam sana. Tak perlu mengkhayalkan keberadaan bidadari.

Surga ada di bumi. Di tempat kita tinggal saat ini. Gambaran sungai-sungai yang jernih mengalir bukan khayalan semata. Mereka ciptakan sendiri tempat yang nyaman bukan saja untuk manusianya tapi juga para hewan dan makhluk lain di alam semesta ini.

Bidadari? Who cares?


@syafa'atun aisya haack


Islam Masa Pilkada


DUNIA HAWA - Akhir-akhir ini, saya kian kewalahan meyakinkan seorang teman bule yang kuatir akan masa depan Islam Indonesia yang dia lihat kian urakan. Saya berupaya menjelaskan bahwa apa yang dia lihat saat ini hanyalah bagian dari dinamika Pilkada. Tapi tetap saja dia sering menutup obrolan dengan ungkapannya yang itu-itu juga:

"Novri, apa yang saya saksikan kini di Indonesia, mirip sekali dengan apa yang telah saya lihat puluhan tahun lalu di Pakistan."

Dia kuatir, Islam Indonesia akan kian satu warna dan satu suara, kian konservatif bahkan ultrakonservatif, dan dengan demikian akan kian akrab dengan kepicikan dan kekerasan.

Saya berupaya membantah dengan mengatakan bahwa Islam di Indonesia akan baik-baik saja. Yang Anda lihat saat ini adalah fenomena sesaat karena adanya konteks Pilkada. Tunggulah sampai Pilkada selesai, kehidupan keberagamaan orang Indonesia akan kembali normal seperti sedia kala.

Kala itu, Nahdlatul Ulama akan tetap menunjukkan eksistensi Islam Nusantara, Muhammadiyah tetap berupaya menampakkan wajah Islam yang berkemajuan.

Kelompok Ikhwani akan tetap diombang-ambing sistem—bukan malah mengubah sistem politik yang koruptif. HTI akan tetap berkampanye tentang khilafah walau sudah ada yang tegak di Suriah.

FPI mungkin akan tetap beraksi di momen-momen tertentu dengan sponsor yang berbeda-beda. Begitulah kira-kira jawaban saya.

Tapi terus terang, saya tak pernah yakin dengan jawaban saya. Yang saya kemukakan itu mungkin bisa disebut harapan atau pelipur lara yang ingin melegakan hati saja.

Saya tahu, dinamika Islam itu begitu kompleks dan kita tidak pernah tahu pada titik apa akan terjadi kejutan-kejutan sejarah. Kalau Anda pernah menonton film Persepolis, Anda mungkin akan kaget melihat kehidupan orang Iran berubah 180 derajat setelah terjadinya Revolusi Islam yang dipimpin Imam Khomaini di tahun 1979.

Kalau tidak suka dengan contoh dari kalangan Syiah, renungkanlah ini: Siapa yang dapat mengira bahwa di sebuah negara Arab yang sedang berkecamuk, di tahun 2015, sekonyong-konyong tegaklah sebuah sistem Khilafah yang diklaim telah berkesesuaian dengan minhaj atau jalan atau teladan kenabian?

Ini artinya, pembalikan-pembalikan dan kejutan-kejutan sejarah itu mungkin sekali terjadi dalam momen-momen yang revolusioner dan mengagetkan.

Karena itu, jangan sekali-kali bermain-main dengan api Islam. Anies Baswedan pun telah bertobat dan mencoba memadamkannnya walau di tempat yang salah!

Andaikan Habib Rizieq Syihab kembali mampu mengorganisir sebuah demonstrasi jutaan orang pada bulan atau tahun depan, lalu diberikan akses untuk menguasai Senayan oleh Fahri atau Fadli, karena itu berhasil menjatuhkan pemerintah dan memaksakan visinya tentang NKRI Bersyariah, tentu saja Indonesia akan berubah dalam sekejap mata. Apakah berubah ke arah yang lebih nyaman atau paling jahanam, itu lain soal.

Jalan ke arah itu lebih mudah lagi bila ada sokongan logistik dari sosok-sosok oportunis lokal maupun interlokal, asing ataupun aseng, didukung pula oleh orang kuat yang mungkin tak tahan lagi ingin berkuasa dengan segala cara.

Apakah partai-partai politik yang nasionalis akan mampu membendungnya atau akan ikut menari saja dalam genderang yang paling garang?

Saya memang cuma berkhayal. Tapi saya agak ngeri membayangkan Indonesia yang kini sedang giat berbenah justru tampak dibenci dan ingin dibelokkan ke arah yang sektarian dan tuna-peradaban.

Di saat-saat Pilkada Ibukota ini, kita kian sering menyaksikan ekspresi-ekspresi keagamaan yang paling norak dan paling dangkal.

Rukun Islam tiba-tiba bertambah dengan poin kewajiban orang Islam Jakarta untuk memilih paslon Muslim. Pilihan politik menentukan nasib jenazah apakah akan disalatkan atau tidak. Umat Islam tiba-tiba merindukan sosok Soeharto yang dulu dianggap sebagai taghut atau tiran paling efektif dalam mematikan politik Islam.

Ini artinya, Islam masa Pilkada adalah jenis Islam yang paling tidak konsisten dan paling manipulatif yang dapat kita saksikan. Ini adalah ekspresi Islam yang membenci seorang aseng dan mengemis kepada aseng-aseng lainnya.

Ini jenis Islam yang menyokong non-Muslim di suatu daerah dan memaki-maki calon non-Muslim di daerah lainnya. Ini adalah jenis Islam yang disesuaikan dengan kepentingan politik yang paling sempit, bukan Islam yang mengabdi untuk keutuhan tenun kebangsaan kita.    

Inilah jenis Islam yang paling labil untuk diamati dan paling tidak istiqamah untuk diteladani. Pada titik ini, mungkin kita perlu angkat topi untuk ideolog ISIS Indonesia, Ustad Aman Abdurrahman, yang kini masih mendekam di penjara Nusa Kambangan.

Tahun lalu, Ustad Aman melarang para pendukungnya untuk berpartisipasi dalam aksi-aksi bela Islam. Alasannya sederhana: semua aksi-aksi itu tidak lepas dari jebakan sistem taghut yang diharamkan Allah.

Ustad Aman benar belaka. Islam masa Pilkada adalah jenis Islam yang berdinamika di seputar sistem demokrasi yang menghalalkan suksesi kekuasaan dan kompetisi yang reguler dalam jangka lima tahunan.

Sistem ini memang belum pernah dianut umat Islam sejak zaman Nabi sampai dengan runtuhnya sistem Khilafah Turki Usmani (1924). Dalam sistem ini, yang dipilih bukanlah Khalifah atau Sultan, atau siapakah yang paling Islami, tapi siapa yang paling baik untuk mengabdikan dirinya kepada masyarakat selama lima tahunan.

Pada titik ini, Ustad Aman tampak konsisten, sementara mereka-mereka yang sudah kenyang dengan asam garam pahit manisya demokrasi justru mencla-mencle dan penuh kemunafikan.

Di suatu tempat, mereka menghalalkan dukungan kepada calon non-Muslim tapi di tempat lain mereka haramkan. Di suatu daerah mereka bisa memfatwakan haramnya pemimpin perempuan, di daerah lain justru menghalalkan.

Inilah Islam masa Pilkada, jenis Islam yang ditimbang bukan berdasarkan kemaslahatan bangsa, tapi demi kepentingan dan kekuasaan sesaat belaka.

Saya berharap, kekonyolan-kekonyolan dan bentuk-bentuk ketidakdewasaan dalam kehidupan berbangsa dan beragama ini hanya merupakan fenomena sesaat. Dengan begitu, setelah Pilkada usai, Islam Indonesia akan tetap warna-warni lagi dan tenun kebangsaan kita tidak terkoyak-koyak oleh penjahitnya sendiri.

Semoga ya Allah, Tuhan YME!


@novriantoni kahar


Astrologi dan Astronomi dalam Tradisi Keilmuan Islam


DUNIA HAWA - Beberapa tahun yang lalu saat saya masih duduk di bangku SMA, mungkin sekitar tahun 2012, saya menemukan sebuah buku yang membahas tentang astrologi dan zodiak Islam. Tentu sebagai anak muda yang dahulu penasaran dengan hal-hal yang berbau spiritual saya membeli buku tersebut. Setelah sekian lama buku itu saya beli, buku tersebut masih rapi tersimpan di rak dan belum saya baca (mungkin ini salah satu perbuatan mubazir, masa beli buku tapi ngga dibaca)

Setelah beberapa tahun kedepan ketika saya duduk di bangku kuliah dan kebetulan mempelajari sejarah peradaban Islam. Saya baru 'engeh' kalau buku tersebut adalah terjemahan kitab klasik karya ilmwan besar Arab di abad 8 Masehi, yaitu Abu Ma'syar Al-Balkhi atau Abu Ma'syar Al-Falaki. Siapa Abu Ma'syar Al-Falaki? Beliau adalah salah satu tokoh Astronom Muslim ternama di masanya, yaitu pada era pemerintahan kekhalifahan dinasti Abbasiyah.

Beliau adalah salah satu murid yang gemilang dari seorang filosof Muslim, Al-Kindi. Kejeniusannya dan kehebatannya dalam cabang ilmu perbintangan dan antariksa membuat orang-orang menjulukinya Al-Falaki alias ahli falak/astronomi. Ya segitu saja yang saya tahu mengenai biografi beliau, tapi yang menarik dari beliau adalah pemikiran dan teori-teori perbintangan yang di cetuskannya saya rasa  tidak umum dengan keyakinan yang di anut oleh umat muslim sekarang.

Umumnya yang kita ketahui, menurut para ulama ilmu perbintangan itu haram, sebab kita mencoba-coba melihat nasib yang telah ditentukan oleh Allah, atau percaya bahwa langit-langit itu bisa menentukan nasib kita. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW: “Barangsiapa mempelajari satu cabang dari ilmu nujum, ia telah mempelajari satu cabang dari ilmu sihir.” (HR. Abu Dawud 3907)

Namun tentu para ahli astronomi Muslim pada waktu itu menolak bahwa mereka membuat sihir. Dalil mereka pun cukup kuat yaitu berdasarkan ayat Al-Quran : " Dan (Dia ciptakan) tanda-tanda (penunjuk jalan). Dan dengan bintang-bintang itulah mereka mendapat petunjuk.” (An-Nahl: 16) “Dan Dialah yang menjadikan bintang-bintang bagimu, agar kamu menjadikannya petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut.” (Al-An’aam: 97)

Intinya, para astronom Muslim pada saat itu berpendapat bahwa jika melihat tanda-tanda langit seperti rasi bintang, orbit planet-planet, serta pergerakan benda langit lainnya, adalah sebagai suatu pengamatan ilmiah, bukan sihir atau bersekutu dengan setan. Termasuk mencari pengaruh dari pergerakan benda-benda langit pada keadaan manusia di bumi, bagi Para Astronom Muslim itu sah-sah saja, bahkan sangat dibutuhkan.

Langit dan Aktivitas Manusia


Buku Abu Ma'syar ini bagi saya pribadi sungguh berharga, di samping sebagai peninggalan khazanah intelektual para ilmuwan Muslim di masa lampau, sekaligus memberi suatu pengetahuan baru bagi saya. Dan jika anda telah membaca buku ini, maka yakinlah bahwa ilmu falak atau astronomi  yang berkembang di dunia Islam pada saat ini sangat tertinggal jauh daripada ilmu astronomi di masa peradaban Islam lampau.

Di masa kini, objek ilmu falak kalau tidak membahas kalender awal bulan, waktu salat, pasti menentukan arah kiblat. sedangkan dahulu, cakupan ilmu falak luas sekali. Tapi saya yakin jika beberapa sahabat Muslim membaca buku ini, maka mereka akan langsung mencap buku ini sebagai buku sesat, khurafat, Bid'ah atau merespon negatif sebagaimana mereka merespon negatif buku Syamsul-Ma’arif karya Abu Ali al-Buti sang mistikus Islam.

Hal ini disebabkan karena buku ini menjelaskan bahwa fungsi ilmu falak atau nujum selain melihat cuaca, menentukan masa-masa panen, dan membaca tabiat alam, ilmu perbintangan juga bisa melihat tabiat dan sifat watak manusia juga mengenai hari baik dan buruk. Konon pada masanya, kitab ini di jadikan pegangan oleh para petani dan pedagang untuk melihat hari-hari baik dan hari-hari naas dalam bekerja.

Sebagaimana yang di yakini oleh para ahli astronomi zaman dahulu (mengutip ucapan Al-Kindi) bahwa ilmu nujum dan falak bukanlah ilmu sihir, namun ILMIAH. Ada keterikatan erat antara manusia (bumi) dengan planet-planet (antariksa), karena bagaimanapun kita dan planet kita adalah bagian dari alam semesta dan masuk kedalam hukum-hukum yang berlaku universal di ruang angkasa.

Menurut Abu Ma'syar dan para astronom Muslim, manusia sebagai makhluk mikro kosmos terikat dengan hukum yang menggerakan alam makro kosmos ini. Jadi pada dasarnya planet-planet dan bintang juga memiliki daya yang mempengaruhi aktifvtas di bumi, termasuk manusia. Contohnya seperti pasang surut lautan, bencana alam, wabah, kemakmuran bahkan kehidupan manusia.

Walaupun ilmu pengetahuan modern sudah memisahkan ilmu Astrologi dengan Astronomi, namun dalam konteks sejarah dimana buku Abu Ma’syar ini lahir, antara ilmu Astrologi dengan ilmu Astronomi masih merupakan kesatuan yang belum terpisah. Sehingga dapat kita lihat bahwa ilmuwan Muslim tetap mengkategorikan ilmu perbintangan sebagai salah satu bagian dari sains astronomi. Walaupun dianggap bisa menentukan nasib manusia, namun semua itu tetap dalam koridor kekuasaan dan takdir Allah

Salah satu bentuk pengaruh benda langit pada aktivitas manusia adalah, Bahwa letak bintang dan planet dapat menunjukan gejala beruntung dan naas. Contohnya jika seseorang lahir pada tanggal dan bulan sekian, maka hari baiknya adalah di saat Sore ketika planet sekian berada di posisi sekian. Begitu juga saat naasnya, bisa di prediksi dengan melihat tempat-tempat planet dan bintang. Konon kabarnya melalui ilmu nujum ini, Abu Ma’syar berhasil memprediksi dengan tepat adanya wabah kolera yang menyerang negerinya.

Sekali lagi penulis tekankan bahwa ilmu Nujum bukanlah ilmu sihir dan memakai bantuan setan seperti tuduhan para beberapa ulama. Menurut para Astrolog Muslim tersebut, ilmu nujum bergerak dengan ketetapan hukum yang pasti dan siapapun dapat mempelajarinya tanpa embel-embel ritual seperti yang dilakukan oleh para ahli sihir.

Sebagaimana sabda Nabi bahwa ramalan dengan angka-angka, garis-garis atau tabel-tabel yang tepat adalah boleh: "Seseorang di antara para Nabi (kemungkinan Idris as) ada yang meramal nasib dengan garis. barangsiapa yang garisnya bertepatan dengan garis nabi tersebut, maka benarlah ramalannya" (HR. Abu Dawud, Nasa'i dan Muslim).  Para ahli nujum atau astrologi juga menggunakan tabel dan garis untuk membaca tanda-tanda langit.

Asumsi saya mengenai buku astrologi Islam ini. Di lihat dari segi peradaban pada masa itu, pastilah teori-teori astronomi dalam buku ini terpengaruh oleh ilmuwan Yunani atau Persia. Namun sang penulis (Abu Ma'syar) mencoba "mengislamisasi" ilmu astrologi ini dengan banyak mengutip ayat-ayat Al-Quran dan juga membuat hizib-hizib dan azimat sebagai penangkal dari keburukan.

Bagi saya pribadi, perkembangan ilmu falak (astronomi) Islam saat ini jelas ketinggalan jauh dengan ilmu falak zaman dahulu apa lagi dengan ilmu falak modern yang dikembangkan oleh para Astronom barat. Dahulu kita mengenal Al-Biruni, Umar Khayyam, Ma’syar Al-falaki, Ibn Haytam, Al-Kindi, Al-Zarqali, Al-Farghani, Ar-Razi, Al-Farabi, Al-Battani dan lain sebagainya sebagai sosok Ahli falak yang mandiri dan tak segan-segan mengeluarkan teori baru yang menakjubkan.

Dengan kebebasan bereksperimen dan semangat ilmiah inilah yang membuat cakupan ilmu falak saat itu sangat luas. Bahkan sampai membicarakan secara detail hubungan benda angkasa dengan manusia. Yang membuat ilmu falak di zaman sekarang menjadi mati dan mengalami stagnasi, karena perannya di reduksi hanya sebagai  penentu kiblat dan waktu-waktu salat saja. Begitupula saat ini tak ada tokoh ahli astronomi yang berani mencetuskan sebuah teori baru.

Di tambah lagi dari sekian banyak teori-teori ilmu falak, ada pula teori dan metodenya sudah ketinggalan zaman namun masih di pertahankan. Jika sampai saat ini belum ada gebrakan dan inovasi baru dalam ilmu astronomi Islam, sebagaimana gebrakan Galileo atau Copernicus di dunia Kristen. Maka jangan heran jika setiap penentuan bulan Ramadhan dan Syawal kita akan di pusingkan dengan perdebatan mengenai soal-soal astronomi ini. Sampai-sampai untuk satu objek bulan saja bisa mencapai 3 pendapat yang berbeda-beda.

Hal ini disebabkan penggunaan metode perhitungan antariksa yang tidak diperbaharukan dan juga akibat dari sains astronomi menjadi semacam fiqh alias di bakukan. Sehingga sulit untuk melakukan inovasi ilmiah, apalagi untuk melakukan kritik pada teori lama dan gebrakan ilmiah. Pada suatu saat, Saya tetap berharap bahwa kelak ilmu falak dapat menjangkau planet-planet lain seperti Mars dan Jupiter.


@reynaldi adi surya II


Inilah Pemenang Sebenarnya di Pilgub DKI 2017


DUNIA HAWA - “ … secara ksatria dan lapang dada saya menerima kekalahan saya dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta ini.” Itu sepenggal pidato “kekalahan” Agus Harimurti Yudhoyono setelah jumlah suara yang ia peroleh dalam Pilgub DKI Jakarta 2017 lalu paling sedikit dibanding kedua pasangan calon (paslon) lain, Ahok-Djarot dan Anies-Sandi.

Agus mengaku kalah. Dengan begitu, logikanya, ada yang menang. Dalam hal ini, pemenangnya akan ditentukan di putaran kedua April nanti. Ketika pola pikir ‘bertarung’ dikedepankan dalam mencari solusi, pada akhirnya memang akan ada yang menang dan ada yang kalah.

Segala amunisi pun disiapkan untuk perang. Penganut agama Islam yang mayoritas terlihat begitu seksi untuk dijadikan target meraup suara. Maka, agama yang seharusnya ada di level tertinggi kesadaran hidup manusia pada frekuensi ilahiah dengan mudah diturunkan ke level yang sangat rendah pada frekuensi hewaniah demi kepentingan nafsu. Isu-isu sensitif dimainkan dengan menggedor akal dan mengocok emosi secara kasar.

Amunisi lain: membidik kelemahan atau kekurangan lawan. Ini sangat terlihat dalam sesi debat di putaran pertama lalu. Dan sudah barang tentu Ahok sang petahana-lah yang menjadi sasaran serang kedua paslon lain. Sekecil apa pun kekurangan yang dilihat, jadikan itu titik sasaran tembak. Buat hal itu menjadi seolah begitu besar artinya. Abaikan betapa banyak keberhasilan yang sudah ia capai selama ini. Kasih saja nila setitik, kan bakal rusak susu sebelanga.

Sedihnya, mereka tampak menikmati cara-cara yang tidak ‘berhati’ tersebut dan sekaligus dampaknya. Setidaknya, tidak terlihat ada upaya mendinginkan suasana dari kubu para paslon. Saling cela, saling ancam, olok-olok, caci-maki, hingga saling tuntut di ranah hukum berseliweran di dunia maya dan dunia nyata.

Sukses atau Sukses?


Serangan dari masing-masing kontestan begitu dahsyat. Sukseskah? Kalau tujuannya mengobrak-abrik ketenteraman dan kedamaian rakyat, bolehlah dibilang sukses. Lihat saja, tak hanya rakyat Jakarta tapi juga rakyat Indonesia secara umum ikut bertarung. Yang tadinya berteman, sekarang jadi lawan. Yang awalnya follower, sekarang harus rela di-unfollowed. Yang semula memuji, sekarang membenci.

Tak hanya kondisi politik yang jadi karut marut, tapi juga sosial makin kusut. Rakyat terpecah, bangsa pun, duh (bisa-bisa), terbelah. Tapi memang itulah konsekuensi dari sebuah pertarungan. Harus ada korban.

Tapi jika tujuannya mengalahkan lawan, tunggu dulu. Sebagai pihak yang ‘harus dilawan’ untuk dikalahkan, Ahok-Djarot justru meraup suara terbanyak pada putaran pertama. Kalau sistem Pilkada DKI sama dengan daerah lain, tentu pasangan Agus-Sylvi dan Anies-Sandi sudah terlempar kalah, dan Ahok-Djarot menang.

Namun begitu, tetap saja kemenangan Ahok-Djarot akan tetap meninggalkan ‘kekalahan’ di sisi lain: kekecewaan, kesedihan, dendam, amarah, dan sakit hati dari para pendukung paslon yang dikalahkan. Untuk mengembalikan suasana hati mereka tentu butuh waktu yang tidak sebentar. Buktinya, sampai sekarang barisan sakit hati dari ajang Pilpres 2014 lalu tetap dengan garang mengumbar dendam.

Ubah Pola Pikir, ah!


Akankah pola pikir “bertarung” masih dianut pada putaran kedua Pilgub DKI ini untuk menjatuhkan sang petahana dari kursinya? Kemungkinan sangat besar, masih. Kubu Anies-Sandi terus menggalang kekuatan untuk mengalahkan Ahok-Djarot. Setali tiga uang, kubu Ahok-Djarot juga terus memperkokoh barisan untuk mempertahankan kemenangan.

Sementara itu, di akar rumput, ejek-mengejek, umpat-mengumpat, dan sejenisnya juga tetap terjaga kelestariannya. Capek, bukan? Bahkan hanya membaca tulisan ini hingga baris ini, energi kita seakan terisap nyaris kering.

Sebetulnya, untuk mencari dan memilih pemimpin Jakarta mendatang tidak harus mengorbankan begitu banyak energi dan meninggalkan begitu banyak dendam dan sakit hati. Cukup dengan mengubah pola pikir “bertarung” dengan pola pikir “berembuk”.

Dengan mindset tersebut, kampanye tetap diadakan, bukan untuk saling berkompetisi, tapi bagaimana membangun kolaborasi. Debat tetap dilakukan, bukan lagi menggunakan akal untuk mencari-cari kelemahan lawan, tapi menggunakan hati untuk merangkul kelebihan lawan. Bukan berusaha mengungguli lawan, tapi berusaha saling melengkapi. Tidak lagi memaksakan kehendak, tapi menyelaraskan kehendak. Sebab, tujuan akhir mereka sama, kok: membangun Ibu Kota dengan lebih baik.

Bisa dibayangkan dampak dari itu. Rakyat justru akan bersatu dan bergotong royong (satu ciri khas bangsa Indonesia yang makin langka sekarang ini) karena bakal punya pemimpin yang berbudi. Tak ada lagi perpecahan di akar rumput akibat berpihak pada satu paslon—lha wong kedua paslon saja berangkulan mesra.

Jika Anies-Sandi memang menjual kepemimpinan yang adem dan tidak membuat rakyatnya ketakutan—seperti yang mereka gembar-gemborkan selama ini, inilah saatnya untuk menunjukkan bahwa merekalah calon pemimpin dengan kualitas seperti itu.

Bukankah akan adem jika dalam debat nanti Anies-Sandi mengakui semua keberhasilan program Ahok-Djarot selama memimpin (karena saya yakin dalam hati kecilnya mereka mengakui itu), dan kemudian meminta izin kepada sang petahana untuk melanjutkan keberlangsungannya jika mereka terpilih.

Bahkan jika perlu mengajak Ahok-Djarot untuk membantu program-programnya dari sisi lain. Dengan begitu, rakyat Jakarta tetap diuntungkan. Bukan mengecilkan keberhasilan dan membesarkan kekurangan lawan, lalu menawarkan program baru yang membuat rakyat bingung.

Bukankah akan adem jika dalam kampanyenya, Anies-Sandi melontarkan pernyataan yang membesarkan hati Ahok untuk tetap tegar menghadapi masalah dan mengajaknya untuk fokus membangun Jakarta. Bukan malah memanfaatkan keterpojokan Ahok itu untuk menjatuhkannya.

Kalaupun ternyata akhirnya Anies-Sandi tidak terpilih menjadi Gubernur DKI Jakarta nanti, mereka tetap akan menjadi pemenang. Menang karena telah mendahulukan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi. Menang karena telah menyelamatkan rakyat dari perpecahan yang mungkin terjadi. Dan, ini yang penting, menang atas dirinya sendiri. Karena, bukankah musuh terbesar manusia itu adalah dirinya (baca: nafsunya) sendiri.

@hyu