Saturday, February 11, 2017

Inilah Indikasi Pencucian Uang dalam Kasus Ketua GNPF MUI

DUNIA HAWA - Sungguh aneh jikalau Ketua GNPF MUI, berdalih tidak memiliki nomor rekening organisasi, lalu kemudian meminjam rekening milik Yayasan Keadilan Untuk Semua, untuk mengumpulkan dana sumbangan dari para umat untuk aksi 4 November 2016 dan 2 Desember 2016. Dan yang lebih aneh lagi adalah Ketua GNPF MUI, Bachtiar Nasir bisa menjadi salah satu penanggungjawab dari dana yang sudah ditransfer ke rekening milik Yayasan Keadilan Untuk Semua.


Itu makin tidak logis, dikarenakan bagaimana logikanya jika Bachtiar Nasir, yang merupakan Ketua GNPF MUI, yang sama sekali bukan bagian dari struktur pimpinan dari Yayasan Keadilan Untuk Semua , bisa menjadi penanggungjawab dari dana yang telah ditrasfer ke rekening milik yang bukan rekening GNPF MUI? Ini yang tidak logisnya. Makin tidak logis lagi, Ketua GNPF MUI, Bachtiar Nasir menyatakan bahwa telah melakukan kerjasama secara lisan dengan Yayasan Keadilan Untuk Semua , untuk meminjam rekening milik yayasan tersebut, ini juga yang makin tidak logis.

Dikarenakan tidak ada bukti hukum berupa bentuk kesepakatan berupa perjanjian dari pemipinan Yayasan Keadilan Untuk Semua kepada GNPF MUI untuk meminjamkan rekening kepada GNPF MUI ataupun Ketua GNPF MUI, dalam rangka untuk mengumpulkan dana untuk aksi 4 November 2016 dan 2 Desember 2016. Ketua GNPF MUI , Bachtiar Nasir hanya menyatakan bahwa  ada draft perjanjiannya dengan Yayasan Keadilan Untuk Semua, Nah ini yang makin tidak beres lagi.

Dikarenakan jika masih dalam bentuk draft, itu tidak bisa dijadikan sebagai bukti hukum untuk membuktikan adanya kesepakatan berupa perjanjian antara Ketua GNPF MUI dengan pemilik dari Yayasan Keadilan Untuk Semua. Karena dalam hukum perdata, harus ada kesepakatan antara Ketua GNPF MUI dengan pemilik Yayasan Keadilan Untuk Semua dalam bentuk lembar dokumen yang ditandatangani oleh kedua belah pihak di atas materai, bukan masih dalam bentuk draft.

Jadi , jika hanya ada draft saja, itu artinya ada cacat hukum dalam perjanjian antara Ketua GNPF MUI dengan pemilik  dari Yayasan Keadilan Untuk Semua, karena syarat utama untuk sahnya suatu perjanjian yakni adanya kesepakatan, yakni Pasal 1320 KUH Perdata, yang harus dibuktikan dengan adanya dokumen dan ditandatangani oleh kedua belah pihak di atas materai, itu artinya pengumpulan dana yang dilakukan Ketua GNPF MUI, adalah ilegal, jadi sangat wajar jika diselidiki penyidik Dittipikor Bareskrim Mabes Polri.

Dikarenakan ada banyak kemungkinan hukum yang terjadi dalam kasus ini, salah satu yang paling memungkinkan adalah kedua belah pihak sepakat untuk mengumpulkan dana melalui rekening Yayasan Keadilan Untuk Semua, tanpa adanya bukti perjanjian yang sah secara hukum, hanya saja pemilik Yayasan Keadilan Untuk Semua, tidak menjadi penanggungjawab dari dana yang mengalir ke rekeningnya tersebut, dan agar tidak dicurigai ada yang aneh dari Yayasan Keadilan Untuk Semua, maka Ketua GNPF MUI, Bachtiar Nasir, yang menjadi penanggungjawab dana yang merupakan sumbangan umat kepada GNPF MUI untuk aksi 4 November 2016 dan 2 Desember 2016, yang telah terkumpul sebesar Rp. 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Selain itu yang mendorong penyidik Dittipikor Bareksrim Mabes Polri menyelidiki kasus ini tak lain dan tak bukan adalah disebabkan total nilai transfer sebesar Rp. 3.000.000.000,00, dan ini mengundang kecurigaan dari mana dari sebesar ini bisa masuk, dikarenakan jika hanya umat saja yang mentrasfer tentu jumlahnya tidak akan sebesar itu, apalagi hingga kini Ketua GNPF MUI, Bactiar Nasir dan pemilik dari Yayasan Keadilan Untuk Semua, tidak pernah menjelaskan mengenai berapa jumlah dana yang ada di dalam rekening milik Yayasan Keadilan Untuk Semua, sebelum digelarnya pengumpulan dana untuk aksi 4 November 2016 dan 2 Desember 2016?

Jikalau Bendahara GNPF MUI, menyatakan bahwa rekening itu sebelumnya dikosongkan untuk menampung sumbangan dari para umat, makin kacau lagi pembelaan yang seperti itu, karena bisa memunculkan pertanyaan baru yang lebih besar lagi, yakni  Bagaimana logikanya jika GNPF MUI yang bukan sebagai pemilik rekening tersebut , bisa mengosongkan rekening yang bukan miliknya? Jika dikosongkan, dikemanakan uang yang ada di dalam rekening itu? Mengapa harus dikosongkan, toh berapa saldo terakhir yang ada di dalam rekening Yayasan Keadilan Untuk Semua, bisa dicatat oleh pemilik yayasan, jika memang sudah ada kesepakatan yang sah menurut hukum, sehingga tidak perlu melakukan pengosongan rekening.

Jumlah dana yang ada di dalam rekening milik Yayasan Keadilan Untuk Semua, sebelum aksi 4 November 2016 dan 2 Desember 2016, menjadi penting diketahui untuk melihat sejak kapan dana mengalir deras masuk ke dalam rekening milik Yayasan Keadilan Untuk Semua.

Karena jika dana sebesar Rp. 3.000.000.000,00, dari para umat, maka akan jelas tanggal transaksinya, termasuk berapa besaran untuk satu transaksi ke rekening Yayasan Keadilan Untuk Semua, dan yang jadi pertanyaan besarnya untuk kuaa hukum GNPF MUI, Kapitra Ampera, adalah berapa banyak jumlah umat yang mentrasfer ke rekening milik Yayasan Keadilan Untuk Semua? Dan beranikah Kapitra Ampera menujukan  bukti hukum dalam hal ini dokumen perjanjian mengenai adanya kesepakatan antara Ketua GNPF MUI dengan Yayasan Keadilan untuk Semua, yang sudah ditandatangani  kedua belah pihak dan di atas materai?

Dan bisakah kuasa hukum GNPF MUI, menujukan hasil print out buku tabungan dari Yayasan Keadilan Untuk Semua, jika memang dana sebesar itu semuanya berasal dari para umat? Karena dari situlah nanti akan diketahui berapa nilai transferan tertinggi dan terendah yang disumbangkan para umat melalui rekening Yayasan Keadilan Untuk Semua. Dan selanjutnya yang jadi pertanyaan besarnya adalah siapa saja yang menjadi pengurus dari Yayasan Keadilan Untuk Semua dan mengapa harus meminjam rekening Yayasan Keadilan Untuk Semua? Jadi peran dari Yayasan Keadilan Untuk Semua, juga harus terus didalami oleh penyidik Dittipikor dikarenakan dalam tindak pidana pencucian uang, terbagi menjadi dua, pencucian uang aktif dan pasif.

@ricky vinando


( 112 ) Langkah Kuda yang Sempurna

DUNIA HAWA - Kunjungan Habib Rizieq dan Bachtiar Nasir ke Wiranto memang menarik. Banyak yang mengartikan sinis kunjungan itu sebagai langkah Wiranto dalam mencari muka kepada pentolan gerakan aksi GNPF MUI. Apalagi banyak informasi yang beriedar jika Wiranto termasuk yang membentuk FPI dulu sebagai gerakan pam swakarsa di tahun 1998.


Saya malah melihat kunjungan itu sebagai langkah positif, terutama pada posisi Wiranto sebagai Menkopolhukam yang notabene adalah perwakilan pemerintah.

Salah satu pemikiran strategis Sun Tzu dalam "the art of war" adalah dekatlah pada sekutumu, tapi lebih dekatlah pada musuhmu. Merapat kepada mereka yang berlawanan sebenarnya adalah senjata yang efektif. Dengan semakin dekat, maka musuh akan semakin sulit bergerak.

Konsep perang Jokowi memang menghindarkan keributan yang tidak perlu. Jokowi membutuhkan situasi yang tenang supaya investor percaya kalau Indonesia tetap kondusif. Kita bisa melihat track record bagaimana Jokowi meredam keributan saat "pertarungan" KPK vs Polri jilid 2. Jokowi tidak suka menggunakan kekerasan sebagai cara menghantam. Ia model silent killer, membunuh dalam senyap.

Dan para assasin selalu mendekatkan diri pada targetnya, sedekat-dekatnya -bahkan jila memungkinkan merangkulnya- untuk kemudian menghabisinya tanpa terlihat..

Itulah yang dilakukan Wiranto sekarang sebagai panglima perang. Ia merangkul para pentolan yang sebenarnya sudah terbaca bahwa mereka hanyalah bayaran dari sekelompok oknum elit politik yang bernafsu menguasai kembali negeri ini.

Dengan sejarah mereka adalah teman lama, mudah bagi Wiranto mendekatinya. Ia mengundang mereka ke rumahnya untuk minum kopi bersama.

Tidak ada yang tahu apa pembicaraan di dalamnya, tapi hasilnya terlihat jelas. FPI terpecah dalam dukungan untuk melakukan long march dalam aksi 112.
Ketua Tanfidzi DPD FPI DKI, Abuya KH. Abdul Majid mengatakan bahwa FPI tidak akan ikut dalam longmarch hanya mengadakan kegiatan zikir saja di Istiqlal. Tapi Ketua Umum Front Pembela Islam (FPI), KH. Ahmad Shobri Lubis ngotot tetap akan ikut aksi yang diprakarsai oleh kelompok Forum Umat Indonesia atau FUI.

Sesuai kesepakatan bersama, bahwa tanggal 11 Februari adalah minggu tenang dan tidak boleh ada kegiatan massa di jalan, maka niat demo besar berhasil di lokalisir hanya di Masjid Istiqlal saja. 

Dengan terpecahnya gerombolan, maka akan mudah bagi kepolisian untuk mengidentifikasi siapa orang-orang yang masih ingin membuat keributan.

Ini strategi yang jenius dan menarik untuk disimak. Cara perang yang elegan. Rangkul dan lokalisir potensi masalah.

Dengan merangkul para "komandan lapangan" aksi, maka ini juga akan membingungkan para penyandang dana di belakang layar dan mulai meragukan sebagian koalisinya, kepada siapa mereka sekarang berpihak..

Dan jangan lupa, panah-panah hukum tetap mengarah ke Habib Rizieq dan Bachtiar Nasir. Panah itu tidak akan berhenti meskipun mereka merapat ke Wiranto yang mereka kenal sebagai "sahabat lama".

Buat saya, FPI tidak perlu dibubarkan. Karena jika mereka bubar dengan kekerasan, mereka akan membentuk sel-sel baru yang malah akan lebih sulit terlihat. FPI cukup disusupi, dikendalikan dan dirubah pemahamannya. FPI akan dikembalikan sesuai fungsinya di awal, untuk ikut menjaga keamanan negara.

Saya kok jadi teringat dengan apa yang pernah dilakukan pemerintah dengan Golkar. Partai yang dulu menyerang pemerintah habis-habisan, mendadak menjadi koalisi yang sempurna. Jadi rindu Tantowi Yahya dan Nurul Arifin yang hilang bagai ditelan bumi, padahal dulu suara mereka keras sekali.

Permainan catur yang cantik sekali. Bidak-bidak terbuka dan tersusun rapi, sekarang menunggu langkah lawan yang panik melindungi dirinya dengan cuitan-cuitan yang mencari simpati.

Sambil menunggu langkah lawan, seruput kopi dulu ahhh.

@denny siregar


Bukan Hanya RT/RW, Kalau 1 Milyar Saya Juga Mau

DUNIA HAWA - Siapa yang tidak mau 1 Milyar? 90% dari masyarakat Indonesia tidak akan pernah melihat tabungan mereka memiliki 9 angka nol. Makanya Agus bisa dengan berani berkata saat bertemu dengan pengurus RT/RW mereka begitu mendambakan progam 1 Milyar ini.


“Saya bertemu dengan puluhan ribu RT/RW di Jakarta dan semua mengatakan kami sangat mengapresiasi program yang diusung oleh paslon 1 untuk pemberdayaan komunitas 1 RW, Rp 1 miliar per tahun. Mereka mendamba-dambakan itu, mereka merindukan itu,” kata Agus.

Ya jelas lah mas Agus. Tidak ada seorangpun yang mempermasalahkan keinginan seseorang terhadap uang. Yang selama ini dipermasalahkan adalah uangnya dari mana dan pertanggungjawabannya apa. Dan sampai sekarang pun Agus belum memberikan cara agar uang tersebut tidak dikorupsi.

Money Politic Berbalut Janji Progam


Sekarang Agus sudah tidak bisa mengelak bahwa beliau melakukan Money Politic. Memang benar pihak Agus tidak memberikan uang saat kampanye (Jam tangan sih ada), tapi janji bahwa pihak RT/RW akan mendapat progam yang berupa uang tunai senilai 1 Milyar jelas termasuk Money Politic.

Pilihlah saya dan anda akan mendapat progam 1 Milyar, siapa yang tidak tergoda? Ketua RT/RW itu bukan pekerjaan yang mendapat banyak uang lho. 1 Milyar itu bisa tabungan 30 tahun dengan DP. Kapan lagi ada kesempatan mendapat dana 1 Milyar yang pengawasannya mengenaskan.

Memang benar bahwa Agus ini progamnya sama sekali tidak mendidik. Sudah jelas dana besar rawan korupsi. Atau mungkin Agus ingin menularkan wabah korupsi milik Demokrat? Jangan hanya petinggi Demokrat saja yang ditangkap KPK, tapi akar rumput sekalian?

Melihat janji Agus yang pertama yaitu progam BLT saja sudah terlihat bahwa Agus bersaing secara tidak sehat. Kalau Agus terpilih mendapat BLT, mau pakai logika bumi datar pun ini termasuk money politic. Rakyat miskin yang masih lugu pasti akan terpancing. Masak duit ditolak?

“Karena selama ini tidak pernah didengar, tidak pernah diperhatikan pemerintahnya sendiri, mereka ketakutan. Betul takut, tapi takut dimaki-maki oleh pemimpinya. Bukan takut tidak bisa merealisasikan program tersebut,” ujar Agus.

Mas Agus, RT/RW tidak akan takut tidak bisa merealisasikan progam karena memang TIDAK ADA progam apapun yang mengikuti progam 1 Milyar. Dari cara Agus menyampaikan progamnya, RT/RW akan diberi dana 1 Milyar pas. Setelah itu?

Terserah mau diapakan, selokan mau dilapis coklat pun boleh. Membeli mobil baru juga boleh, ini bakal mengerakkan ekonomi. Menambah jumlah istri pun boleh, bukankah ini memproduksi masa depan bangsa? Jelas bahwa Agus tidak memikirkan uang sebesar itu mau diapakan.

Percaya Maka Tidak Akan Korupsi???


Saat Djarot bertanya kepada Agus bagaimana cara mengawasi dana sebesar itu apakah anda masih ingat apa jawaban Agus? Sungguh luar binasa, Agus percaya kepada rakyat. Saya ulangi lagi, Agus percaya kepada rakyat jadi rakyat jangan selalu dicurigai.

Apakah Agus ini tidak pernah ditipu? Apakah uang Agus tidak pernah dilarikan orang lain? Bukankah kita tahu sendiri bahwa banyak kasus dimana orang kepercayaan bisa melarikan uang bila keserakahannya sudah memuncak? Sekarang bagaimana mungkin mempercayakan dana 1 Milyar atas dasar ‘Saya Percaya’

Sepertinya Agus sengaja menghindari pertanyaan ini, kemungkinan besar Agus sendiri bahkan belum terpikirkan bagaimana cara mengawasi pergerakan dana sebesar ini.

“Dan untuk itu pula kami memahami karena program kami itu sangat dinanti, tentunya akan banyak diserang terutama oleh paslon nomor dua. Saya paham ini kebutuhan rakyat dan kami akan tetap firm untuk meyakinkan itu terjadi,” ujar Agus.

Kebutuhan rakyat 1 Milyar? Kalau gitu saya juga butuh, mas Agus. Kebutuhan akan uang itu tidak ada habisnya. Setiap rakyat pasti perlu uang, ini sudah fakta tidak terbantahkan dan tidak ada yang memperdebatkannya.

Yang dipermasalahkan adalah kerawanan dana ini dikorupsi. Seorang ketua RT/RW tidak berhak membangun apapun di lingkungannya. Tugas ketua RT/RW terutama untuk menjembatani hubungan baik antara masyarakat dengan pemerintah. Makanya kalau bingung cara membuat KTP bisa tanya langsung ke ketua RT.

Pihak KPU seharusnya memberikan teguran keras kepada Agus. Progam ini sangatlah bernuansa money politic dan dilakukan secara terang-terangan. Coba kalau Ahok berani membuat progam begini. Pasti sudah dihajar sana-sini.

Bila menjadi Gubernur, bisa dipastikan rakyat (Ketua RT/RW) bakal sejahtera. Sungai banjir tidak apa-apa, nanti dibangun vertical housing di pinggiran sungai, jadi cuman lantau bawah yang kebanjiran sedangkan lantai atas aman. Dibuat juga taman bermain disana, sekalian belajar berenang gratis buat anak-anak (resiko hanyut ditanggung sendiri). Silahkan pilih Agus bila ingin masa depan Jakarta seperti ini.

@evan kutniawan


Masalah Narkoba, Cagub DKI Bingung Menjawab

DUNIA HAWA - Dalam debat ketiga yang merupakan debat pamungkas, ketiga Cagub DKI Jakarta akan kembali memperebutkan suara para pemilih khususnya bagi pemilik suara yang belum menentukan pilihannya. Tema yang diusung pada debat terakhir ini adalah ‘Kependudukan, Perlindungan Anak, Pemberdayaan Perempuan, Anti narkoba, dan Kebijakan kepada Penyandang Disabilitas’.


Narkoba adalah topik yang menarik untuk dibahas karena perkembangan narkoba di Jakarta sudah cukup memprihatinkan. Narkoba bisa mengajak siapa saja, dari berbagai kalangan dengan latar belakang pendidikan apa saja. Mari kita kupas pernyataan dari ketiga Cagub mengenai narkoba.

Pertanyaan untuk Anies dan Sandi:


Data dari BNN 2015 menunjukkan prevalensi penggunaan narkoba Jakarta tertinggi dibanding kota lain di Indonesia yakni sekitar 5%. Laporan kasus-kasus di media massa menggambarkan penyebaran narkoba mempunyai jaringan yang kuat, bahkan operasi peredaran narkoba dikendalikan dari dalam penjara. Apa strategi paslon dalam menghambat kuatnya penyebaran jaringan tersebut?

Anies menjawab beberapa langkah. Pertama, membuat warga Jakarta menjadi immune terhadap godaan narkoba dan lingkungan aman dari narkoba. Caranya, “kita akan mengaktifkan kembali dan memperluas RW siaga. RW siaga ini bukan hanya fokus pada aspek kesehatan seperti yang sekarang dimiliki, justru kita akan memperluas, bagaimana RW bisa memainkan peran tentu dalam kesehatan, tetapi ditambah ketahanan lingkungan. Mereka akan terlibat dalam kegiatan-kegiatan keolahragaan, pendidikan, termasuk pendidikan tentang narkoba”.

Sungguh-sungguh kasihan ketua RW di seluruh Jakarta bila Anies dan Sandi menang dan menjadi Gubernur DKI. Tugas ketua RW akan sangat berat. Beban dan tanggung jawab yang diberikan kepada ketua RW sangat besar, bahkan mungkin menyamai tanggung jawab seorang Wali Kota. Mereka harus memikirkan program-program mengenai kesehatan, narkoba, olah raga, pendidikan dan aktifitas warga lainnya. Apakah ketua RW ini digaji? Apakah ketua RW adalah pejabat? Mengapa semua beban diberikan kepada ketua RW? Bahkan dalam debat sebelumnya, ketua RW juga diharapkan untuk berpartisipasi dalam mengelola sampah, pengelolaan sampah sebelum dibuang ke TPS.

Dan satu hal yang sulit dimengerti, bagaimana seorang RW bisa membuat seseorang immune terhadap narkoba? Sayang tidak dijelaskan, karena hal ini sangat penting untuk para ketua RW di seluruh Jakarta yang sedang garuk-garuk kepala setelah menonton debat Cagub.

Dengan pernyataan Anies yang menyerahkan tanggung jawab kepada ketua RW termasuk penanganan kesehatan, narkoba, sampah, olah raga, aktifitas warga, terus tugas dan tanggung jawab Gubernur dan Pemprov apa? Bila ada peningkatan narkoba, maka yang salah adalah ketua RW. Bila tingkat kesehatan masyarakat menurun, kesalahannya adalah RW tidak aktif terlibat.

Hal yang kedua adalah distribusi. “Kita akan siapkan Perda yang memberikan hukuman extra kepada mereka yang memberikan distribusi di Jakarta,” kata Anies. Hal ini membuktikan bahwa sang calon Gubernur Anies Baswedan tidak mengerti wewenang seorang Gubernur sampai dimana. Mana bisa Gubernur membuat Perda untuk menambah hukuman extra kepada pengedar narkoba. Gubernur tidak mempunyai wewenang untuk itu. Hal ini dibantah oleh Djarot pada saat ada kesempatan, “untuk penegakan hukum, mohon maaf Pak Anies, ini adalah ranah dari pemerintah pusat, dari BNN. Sedangkan Perda adalah mengatur untuk bagaimana upaya preventif”. Ouch.. sakitnya tuh disini…

Anies bukanlah Baswedan bila tidak menjawab kembali. Apa kata Anies? “Dan saya beri catatan, Perda yang disusun tidak harus berkaitan dengan pidana. Penutupan dan pelarangan-pelarangan, itu bisa menggunakan Perda. Tidak selalu harus Perda berkaitan dengan pidana ketika terkait dengan persoalan narkoba”.  Anda bisa melihat pernyataan yang blunder, jelas-jelas pernyataan sebelumnya adalah memberikan hukuman extra. Mana ada kata ‘hukuman extra’ bisa berubah arti menjadi penutupan dan pelarangan. Kalau cuma penutupan dan pelarangan tidak perlu Perda tambahan. Sekarang saja, Ahok bisa menutup diskotik yang sudah bertahun-tahun berdiri megah di Jakarta. Dengan santai dan tanpa perasaan bersalah, Anies mengkoreksi pernyataannya sendiri dan berharap tidak ada yang mengingat kesalahan yang telah dikatakan. Onde mande..

Sebagai penutup, Anies membuat pernyataan yang manis seperti biasanya. Kita menempatkan posisi tegas kepada distributor, penuh kasih sayang kepada korban. Pasti banyak yang bertanya bagaimana seorang Gubernur bisa bertindak tegas karena dia bukan penegak hukum. Bila ada ditemukannya pengedar narkoba, Gubernur wajib melaporkan kepada kepolisian terlebih dahulu. Tidak bisa bertindak tegas sendiri. Bila kita bandingkan dengan Ahok dan Djarot, mereka dengan jelas mengatakan kalau ada tempat hiburan terbukti menjadi tempat peredaran narkoba, mereka akan menutup tempat tersebut. Itu disebut tegas tapi sesuai dengan prosedur dan wewenang Gubernur. Sedangkan Anies ingin tegas dalam hal apa? Sayang, tidak dijelaskan secara konkret.

Bagaimana seorang calon Gubernur berani mengatakan “dicatat kami sudah membicarakan bahaya narkoba sejak debat pertama” tapi dari debat pertama sampai sekarang masih tidak jelas apa yang akan dikerjakan untuk memberantas narkoba.

Ya sudahlah, kita lanjut melihat jawaban dari pasangan lainnya AHY – Sylvi.

Pertanyaan untuk AHY dan Sylvi:


Program rehabilitas narkoba dipandang tidak begitu berhasil dengan banyaknya peserta rehab yang kembali menjadi pengguna. Menurut Anda apa yang salah dari kondisi itu dan apa langkah-langkah strategis untuk memperbaiki program rehabilitasi sebagai upaya pemberantasan narkoba.

Sylvi maju mengambil kesempatan berbicara yang pertama. Sylvi menegaskan bahwa faktor keluarga adalah yang utama dalam memberantas narkoba. Belum menjelaskan bagaimana keluarga berfungsi untuk mengurangi penyebaran narkoba, Sylvi loncat ke agama juga penting. Tidak dijelaskan apa fungsi agama yang dimaksud, dia loncat lagi ke program 1 miliar untuk RW, kemudian loncat lagi ke PKK dan membicarakan peran perempuan dalam narkoba yang entah apa perannya. Kemudian ditutup dengan kalimat ‘pendidikan itu sangat penting sekali’. Apaan sih..

Jelas sekali, Sylvi tidak mengerti pertanyaannya dan bahkan sama sekali tidak mengerti apa yang dia bicarakan. Semua elemen masyarakat yang lewat dalam pikirannya di utarakan untuk mengisi setengah dari waktu yang disediakan. Karena sudah kehabisan ide mau berbicara apa lagi, Sylvi langsung memberikan kesempatan kepada AHY untuk meneruskan. Terlihat wajah AHY yang tidak siap dan tidak menyangka bahwa akan di lempar kesempatan berbicara.

Sayangnya, AHY juga tidak bisa memberikan solusi apa-apa. Pertanyaannya sudah jelas, apa langkah-langkah strategis untuk memperbaiki program rehabilitasi sebagai upaya pemberantasan narkoba. AHY hanya menjelaskan ulang apa guna dari rehabilitasi bukan memberikan langkah untuk memperbaiki program rehabnya. AHY menjelaskan bahwa korban benar-benar mendapatkan perawatan yang tepat. Tidak hanya dipulihkan tetapi juga diberdayakan kembali agar mempunyai keterampilan sehingga mereka memiliki kepercayaan diri untuk kembali ke masyarakat. Caranya?

Pada kesempatan kedua, AHY sadar bahwa jawabannya kalah jauh dibanding dua paslon yang lain. Apalagi setelah mendengar jawaban dari Ahok dan Djarot yang menjawab pertanyaan dengan baik. Pasangan calon 1 dan 3 sama-sama menggunakan kesempatan kedua untuk memperbaiki jawaban yang pertama. Padahal kesempatan tersebut bisa digunakan untuk menyerang pasangan lain atau memperkuat pernyataan yang sebelumnya. Akhirnya kesempatan tersebut terbuang untuk mengulang jawaban yang sama-sama tidak berbobot.

AHY kembali menjawab pada kesempatan kedua, kebanyakan jawabannya adalah jawaban umum dan bersifat luas seperti pendidikan narkoba, penegakan hukum dan rehabilitasi. Satu hal tambahan lagi yaitu memasang CCTV di tempat umum. Padahal, Ahok sudah memasang CCTV ribuan tersebar di Jakarta. Mungkin maksudnya mau menambah unit CCTV supaya bisa lebih banyak lagi. Mungkin..

Pertanyaan untuk Ahok dan Djarot:


Kekerasan pada anak masih cukup tinggi di Jakarta. Dilaporkan setidaknya ada 240 kekerasan terhadap anak pada satu semester saja di tahun 2016. Salah satu masalah besar adalah banyaknya anak-anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkoba. Masalah lain terkait dengan anak sebagai korban pornografi. Apa langkah konkret dan strategis yang akan Anda lakukan untuk membuat Jakarta kota yang aman dan ramah bagi anak.

Djarot mendapat kesempatan pertama untuk menjawab, menjelaskan tiga faktor untuk menangani narkoba yaitu individunya, lingkungan, dan kemudahan untuk mendapatkan narkoba. Djarot menjelaskan bahwa mereka sudah membangun Ruang Publik Terbuka Ramah Anak untuk membangun individu dan lingkungan. Sesama individu bisa saling berkomunikasi dan berinteraksi satu sama lain. Memberikan ruang publik dimana masyarakat bisa bersosialisasi dan mendapatkan hiburan bersama dengan keluarga. Lingkungan yang asri dan memberikan ruang berkomunikasi.

Djarot menegaskan bahwa fungsi sebagai Gubernur bukan membuat Perda untuk penegakan hukum. Gubernur hanya bisa mendesak penegak hukum untuk konsisten memberantas narkoba karena wewenang penegakan hukum pada narkoba ada pada pemerintah pusat, yaitu melalui BNN. Gubernur mempunyai fungsi untuk membangun fasilitas rehabilitasi bagi korban narkoba, dan menyediakan fasilitas rumah sakit untuk melakukan tes urin. Djarot juga menegaskan bila ada tempat hiburan yang ditemukan narkoba, maka akan diberikan peringatan dua kali (sesuai dengan prosedur), setelah itu ditutup dan tidak diijinkan lagi untuk membuka usaha yang sejenis. Pernyataan ini kembali ditekankan oleh Ahok pada kesempatan kedua untuk berbicara. Dan hal ini sudah dijalankan oleh Ahok dan Djarot pada saat menutup diskotik Milles dan Stadium yang sudah beroperasi bertahun-tahun di Jakarta.

Pada kesempatan Ahok berbicara, Ahok menyindir pasangan lain bahwa pangkat Letjen pun tidak bisa menghukum orang yang melanggar narkoba. Gubernur hanya bisa melakukan pencegahan. Ahok memberikan contoh, pada saat menemukan anak usia 13-18 tahun terkait narkoba dan menemukan kondom di rusun Marunda. Untuk mengatasi hal tersebut, Ahok melakukan pendampingan yang dilakukan oleh profesional minimal 3 tahun dan mulai membuat banyak kegiatan seni budaya dan olah raga yang mengalihkan anak-anak ini untuk berprestasi. Misalnya diadakan rusun cup. Bila juara, akan dikirim ke Barcelona – Spanyol agar menumbuhkan rasa percaya diri. Selain itu pula digabungkan dengan KJP yang bisa dipakai untuk membeli ayam, telur, beras, daging sapi dengan harga subsidi.

Kata penutup yang bagus dari Ahok, ‘Gizi kita perbaiki, pendampingan kita lakukan’.

Bila dilihat dari jawaban yang sesuai dengan pertanyaan, Ahok dan Djarot telah unggul jauh dibandingkan pasangan calon lainnya. Entahlah, atas dasar apa para pendukung yang sedang menonton debat, dengan gembiranya memberikan dukungan pada masing-masing paslon tanpa peduli apakah jawabannya masuk akal dan telah menjawab pertanyaan atau tidak.  Yang penting yel yel.

@arif