Sunday, February 12, 2017

Mengawal Pengantin Lalu Memukul Wartawati

DUNIA HAWA - Lagi-lagi kekonyolan FPI dipertontonkan. Kadang dalam hati saya berharap mereka jangan sampai dibubarkan. Kalau bubar bisa berkurang bahan untuk menulis. Juga bisa sebagai contoh buat anak-anak kalau orang gak pernah sekolah jadinya seperti apa (Pragiwaksono, 2016).


Ramai beredar di media sosial ketika aksi 112 ada pasangan pengantin yang hendak menuju Katedral untuk menikah kemudian diberi jalan. Tak hanya itu, pasangan itu juga dikawal bahkan dipayungi. Kejadian tersebut juga dimuat di detik.com. Seketika warga planet bumi datar bersorak sorai, mereka bangga memperlihatkan bagaimana FPI itu sesungguhnya toleran. Sampai Jonru pun membuat status:

“Anggota Aksi Bela Islam 112 Memayungi Pengantin Nasrani dan Mengiringi Mereka Hingga ke Gereja Katedral. Dan Ente Masih Menuduh Islam Teroris, Intoleran dan Anti Kafir? Ayo BELAJAR ISLAM yang benar agar Anda paham dan tidak lagi gagal paham.”


Saya tertawa terbahak-bahak, sampai kucing saya lompat karena kaget, bulunya berdiri pupilnya membesar mirip Raja Singa yang ketakutan dipanggil polisi.

Inilah pencitraan dan terlihat sekali pencitraannya, padahal setiap tindakan Jokowi selalu mereka katakan pencitraan. Gini yah para ontatroopers, Jokowi itu bukan pencitraan, kenapa? Karena beliau konsisten melakukannya, beliau memang lebih suka tampil sederhana, seneng pakai sarung, dan suka blusukan. Dia lakukan hal tersebut sejak dulu hingga sekarang meskipun sudah jadi Presiden. Pencitraan itu seperti HNW nyemplung ketika Jakarta banjir, kemudian HNW gak pernah lagi nyemplung setelah gagal nyagub. ….sebentar, Jakarta pernah banjir?? Kapan itu???

Seperti pasangan calon Gubernur no.1 yang hobi mengatakan “Saya bergerilya menemui puluhan ribu RW”. Apa jika terpilih jadi Gubernur dia masih bergerilya ke puluhan ribu RW? Saya sangsi, jumlah RW di Jakarta aja gak sampai tiga ribu.

Nah sama persis dengan FPI ini. Biasanya geruduk ibadah orang kok tiba-tiba ngawal pengantin ke Katedral? Biasanya menghina Banser yang jaga gereja saat Natal, kok sekarang? Nah itu pencitraan. Dan apapun yang ontatroopers katakan, semua juga tau itu pencitraan.

Ontatroopers berkata “Yang kita benci itu bukan agamanya, tapi orangnya. Kalau kita benci agamanya, nggak mungkin mereka (pengantin -red) kita kawal,” Lucu sekali. Kalau tidak benci agamanya, kenapa takut dengan ornamen Natal? Lalu kenapa mesti membubarkan acara-acara ibadah agama lain. Atau waktu istri alm. Gus Dur yang ingin buka puasa di Gereja, kenapa dilarang hingga diusir? Sungguh inkonsistensi FPI ini lucu sekali.

Pernyataan diatas juga menunjukkan bahwa sebenarnya FPI itu benci Ahok. Ini bukan soal pemimpin non-muslim dan Al Maidah 51 tapi persoalan kebencian terhadap Ahok. Padahal tema aksi 112 itu apa? Tegakkan Al Maidah 51. Semakin jelas semua ini soal kebencian berlebihan yang ditanamkan kedalam kepala para Ontratroopers. Efek langsung dari kebencian yang disebarkan secara intensif. Kemudian kebencian mereka dimanfaatkan oleh pihak lain.

Setelah mengawal pengantin lalu foto-foto, kemudian ramai-ramai dipamerkan ke berbagai media sosial. Namun masih disekitar Istiqlal, wartawati dipukul saat meliput aksi 112.


“Desi mengaku dipukul menggunakan bambu atau kayu pada bagian kepala. Rekannya, Ucha, juga mendapat pukulan.Akibat kejadian ini, Desi mengalami luka memar pada bagian kepala dan sakit di sekujur badan.”. Dan si Mister penjual seprei, pemotong sumbangan 30% (Jonru) itu diam saja, pura-pura gak denger. Cuih! Memukul wanita? Dikepala saya terbayang pria-pria berdaster memukul wanita….ada yang lucu disini.

Jadi sebuah kejadian sok toleran itu tidak mengubah apapun, FPI tetaplah ormas yang suka bertindak menggunakan kekerasan. Rekam jejak kekerasan dan intoleransi mereka tersebar dimana-mana. Satu foto tidak mengubah apapun dan sama sekali tidak dapat digunakan sebagai bukti bahwa FPI toleran. Justru ini menunjukkan bahwa FPI suka memanfaatkan situasi demi mengangkat namanya, istilah populernya pencitraan. Jangan salahkan masyarakat jika kegiatan-kegiatan sosial yang FPI lakukan juga dicemooh sebagai pencitraan.

Tapi ada satu hal yang menarik, mereka melakukan hal tersebut lalu memamerkannya, secara langsung menunjukkan bahwa tindakan yang benar adalah seperti itu. Semoga kedepannya mereka bisa lebih memahami apa itu toleransi dan mempraktekannya dengan sungguh-sungguh, bukan sekedar pencitraan.

@gusti yusuf


Tentang Penistaan Al-Qur’an di Indonesia

DUNIA HAWA - Isunya mungkin saat ini kriminalisasi Ulama. Meskipun begitu, tema religious blasphemy masih hangat. Selama persidangan peristiwa pidato Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok di Pulau Seribu masih berjalan, dan sepertinya selama tuntutan publik untuk menjatuhkan vonis hukuman baginya tidak terpenuhi, isu penistaan ini sewaktu-waktu akan muncul kembali.


Saya yakin, jika nanti Ahok terpilih kembali dalam Pilkada Jakarta untuk kedua kalinya, protes besar-besaran dengan membawa isu penistaan akan kembali kuat. Jika protes ini tidak signifikan, isu ini akan selalu mengiringi perjalanan pemerintahannya.

Tuduhan penistaan al-Qur’an/agama bukan barang baru di Indonesia. Sejarah Islam di Indonesia telah menyaksikan beberapa keributan seputar penistaan dengan bentuk dan skala yang beragam.

Saat ini percetakan al-Qur’an banyak yang mendampingkan teks aslinya bersamaan dengan terjemahan dan transliterasi. Biasanya, cetakan-cetakan seperti ini menempatkan transliterasi dengan aksara latin di bawah tulisan Arabnya. Orientasinya jelas, untuk memudahkan Muslim yang tidak mengenal aksara Arab untuk membaca al-Qur’an.

Pencetakan al-Qur’an semacam itu sudah jadi barang lumrah saat ini. Anda ke toko buku, maka Anda akan menemukan banyak cetakan al-Qur’an seperti ini. Jika ia dicetak dan beredar, berarti ia juga telah diakui keabsahannya oleh pemerintah melalui Lajnah Tashih Al-Qur’an. Tentu saja pembacaan al-Qur’an dari teks Arabnya dan dari transliterasi tidak bisa disamakan. Namun keberadaannya di pasar mengindikasikan bahwa ia tetap dibutuhkan.

Akan tetapi, baik penerjemahan maupun transliterasi pernah ditentang keras dan disebut penistaan dalam sejarah Islam Indonesia. Muslim memang sangat sensitif terhadap al-Qur’an. Setiap perubahan yang terjadi, sungguhpun hanya perubahan atributif selalu menghadapi penentangan. Hal ini berakar paling tidak pada dua hal. Pemahaman keyakinan terhadap I`jāz al-Qur`ān pada satu sisi dan keyakinan bahwa Injil dan Taurat telah mengalami taḥrīf pada sisi lain.

Muslim tidak akan membiarkan sedikit pun terjadi distorsi pada al-Qur’an, sebagaimana mereka tidak mau al-Qur’an turun pangkat seperti yang diyakini pada Taurat dan Injil.

Pada awal abad ke-20, seorang ulama Betawi keturunan Hadhramawt, Sayyid Usman, mengeluarkan buku kecil sebagai tanggapan atas sebuah terjemahan al-Qur’an ke bahasa Jawa. Ia mengecam penerjemahan al-Qur’an ke bahasa apa pun. Penerjemahan al-Qur’an baginya adalah distorsi (taḥrīf), pengubahan (tabdīl), bahkan penghinaan (ihānah). Seorang penerjemah adalah penghujat/penista. Jika Anda memiliki terjemahan Mahmud Yunus cetakan lama, Anda akan menemukan bahwa ia menghadapi tantangan serupa. Upaya penerjemahan yang ia lakukan tidak diterima begitu saja.

Pada tahun 1930-an, transliterasi aksara Arab ke aksara latin juga pernah dianggap sebagai penistaan. Dr. Islah Gusmian dan Dr. Jajang A Rohmana pernah membahas ini dalam tulisan mereka masing-masing. Adalah Haji Ahmad Sanusi, yang ketika itu menerbitkan tafsir al-Qur’an berjudul Tamsjijjatoel-Moeslimien fie Tafsieri Kalami Rabbil-‘Alamin. Buku ini bukan hanya berisikan penjelasan tafsir, tetapi juga dilengkapi dengan transliterasi teks Arab al-Qur’an kepada aksara latin.

Inisiasi Haji Ahmad Sanusi ini ditentang banyak kalangan. Ia menerima banyak surat kaleng. Begitu hebatnya protes ketika itu, transliterasi dihukum haram, dan pelakunya dicap kafir dan karenanya halal darahnya. Buku Ahmad Sanusi dinilai menciptakan keresahan publik dan dilarang. Sebagaimana transliterasi dan penulisan terjemahan beraksara latin, madrasah-madrasah yang menggunakan buku-buku latin juga dilarang dan dianggap bid’ah.

Bercerita tentang madrasah mengingatkan saya kepada salah satu fragmen hidup K.H. Ahmad Dahlan. Ketika ia mengganti sistem halaqah menjadi klasikal ia ditentang. Alasannya, metode belajar yang digunakannya berasal dari kompeni. Ia dicap Kyai Kafir. Sentimen yang sama juga muncul ketika ia melegalkan Muhammadiyah kepada pemerintah Belanda. Cerita K.H. Ahmad Dahlan ini sepertinya bukan satu-satunya kasus di Indonesia.

Tempo edisi Juli 1973 juga memuat kisah penistaan al-Qur’an yang bermuara pada demonstrasi perusakan sebuah toserba milik warga keturunan Cina di Palu. Para demonstran mengaku apa yang mereka lakukan adalah tindakan spontan, sebagai respons atas tuduhan penistaan al-Qur’an. Ketika itu, seorang anak kecil membeli dua biji kancing ke toko terkait. Ketika dibawa ke penjahit, diketahui bahwa kertas pembungkus kancing tersebut berisi tulisan Arab yang ia curigai sebagai al-Qur’an .

Sayangnya, lembaran kertas itu tidak pernah ditemukan oleh investigasi polisi. Koresponden Tempo melaporkan bahwa ada dugaan lembaran itu hanyalah bahan pelajaran Agama Islam sekolah Muhammadiyah yang ketika itu menerima banyak murid Tionghoa. Satu hal yang menarik, laporan Tempo mengaitkan kasus ini kepada pencalonan seorang Tionghoa sebagai calon gubernur Sulawesi Selatan. Pencalonan ini memancing demonstrasi ke sejumlah toko-toko Cina, termasuk salah satunya berpangkal dari kancing ini.

Di Indonesia bagian lain, H.B. Jassin dalam rentang 1972-1974 menulis terjemahan puitis atas al-Qur’an. Karya ini kemudian ia beri judul Al-Quranul Karim Bacaan Mulia. Dua dekade setelahnya, ia memulai inovasi baru, menuliskan al-Qur’an dengan layout simetris bak puisi yang ia beri judul Al-Qur’an Berwajah Puisi.

Kedua karyanya ini ditentang. Jika pada awal abad ke-20 penerjemahan disebut penistaan, keberatan terhadap Jassin lebih kepada kompetensinya. Namun begitu, keberatan dengan nada penistaan terhadap al-Qur’an juga muncul lantaran ia menulis terjemahan al-Qur’an dalam bentuk puisi.

Begitu pula dengan Al-Qur’an Berwajah Puisi-nya secara resmi dilarang oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada penghujung tahun 1992.

2 tahun lalu, tepatnya pada 15 Mei 2015, kontroversi penistaan juga muncul dari gedung Istana Presiden sendiri. Adalah pembacaan al-Qur’an oleh Yaser Arafat pada pembukaan peringatan Isra’ Mi’raj yang menjadi sasaran. Ia tidak membacanya sebagaimana lazimnya didengar publik. Ia membaca menggunakan langgam Jawa. Yaser Arafat dihujat. Menteri Agama juga dicela. Jokowi tentu saja. Respons datang bari berbagai penjuru. Kita tentu melihat pidato Habib Rizieq yang viral itu.

Kasus-kasus tuduhan penistaan tersebut memiliki keunikan. Beberapa di antaranya memudar seiring zaman. Penulisna transliterasi dan penerjemah pada awal abad ke-20 disebut penistaan, akan tetapi saat ini tidak ada lagi yang tidak menikmati keduanya. Dekade 1970-an penerjemahan puitis juga ditentang, tapi kenyataannya saat ini puitisasi al-Qur’an diperlombakan di banyak tempat. Bukan hanya di Indonesia, bahkan percetakan al-Qur’an dalam sejarah Turki Usmani juga pernah dituduh penistaan. Isu penistaan tersebut dilengkapi dengan tuduhan penggunaan tinta berlemak babi. Akan tetapi, siapa yang saat ini tidak menggunakan al-Qur’an versi cetak?

Jika dibaca dalam konteks historis yang lebih luas, kasus-kasus penistaan al-Qur’an di atas memiliki pola yang khas, yaitu keterusikan status quo. Perjumpaan Islam dengan tradisi Nusantara melahirkan aksara jawi atau pegon, dan telah berabad-abad para ulama menulis tafsir atau penjelasan al-Qur’an menggunakan aksara ini. Menggunakan aksara latin mendobrak pakem. Apalagi yang ditulis latin bukan hanya penjelasan/terjemahannya, tetapi juga teks al-Qur’an itu sendiri.

Penerjemahan al-Qur’an ke bahasa ‘ajm mendobrak genre tafsir yang menggunakan bahasa Arab. Penerjemahan dan layout puitis mendobrak gaya prosa yang mendominasi. Maka, lumrah belaka jika setiap pembaharuan itu menghadapi penolakan.

Selain itu, tuduhan-tuduhan penistaan tersebut juga bersifat ideologis. Aksara latin dianggap mewakili identitas penjajah, sementara pribumi Muslim direpresentasikan dengan aksara Arab yang telah mewujud menjadi aksara jawi atau pegon. Merembesnya sentimen ini kepada penolakan pendidikan metode klasikal, sungguhpun tidak substansial, menjadi argumen tambahan terhadap politik identitas ini.

Kontroversi langgam Jawa muncul ketika berkembangnya wacana Islam Nusantara. Ide Islam Nusantara merupakan formulasi konseptual NU atas wasatiyyah Islam. Konsep ini dikemukakan sebagai counter narasi Islam politik atau gerakan Islam transnasional. Ketegangan ideologis semakin terlihat jelas ketika penguatan kontestasi ini direpresentasikan sebagai sentimen pro-Arab dan anti-Arab. Perebutan pengaruh antar kelompok dengan ideologi tertentu terkadang menstimulasi tuduhan penistaan agama.

Kasus-kasus di atas juga memperlihatkan bahwa tidak pernah ada konsesi atas tuduhan penistaan agama. Penerjemahan dan transliterasi al-Qur’an ditentang sebagian ulama, akan tetapi Ahmad Sanusi dan Mahmud Yunus adalah ulama. Penerjemahan H.B. Jassin ditentang banyak pihak, akan tetapi Al-Quranul Karim Bacaan Mulia diberi pengantar oleh Hamka. Al-Quran Berwajah Puisi ditolak oleh MUI, akan tetapi proyek itu ditulis oleh seorang kaligrafer profesional dengan latar belakang pendidikan ilmu al-Qur’an.

Catatan terakhir, tuduhan penistaan agama juga seringkali berkaitan dengan kepentingan politik. Sebagaimana kasus di Palu memiliki konteks pencalonan gubernur, saya mengamini penjelasan Muhammad Said dalam salah satu artikelnya di GeoTimes bahwa motif politik tidak bisa dilepaskan dari isu penistaan baru-baru ini.

Dr. Moch. Nur Ichwan juga mencatat bahwa fatwa Sayyid Usman terindikasi mewakili kepentingan Belanda untuk mengurangi pengaruh al-Qur’an bagi pribumi ketika itu. Kontroversi langgam Jawa masih menggambarkan sentimen Pemilihan Presiden 2014.

@fadhli lukman


Kalau Ahok Menang, Apakah Islam Kalah?

DUNIA HAWA - Judul di atas adalah pertanyaan yang sangat layak kita renungkan saat ini. Di saat orang-orang Jakarta—bahkan mereka yang tidak kena-mengena dengan Jakarta—setiap hari membombardir kita dengan selebaran-selebaran, anjuran, ajakan, bahkan ancaman agar kita orang Jakarta memilih Gubernur Muslim. Sebuah selebaran paling kasar yang sampai ke gadget saya berbunyi begini: 


“Alqurannya udah gue hina. Ulamanya udah gue lecehin. Lo masih milih gue. Dasar lo, bego! Hahahaha.” Tulisan itu disertai latar foto Ahok yang sedang tertawa bangga.

Itulah bagian dari kampanye negatif dan hitam yang kini masih bertubi-tubi diarahkan kepada pasangan calon nomor urut dua Gubernur Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dan Djarot Saiful Hidayat.

Tentu sebagian kita sadar dan tahu bahwa selebaran itu hanya dusta. Bahkan orang-orang sederhana di Pulau Seribu yang mendengar langsung ujaran Ahok yang dituduh menistakan Islam pun tahu bahwa itu bagian dari keculasan Pilkada belaka. Buktinya, tatkala Ahok berkampanye di Kepulauan Seribu akhir Januari lalu, mereka menyambut Ahok dengan tabuhan rebana nan meriah, penuh suka cita, bernuansa cinta.

Tapi begitulah. Inilah momen panas politik. Momen tatkala orang-orang ingin menang dengan segala cara, bahkan cara-cara paling culas sekalipun. Di antara keculasan itu dengan memperhadapkan pilihan politik warga Jakarta dengan keyakinan keagamaan pribadi mereka.

Trik-trik ini bisa dimaklumi karena sampai bulan Oktober 2016, Ahok sebagai pertahana memang dianggap sebagai Gubernur yang cakap, mumpuni, terlalu digdaya. Tingkat kepuasan masyarakat Jakarta atas kinerjanya tak pernah lebih rendah dari angka 50%.

Jika anda telaten membaca ulasan-ulasan survei LSI Denny JA sejak Oktober 2016, anda akan tahu bahwa cara paling mujarab untuk mengalahkan Ahok adalah dengan memainkan isu agama dan etnis. Dari rekomendasi seperti itulah kekisruhan bermula. Lembaga survei membuat rekomendasi, disambut pemain-pemain politik bagaikan firman, dijalankan oleh ormas-ormas Islam di lapangan sehingga Jakarta tampak tidak aman dan bobrok di bawah kepemimpinan Ahok. Faktanya jauh panggang dari api!  

Kini, tiga hari menjelang pencoblosan, tampak jelas bahwa elektabilitas Ahok masih cukup kokoh. Survei Indikator Politik Indonesia hari ini masih menempatkannya di posisi teratas dengan angka 39.04%. Anies-Sandi melejit ke angka 35.36%, sementara Agus-Sylvi terapung di angka 19.45%. Besar kemungkinan, Ahok-Djarot akan bersaing dan bertanding melawa Anies-Sandi di putaran kedua, sementara Agus-Sylvi terpaksa gigit jari sampai di sini.

Lantas jika Ahok tetap unggul seperti ini, apakah artinya faktor agama tidak mempan mempengaruhi pemilih Jakarta? Apakah kemenangan Ahok dapat diartikan sebagai kekalahan Islam?

Bagi saya, jawabannya bisa ya dan bisa tidak. Tergangung apa defenisi kita tentang Islam dan umat Islam yang punya otonomi dalam memilih. Juga tentang Islam mana dan umat Islam yang mana. Juga tentang nilai-nilai apa yang dipentingkan Islam dan umat Islam dan nilai-nilai apa yang tidak dipentingkan untuk Jakarta.

Pertama, dalam konteks Indonesia, kita hampir mustahil bisa bicara tentang Islam dalam makna yang tunggal. Islam dalam makna yang tunggal hanya ada dalam tataran ide, bukan sebuah kenyataan. Seberapa kuatpun anda bicara tentang persaudaraan Islam (ukhuwwah Islamiyyah) dan imaji tentang umat Islam yang satu organ yang sepenanggungan, tetap saja umat Islam Indonesia tidak tunggal.

Ada NU, Muhammadiyah, FPI, HTI, dan lainnya dengan pertimbangan dan kepentingan yang berbeda-beda. Islam dalam kenyataan sosiologis masyarakat Indonesia adalah fakta keragaman dan taman sari kebhinekaan. Semasa pendiri Paramadina almarhum Nurcholish Madjid masih hidup, kita sering mendengar pembedaan antara Islam simbolik dan Islam subtantif.

Untuk memudahkan, ada baiknya kita kasih contoh. Secara simbolik, tak ada yang dapat memungkiri keislaman sosok mantan Hakim Mahkamah Konstitusi yang baru saja ditangkap KPK untuk kasus risywah alias suap. Bagaimana tidak, baru-baru ini dia rajin sekali bikin pengajian, memelihara jenggot tebal, suka berdakwah, dan paling sengit pula melaknat kaum LGBT.

Namun bila kita perhadapkan dengan substansi ajaran mulia Islam yang paling tidak tertuang dalam sebuah hadis—misalnya yang menegaskan bahwa “penyuap dan tersuap akan masuk neraka”—maka kita dapat saja mengatakan bahwa dia tidak sedang berpegang pada substansi ajaran Islam yang mulia. Mohon maaf, ini tidak ada kaitannya dengan aksi suap-menyuap antara Anies Baswedan dan Raffi Ahmad dalam sebuah iklan kampanye mereka.

Karena itu, jika umat Islam diberi pilihan antara membela sosok Patrialis Akbar yang kini juga dianggap ulama atau membela ajaran mulia Islam yang melarang suap-menyuap, mana yang umat pilih? Ini pertanyaan mendasar. Hal ini juga bisa berlaku bagi tokoh Islam manapun dengan kasus apapun. Jika ada seorang habib yang getol memperjuangkan undang-undang pornografi tapi kelak justru terbukti melakukan perbincangan seksual yang vulgar dengan perempuan bukan istrinya, apakah umat akan tetap membela dan memujanya?   

Dari dua ilustrasi di atas kita dapat menyimpulkan bahwa Islam simbolik bisa membuat kita terpedaya oleh sosok, simbol, tampilan luar seseorang. Islam yang subtantif tidak gampang terpedaya oleh tampilan-tampilan luar karena menyangkut nilai yang diperjuangkan. Islam subtantif lebih melihat sejauh apa kelakuan seseorang berkesuaian dengan nilai-nilai yang hendak diangungkan agama. Islam yang simbolik itu fana, bisa kalah dan dikalahkan. Islam yang subtantif bersifat abadi, luhur dan layak terus dibela dan diperjuangkan!

Kedua, kalau kita lihat data-data survei tentang Gubernur yang diidamkan masyarakat Jakarta, seperti yang dipaparkan oleh Indikator Politik Indonesia, maka kita dapat melihat bahwa aspek-aspek yang ditanyakan selalu menyangkut persoalan mendasar yang memang diperlukan oleh masyarkat Jakarta. Itulah kiranya substandi kebutuhan warga Jakarta dari sosok Gubernur yang akan memimpin mereka kelak. Secara berurutan, pemimpin yang mereka cari adalah mereka yang (1) sudah ada bukti nyata dalam kinerja, (2) berpengalaman di pemerintah, (3) tegas dan berwibawa, (4) pintar dan berpendidikan, (5) jujur dan bersih dari KKN.

Faktor simbolik seperti kesamaan agama hanya menempati posisi keenam, disusul faktor keramahan atau kesantunan, pengaruh orang lain, dan kesamaan partai. Ini artinya, masyarakat Jakarta cukup rasional dalam mencari sosok pemimpin yang mereka idamkan. Dan jangan dilupakan, 85% responden yang ditanya di dalam survei tersebut juga umat Islam. Meragukan keislaman mereka adalah kesombongan yang nyata.

Bahkan dari aspek yang simbolik para calon gubernur pun, masyarakat Jakarta masih cukup rasional. Dari 7 citra tentang tiga pasangan calon Gubernur Jakarta yang ditanyakan kepada mereka, mereka mengunggulkan Ahok dalam 3 kategori (perhatian pada rakyat, tegas dan berwibawa, mampu memimpin DKI). Ahok imbang soal kepintaran dengan Anies, kalah tipis soal kejujuran dibanding Anies, dan kalah dalam kesantunan dan kegantengan dari Anies dan Agus.

Jadi kalau Pak SBY tempo hari mengidamkan “Gubernur yang baik hati dan mencitai rakyaknya, apa adanya” lewat sebuah nyanyian, kini survei membuktikan: jawabannya bukanlah Agus Harimutri Yudhoyono, namun Basuki Tjahaja Purnama!

Ketiga, kembali ke pertanyaan semula: apakah Islam kalah jika Ahok menang? Jawabannya ya dan tidak. Islam yang picik, rasis, sempit dada, intoleran, anti-kebhinekaan, mungkin akan merasa kalah dan terhina jika Ahok menang. Tapi Islam yang terbuka, non-diskrikrimitif, lapangan dada, toleran, pro-kebhinekaan tetap ikut menang jika pun Ahok menang.

Islam yang menginginkan Jakarta yang bersih-rapi-jali, tertata, terurus, terlayani, terjauh dari kongkalikong, akan ikut jaya jikalau Ahok jaya. Islam yang ingin mengawetkan status quo, melestarikan kemandekan dan persekongkolan antara eksekutif dan legislatif, bertindak semena-mena dan mentang-mentang terhadap kaum minoritas dan mereka yang lemah, toleran terhadap ketidakbecusan dalam mengurus anggaran pembangunan, rela melihat proyek mangkrak, mungkin akan tertonjok jika Ahok menang.

Islamnya almarhum Nurcholis Madjid yang coba dipadamkan Anies Baswedan, Islamnya almarhum Gus Dur, Quraish Shihab, Said Aqil Siroj, Syafii Maarif dan Islam yang menjadi rahmat bagi Indonesia akan ikut menang bersama kemenangan Ahok. Sebaliknya, Islamnya Rizieq Shihab, Bahtiar Nasir, Ismail Yusanto, Zaitun Rasmin, akan kalah telak sekiranya Ahok menang.

Islam yang rahmatan lil alamin akan menang jika Ahok menang. Islam yang laknatan lil indunisiyyin akan merasa kalah jika Ahok menang. Sekian, wallahu a’lam!    


@novriantoni kahar


Mimpi Indah Rumah Tanpa Uang Muka

DUNIA HAWA - Jujur, hal yang paling saya tunggu dalam debat kemarin adalah bagaimana caranya bisa punya rumah di Jakarta tanpa dp dan dicicil dalam waktu 30 tahun? Pertanyaan ini telak diajukan pak Djarot yang tumben dalam debat kemaren nyengir terus. Senang, ya pak?


Dan kembali saya mendapat jawaban mengambang berupa retorika saja dari mas Anies. Bla bla bla.. dan dilemparkan ke Sandi. Sandi pun maju dengan ragu dan akhirnya berbicara tentang kepiawaiannya dalam masalah keuangan dan bla bla lagi tanpa ada penjelasan teknis bagaimana caranya bisa punya rumah di Jakarta, anggap angkanya 500 juta, tanpa dp dengan cicilan selama 30 tahun.

Skemanya masih rahasia, karena Oke Oce. Apa yang sebenarnya disembunyikan Sandi? Saya jadi ingat bubble properti di Amerika tahun 2008 yang terkenal dengan nama krisis Subprime Mortgage.

Subprime mortgage berawal dari turun tajamnya suku bunga sehingga menarik minat orang untuk pinjam duit dari bank. Dan dampak dari semua itu adalah banyak pengembang property yang membuat rumah murah dengan cicilan jangka panjang.

Mereka berlomba-lomba membangun property dan mencari pembeli dengan mengusahakan KPRnya sekalian. Karena sudah terlanjur bangun rumah banyak, akhirnya pihak developer dan bank pun mencari pembeli yang "kurang mampu" supaya KPR mereka tersalurkan.

Pembeli yang kurang mampu ini ditawarkan nol persen uang muka, bahkan mereka malah dapat uang hanya supaya mereka mau beli rumah. Akhirnya berlomba-lombalah mereka yang kurang mampu untuk beli rumah dengan cicilan yang bahkan mereka sulit bayar.

Ketika mereka tidak mampu bayar, bank melakukan refinancing atau pembiayaan kembali dengan jaminan rumah yang sama yang diharapkan harganya meningkat.

Akhirnya dalam waktu bersamaan terjadi gagal bayar yang membuat bank-bank di Amerika kolaps, dan pembeli yang tidak mampu tadi harus diusir dari rumahnya.

Apakah ini yang diinginkan mas Anies dan mas Sandi, memberi mimpi kepada mereka yang tidak mampu untuk kemudian mengusir mereka dari rumahnya nanti? Lalu ada perusahaan yang memborong rumah-rumah itu dengan harga murah dan kemudian membangun apartemen di atasnya?

Kita sama-sama tahu, mas Sandi adalah pemain keuangan yang lihai. Jangan-jangan ini jebakan betmen untuk mendapat keuntungan yang lebih dari penderitaan warga nantinya.

Menjual mimpi boleh-boleh saja, tapi mimpi juga harus realistis. Jangan ajarkan seekor ikan untuk terbang, ajarkan mereka berenang. Itu namanya menghina keterbatasan mereka dan memanfaatkan ketidakmampuan mereka untuk kepentingan sepihak.

Mereka yang tidak mampu -seperti saya- tahu diri untuk hanya minum kopi di warkop seharga tiga rebuan. Jangan ajarkan kami untuk ngopi di lobby hotel bintang lima dengan nilai secangkir 90 rebu rupiah dengan plus dan plus.

Karena bagi kami kopi sama saja dimanapun tempatnya berada. Yang penting realistis. Yang penting adalah nikmatnya sama. Sama-sama kopi. Seruput..

@denny siregar