Thursday, February 9, 2017

Terima Kasih Anies – Sandi

Jangan Lupa, Lupakan Mantan


DUNIA HAWA - Sebuah iklan dari pasangan calon Pilkada DKI Jakarta nomor urut 3 kelihatannya menarik. Iklan ini sederhana, tak ada gambar wajah Anies dan Sandi, hanya kata-kata yang ditulis dengan ukuran besar “JANGAN LUPA LUPAIN MANTAN”. Iklan ini jelas dimaksudkan untuk mengajak masyarakat DKI Jakarta agar tidak memilih pasangan Ahok-Djarot yang adalah Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta saat ini.


Rupanya Anies-Sandi ingin menyentuh perasaan kaum muda yang masih mencari pasangan hidup sehingga tidak jarang selalu putus dari pacar. Tentu sakit hati jika diputuskan oleh pacar. Ketika diputuskan, seringkali kenangan akan kebersamaan dengan sang mantan menjadi menyakitkan. Bahkan segala kebaikannya pun seringkali semakin menyayat hati. Kalau sudah sakit hati seperti itu, biasanya orang berupaya untuk menghapus kenangan akan sang mantan termasuk kenangan baik yang pernah dialami bersama.

Seperti halnya urusan pasangan hidup, Anies-Sandi pun ingin menggunakan kebiasaan itu dalam Pilkada DKI. Untuk orang-orang yang sedang sakit hati dengan sang mantan, melihat iklan ini akan membuatnya semakin yakit untuk melupakan sang mantan. Sayangnya, tim Anies-Sandi kelihatan terlalu menyederhanakannya dan menganggap masyarakat Jakarta khususnya yang lagi sakit hati dengan mantan akan dengna mudah terpengaruh dalam hal memilih Gubernur dan Wakil Gubernur. Urusan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur tidak bisa disamakan dengan urusan sakit hati dengan mantan.

Kalau dalam urusan pasangan hidup, orang biasanya berupaya untuk melupakan sang mantan termasuk kebaikannya karena itu menyakitkan, dalam urusan pemilihan pemimpin, orang akan memilih untuk mencari calon pemimpin yang memiliki program yang baik bagi masyarakat. Karena itu, menjadi lucu kalau Anies-Sandi hanya meminta masyarakat untuk melupakan mantan tanpa menyertakan alasan mengapa harus melupakan mantan. Alasan yang dibutuhkan di sini adalah program yang bisa membuat masyarakat memilih keduanya dan melupakan sang mantan.

Selain itu, masyarakat pun bertanya-tanya; siapakah mantan yang dimaksudkan dalam iklan tersebut? Sepintas saja kita akan langsung mengerti kalau tujuan iklan tersebut adalah untuk mengalahkan Ahok dan Djarot. Namun kenyataannya adalah Ahok dan Djarot bukanlah mantan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta. Keduanya masih merupakan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta sampai bulan Oktober nanti. Lalu siapakah sang mantan???

Dalam mencari pasangan hidup, sang mantan adalah orang yang gagal dalam membangun komitmen untuk tetap bersama untuk mencapai tujuan hidup bersama yang telah disepakati. Karena itu, sang mantan yang gagal atau sudah tidak berkomitment tersebut memang menyakitkan dan pantas dilupakan. Dari ketiga kandidat Gubernur DKI, Agus adalah seorang mantan yang sesungguhnya gagal menunjukkan komitmennya dalam militer. Jika militer terkenal dengan loyalitasnya, Agus justeru gagal dan kehilangan loyalitasnya demi mengikuti kehendak bapaknya, Sang Mantan juga, untuk meraih kekuasaan di DKI Jakarta.

Sang mantan dalam mencari pasangan hidup adalah juga orang yang diputuskan karena dinilai tidak cocok lagi menjadi bagian dalam hidup. Sang mantan diputuskan karena cara hidupnya tidak lagi seiring sejalan sebagai kekasih. Ini juga sesungguhnya soal kegagalan dalam menjalankan komitmen yang telah disepakati sejak awal berpacaran. Anies, adalah sang mantan itu. Anies adalah mantan menteri yang diputuskan karena cara kerjanya tidak menunjukkan komitmen awal. Anies adalah sang mantan yang diputuskan Jokowi karena tak mampu memenuhi harapan Jokowi dan masyarakat Indonesia.

Untuk itu, patutlah kita berterima kasih kepada Anies – Sandi yang telah mengingatkan rakyat Jakarta agar melupakan sang mantan. Rakyat Jakarta memang mesti melupakan sang mantan yang memilih jalan lain dan tidak berkomitmen pada kesepakatan. Rakyat Jakarta memang harus melupakan sang mantan yang kurang atau tidak memiliki komitmen untuk hidup bersama mencapai harapan yang ditetapkan sejak awal. Rakyat Jakarta memang harus melupakan sang mantan militer yang meninggalkan kesatuannya karena ketiadaan komitmen dan loyalitas. Rakyat Jakarta pun tak perlu mengingat sang mantan menteri yang diputuskan karena tak mampu berkomitmen dan memenuhi harapan rakyat Indonesia.

Terima kasih Anies – Sandi karena mengingatkan masyarakat Jakarta untuk melupakan mantan yang tak berkomitmen. Yakinlah bahwa rakyat Jakarta akan tetap percaya pada kekasihnya Ahok – Djarot karena kerja kerasnya bagi rakyat Jakarta dan programnya yang jelas untuk masyarakat Jakarta sesuai dengan komitmen hidup di Indonesia yang digariskan dalam berbagai peraturan yang ada. Terima kasih Anies – Sandi untuk iklan sang mantan.

@flori ge


Refleksi 2,5 Tahun Perjalanan Anies Baswedan

Nilai Sebuah Kesetiaan


DUNIA HAWA - Seorang bijaksana pernah berkata, “Nilai seorang manusia adalah pada kesetiaannya, apabila manusia tidak lagi setia, ia bukan lagi manusia.”


Benar, siapapun kita dan apapun latar belakang kita, relasi antar manusia selalu didasarkan pada satu hal: percaya bahwa rekan kita tak akan berkhianat. Setiap organisasi, perusahaan, bahkan jaringan mafiapun selalu mencari anggota yang loyal. Tak ada gunanya memiliki anggota yang brillian tapi seorang pengkhianat.

Tapi satu hal inilah yang hilang dari Anies Baswedan, kesetiaan.

Saya tidak main-main dalam hal ini, saya tidak sembarangan memberi Anies cap seorang pengkhianat. Masih segar dalam ingatan kita ketika pada pilpres 2014 lalu Anies dengan gigih membela Jokowi dan menyerang Prabowo.

“Saya makin yakin untuk tidak memilih orang yang sudah menghabiskan uang enggak tahu berapa jumlahnya selama bertahun-tahun beriklan, untuk sebuah posisi, seakan-akan hidup itu hanya untuk jadi presiden. Sementara Jokowi menghabiskan waktu 15 tahun terakhir untuk bekerja mengabdi kepada masyarakat.”

"Tugas kita adalah membantu orang baik agar negeri ini menjadi baik. Kalau kita membantu orang yang bermasalah, jangan-jangan kita akan terciprat dan terseret masalahnya", ungkap Anies saat itu.

Ketika Prabowo dan PKS mencalonkannya di Pilgub DKI 2,5 tahun kemudian, dengan mudahnya Anies berkata bahwa kata-katanya tersebut diucapkan karena ia khilaf.

Tetapi bukan hal itu yang membuat saya menganggap Anies seorang oportunis. Mungkin memang Anies saat ini menyadari bahwa anggapannya terhadap Prabowo dahulu salah dan kini ia ingin memperbaikinya. Jauh lebih dari itu, bukan hanya soal posisi politik, tetapi Anies juga mengkhianati nilai-nilai yang diperjuangkannya selama ini.

Berawal dari kunjungan Anies ke Markas FPI pada awal tahun ini untuk memperoleh dukungan kelompok ekstrem kanan. Para pendukung Anies membelanya dengan mengatakan bahwa kunjungan tersebut untuk menyatukan semua kalangan.

Tapi kenyataannya tidak demikian, siapapun yang melihat rekaman kunjungan tersebut akan dengan jujur mengakui bahwa Anies tidak datang untuk tujuan tersebut. Anies setuju bahkan memuji-muji serta mendukung pemikiran-pemikiran FPI. Pidato Anies di momen tersebut sangat kontradiktif dengan gagasannya dahulu mengenai Tenun Kebangsaan.

Berikut ini saya kutipkan perkataan Anies sebelum ia berbalik arah:

“Tenun kebangsaan itu dirobek, diiringi berbagai macam pekikan seakan boleh dan benar. Kesemuanya terjadi secara amat eksplisit, terbuka dan brutal. Apa sikap negara dan bangsa ini? Diam? Membiarkan? Tidak! Republik ini tak pantas loyo-lunglai menghadapi warga negara yang pilih pakai pisau, pentungan, parang, bahkan pistol untuk ekspresikan perasaan, keyakinan, dan pikirannya. Mereka tidak sekadar melanggar hukum, tetapi merontokkan ikatan kebangsaan yang dibangun amat lama dan amat serius ini. Mereka bukan cuma kriminal, mereka perobek tenun kebangsaan. Begitu ada warga negara yang pilih melanggar dan meremehkan aturan hukum untuk merobek tenun kebangsaan, sikap negara hanya satu: ganjar mereka dengan hukuman yang amat menjerakan. Bukan cuma tokoh-tokohnya yang dihukum.”

Kira-kira siapa perobek tenun kebangsaan yang dimaksud Anies dahulu? Pasti kita semua sudah tahu.

Lebih jauh lagi, ketika didesak Mbak Nana saat acara Mata Najwa (25/1/17), Anies dengan lugas berkata bahwa pemimpin haruslah seorang Muslim. Bagaimana mungkin seorang mantan menteri pendidikan berkata seperti itu. Pernyataan Anies sudah menghancurkan mimpi-mimpi adik-adik kita non-muslim. Mereka tidak boleh lagi bercita-cita menjadi Presiden, Gubernur, Walikota, bahkan untuk menjadi Ketua Kelas pun jangan harap. Sudah saatnya relawan Indonesia Mengajar digantikan oleh pejuang  Indonesia Menghajar.

Tidak banyak orang seperti Anies yang rela melepaskan perjuangan bertahun-tahun hanya demi kepentingan sesaat. Seberapapun Anda menganggap Jonru bodoh, setidaknya ia masih memiliki satu kelebihan yang tidak dimiliki Anies, yaitu kekonsistenan. 2,5 tahun berlalu sejak masa pilpres, Jonru masih setia mengkritik Jokowi, tapi Anies tidak. Demi jabatan, perjuangan para relawan baik relawan Indonesia Mengajar maupun relawan Turun Tangan dicampakkan begitu saja.

Mungkin sebagian pembaca akan berpikir saya terlalu naif. Bukankah dalam politik tidak ada kawan dan lawan abadi, yang ada hanya kepentingan? Benar, tapi bukankah alasan kita mendukung Anies adalah karena kualitas gagasannya? Jika ia sendiri sudah meninggalkan pemikiran brilliannya, apa bedanya ia dari politikus oportunis lainnya?

Kalau dalam 2,5 tahun saja Anies bisa mengkhianati dirinya sendiri, bagaimana mungkin kita percaya ia tidak mengkhianati rakyat Jakarta dalam 5 tahun ke depan?

Pada akhirnya, semua orang penting yang dikenang oleh sejarah memiliki satu hal yang sama: kesetiaan. Sedangkan mereka yang oportunis hanya akan ditelan sejarah, meski ia menang Pilkada sekalipun.


@nurudin akbar



Ketika Drama SBY Tak Laku Lagi

DUNIA HAWA - Rasanya sulit untuk tidak ikut mengomentari apa yang terjadi pada Presiden keenam, Susilo Bambang Yudhoyono, belakangan ini. Twitnya selalu viral dan jadi bahan lelucon netizen di media sosial. Padahal isi twit SBY bukan humor sama sekali. Isi twit SBY justru kadang berisi doa seperti, “Ya Allah, Tuhan YME. Negara kok jadi begini. Juru fitnah & penyebar “hoax” berkuasa & merajalela. Kapan rakyat & yg lemah menang?”


Dalam twit lainnya, SBY juga memberikan dukungan kepada ketua MUI, KH Ma’ruf Amin, yang dalam sidang kedelapan kasus Penodaan Agama dicecar oleh kuasa hukum Ahok dengan tuduhan bahwa ada telpon pesanan fatwa MUI dari SBY kepada Ma’ruf Amin—dimana SBY juga merasa bahwa telpon tersebut disadap—dengan twit “Bpk Ma’ruf Amin, senior saya, mohon sabar & tegar. Jika dimata-matai, sasarannya bukan Bpk. Kita percaya Allah maha adil.”

Dan yang terbaru dan kembali memviral adalah soal kegundahan SBY pada kediamannya yang didemo oleh mahasiswa. Dalam twitnya SBY mengabarkan, “Saudara-saudaraku yang mencintai hukum & keadilan, saat ini rumah saya di Kuningan “digrudug” ratusan orang. Mereka berteriak-teriak.” Pada twit berikutnya SBY bahkan menyeret Presiden dan Kapolri dengan cuitan “Saya bertanya kpd Bapak Presiden & Kapolri, apakah saya tidak memiliki hak utk tinggal di negeri sendiri, dgn hak asasi yg saya miliki?”

Pada twit terakhir ini, Saya pikir wajar jika SBY merasa gundah lalu merajut di Twitter.  Bukankah itu memang karakter SBY selama ini? Kenapa netizen malah membully beliau dengan membikin meme-meme?

Coba ingat baik-baik. SBY pertama kali bisa menjadi Presiden pada tahun 2004 silam, ya karena karakter SBY model begini ini. Pada awal tahun 2004, SBY adalah Menkopolhukamnya Megawati dalam Kabinet Gotong Royong. Dalam berbagai kesempatan SBY mengeluh karena tak diajak rapat oleh Presiden, dan akhirnya mengundurkan diri pada Maret 2004. SBY menampilkan diri ke publik sebagai pihak yang didzalimi oleh Presiden Megawati Soekarnoputri..

Publik bersimpati. Simpati publik inilah yang kemudian mengantarkan SBY melenggang menuju kursi  presiden—bahkan dua kali berturut-turut. SBY adalah sejenis politisi yang pandai memanfaatkan situasi ini. Apalagi masyarakat kita memang masyarakat penggemar drama, baik drama korea atau drama India.

Tapi itu dulu. Saya melihat masyarakat kita sekarang sudah jauh berbeda dibandingkan 10 tahun terakhir. Terutama digawangi oleh masyarakat yang melek teknologi—sering kita kenal sebagai netizen. Apa saja adalah guyonan, karena politik tidak perlu dibawa serius.

Situasi terbaru ini barangkali yang tidak cukup dimengerti oleh SBY. SBY masih menggunakan sosiologi masyarakat Indonesia seperti 2004 silam. Yaitu model drama-dramaan. Dan akhirnya, seperti kawan-kawan lihat sendiri. SBY tidak menuai simpati dari twit-twitnya, justru sebaliknya, jadi bahan bully dan tertawaan.

Ini mengingatkan saya pada apa yang pernah Charlie Chaplin katakan bahwa kehidupan adalah tragedi jika dilihat dari jarak dekat dan komedi jika dilihat dari jarak jauh. Bagi SBY ini adalah tragedi, tapi bagi kita, semua ini, Pilkada DKI, cukup sebagai humor saja.


@m risya islami

Masih Perlu Fatwa Hari Valentine atau Sedang Sibuk Pilkada?

DUNIA HAWA - Menarik ketika ada keinginan dan gairah untuk menuliskan lagi apa yang hanya sekadar ingin disampaikan, tanpa harus berada di pihak golongan apa dan kubu apapun itu. Seiring dengan semakin menyodot perhatian publik di detik-detik perhelatan pesta demokrasi tingkat daerah, bahkan di salah satu daerah ada yang disebut pilkada rasa pilpres, seiring turun gunungnya para nahkoda paling punya peran dan berpengaruh di negara ini.


Oke, sudahlah! Biarkan orang-orang terus berdemokrasi, dengan tetap menjaga bahwa yang berkuasa tetapalah rakyat sesuai dari konsep demokrasi itu sendiri, dan jangan pernah terjadi seperti difatwa termasyhurnya Lord Acton, “Manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaan itu, tetapi manusia yang mempunyai kekuasaan tak terbatas pasti akan menyalahgunakannya secara tak terbatas pula.”

Di tahun-tahun sebelumnya H-7 atau hari berapapun sebelum hari H-nya hari valentine, segala hal yang berkaitan dengan ini sudah mulai simpang siur, antara yang pro dan kontra, antara yang sudah siap dan yang belum siap dengan segala kegiatannya terkait ingin ikut merayakannya yang notabenenya terjadi kalangan remaja.

Sebuah persoalan modernisasi dan pandangan teologis masing-masing manusia yang cukup menjadi bahan pembicaraan di setiap kalangan seakan-akan menemui jalan buntu dalam penyelesainnya. Karena mayoritas bangsa ini muslim, yang secara teologi peringatan valentine katanya bertentangan dengan ajaran Islam yang penuh historik dalam hal ini.

Namun tidak dapat dipungkiri juga, arus globalisasi dan modernisasi serta perubahan sosiologis yang cenderung mengarah pada apa yang menjadi tren selalu menarik perhatian dan peminat yang tak kunjung reda. Sehingga, apa yang terjadi, banyaknya manusia semakin berambisi untuk hal seperti itu, ditambah faktor budaya konsumerisme ataupun hedonisme yang semakin tak terbendung.

Dalam membahas tentang hari valentine atau sebutan lain dari hari kasih sayang untuk pasangannya, merupakan sebuah kebiasaan yang muncul di dunia barat, yang jika apapun dibawa ke Indonesia pasti akan laris dan banyak memikat perhatian, karena Indonesia merupakan bagian dari negara yang tingkat konsumennya paling tragis.

Dengan kejadian yang sudah tampak mata seperti itu, tidak mengherankan lagi, segala budaya atau kebiasaan apapun yang ada di dunia juga berkembangbiak dengan baik di negara sedemikan besar ini. Yang menjadi perdebatannya dari dulu-dulu kebiasaan yang seperti ini, dalam hal ini peringatan hari valentine, apakah tidak mencederai sebuah keyakinan manusia (secara teologis).

Seperti pada apa sebelumnya yang sudah disampaikan, secara historis memang istilah Valentine muncul dari kalangan nonmuslim, sehingga ada perdebatan sesama kaum muslim pro dan kontra. Namun penulis juga tidak ingin memberikan fatwa hari valentine atau fatwa apapun itu, karena sudah terlalu banyak juga fatwa yang dikelurkan oleh yang memang menjadi perannya di situ.

Ada hal yang menarik pada Februari ini, menyurutnya perdebatan tentang hari valentine itu sendiri, karena mungkin juga banyak orang yang sudah mulai bosan dengan pasangannya masing-masing, atau mungkin juga tidak adanya kajian teologis yang mendalami lagi di berbagai lintas agama seiring isu-isu penodaan agama yang masih menjadi polemik berkepanjangan sehingga menjadikannya malas dan bosan.

Bahkan, karena sudah mendekatnya pesta rakyat pemilihan pilkada serentak yang semuanya selalu menjurus pandangan ke pilkada DKI Jakarta, tak sempat untuk mengeluarkan fatwa atau sudah dianggap tidak relevan lagi fatwanya.

Untuk membendung karena meskipun fatwa dikeluarkan masih tetap saja melakukannya, atau mungkin sudah dianggap tidak membutuhkan fatwa lagi karena respons publik yang sedemikan beragam dan bervariasi untuk mencegah menjamurnya berita hoax?

Cukup kuat dan setia sebenarnya menjadi bagain dari rakyat Indonesia ini, dengan carut marut persoalan sosialnya yang tetap menjadi PR kita bersama, ditambah lagi carut marutnya di setiap lapisan sistem birokrat dengan banyak indikasi tersandung kasus korupsi, serta membumbungnya suhu perpolitikan Jakarta yang menjadi tolak ukur perkembangan politik nasional.

Penulis pikir segala fenomena harus dibarengi dengan adanya sebuah fatwa yang cukup bisa menguatkan keyakinan terhadap apa yang dari dulu menjadi sebuah keyakinan tauhidnya, ternyata tidak sedemikan gampang untuk menebaknya. Persoalan keyakinan yang terbentur pertarungan politik di era modrenisasi sehingga menjadi begitu kompleks.


@ali bisri el munir


Jokowi dan 10 Nama Ikan

DUNIA HAWA - Akhir-akhir ini netizen dikejutkan sekaligus terhibur oleh jawaban polos anak Sekolah Dasar, ketika ditantang Presiden Jokowi untuk menyebutkan 10 nama-nama ikan.  Alhasil setelah empat nama ikan itu tersebut, tiba-tiba si anak mengalami slip tongue dalam menyebut nama ikan tongkol.


Mungkin hanya anak SD itu yang berani menyebut nama kelamin di hadapan Presiden secara langsung. Selebihnya caci maki  terhadap presiden biasa ada di demo dan unjuk rasa.

Setelah anak SD, muncul kembali video yang menampilkan Seorang Nelayan ditanya mengenai 10 nama ikan oleh Jokowi.

Tak kalah polos dari anak SD, sang nelayan tersebut menyebut ikan yang menjadi icon salah satu TV yang mendukung Jokowi pada Pemilihan Presiden pada 2014 lalu. Tak ada kemarahan yang tergambar dari raut Presiden Jokowi karena ucapan kedua peserta kuis kepresidenan tersebut.

Selain menghadirkan gelak tawa, sebetulnya presiden Jokowi seperti nampak ingin mengingatkan kepada suatu hal. Terlepas dari tingkat kreatifitas Presiden dan orang yang berada dibelakngnya. Presiden Jokowi seolah mengingatkan tentang muasal identitas Nenek-Moyang bangsa ini  yakni, seorang pelaut.

Secara tidak langsung pertanyaan Jokowi mengarah kepada pertanyaan mengenai  eksistensi bahari kita. Setidaknya sejarah mencatat, kerajaan Sriwijaya merebut Nusantara dan memperluas wilayah kerajaan melalui operasi-operasi maritim. Begitu juga kerajaan Majapahit dan kerajaan-kerajaan lainnya.

Bahkan, agama mayoritas yang dianut oleh masyarakat Indonesia saat ini juga datang dari Laut. Melalui ekspedisi perdagangan dan penyebaran agama tauhid, mereka rela menerjang ganasnya ombak samudera.

Lautan tidak saja menyumbangkan sumbangsih sekadar pemandangan dan hasil tangkapan nalayan saja.

Ternyata apa yang kita rasakan saat ini bermula dari riak ombak dan kencangnya angin samudera. Jika saya boleh menginterpretasikan Cerpen berjudul Sepotong Senja Untuk Pacarku karya Seno Gumira Ajidarma. Melalui karangan surealisnya Seno bercerita mengenai tokoh lelaki bernama Sukab dan seorang pacarnya Alina yang ia kirimi senja.

Mungkin bagi saya Sukab tidak hanya memberikan debur ombak, senja, dan siluet batu karang dalam amplop. Tetapi juga Sukab memberikan potongan peradaban bagi pacarnya, Alina.

Kisah manusia dan pesisir juga tertulis melalui karya sastra Pramoedya Ananta Toer. Pada buku berjudul Gadis Pantai, Bung Pram menggambarkan bagaimana kota merebut kedigdayaan pesisir. Seolah semua berasal dari meja kantor pekerja dan pijar jalan raya. Pendeknya mungkin Bung Pram ingin mengingatkan bahwa  wanita yang kita sebut gadis kota itu berasal dari pesisir jua.

Hari ini kita melihat bagaimana pemerintah berjibaku untuk mencukupi kebutuhan kota dengan mengeruk desa dan pesisir. Pembangunan pabrik semen di Rembang, pengalih gunaan lahan dari hutan menjadi sawah (MIFE) di Papua, dan masih banyak lagi. 

Ini yang disebut oleh bung Pramudya sebagai Java Centris, di mana Indonesia seolah hanya Jawa serta harus mencukupi kebutuhannya.

Bahkan hasrat menguasai  kota harus mengusik ketentraman masyarakat desa dan pesisir. Tetapi saya juga tidak mendukung adanya reklamasi di Teluk Benoa, Bali dan Teluk Jakarta. Keduanya hanya menjadi pundi-pundi bagi para pengusaha dan penguasa lalim, nukan menyuguhkan peradaban yang beradab. 

Masyarakat Indonesia patut berterimakasih kepada Presiden Jokowi. Karena pertanyaan Presiden mampu menjauhkan sebagian masyarakat dari jerat hiruk-pikuk kota (termasuk Pilkada), melalui pertanyaan 10 nama-nama ikan.

Juga masyarakat Indonesia yang harus balik menanyakan kepada Presiden: “apakah Bapak bisa menyebutkan 10 kebijakan mengenai kesejahteraan warga pesisir serta kelautan yang telah terlaksana?” Jika benar, Bapak berhak mengayuh roda kepemimpinan Bapak lebih lama lagi. 


@fakhrizal haq


Siasatnya Makin Terlihat, Sudah Dilarang, 112 Tetap Ngotot

DUNIA HAWA - FUI dan FPI memang tidak berubah dan tidak mau disalahkan. Ternyata dengan ditetapkannya Rizieq Shihab dan Munarman sebagai tersangka. Tidak membuat ormas ini kapok untuk membuat gaduh suasana perpolitikan. Rencana aksi 112 yang sudah jelas dilarang, tetap tak diindahkan dengan lagu lama dan sumbang yaitu aksi damai, kemudian tidak ada hubungannya dengan Pilkada DKI. Inilah kebohongan mereka yang kembali diutarakan. Bagaimana mungkin tidak ada hubungan dengan Pilkada, sementara tentang kasus terduga “penodaan agama” versi mereka tetap akan dibawa.


KH Ma’ruf Amin yang juga Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat tersebut menambahkan, untuk menjaga negara perlu ada kerjasama yang baik antara ulama dan umara. Agak sulit rasanya menjaga Negara tanpa adanya kesatuan kekuatan antara ulama dan umara tadi.

Ia memuji peran Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian yang mampu mengendalikan situasi politik nasional beberapa waktu ini, dengan mendekati dan melibatkan para ulama. Kiai Ma’ruf juga mendukung imbauan Kapolda Banten, Brigjen Polisi Listyo Sigit Prabowo agar masyarakat Banten tidak ikut aksi 112.

“Atas nama Rais Aam PBNU, saya instruksikan warga NU tidak turun aksi 112,” tegasnya

Bukan hanya dari kalangan ulama saja, aparat kepolisian pun dengan tegas menyatakan larangan aksi 112. Karena dalam suasana minggu tenang Pilkada DKI dan Pilkada serentak secara Nasional.

Meski ada larangan dari Polda Metro Jaya karena aksi 112 digelar dalam masa tenang pilkada, Forum Umat Islam (FUI) memastikan akan tetap menggelar aksi tersebut. Mereka menilai, aksi dijamin undang-undang.

Di samping itu, aksi ini dipastikan damai, seperti dua aksi bela islam sebelumnya. “Insya Allah aksi 112 tetap jalan karena aksi itu dijamin Undang-undang Dasar 1945. Kan aksi kami selalu damai, bahkan Kapolri bilang gak ada satu ranting pohon yang jatuh dalam aksi 212,” ungkap Sekjen FUI M Al Khaththath.

Menurutnya, tidak ada yang perlu dikhawatirkan dengan Aksi 112 tersebut.

Pasalnya, kata dia lagi, aksi itu hanya jalan sehat dan doa bersama. “Aksi 112 itu kan jalan sehat, jadi gak perlu khawatir. Kami paham waktunya dalam masa tenang Pilkada, kami berkomitmen untuk ikut menjaga ketenangan dan kedamaian sampai Pilkada dilaksanakan,” tuturnya.

Justru dengan adanya aksi 112 menjelaskan bahwa FUI dan FPI tidak paham masa tenang Pilkada, bukan paham. Karena aksi tersebut rentan dengan isu Pilkada. Yang berpeluang besar untuk mendiskreditkan dan diskriminasi terhadap salah satu calon Gubernur, yang dalam hal ini adalah Paslon No.2, karena aksi 112 disebut juga spirit dari 212. Bagaimana bisa FUI sebut tidak ada hubungannya dengan Pilkada.

Yang lebih dangkal lagi, FPI tidak mau disalahkan padahal ikut terlibat. Juru Bicara Front Pembela Islam Slamet Ma’arif mengatakan, aksi jelang Pilkada yang rencananya digelar pada 11 Februari mendatang berada di bawah komando Forum Umat Islam (FUI). Dia meminta pihak kepolisian bertemu Sekjen FUI Muhammad Al-Khathath sebelum aksi diadakan. FPI ungkap FUI otak Dibalik aksi demo 112. Sementara FPI sendiri adalah bagian dari FUI.

Aksi jalan santai, lihat saja nanti, kalau semua pada berjubah dan teriak takbir. Maka jalan santainya mending di padang pasir aja sekalian. Aksi 112 jelas punya siasat terselubung yang tentunya berhubungan dengan pilkada. Sudahlah FUI dan FPI, karakter kalian itu sudah digenggam oleh polisi. Sudah dilarang tetap saja mau dijalankan, maka saran saya bersiaplah. Tidak menutup kemungkinan yang terselubung itu akan muncul kepermukaan juga, yang pada akhirnya senjata makan tuan. Status tersangka Rizieq dan Munarman bukannya dijadikan pelajaran oleh para anggotanya dan simpatisannya tapi malah tetap setia memelihara kedunguan. Pion-pion yang malang mau mencoba garang, eh akhirnya masuk jurang.

Cuitan SBY saja yang berkeluh kesah di twitter bisa berdampak pada suhu politik yang memanas, meski kita tahu kalau hal itu adalah memuakkan. Apalagi jika ada aksi 112 yang jelas dalam suasana tenang pilkada, maka bagaimana mungkin bisa dikatakan aksi tersebut tetap menjaga ketenangan dan kedamaian Pilkada. Jelas aksi ini sudah penuh perhitungan yang tujuannya adalah menjatuhkan lawan politik. Sudah dilarang, masih ngotot. Maka buktikan saja tak ada kaitan dengan Pilkada, saya rasa sangat kecil kemungkinan untuk terbukti. Apalagi akan ada aksi kembali setelah 112. Memanfaatkan detik detik terakhir.

Ternyata bagi mereka, demokrasi hanya seluas asumsi.

@losa terjal


Teori Kuasa dalam Pidato SBY

DUNIA HAWA - Lord Acton pernah mengatakan, “All power tends to corrupt; Absolute power corrupts absolutely.” Terjemah bebasnya kurang lebih begini: Seluruh kekuasan cenderung menyimpang. Apa lagi kekuasan absolut, pasti menyimpang. Kalimat dari Lord Acton ini sering kali saya kutip, baik dalam diskusi dengan kawan-kawan organisasi atau ketika dalam manajemen aksi.


Tujuan saya dalam mengutip Lord Acton dalam berbagai forum itu biasanya pun sederhana saja, yaitu memantapkan kepada mereka bahwa perlawanan itu perlu, bahkan penting. Agar sebuah kekuasaan dapat lurus maka harus dilakukan kritik terus-menerus. Jika tidak, kekuasaan akan berpeluang melakukan penyimpangan. Seperti yang telah diperingatkan Lord Acton di atas.

Tapi itu dulu. Saya sering kutip Lord Acton ini sepertinya telah dulu sekali. Saat ini rasa-rasanya saya tidak pernah lagi melawan, bahkan cenderung gampang memaklumi—demonstrasi pun jarang-jarang. Efek umur dan pekerjaan barangkali.

Lord Acton adalah nama panggilan dari John Emerich Edward Dalberg-Acton, seorang sejarahwan, pemikir politik, dan penulis asal British. Ia lahir di abad 19—tepatnya tahun 1834 dan meninggal tahun 1902. Saya sebetulnya tidak cukup mengenal pemikiran dari Lord Acton, tapi begitu menyukai kutipan-kutipan darinya. Kutipan lain yang saya sukai darinya: “Great men are always most bad men.” Orang hebat hampir selalu adalah orang buruk.

Saya sebetulnya kembali teringat dengan Lord Acton di atas akibat dari mendengarkan pidato politik SBY kemarin (7/2) malam di iNews TV dalam Dies Natalies Partai Demokrat yang disiarkan secara langsung. SBY mengutip John Steinbeck, “Power does not corrupt. Fear corrupts. Perhaps the fear of a loss of power.” Kekuasan tidak korup. Ketakutan yang korup. Bisa jadi ketakutan pada kehilangan kekuasaan (yang menyebabkan korup).

Di sini saya sedikit tersentak. Saya merasa bahwa pendapat Stainbeck yang dikutip SBY di atas seperti tanggapan kepada Lord Acton yang selama ini saya percayai. Semacam tesis dan antitesis dalam sebuah pemikiran.

Steinbeck adalah penulis asal Amerika yang pada tahun 1962 memperoleh penghargaan Nobel Sastra. Dan seperti kata Made Supriatma, Karya-karya Steinbeck adalah salah satu karya yang banyak mengilhami Pramoedya Ananta Toer yang berulang tahun ke-92 kemarin.

Pidato SBY memang selalu menarik. Kalimat-kalimat yang mengalir deras dari mulutnya selalu terdengar mewah—banyak bercampur dengan istilah asing dan mengutip pendapat pemikir kenamaan. Tapi setelah mendengar lebih dari satu jam pidatonya di televisi kemudian saya tetep saja berkesimpulan: Ah, itu pada akhirnya tetep sebuah curhat saja.

Selain itu, dalam pidato tersebut, SBY juga seperti tengah membicarakan dirinya sendiri. Apapun yang ia bicarakan adalah lawan dari perbuatannya. Kita lihat bagaimana kicauan-kicauannya di Twitter belakangan ini, konfrensi persnya, dan terakhir pidato politik SBY yang dengan mudah menunjukkan kepanikan dan menyimpan sebuah ketakutan. SBY barangkali memang masih belum siap dengan “a loss of power".

Di sini saya juga masih menyepakati komentar Made Supriatma pada pidato politik SBY di atas bahwa kutipan Steinbeck dalam pidatonya Susilo Bambang Yudhoyono adalah sebuah ironi. Persis seperti ironi telunjuk menunjuk dan empat jari mengarah ke diri sendiri. Barangkali SBY kini memang baru mengidap sejenis post power syndrom—perasan masih berkuasa, padahal sudah tidak sama sekali.

Betul ‘kan Bapak Susilo ‘Baper’ Yudhoyono?


@m. risya islami