Monday, February 13, 2017

Surat Terbuka Untuk Basuki Tjahaja Purnama


DUNIA HAWA

Yang terkasih Pak Ahok.

Tak pernah terpikir olehku saat ingin mengabdi pada Ibu Pertiwi kau harus babak belur seperti ini hanya karena statusmu sebagai orang Kristen dan WNI keturunan Cina.

“Mereka” dengan sadar melupakan bahwa tiap orang punya hak yang sama untuk memeluk 1 agama dari 5 agama dan 1 kepercayaan yang diakui secara sah di negeri ini.

“Mereka” juga dengan sengaja melupakan bahwa kau diciptakan Tuhan, lahir dan besar di bumi Indonesia.

Dengan segala macam cara “mereka” hendak menjatuhkanmu. Dengan segala macam cara pula “mereka” tak berkedip menunggu kesalahan demi kesalahan yang kau perbuat. Seakan-akan “mereka” tak ingat lagi bahwa yang namanya manusia pasti selalu punya sisi kekurangan dan kelebihan.

Yang “mereka” tau dirimu tidak sama dengan “mereka” dan itu berarti haram dan layak untuk dihancurkan.

Namun rumus itu mendadak tidak berlaku lagi buat orang-orang yang dianggap sama dengan “mereka”. Asalkan sama, sekalipun ada kekurangan pasti akan dimaklumi dan bisa diterima dengan senang hati sekalipun kekurangan itu jauh lebih besar dari kekurangan yang kau miliki . Keadaan inilah yang sedang kau alami saat ini Pak Ahok.

Akupun jadi berpikir, tegakah aku mendorong anak-anakku nanti untuk bercita-cita dan berprestasi menjadi pejabat di negeri ini seperti dirimu. TIDAK!!!! Aku takkan pernah tega melakukan itu. Toh suatu saat nanti anak-anakku juga akan dijegal dan dihantam dengan hal yang sama seperti yang kau alami saat ini.

“Seorang Muslim tidak boleh memilih pemimpin non Muslim”. Dan akupun tak heran jika penafsiran seperti itu akan terus dilanjutkan suatu saat menjadi “Seorang Pribumi tidak boleh memilih pemimpin non Pribumi”. Padahal sebetulnya sekalipun mata kita minimalis dan kulit kita putih, kitapun sudah diakui secara sah oleh negara sebagai Pribumi yang sama-sama lahir dan besar di Indonesia. Kitapun cinta Indonesia sama seperti “mereka”.

Apa daya “mereka” tak pernah mau melihat kesamaan yang ada dalam hati ini tentang kecintaan pada negeri. Yang terlihat dimata “mereka” hanyalah perbedaan dan kekurangan yang melekat dalam diri ini.

Akankah kau menyerah Pak Ahok???
Apakah aku harus mendorong dan mendoakan anak-anakku kelak untuk menjadi pedagang atau pengusaha saja??? Sementara mereka sesungguhnya juga ingin membantu membangun Indonesia sebagai pegawai negeri.

Karena ternyata sebagai pedagang dan pengusaha keadaannyapun tak jauh berbeda. Di dunia dagang dan usahapun kita tetap dibenci oleh “mereka”. Pandangan dan anggapan sinis bahwa kita adalah perampok yang mencari keuntungan dan kesenangan pribadi di negeri ini sudah bisa aku lihat dengan mata kepalaku sendiri sejak jaman kakek nenek dan ayah ibuku bekerja susah payah banting tulang menghidupi keluarganya.

Akupun sudah tak tau lagi dijaman apa sebenarnya aku sedang hidup sekarang ini. Akupun tak tahu harus mendukung masa depan anak-anakku menjadi apa di negeri yang sibuk membenci saudara sebangsanya sendiri hanya karena perbedaan.

Tidak ada jalan keluar bagi kita Pak Ahok. Maju kena, mundurpun kena. Keatas, kebawah, kesampingpun kena. Kemanapun kita melangkah akan selalu kena. Harus bagaimana lagi kita Pak Ahok???

Hingga pada 1 titik aku menyadari betapa bodohnya aku. Aku lupa kalau kita punya TUHAN. Tuhan yang Maha Besar Pencipta langit dan bumi beserta dengan segala isinya. Tuhan yang menciptakan kau, aku dan kita semua lengkap dengan segala perbedaannya. Lengkap pula dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Aku lupa bahwa DIAlah Alfa dan Omega. Yang Awal dan Yang Akhir.

Segala kuasa ada ditanganNYA. Jika DIA yang membuka pintu, maka tak ada satupun dapat menutupnya. Jika DIA yang mengangkat, maka tak ada satupun yang dapat menjatuhkannya. Terpujilah Tuhan.

Atas dasar itulah semangatku timbul kembali untuk terus menjalani hidup di negeri yang rasis dan diskriminatif ini. Akupun ikhlas membesarkan anak-anakku dan melihat mereka tumbuh menjalani hidup sesuai dengan kehendak yang Tuhan rancangkan untuk mereka masing-masing. Yang terjadi terjadilah…….. Yang aku tahu hanya 1. Tuhan itu baik!!! Segala apa yang telah dan sedang DIA perbuat untuk kita adalah baik adanya. Sedikitpun aku tak meragukan kasihNYA.

Tetaplah bersemangat Pak Ahok. Tuhan tau apa yg terbaik untuk dirimu. Jika DIA mengijinkanmu menjadi Gubernur DKI maka terjadilah. Jika tidak, Tuhanpun akan menyiapkan jalan lain untukmu. Dan itu semua baik adanya. Amin.

Sebagai penutup, aku akan menuliskan sebuah lagu yang sangat memberkati hidupku. Semoga syair lagu ini juga bisa menjadi berkat buatmu dan semua orang yang membacanya.

TUNDUK


Jalan yang ku tempuh mendekat Allahku.
Walau mungkin penuh berbatu.
Jalan yang ku tempuh bukan pilihanku.
Namun itu terbaik buatku.

Salib yang kutanggung bila kehendakNya.
Ku mau tanggung dengan rela.
Sebab DIA yang tentukan, aku dibebankan.
Kulakukan bagi DIA.

Ku tunduk padaMU, pada kehendakMU.
Sebab KAU yang memilikiku.
Jiwaku terangkat bila ku berserah.
Sepenuh padaMU. Tuhan.

Apa yang kelak jadi, kemana ku pergi.
Tuhanlah yang tentukan hidupku.
Siapakah aku ini, mau jalan sendiri.
Bukankah aku milikMU.

Aku akan selalu mendoakanmu Pak Ahok.

@jemima mulyandari



Dagelan Lagi dari Senayan, Demokrat dan Gerindra Bersatu dalam ‘Ahok-Gate’

DUNIA HAWA - #DramaBelumSelesai edisi 2017 kini akan bergulir kembali. Setelah Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok kembali aktif terhitung sejak 12 Februari 2017 kemarin, kini perwakilan partai politik lawan Ahok mencoba menempuh jalur politik untuk menjatuhkan sang gubernur dari kursi DKI 1. Benar-benar luar biasa seorang Ahok dapat membuat partai nomor 3 dan nomor 4 di Pemilu 2014 ini bersatu untuk menggempurnya.


Polemik aktifnya kembali Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta dimanfaatkan oleh lawan politiknya. Meskipun ada perbedaan pendapat dari para ahli hukum seperti Mahmuf MD, Refly Harun dan Asep Iriawan, lawan politik menganggap ini adalah kesempatan emas untuk membuat Ahok berhenti dari posisi gubernurnya dan sekaligus menyerang pemerintahan Presiden Jokowi yang tidak mereka dukung sejak dulu.

Setelah isu agama, isu sosial dan isu korupsi sepertinya gagal untuk menjatuhkan seorang Ahok dari kursi pimpinannya di Ibu Kota, kini para lawan politik Ahok di level nasional bersatu dalam hak angket yang diberi judul ‘Ahok-Gate’, yang mungkin dianalogikan dengan skandal Watergate di Amerika Serikat. Setelah gagal dalam percobaan sejenis di level daerah lewat DPRD DKI Jakarta pada tahun 2014 (ketika kasus APBD siluman), kini pasukan partai di level nasional pun turun tangan.

Hak angket ini digulir untuk menyelidiki penyimpangan yang dilakukan oleh Mendagri ketika tidak memberhentikan sementara Ahok dan tujuannya hanya satu: memberhentikan Ahok. Ketika hasil penyelidikan mereka menyatakan telah terjadinya pelanggaran, maka mereka dapat menuliskan hasil tersebut dalam keputusan tertulis untuk diajukan ke presiden. Ujung-ujungnya, dalam ‘Hak Menyatakan Pendapat’ tersebut, DPR dapat menyatakan bahwa pemerintah telah melakukan pelanggaran hukum dan setahu saya Mahkamah Konstitusi yang akan menentukan nasib akhirnya.

Mari kita baca komentar para petinggi Partai Gerindra dan Demokrat di bawah ini yang dilansir disini dan disini.

“Kami dari fraksi Gerindra saya kira ada sejumlah kawan-kawan DPR dari fraksi lain sedang inisiasi Pansus angket. Dari Gerindra akan ajukan Pansus angket ‘Ahok-Gate’ karena terkait dengan dugaan penyalahgunaan atau pelanggaran terhadap KUHP dan UU nomor 23 tahun 2014 tentang Pemda,” ujar Wakil Ketua Umum Gerindra Fadli Zon saat jumpa pers di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Senin (13/2/2017).

“Ada tiga frame-nya, yang pertama dugaan pelanggaran terhadap UU KUHP dan Pemda, yang kedua tidak sejalan dengan yurisprudensi terkait pemberhentian gubernur bahkan sebelum masuk pengadilan sudah diberhentikan misalnya kasus gubernur Banten, Sumut, maupun Riau lalu terkait janji Mendagri di beberapa media yang menyatakan akan berhentikan kalau selesai masa cutinya tapi kenyataannya tidak demikian,” lanjut Wakil Ketua DPR ini.

“Sementara jika melihat UU Nomor 23 tahun 2014 pasal 83 tentang Pemda, seorang kepala daerah atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara dari jabatannya apabila didakwa melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana paling singkat 5 tahun penjara, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan keamanan negara dan atau perbuatan lain yang dapat memecah belah NKRI,” ujar Agus di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Senin (13/2/2017).

“Jika memang nantinya Mendagri tetap tidak memberhentikan sementara Gubernur DKI Jakarta Pak Ahok maka Fraksi Partai Demokrat di DPR akan mengajukan hak angket terkait hal itu,” jelas Agus.

Habis-habiskan Uang, Waktu dan Energi Saja


Menurut saya apa yang digulirkan oleh para wakil rakyat yang terhormat di Senayan sungguh adalah langkah politik yang hanya akan menghabis-habiskan uang, waktu dan energi kita saja. Pasalnya, isu ini pasti akan diangkat oleh berbagai stasiun televisi dan menjadi topik perbincangan berbagai media dalam waktu dekat ini. Lagi-lagi, logika dan akal sehat rakyat harus dikorbankan karena dipaksa menerima dan menonton para politisi itu mengatakan hal-hal yang ‘tidak berbobot’ di layar kaca. Lagian, yang membayar para politisi DPR yang menjadi anggota panitia angket itu siapa? Tentu saja ada anggaran angket yang akan dipakai dan lagi-lagi uang rakyat yang akan dihamburkan.

Mengingat persyaratan pengajuan hak angket adalah 25 orang wakil rakyat dan minimal berasal dari dua fraksi, maka dengan bersatunya Gerindra dan Demokrat pengajuannya pasti berhasil dibawa ke sidang paripurna DPR. Indikasi persetujuan PKB dan PKS pun semakin menguatkan aroma politik untuk menggulirkan hak angket ini, karena kita tahu sendiri PKB dan PKS ini kan mendukung siapa di Pilkada DKI Jakarta 2017.

Meskipun demikian, menurut saya ‘Ahok-Gate’ ini tidak akan disetujui di sidang paripurna DPR ketika PDIP, Golkar, Hanura dan Nasdem (yang merupakan partai pengusung Ahok/Djarot di DKI) bersatu dengan total ~250 kursi. Diperlukan minimal 2/3 anggota DPR yang menghadiri sidang paripurna untuk setuju, sedangkan total kursi di DPR adalah 560 kursi dan kita tahu sendiri biasanya tidak semua wakil rakyat ini akan hadir di sidang paripurna DPR.

Ditambah lagi, dalam kacamata hukum juga saya percaya tidak ada masalah. Mahmuf MD memang menyatakan bahwa tindakan Mendagri melanggar hukum, namun ahli hukum lainnya seperti Refly Harun dan Asep Iriawan menyatakan bahwa frasa ‘paling singkat 5 tahun’ di Pasal 83 UU Pemda tersebut tidak dapat dikenakan kepada Ahok karena yang didakwakan terhadapnya mempunyai efek ‘paling lama 5 tahun’. Meskipun saya tidak belajar hukum, argumen Asep Iriawan yang lebih netral menurut saya sepertinya lebih masuk akal, jadi bagi saya tidak ada masalah dalam pengaktifan kembali Ahok ini.

Baik dari sisi hukum dan politik, wacana hak angket ini bisa dikatakan adalah upaya yang sia-sia. Memang sebenarnya target mereka adalah tekanan politik terhadap Ahok dan pemerintah, namun mereka lupa bahwa rakyat sudah muak dengan tingkah laku para wakil rakyat yang tidak mewakili aspirasi rakyat ini. Jadi kita lihat saja bagaimana kalian akan dihukum oleh rakyat di Pemilu yang akan datang!

Kenapa sih Takut Sekali Ahok jadi Gubernur?


Sebenarnya kenapa sih orang-orang itu begitu takut seorang Ahok akan menjadi Gubernur DKI Jakarta lagi? Coba kalian para pembaca tanyakan kepada diri kalian, ada apa sebenarnya sehingga kebencian yang begitu mendalam terlihat begitu kental dari para politisi partai-partai ini.

Tidak usah berdalih dengan mengatakan Ahok mulutnya kasar atau penista agama, karena mayoritas rakyat tahu itu hanya akal-akalan kalian saja. Kenapa begitu takut Ahok menjabat lagi? Ahok kan hanya seorang gubernur yang anti korupsi, ia hanya setia kepada konstitusi dengan tidak menerima suap dan tidak dapat diajak kompromi. Ahok hanyalah gubernur yang berhati nurani yang mengadministrasi keadilan sosial dan memperbaiki hidup rakyatnya, sebenarnya kenapa kalian ini takut sekali Ahok jadi gubernur?

Tujuan berpolitik itu kan untuk mensejahterakan rakyat. Bukankah seharusnya kalian turut berbahagia ketika ada gubernur yang banyak menghasilkan kerja positif dan membawakan keuntungan kepada rakyat? Kenapa begitu kalian benci dan paksa untuk turun? Rakyat tuh jadi mikir, sebenarnya kalian ini ada apa sehingga terkesan takut sekali Ahok jadi gubernur?

Penutup


‘Ahok-Gate’ ini adalah mainan anak kecil saja yang coba dilemparkan oleh para politisi DPR yang memang seperti anak kecil itu. Kena atau tidak urusan belakangan, hancur atau tidak gedung dari legonya bukanlah tujuan yang utama, yang terpenting lempar dulu bolanya, tertawa gembira dan heboh-heboh dulu. Bukankah begitu sifat anak kecil?

Seorang Ahok yang tidak punya partai ternyata berhasil membuat Gerindra dan Demokrat bersatu untuk melawannya. Sungguh luar biasa keren Ahok ini! Gerindra dan Demokrat memang adalah partai besar di negeri ini, tapi para politisi partai-partai itu mungkin lupa bahwa mayoritas rakyat ada di belakang Ahok.

Semakin kalian zolimi, Tuhan akan semakin memberikan berkah kepada Ahok. Kita buktikan saja tanggal 15 Februari 2017 nanti!

Dari sebatang pohon yang ingin berdiri kokoh dan tegar di tengah badai dan topan……

@aryanto famili


Sorban Hitam Mas Agus

DUNIA HAWA - Sebagai orang yang taat beragama, mas Agus tahu benar cara yang pas untuk mendekatkan diri kepada Allah, apalagi saat ini adalah waktu detik-deik terakhir hari pencoblosan Pilkada DKI, sebagai kontestan, masa-masa seperti ini akan sangat memakan emosi yang cukup berat, hati berdebar dan pikiran tak karuan menjelang hari penentuan, ya, dengan pergi ber-umroh, menjalakan ritus keagamaan, dengan berdoa di depan rumah Allah dan bertawassul di makam Rosulullah.


Kegelisahan hati, rasa cemas jika tidak terpilih, mungkin akan sirna jika mas Agus khusyu` bermunajat pada sang ilahi, ini bagus, dan sebuah kebudayaan politik yang perlu dilestarikan, sama seperti beberapa calon pemimpin yang ikut kontestasi politik, katakanlah seperti Pakdhe Jokowi saat masa tenang pemilihan Pilpres dahulu, apalagi ditemani dengan ulama yang bisa membimbing saat pelaksanaan umroh.

Namun ada yang meggelitik mata saya ketika membaca berita disalahsatu portal berita online tentang kegiatan umroh mas Agus, beberapa foto-foto yang diabadikan saat umroh, yakni sorban yang dikenakannya, yap, berwarna hitam. Lantas ada yang salahkah dengan wrna hitam? Jelas tidak, dan sah-sah saja bagi mas Agus, hendak memakai sorban warna apa saja, namun kenapa pilihan jatuh kepada warna hitam?, apakah hanya sebuah kebetulan? Jika iya, maka tulisan ini sampai disini saja, hahaha.

Jika kita kembali menengok kembali pada saat kampanye kemaren, setiap calon pasti punya Dress code yang melekat sebagai bentuk ciri khas dan Branding agar mudah diingat, Pak Anies memakai kemeja putih, Pak Ahok meneruskan baju kotak-kotaknya, dan mas Agus dengan kaos hitamnya, ya kaos hitam. Tampak gagah dan macho memakai kaos berkerah berwarna hitam, tentu bukan hanya masalah keren yang ditimbang oleh tim suksesnya mas Agus, namun ada hal lain yang tentunya menjadi alasan hitam sebagai warna kebesaran yang dipakai.

Kembali lagi pada kegiatan umroh mas Agus, yang dilakukan disaat masa tenang seperti ini, mas Agus memakai sorban berwarna hitam, apakah lupa jika saat ini sudah habis masa kampanye? Atau memang warna favoritnya adalah hitam, atau sebagai politik pencitraan? Semoga yang terakhir adalah salah, Naudzubillah. Semoga memang hitam adalah warna favoritnya, dan memakai sorban warna hitam saat umroh dalam suasana masa tenang ini hanya karena berdasar warna kesukaan saja.

Ibadah umrohnya biarlah tetap menjadi ritus keagamaan yang mulia, bermunajat di Baitullah dan bertawassul dimakam Rosulullah, memohon kekuatan hati dan pikiran dalam menghadapi kontestasi Pilkada saat ini, memohon yang terbaik yang akan Allah berikan, jika menang, berdoalah agar menjadi amanah dan menjalankan janji yang telah terucap saat kapanye, memohon untuk tidak korupsi, dan memohon kemakmuran bagi Jakarta, jika toh kalah, memohnlah agar tetap menjadi orang yang mempunyai jiwa besar, yang menerima kekalahan sebagai kekalahan, bukan karena merasa dicurangi dan didzolimi, bantu mereka yang menang dengan pemikiran dan ide yang konstruktif, bukan menjadi mantan yang sering iri dengan pacar baru gebetannya.

Dan terkahir, mas Agus yang gagah, hati-hati dalam melangkah apalagi saat ini dimasa tenang, bukan hanya omongan yang kami tangkap sebagai tindakan pencitraan,  warna sorban pun kami lihat itu sebagai sesuatu yang disengaja dan memiliki maksud tertentu, semoga maksudnya bukan hanya untuk tetap dilihat sebagai simbol warna kebesaran saat kampanye, karena saat ini ibadah umroh mas Agus adalah saat-saat mas Agus hanya berurusan dengan Allah semata, yang tak perlu simbol-simbol yang ditunjukkan, apalagi simbol kampanye. Bukan saya Kepo dan Lebay menulis ini, Toh yang mas Agus lakukan sa-sah saja, dan yang dipakai adalah uang mas Agus sendiri, bukan saya yang Nyangoni, namun alangkah eloknya jika hubungan ibadah tidak disertai dengan simbol-simbol kampanye walaupun itu hanya sebatas warna saja.

@arif fuad s

Pemimpin Jago Ngeles

DUNIA HAWA - Seandainya kita rasional sedikit, sulit sekali mengalahkan Ahok dalam sisi program. Banyak program mendasar yang sudah dilakukan Ahok yang biasanya jadi jualan kampanye. Mulai penanganan banjir, sampai dibangunnya ruang-ruang publik.


Biasanya pada musim begini, mendadak kandidat kepala daerah perduli rakyat miskin. Bahkan ada yang sampe tidur-tidur di rumah warga miskin, demi menunjukkan dia perduli meski kalau sudah terpilih, dia juga yang pertama kali lupa. Yang penting, suara sudah dia dapat.

Sekarang mau tidur dimana? Kalijodo dah cantik. Kampung pulo dah bersih. Yang kemaren bergaul dengan sampah dan malaria di pinggir kali, sudah nyaman di rusun dengan kasur, kompor bahkan kulkas baru.

Akhirnya lawan Ahok buat program mengada-ada, sekedar supaya beda. Putar-putar otak akhirnya keluar juga ide, yang malah gak masuk akal.

Mas Agus dengan menggebu-gebu bicara tentang tidak boleh menggusur warga miskin. Yang boleh hanya "geser". Diserang bagaimana konsep geser, dia menjawab dengan "mengapung". Ditanya lagi bagaimana cara mengapung, dia jawab itu hoax. Lha?? Ide-ide sendiri dibilang hoax sendiri. Akhirnya doi dapat jawaban yang menurutnya smart. "Oke, kita buat vertikal housing", artinya rumah akan dibangun ke atas. Trus kalo gitu, apa bedanya dengan rusun yang dibangun Ahok?? Bingung jawabnya, akhirnya menyerang karakter Ahok.

Mas Anies juga bingung buat program unggulan untuk tandingan. Lalu ia buat konsep membangun rumah murah untuk rakyat dengan dp 0 persen. Akhirnya konsepnya diserang dimana-mana. Dimana emang lahan murah di Jakarta? Trus bagaimana skema punya rumah dengan gak pake dp?? Bingung jawabnya, ia langsung koreksi bahwa pengganti dp adalah mencicil dp selama 6 bulan. Lah, itu kan dp juga?? Mutar muter ngalor ngidul, akhirnya kembali serang karakter Ahok.

Dari sini kita bisa melihat bahwa lawan Ahok sangat kebingungan membangun program tandingan untuk melawan program Ahok yang sudah berjalan. Akhirnya mengada-ada dan tidak realistis.

Sedih memang ketika seorang mengajukan diri menjadi kepala daerah tapi ia sendiri tidak siap dengan visi dan misinya. Yang penting maju dulu, yang lain dipikir belakangan. Hanya mengandalkan ketenaran dan uang -tanpa ideologi yang kuat- membuat orang menjadi blunder.

Mereka maju dengan berdasarkan 3 kelemahan Ahok. Satu, kasar. Dua, Kristen. Dan tiga, ras Cina. Itu saja tanpa berbekal, "kalau dia jadi pemimpin, trus daerah ini mau diapain??"

Dan itulah fenomena yang banyak terjadi di berbagai daerah dalam pilkada. Kekuatan uang menjadi hal yang utama. Selain uang, kadang harus menggandeng wajah terkenal supaya mudah diingat warga. Akhirnya jadi mirip seperti Jawa barat, yang wagubnya cukup terkenal tapi hanya bisa nangis aja.

Standar pemimpin daerah yang dibangun Ahok memang tinggi. Standar yang juga dibangun oleh Jokowi dan Risma.

Pemimpin seperti mereka ini mengandalkan program sebagai ideologi utamanya. Mereka siap beradu isi kepala. Mereka paham, serangan terhadap personal lawan tidaklah elok, karena ini bukan hanya sekedar bagaimana menjabat tapi bagaimana memfungsikan jabatan dengan benar. Tapi standar "janji manis" dari banyak calon kepala daerah juga semakin tinggi.

Tahun ini saja, janji manis sudah bisa mencapai ketinggian khayalan dengan rumah yang murah supaya warga mabuk kepayang dan rumah mengapung sebagai solusi gusur. Mungkin 5 tahun lagi janji manis standarnya sudah lebih tinggi, misalnya dengan menjadikan alien dari planet Mars sebagai solusi dari rendahnya tingkat pendidikan di Indonesia.

Satu yang penting, alien itu haruslah beragama Islam, kalau bisa dibaiat dulu. Ah, jadi calon pemimpin itu harus realistis. Jangan mengajari ikan terbang, karena ikan takdirnya berenang. Kalau gak bisa terbang juga, ikan harus berenang dengan model vertikal dan horizontal, lalu mengapung. 

Yang penting semuanya harus Oke Oce.

Eh, ternyata sekarang hari Valentine ya. Kenapa gada yang ribut kafir dan haram lagi? Mungkin mereka sudah lelah akibat pilgub DKI.. Seruput.

@denny siregar


Keadilan Memilih Pemimpin


DUNIA HAWA

Di daerah rumpin ada turunan
Banyak hewan ditembak bedil
Memilih pemimpin bukan karena keturunan
Tetapi pilihlah yang berlaku adil

Yang suka ke rumpin namanya maman
Bertemu teman bernama abidah
Memilih pemimpin tak harus seiman
Karena ia bukan masalah akidah

Wajah dipukul sampai kebiruan
Diobatin sembuh perlahan-lahan
Pilihlah pemimpin yang punya kemampuan
Bukan yang mengandalkan penampilan

Masalah kepemimpinan akan tetap selalu menjadi bahan pembicaraan dan perdebatan yang menarik, terutama setiap kali berhadapan dengan momentum pemilihan calon pemimpin, baik pada level nasional maupun daerah. Dalam konteks Indonesia, di mana mayoritas penduduknya beragama Islam, perdebatan tentang calon pemimpin tidak pernah lepas, kalau tidak boleh disebut kental sekali, dari pendekatan keagamaan.

Pada perhelatan Pilkada DKI Jakarta yang akan dilaksanakan pada 15 Februari, perdebatan mengenai siapa yang paling berhak menjadi Gubernur Jakarta sangat keras. Mungkin ini perdebatan paling keras dalam sejarah politik Indonesia sampai saat ini. Seruan untuk tidak memilih pemimpin non-Muslim demikian kencang disuarakan oleh kelompok-kelompok Islam tertentu.

Puncaknya adalah ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan pendapat dan sikap keagamaannya tentang larangan umat Islam memilih pemimpin Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin (dalam konteks Pilkada DKI, yang dimaksud adalah Ahok). Tidak hanya itu, lembaga keagamaan ini juga membawa kasus kontroversi ceramah Ahok di Kepulauan Seribu ke publik. Ahok dinyatakan telah melakukan penistaan agama karena dianggap telah melecehkan surah al-Ma’idah: 51.

Dampaknya, umat Islam terutama yang dikoordinasi Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI melakukan demo besar-besaran yang mereka sebut dengan aksi “bela Islam”. Gerakan ini dilakukan sampai tiga kali yang mampu menghadirkan jutaan umat Islam dari berbagai daerah di Indonesia. Tuntutannya, bukan hanya Ahok diadili, tetapi juga dipenjarakan, sehingga pada akhirnya tidak dapat mengikuti kontestasi politik di Pilkada DKI.

Kalau ini yang terjadi, maka kontestan yang tersisa semuanya Muslim. Baik pasangan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY)-Sylviana Murni maupun Anies Rasyid Baswedan-Sandiaga Uno sama-sama beragama Islam. Tentu ini akan menjadi kemenangan politik bagi kelompok Islam yang mengharamkan memilih pemimpin dari kalangan non-Muslim.

Tetapi benarkah umat Islam harus memilih pemimpin berdasarkan atas kesamaan agama saja? Ataukah justru ada kualifikasi lain yang lebih substansial yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin?

Berkaca pada Kasus Ibrahim
Selama ini perdebatan tentang keharaman memilih pemimpin non-Muslim selalu mengacu pada surah al-Mai’idah: 51. Kata “auliya” di dalam ayat tersebut oleh kelompok Islam yang disinggung di atas hanya diartikan sebagai “pemimpin”, padahal dalam berbagai kitab tafsir justru kebanyakan diartikan dengan “teman setia”.

Jika dilihat dari konteksnya (asbabun nuzul), ayat ini sesungguhnya terkait dengan Perang Uhud, di mana tadinya ada yang mengaku teman setia kaum Muslim tiba-tiba berbalik arah membelot ke musuh. Itulah kaum munafik. Maka, tafsirnya, kelompok yang seperti ini jangan dijadikan “teman setia”.

Namun, sesungguhnya di dalam Kitab Suci ada ayat lain yang lebih tepat untuk dijadikan basis kualifikasi calon pemimpin, yaitu surah al-Baqarah: 124. Ayat ini berbunyi, “Dan ingatlah ketiba Ibrahim diuji oleh Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu Ibrahim menunaikannya.” Allah berfirman: ‘Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia’. Ibrahim berkata: ‘(Saya mohon juga) dari keturunanku’. Allah berfirman: ‘JanjiKu ini tidak akan mengenai orang-orang yang zalim’.

Ayat ini secara tegas menyebutkan kata imam yang artinya orang yang diimami atau diikuti. Itulah sejatinya pemimpin. Meski di kalangan kaum Muslim Sunni, kata imam tidak digunakan dalam konteks politik, tetapi di kalangan Syi’ah justru menjadi sangat politik. Bahkan imamah yang merupakan kata benda dari imam merupakan salah satu masalah akidah dalam keyakinan Syi’ah.

Oleh karena itu, sebenarnya cukup ganjil ketika kelompok umat Islam yang mengharamkan memilih calon pemimpin non-Muslim dengan menyebutnya sebagai bentuk pengejawantahan akidah mereka. Padahal hampir semua kelompok Islam tersebut berasal dari kalangan Sunni yang notabene tidak menganggap imamah sebagai akidah. Justru mereka sangat anti terhadap kelompok Syi’ah. Buktinya, di negeri ini, kasus-kasus kekerasan terhadap kelompok Syi’ah kerapkali terjadi.

Dengan demikian, basis utama kualifikasi calon pemimpin adalah tidak melakukan kezaliman. Zalim secara sederhana diartikan sebagai tidak menempatkan sesuatu pada tempatnya. Kata zalim biasanya dilawankan dengan kata adil, yakni menempatkan sesuatu pada tempatnya. Maka, orang yang tidak zalim artinya orang yang adil. Karenanya, ayat itu menegaskan bahwa keadilan menjadi syarat utama bagi seorang calon pemimpin.

Sifat adil dapat melekat kepada siapa pun, atau bisa dimiliki oleh calon pemimpin dari kalangan mana saja, baik Muslim maupun non-Muslim. Saat ini pemimpin-pemimpin adillah yang memang dibutuhkan masyarakat. Berbagai problem kenegaraan dan kemasyarakatan yang selama ini menimpa bangsa Indonesia, antara lain akutnya penyakit korupsi, kekerasan sektarian, dan sebagainya berporos pada adanya ketidakdilan. Karena itulah pemimpin yang adil sangat diperlukan.

Hal lain yang disinggung ayat ini adalah tentang keturunan. Ibrahim mengajukan pertanyaan, mungkinkah keturunannya bisa menjadi pemimpin. Tetapi Tuhan tidak mengiyakan, justru menekankan masalah keadilan (bahwa janji-Nya tidak akan berlaku bagi orang-orang yang zalim). Ini artinya bahwa Islam tidak mengenal garis keturunan dalam masalah kepemimpinan. Siapa saja atau keturunan dari siapa pun, selama bisa berbuat adil atau tidak zalim, ia berhak menjadi pemimpin.

Memilih dengan Adil


Karena kualifikasi dasar dari calon pemimpin adalah keadilan, maka sebaiknya para pemilihnya juga mendasarkan pilihannya pada asas keadilan. Memilih dengan adil artinya para pemilih mesti melihat calon pemimpin mereka berdasarkan pada kapasitas dan kapabilitasnya. Caranya bisa saja dengan melihat prestasi, rekam jejaknya, dan lain-lainnya sehingga kemampuannya terlihat jelas.

Dalam konteks Pilkada DKI Jakarta, misalnya, tidak ada masalah jika warga Muslim Jakarta tidak memilih Ahok asal didasarkan pada penilaian bahwa Ahok dianggap tidak mampu, bukan karena ia sebagai non-Muslim. Sebaliknya, jangan salahkan jika mereka memilih Ahok karena dinilainya memiliki kemampuan. Itu bisa disebut adil. Yang tidak adil adalah, jika mereka tidak memilih Ahok hanya karena ia non-Muslim, karena, dengan demikian, mereka menafikan kemampuan Ahok.

Itulah yang semestinya dilakukan warga DKI Jakarta pada 15 Februari nanti. Berpikir dan berbuat adil adalah perbuatan yang sangat mulia. Kini ada kesempatan bagi mereka untuk mempraktikkan keadilan melalui pemilihan calon pemimpin Jakarta untuk masa lima tahun ke depan. Dengan demikian, memilih dengan adil akan menjadi pintu pembuka untuk mendapatkan pemimpin yang adil.

@iding rosyidin


NU, Pilkada, dan Politik Kemajemukan

DUNIA HAWA - Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj pada 10 Februari 2017 mengeluarkan penyataan tertulis bahwa warga Nahdlatul Ulama boleh memilih calon siapa saja dan nomor berapa saja asal bertanggung jawab. Jika ada organisasi NU, lanjutnya, mulai dari pusat hingga ranting, mengarahkan organisasinya pada partai atau kandidat tertentu dengan mengatasnamakan NU, itu tidaklah sah. Ia hanya mengatasnamakan pribadi dan bukan dukungan organisasi.


Himbauan ini, sebagaimana tertulis dalam pernyataan tersebut, didasarkan pada amanah yang diemban oleh KH Said Agil Siradj sebagai Ketua Umum Tanfidziah untuk memegang teguh Khittah NU 1926 yang tidak memberikan dukungan politik pada partai mana pun dan kandidat siapa pun.

Pernyataan publik ini sangat menggembirakan. Menggembirakan  karena di tengah-tengah banyaknya penceramah agama dan himbauan-himbauan keagamaan, baik di masjid-masjid, majelis taklim,  media sosial maupun media lainnya, yang menggiring penyempitan atau eksklusivisme dalam berbangsa, NU justru tampil  dengan menggemakan inklusivitas atau keterbukaan dengan memberikan kebebasan memilih kepada warganya. Dengan catatan, pilihannya harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab.

Mengapa NU bersikap demikian? Karena sikap keagamaan yang dianut dan dibatinkan oleh NU adalah aushatiyah, yakni moderat. Pendulumnya tidak ekstrim ke kanan, tetapi juga tidak ekstrim ke kiri. Sebagaimana nampak pada lambang NU dalam bentuk timbangan untuk menekankan bersikap adil kepada siapa pun dan apa pun.

Sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia, NU juga tak hanya menekankan pentingnya prinsip persaudaraan Islam (ukhuwah Islamiyyah), tetapi juga menekankan prinsip persaudaran sesama warga bangsa (ukhuwah wathoniyyah) dan persaudaraan sesama umat  manusia (ukhuwah insaniyah/basyariah).

Tentang persaudaraan sesama warga bangsa, dalam pelbagai kesempatan sepanjang hidupnya, almarhum Gus Dur seringkali mengatakan bahwa Islam hendaknya tidak dijadikan sebagai ideologi tandingan yang diperhadapkan dengan ideologi Pancasila saat ini. Karena ia akan menampilkan ideologi dengan warna tunggal yang berdampak pada perpecahan bangsa.

Sebaliknya, Islam, sebagaimana juga agama-agama lainnya, mesti tampil sebagai penguat yang memperkokoh nilai-nilai Pancasila, karena ideologi ini tidaklah sekuler, tetapi juga tidak sektarian. Sebuah ideologi terbaik yang bisa didapat dari hasil kompromi dari kelompok-kelompok masyarakat Indonesia yang majemuk.

Persaudaraan Sesama Umat Manusia.


Mengenai persaudaraan sesama umat manusia,  Al-Ghazali (1058-1111), ulama besar  yang sangat berpengaruh di dunia Islam dan menjadi manhaj (rujukan teologis) organisasi NU, menulis  dalam kitabnya Kimyatus Sa’adah bahwa “jika seseorang mencintai Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, maka ia juga harus mencintai seluruh umat manusia, tanpa kecuali, karena mereka adalah karya cipta dan tulisan tanganNya”. Bahkan, tak hanya manusia sejagat yang dicintai, melainkan seluruh makhluk yang terdapat di alam raya ini.

Dalam kitab yang sama,  Al-Ghazali pun menulis tentang perlunya perlindungan terhadap umat manusia. Menurutnya, ada dua aspek pokok yang harus dilindungi dari manusia. Pertama, ia harus dilindungi jiwanya. Membunuh dan melukai jiwa manusia atas dasar apa pun, apalagi atas dasar kepentingan politik praktis sama sekali tak dibenarkan.

Kedua, ia harus dilindungi jasad atau fisiknya. Perlindungan terhadap yang kedua ini dilakukan oleh pemerintah yang berkuasa untuk memastikan kebutuhan fisiknya terpenuhi, seperti kebutuhan pangan, sandang dan papan. Kedua konsep ini kelak menjadi embrio konsep hak asasi manusia dalam perspektif Islam.

Dengan demikian, politik yang diletakkan dan dikembangkan NU adalah politik dalam cakupannya yang luas. Ia bukan politik sektarian dan berjangka pendek, melainkan politik yang bersifat universal, melintasi sekat dan berjangka panjang. Ia tak hanya membatasi politiknya pada kepentingan warga NU semata, melainkan politik Islam dalam kepentingan kemanusiaan dan makhluk sejagat.

@neng dara affiah