Monday, February 20, 2017

Buni Yani yang Berjuang Sendiri


DUNIA HAWA 

Apa kabar Buni Yani?
Lama tak terdengar suaramu
Engkau yang dulu begitu ganas
Kini terkabar terkulai lemas
Kudengar engkau sering bulak balik ke kantor polisi
Menuntut keadilan untukmu sendiri..
Sendiri?
Kemana 7 juta manusia yang dulu bergerak karenamu?
Baru kudengar kabarmu hari ini
Berkasmu sudah lengkap dan sedang dikirim ke Kejaksaan tinggi
Sidang praperadilanmu ditolak
Ah malangnya nasibmu, nak..
Engkau teriak supaya kasusmu dihentikan
Entah apa yang membuatmu berfikir demikian
Bukankah engkau seharusnya bangga?
Kan sudah dinobatkan sebagai pahlawan Islam media sosial
Fahira Idris berkata, "Jangan biarkan Buni Yani berjuang sendiri!"
Memang mudah mempermainkan lidah
Dia tidak merasakan apa yang sedang kau rasakan
Ia berteriak di ruang DPR yang nyaman

Sedangkan engkau harus bulak balik ke pengadilan
Sudahlah tidak usah merengek
Atau menangis gulung-gulung sampe bengek
Hadapi semua dengan senyuman
Hidup itu indah bukan?
Meski harus dijalani dalam tahanan..
Apa kabar Buni Yani?
Lama tidak terdengar kabarmu
Pahlawan yang terlupakan
Dikenang tidak, cuman dimanfaatkan..
Kapan-kapan kalau sempat aku datang
Kubawakan kau secangkir kopi
Aku pasti tersenyum ketika mendengar semua keluh kesahmu
Kan kupegang pundakmu
Dan kubisikkan kata yang membangkitkan semangatku

"Sukurin....

@denny siregar


Bisakah Kejanggalan Saksi Jadi Bukti Kesaksian Palsu?


DUNIA HAWA - Menurut ilmu filsafat, sesuatu bisa dikatakan benar jika ia dibangun dengan cara-cara yang benar pula. Dan paradigma ini saya kira juga tepat guna jika diterapkan dalam menelaah benar tidaknya kesaksian para saksi yang dihadirkan untuk menggugat Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sebagai terdakwa dugaan penistaan agama.

Dari awal sampai sidang Ahok yang ke-10, 13 Februari 2017, hampir tak ada kejelasan yang bisa saya temui dalam prosesnya untuk mengakui bahwa Ahok benar sebagai penista agama dan ulama. Bagaimana tidak, kasus yang menjerat peserta Pilkada 2017 ini melulu dibangun dalam nuansa penuh kejanggalan-keanehan.

Lihat misalnya ketika video pidatonya di Kepulauan Seribu yang kontroversial itu, diviralkan dengan mengkorup kata “pakai” yang harusnya ada dalam pernyataannya. Korupsi kata inilah yang kemudian (seolah-olah) membuat Ahok menyatakan bahwa “jangan mau dibohongi al-Maidah 51…”

Kejanggalan itu kemudian berlanjut ketika berkas kasus Ahok dilimpahkan hanya dalam rentan waktu yang begitu singkat, yakni 3 hari. Ini yang kemudian memicu adanya penilaian bahwa dalam kasus Ahok, tekanan massa ikut bermain. Dan ini, saya kira, sudah menjadi rahasia umum bersama.

Kejanggalan terus dan terus terjadi ketika saksi (pelapor) dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum. Dari sidang kedua sampai yang terakhir (ke-10), tak satupun yang saya dapati adanya saksi yang benar-benar bersih dalam memberikan kesaksian.

Sebut misalnya Gus Joy, Novel Bamukmin, atau siapalah yang memberi kesaksian secara perorangan. Hampir semuanya identik sebagai orang-orang yang anti-Ahok.

Jika dasarnya saja sudah benci, maka bisakah kesaksiannya menjadi objektif? Ingat Pram, sulit kiranya berbuat adil jika dalam pikiran saja orang sudah tidak adil. Jika benci, mau itu baik atau tidak, si pembenci tetap akan menilai orang yang dibencinya itu buruk. Begitu sebaliknya.

Adapun kesaksian dari perwakilan lembaga seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), hal ini juga menampakkan kejanggalan dalam kesaksiannya. Kita tahu bahwa MUI adalah pihak/intitusi yang mengeluarkan sikap dan pendapat keagamaan yang menyatakan bahwa Ahok benar telah menistakan agama dan ulama. Lantas, jika kesaksiannya dihadirkan di depan sidang, secara filsafat hukum, saya kira sangat tidak pantas.

Sungguh, seseorang yang punya kepentingan selain kebenaran, dalam dimensi filsafat hukum, dia tidak akan pernah bersikap independen. Dan karenanya, kesaksian yang diberikannya pun mustahil bisa objektif.

Kan lucu kan? Masa dia yang kasih pendapat dan dia pula yang harus memutuskan? Ya jelaslah bahwa pendapatnya yang akan diputuskan sendiri sebagai kebenaran. Hal semacam ini tidak jarang terjadi.

Kejanggalan yang juga terus ditampakkan oleh para saksi pendakwa Ahok dating dari kesaksian para ahli Bahasa. Mahyuni, salah satu ahli bahasa yang dihadirkan JPU di sidang ke-10, memperlihatkan ketidakkonsistenan dalam bersikap. Lihat saja ketika dia menyatakan bahwa keterangan tertulis itu jauh lebih bisa dipertanggungjawabkan daripada keterangan yang dinyatakan secara lisan.

Ketika tim pengacara Ahok bertanya tentang bagaimana penilaian Mahyuni soal al-Maidah yang Ahok sebut, baik secara lisan melalui pidatonya di Kepulauan Seribu maupun secara tertulis dalam bukunya berjudul Merubah Indonesia. Mendapat pertanyaan semacam ini, Mahyuni tampak tidak banyak berkomentar dengan alasan belum melihat (membaca) tulisan Ahok tersebut.

Tahu bahwa dirinya belum melihat/membaca buku Ahok, yang aneh adalah bahwa dia bisa mengklaim bahwa apa yang tertuang dalam tulisan tersebut (Merubah Indonesia) tidak sama dengan ujaran Ahok secara lisan dalam pidatonya tentang al-Maidah.

Inilah yang lagi-lagi janggal. Di satu sisi tidak membaca, tetapi di sisi lain menilai bacaan yang belum dirinya baca.

Mestinya, jika Mahyuni benar-benar konsisten terhadap perkataannya, tulisan Ahok soal al-Maidah dalam buku tersebut harusnya menjadi pertimbangan juga. Mengikut katanya, bukankah sesuatu yang tertulis itu jauh lebih bisa dipertanggung jawabkan daripada yang diujarkan secara lisan? Tapi mengapa hal itu tidak pertimbangan utama dalam kasus Ahok ini?

Kejanggalan lainnya ditemukan dalam berita acara pemeriksaan (BAP) penyidik. Seperti dijelaskan oleh tim pengacara Ahok, ada kesamaan jawaban antara saksi ahli yang satu dengan saksi ahli lainnya

Menurut pengacara Ahok, ada dua BAP yang sama persis. Ada di butir 17 BAP ahli di halaman 6 itu pertanyaannya sama dan jawabannya sama dengan apa yang dijawab oleh saksi ahli lain sebelumnya. Bahkan, tak hanya definisi, tanda baca dan kesalahan penulisan (typo) pun juga sama.

Jika seperti ini faktanya, kembali ke pandangan secara filsafat di atas, bisakah sesuatu yang jelas terbukti adanya kekeliruan dalam prosesnya lalu dinyatakan sebagai sebuah kebenaran? Artinya, bisakah kejanggalan dari para saksi ini menjadi tolak ukur bahwa mereka sebenarnya telah membangun kesaksian yang palsu? Kalau begitu, bisakah kesaksiannya itu diterima? Saya kira tidak.

Tapi entahlah. Majelis Hakim sendiri yang pada akhirnya akan memutuskan. Sebagai penulis, lebih tepatnya pengamat (bukan pengamat ahli tentunya), saya hanya bisa mereka-reka itu dari sejumlah opini yang telah berkembang. Benar atau tidaknya, sekali lagi, hanya Majelis Hakim sendirilah yang berhak memutuskan.

Jika akhirnya Majelis Hakim menyatakan bahwa Ahok benar bersalah sebagai pelaku penistaan, maka bisa dipastikan bahwa Majelis Hakim mengikuti kesaksian palsu yang dibangun dari cara-cara yang penuh kejanggalan itu. Tapi jika Ahok dinyatakan bebas dari tuduhan penistaan ini, maka itu berarti bahwa Yang Mulia telah jeli dalam melihat persoalan yang berbelit-belit tanpa ujung ini.

@maman suratman


Jantanlah Freeport !


DUNIA HAWA - Tadi jam 10 pagi, Presiden dan CEO Freeport McMoran Inc. Richard Ackerson, mengadakan jumpa pers. Pada intinya ia mengeluhkan tentang ketidak-adilan pemerintah Indonesia dalam mengambil langkah terkait situasi Freeport. Ia juga mengatakan akan mem-PHK banyak karyawan karena buntunya ekspor konsentrat yang menjadi sumber penghasilan mereka.

Ada kemungkinan besar PT Freeport Indonesia akan melakukan langkah Arbitrase, atau penyelesaian sengketa melalui jalur diluar pengadilan.

Menteri Jonan sendiri menilai langkah Arbitrase adalah langkah tepat, daripada sibuk mengancam akan memecat karyawan. Itu langkah jantan daripada berlindung dibalik punggung karyawan.
Pemerintah Indonesia sendiri percaya bahwa negara akan menang. Berkaca dari menangnya pemerintah ketika berhadapan dengan PT Newmont Nusa Tenggara.

Keras kepalanya Jonan didukung oleh anggota DPR. Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Satya Widya Yudha, mengatakan, "Negara kita negara berdaulat. Jangan benturkan rakyat dengan pemerintah.."
Sementara itu Presiden Direktur PT Freeport Indonesia, Chappy Hakim, sudah mengundurkan diri dari Freeport. Ini membuat Freeport Internasional tidak punya negosiator lagi sebagai jembatan antara mereka dan pemerintah Indonesia.

Baru kali ini Freeport ditekan luar biasa. Langkah-langkah mereka seperti mati gaya ditangan Jonan. Mereka digiring ke arah permainan tanpa bisa mengendalikan situasi seperti yang biasa mereka lakukan. Biasanya cukup bayar beberapa pejabat, selesai perkara. Mereka salah besar menghitung nasionalisme punggawa-punggawa pemerintahan sekarang ini.

Pemerintah Indonesia tidak suka bertarung di jalan. Selain tidak etis, itu menunjukkan cara yang tidak profesional. Freeport digiring ke ring pertempurang untuk bertarung secara sah dan legal. "Ayo kita pukul-pukulan di area yang legal.." begitu bahasa sederhananya.

Maukah Freeport?

Belum tahu, tapi naga-naganya -bukan naga bonar- Freeport dengan terpaksa harus ikut keras kepalanya Indonesia.

Dampak negatifnya tentu ada, yaitu penghentian produksi sementara. Dan ini berakibat banyak karyawan yang terpaksa dirumahkan. Sejumlah ekspatriat bahkan dikabarkan sudah dipulangkan ke negaranya.

Entah harus senang atau sedih melihat situasi ini. Senang, karena baru kali ini kita melihat bahwa negara kita sangat berdaulat. Dan sedih, mengingat banyak karyawan yang terpaksa dirumahkan.

Apapun itu, perjuangan memang selalu membawa korban. Semoga nasionalisme di dada para karyawan Freeport yang dirumahkan, akan menjadi pondasi kuat mereka dalam menghadapi situasi sulit ini..

Semoga secangkir kopi bisa sedikit menguatkan.

@denny siregar


Bencana Komunikasi yang Hancurkan Anies-Sandi

Tentang DP 0%


DUNIA HAWA - Jika harus mengevaluasi awal keruntuhan elektabilitas Agus di putaran pertama, saya berani bilang segalanya diawali pernyataan serampangan Agus soal rumah apung.

Mungkin benar ada beberapa contoh inisiatif di luar negeri untuk membuat ide rumah yang bisa memanfaatkan ruang di atas air, namun ini belum bisa diakomodasi dalam peraturan di Indonesia mengenai sungai (dan waduk).

Ini memperlihatkan ketidakkompetenan seorang kandidat karena abai terhadap regulasi, yang kemudian dieksploitasi lawannya. 

Agus kemudian berupaya mati-matian membantah bahwa ide rumah apung itu bukanlah bagian dari program kerjanya, yang sayangnya sudah terlambat.

Semakin kuat ia berupaya menjelaskan, semakin menjadi bahan olok-olok calon pemilih. Agus tersingkir, upaya kampanye ke puluhan ribu RT RW lenyap sia-sia di hari H pemilihan.

Anies mungkin lebih baik karena bisa menahan diri untuk tidak mengeluarkan blunder ide serupa, setidaknya hingga debat terakhir.

Sayangnya di hari-hari akhir jelang pencoblosan ia mengeluarkan ide aneh bin ajaib, memfasilitasi cicilan rumah bebas DP, yang secara regulasi dan analisa dampak resikonya terhadap keuangan perbankan di Indonesia bisa dahsyat.

Anies kekeuh dengan ide DP 0%-nya ini karena memang akan menarik bagi warga kalangan bawah yang memimpikan rumah tinggal sendiri.

Sayangnya ide ini kemudian ditentang kalangan perbankan. Bahkan Gubernur BI ikut angkat suara menyatakan ide ini tidak boleh diwujudkan sebab sudah dicantumkan dalam peraturan bahwa DP wajib ada sebagai komitmen bersama pencicil dengan pihak Bank untuk menanggung resiko bersama-sama secara adil.

Di sinilah awal malapetaka berantakannya komunikasi Anies.

Anies mengulangi bencana yang diciptakan Agus. Alih-alih mengakui kesalahannya dalam mengabaikan regulasi dan minta maaf, ia berbalik menyalahkan masyarakat yang salah mengerti dengan idenya. Anies menciptakan kalimat ngeles bin ngeyel, 

"Bukan nol persen tapi enggak bayar, nol rupiah, atau tanpa DP. Persen itu kalau ada cicilan. Cicilannya berapa persen. Kalau DP ada bunganya dong. Nol rupiah tanpa DP," ucapnya seperti dikutip oleh viva.co.id.

Apa pun maksud Anies, masyarakat langsung dibuat bingung kuadrat. Apa bedanya DP 0% dengan DP Nol Rupiah? Apakah karena dinyatakan langsung oleh Gubernur BI bahwa Rp 0% tidak boleh, lalu diubah sedikit kalimatnya menjadi DP Nol Rupiah lalu tiba-tiba jadi boleh?

Ini jelas sekedar permainan kata yang sama sekali tidak mengubah substansinya. Tetap saja Anies berupaya menawarkan cicilan tanpa DP yang tegas dilarang oleh BI.

Yang jelas, terlihat bahwa Anies berusaha melemparkan kesalahan kepada pihak lain yang salah memahami ide “jenius”nya. Tapi Anies sulit berkelit dari jejak digital. Justru terekam bahwa ia sendirilah yang menciptakan istilah 0 persen tersebut dalam sebuah wawancara di Global TV, dalam tajuk acara Bulettin Indonesia Pagi,

“Kita akan menyiapkan program, di mana warga Jakarta bisa memiliki rumah, secara kredit, dengan DP 0 persen. Kita akan menggunakan fasilitas bank ….”

Ini dikuatkan pula dengan poster digital (meme) yang terlanjur diposting oleh Gerindra. Maka aneh sekali jika Anies menyalahkan pihak lain, padahal itu berasal dari pernyataan dia dan partai pendukungnya sendiri.

Bahkan kini fansnya pun serentak menyalahkan Bank Indonesia selaku regulator karena dianggap tidak pro penyediaan rumah bagi rakyat miskin. 

Padahal aturan tersebut sudah dikeluarkan BI jauh sebelum Anies menciptakan gagasan luar biasanya.

Sesuai dengan pengakuannya kala debat, bahwa ia dibantu oleh sosok Usman bin Affan: yaitu Sandiaga Uno yang berpengalaman dalam pembiayaan, maka Anies sebenarnya perlu mengevaluasi Uno dan tim yang mendampinginya, bagaimana mungkin ide tersebut dianggap masuk akal tanpa mengecek regulasi yang berlaku terlebih dahulu?

Lalu kenapa sekarang berbalik menyalahkan BI kalau kenyataannya Uno yang teledor tidak mempertimbangkan aspek legalitas yang berlaku?

Nasi sudah jadi bubur. Blunder ini akan terus berputar berhari-hari, bahkan mungkin berminggu-minggu hingga jelang pencoblosan putaran kedua.

Bukan hanya karena kesalahan perhitungan program, namun juga karena Anies dan timnya gagal memberi respon yang mampu meredam dampak negatif krisis ini. Anies malah menyalahkan orang lain ketimbang berupaya melokalisir masalah dan memadamkannya. 

Kini muncul tuntutan agar Anies dan Sandiaga Uno meminta maaf di hadapan publik karena dianggap melakukan kebohongan publik, dengan menawarkan program muluk-muluk yang sebenarnya mustahil diwujudkan.

Akankah mereka cukup gentle melakukannya? Atau malah berkelit mencari pembenaran lain hingga akhirnya calon pemilih muak dan kejadian bencana elektabilitas pada Agus terjadi kembali? Kita tunggu saja!

@malika salsabilla



Freeport Vs Pemerintah Indonesia


DUNIA HAWA - Menyaksikan pertarungan PT Freeport melawan pemerintah Indonesia ini memang mengasyikkan. Freeport sejak tahun 1967, menikmati betul fasilitas yang diberikan oleh Presiden kedua Indonesia, Soeharto, dalam bentuk Kontrak Karya. Kontrak Karya ini memungkinkan PT Freeport Indonesia untuk mengatur segala macam operasional mereka termasuk keuangan dan pemerintah tidak boleh ikut campur dalam pelaksanaannya.

Dalam artian sederhana, "Hei pemerintah, lu diem aja entar gua bagi deh keuntungannya. Kalo ada untung lho ya.." Bertahun-tahun seperti itu dan kita tidak punya kontrol terhadap sumber daya alam kita.

Kemudian datanglah Jokowi..

Dengan Jonan Menteri ESDM sebagai panglima perangnya, maka permainanpun berubah. Jonan memaksa PT Freeport untuk mengubah perjanjian Kontrak Karya yang selama ini dinikmati Freeport menjadi ijin pertambangan biasa, sama seperti ijin pertambangan perusahaan lainnya.

Dengan ijin pertambangan biasa itu, maka ada kemungkinan pemerintah Indonesia bisa menguasai (divestasi) saham Freeport sampai 51 persen. Dalam artian, Freeport satu saat akan menjadi milik kita.

Freeport ternyata tidak menyerah. Mereka memakai jurus lama, yang dulu selalu berhasil mereka lakukan yaitu jika pemerintah Indonesia macam macam, maka mereka akan memecati pegawai-pegawainya.

Kenapa dulu pemerintah takut? Yah, selain "selalu ada uang dibalik batu", juga yang ditakutkan adalah multiplier effect atau dampak sistemiknya.

Ratusan ribu pegawai yang selama ini mencari makan di PT Freeport akan dipecat dan itu menciptakan banyak pengangguran. Ketika banyak yang ngaggur, maka akan berdampak pada ekonomi di Papua. Ketika ekonomi lemah, maka akan diciptakan kerusuhan kerusuhan kecil yang akan diperbesar di sana. Ini memang akal licik yang selalu dipakai mereka..

Saat ini ada lebih dari 23 ribu karyawan dan privatisasinya yang bergantung pada Freeport. Dan ketika mereka dipecat dengan alasan penghematan karena Freeport sudah tidak boleh lagi ekspor konsentrat maka para karyawan itu akan digiring untuk protes ke pemerintah.

Dan ini sudah terjadi. 300 karyawan dikabarkan sudah dipecat Freeport. Dan mereka akhirnya berdemo di kantor bupati dan DPRD Mimika, meminta pemerintah untuk membuka kembali ijin ekspor konsentrat Freeport supaya bisa kembali bekerja. Licik, bukan?

Mimika sekarang bergolak. Ribuan personel aparat sudah diturunkan kesana untuk menjaga wilayah. Ada kemungkinan demo demo akan terus dilanjutkan, untuk memaksa pemerintah membuka kembali keran ekspor konsentrat yang selama ini menjadi sumber makan PT Freeport Indonesia.

Apakah Menteri Jonan akan mundur dan kembali membiarkan PT Freeport seperti biasanya? Ataukah ia melawan dengan menghadapi potensi resiko besar yang akan menggoyangkan keamanan?

Sementara itu kabar terbaru, Ketum PBNU KH Said Agil Siradj sudah mengatakan siap berdiri di belakang pemerintah Indonesia dalam menghadapi Freeport.

Episode Freeport ini semakin menarik. Kita lihat episode berikutnya sambil seruput secangkir kopi.

@denny siregar