Wednesday, February 8, 2017

Aksi 112 Melanggar Undang Undang

DUNIA HAWA - Kapolri Tito Karnavian memberikan pernyataan yang diliput oleh Kompas TV bahwa demo 112 melanggar undang-undang. Pasalnya, demo tersebut dilakukan ketika minggu tenang setelah masa kampanye. Bahkan Tito Karnavian berpendapat bahwa demo tersebut adalah murni karena urusan politik, sehingga hal ini bisa menggangu masa tenang kampanye. Tito juga mengatakan bahwa, silahkan mengadakan demo setelah pemilu, karena itu lebih kondusif dan tidak mengganggu pilkada.


Setelah Kapolri mengeluarkan himbauan untuk tidak demo pada 112. Wiranto yang sekarang menjabat sebagai menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan, aparat akan menindak tegas jika demo tetap berlangsung.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Kemanan (Menko Polhukam) Wiranto tidak akan melarang rencana aksi demonstrasi 11 Februari 2017 atau 112. Meski demikian, Wiranto menegaskan bahwa aksi harus sesuai prosedur hukum.

“Sebenarnya yang saya sampaikan, ayo kita taat hukum. Tidak ada kewenangan saya melarang (demonstrasi), karena saya akan bertentangan dengan undang-undang,” kata Wiranto dalam acara coffee morning di Kemenko Polhukam, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu (8/2/2017).

Aksi 112 diprakarsai Forum Umat Islam (FUI) yang didukung Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia, dengan aksi jalan santai dari Monas ke Bundaran Hotel Indonesia.

Wiranto menyarankan agar aksi tersebut tidak menggangu masa tenang usai kampanye Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI.

“Karena minggu tenang ini didesain dalam pemilu memang satu sistem. Di mana memberikan waktu untuk masyarakat lebih tenang, lebih berkontemplasi untuk dapat memilih. Siapa sih pemilih terbaik yang seharusnya mereka (masyarakat) pilih? Maka tidak boleh diganggu kegiatan yang memengaruhi,” jelasnya. (news.okezone.com)

Saat ini Indonesia memang sedang musimnya demo, seakan-akan permasalahan akan selesai dengan demo. KH. Said Agil Siradj pernah mengatakan bahwa aksi damai untuk menolak Ahok ditunggangi oleh kelompok radikal dan Ahok hanya sebagai batu loncatan. Terbukti benar, setelah demo menolak Ahok, ada demo-demo yang lain, dan ada ancaman untuk melakukan revolusi.

Tokoh-tokoh yang melakukan demo, mereka yang selama ini meneriakan Khilafah, NKRI bersyariah, padahal pendiri Negara ini setuju bahwa Indonesia bukan Negara agama melainkan Negara beragama. Mereka berlindung dibalik GNPF-MUI, mereka ingin menggagas tentang berdirinya negara Islam di Indonesia.

Gus Solah pengasuh PP Tebu Ireng menjelaskan, NKRI bersyariah sudah dihapus pada 18 Agustus, meskipun demikian, bukan berarti Indonesia tidak mengurus agama Islam. Pemerintah mendirikan Departemen Agama yang sekarang menjadi Kementrian Agama yang bertugas untuk memenuhi kebutuhan umat Islam dalam hal haji dan penetapan awal dan akhir puasa serta lebaran.

Pemerintah juga membuat undang-undang tentang pernikahan, hak waris, serta adanya KUA, pengadilan agama dan lain-lain. Indonesia tidak mengambil hukum Islam seperti potong tangan, cambuk, rajam dan lain-lain. Kelompok yang ingin mendirikan khilafah dan Negara Islam hakikatnya adalah kelompok yang ingin menerapkan hukum Islam tersebut, mereka belum puas jika UU hukum Islam tidak ditegakkan.

NU dan Muhammadiyah sendiri menolak berdirinya Negara Islam, karena memang dalam fiqih klasik, tidak ada konsep Negara Islam. Negara Islam sendiri adalah sebutan setelah umat Islam mampu menguasai sebagian Eropa untuk menyaingi Byzantium yang mayoritas Kristen.

Organisasi yang ingin mendirikan negara Islam dan Khilafah harus dibubarkan, karena bertentangan dengan Pancasila dan UUD yang menetapkan bahwa Indonesia adalah negara Pancasila. Gerakan ini harus di redam oleh negara karena jika dibiarkan, maka Indonesia bisa menjadi lahan perang seperti Suriah dan Irak.

@ardy yansyah


Peluang Ahok Bebas kian Besar, Ini Penjelasan Hukumnya

DUNIA HAWA - Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara, yang menyidangkan perkara Ahok di Auditorium Kementerian Pertanian, Ragunan, Jakarta Selatan, harus menolak keterangan Ahli Agama Islam/Anggota Komisi Fatwa MUI, Hamdan Rasyid, dan keterangan Ketua MUI, Maruf Amin, dikarenakan ahli dan saksi sudah tidak lagi objektif, berikut penjelasan hukumnya.


Keterangan saksi Ketua MUI, Ma’ruf Amin harus ditolak oleh majelis hakim, dikarenakan saksi Ketua MUI, Ma’ruf Amin ketika membuat BAP, telah mengarang-ngarang sebuah cerita dan memainkan diksi hingga Ahok terseret ke pengadilan, itu bisa dilihat dari kemiripan isi BAP-nya dan keterangannya di sidang dengan transkrip Buni Yani. Dalam transkrip, Buni Yani mencantumkan frasa ‘’penistaan agama’’ sedangkan Ma’ruf Amin dalam BAP dan keterangannya di persidangan menyatakan ‘’penghinaan agama’’. Penistaan dan penghinaan adalah dua hal yang sama maknannya dan berbeda dengan penodaan. Jadi Ma’ruf Amin hanya mengganti istilah lain dari penistaan dengan penghinaan, yang ujung-ujungnya hanya masalah diksi sehingga Ahok harus terseret ke pengadilan.

Permainan diksi yang dilakukan Ma’ruf Amin makin terlihat lagi dalam persidangannya , yang menyatakan bahwa Ahok menghina agama, ulama, dan Al-Qur’an. Sedangkan dalam BAP-nya berbeda dari apa yang disampaikannya di persidangan. Dalam BAP: ’Al-Maid’ah sebagai alat berbohong, merupakan penghinaan terhadap ulama’’. Dan kalimat ‘’Al-Maid’ah sebagai alat berbohong’’ mirip dengan transkrip Buni Yani, yakni pada kalimat ‘’ dibohingi Al-Mai’dah 51. Jadi bisa dibayangkan permainan diksinya jelas sekali.

Permainan diksi selanjutnya adalah dalam BAP dinyatakan ‘’Al-Maid’ah sebagai alat berbohong’’, tetapi di persidangan menyatakan Ahok menghina agama, ulama dan Al-Qur’an. Tidak ada kekosnistenan dalam memberikan kesaksiannya, makin menguatkan dugaan Ahok diseret ke pengadilan karena unsur politis.

Jika Buni Yani hanya menghilangkan kata ‘’pakai’’, isi BAP Ketua MUI, Ma’ruf Amin dalam BAP-nya justu memainkan diksi lebih bebas lagi yakni dengan menyatakan ‘’Al-Maid’ah merupakan alat kebohongan adalah penghinaan terhadap ulama’’. Dan permainan diksi, justru semakin membuktikan bahwa keterangan BAP yang dibuatnya asal jadi dalam merangkai diksinya, asal Ahok terseret kasus penodaan agama, dan demi kepentingan politis.

Dikarenakan jika tidak ada kepentingan politis, mengapa keterangan Ketua MUI, Ma’ruf Amin sangat mirip dengan hasil transkrip Buni Yani yang mentranskrip video pidato Ahok di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, pada 27 September 2016? Terlebih lagi Ma’ruf Amin menyatakan bahwa ia tidak menonton video itu tetapi video itu telah melalui pengkajian 4 komisi yang ada di MUI.

Nah, jika sudah melalui kajian 4 komisi di MUI, harusnya Ma’ruf Amin mengetahui atau diberitahu apa yang terdapat dalam video yang telah dikaji 4 komisi di MUI, terkait mana kalimat Ahok yang menyinggung Al-Maid’ah dalam pidato Ahok sehingga pendapat keagamaan MUI dikeluarkan MUI, karena jika Ma’ruf Amin tidak diberitahu sama sekali mengenai bagian mana dalam pidato Ahok yang dianggap menyinggung Al-Maid’ah, itu tidak logis dan tidak bisa diterima akal sehat, dikarenakan tidak mungkin Ketua MUI saat hendak mengeluarkan pendapat keagamaan tidak tahu-menahu soal isi video pidato Ahok.

Yang ada justru membuat membuat diksi dengan dua versi. Dalam BAP: ’Al-Maid’ah sebagai alat berbohong, merupakan penghinaan terhadap ulama’’., Sedangkan dalam persidangan: Ahok menghina agama, ulama dan Al-Qur’an. Jelas isi dalam BAP Ma’ruf Amin yang membuat Ahok harus terseret jauh sampai ke pengadilan, karena dalam BAP ada kalimat: Al-Maidah sebagai alat kebohongan, dan kalimat itulah yang mengantarkan Ahok ke persidangan.

Selain itu, dalam BAP dan dalam keterangannya di persidangan, Ma’ruf Amin jelas menyatakan penghinaan bukan penodaan. Memang BAP bukan alat bukti, tetapi hakim harus tetap menolak keterangan Ketua MUI, Ma’ruf Amin, dikarenakan antara keterangannya dalam BAP dengan keterangannya di persidangan, menujukan bahwa Ketua MUI, Ma’ruf Amin terang-terangan hanya tinggal mempermainkan dan mengolah diksi, yang diolahnya dari kalimat dalam transkrip Buni Yani. Jadi pangkal permasalahan isi keluarnya pendapat keagamaan MUI adalah akibat tranksrip Buni Yani.

Bukti lain bahwa Ma’ruf Amin mempermainkan diksi dan disesuaikan dengan hasil transkrip Buni Yani dan diolah lagi diksinya itu disingkronkannya dalam keterangannya sebagai saksi, dengan memberikan kesaksian bahwa Ahok menghina agama, ulama dan Al-Qur’an, yang itu artinya, isi BAP dan keterangan Ketua MUI, Ma’ruf Amin adalah tidak konsisten karena hanya memainkan diksi dari Buni Yani, sehingga keterangan Ma’ruf Amin HARUS DITOLAK, dikarenakan dalam dakwaan alternatif cukup satu pasal saja yang dibuktikan tanpa membuktikan lapisan dakwaan berikutnya (dakwaan kedua), yakni cukup membuktikan pasal pertama dalam dakwaan alternatif yakni Pasal 156 a KUHP, yang tidak memuat unsur penodaan agama, sehingga engan terjadinya kekeliruan pada dakwaan, sehingga Ahok harus divonis bebas.

Karena penodaan dan penghinaan dalam terminologi hukum berbeda, penodaan membuat sesuatu menjadi kotor dan ternoda, sedangkan penghinaan adalah merendahkan, sedangkan dalam BAP dan keterangan saksi Ketua MUI, dipersidangan, jelas menyatakan penghinaan bukan penodaan, itu merujuk pada angka 9 dari BAP Ketua MUI, Ma’ruf Amin: ’Al-Maid’ah sebagai alat berbohong, merupakan penghinaan terhadap ulama’’. Itu artinya tidak ada alasan hukum bagi majelis hakim untuk bisa menerima keterangan Ma’ruf Amin, dikarenakan dalam pendapat keagamaan MUI hanya dinyatakan sebagai penghinaan, dan itu tidak sesuai dengan dakwaan jaksa, sehingga diujung vonis nanti, peluan Ahok divonis bebas makin membesar.

Selain keterangan Ketua MUI, Ma’ruf Amin yang harus ditolak, keterangan Ahli Agama Islam/Anggota Komisi Fatwa MUI, Hamdan Rasyid juga harus ditolak, karena isi BAP-nya mirip benar dengan isi BAP, Ma’ruf Amin. Selain soal kemiripan isi BAP, alasan lain yang mengharuskan majelis hakim menolak keterangan Ahli Agama Islam dari MUI, adalah dikarenakan ahli tidak objektif dikarenakan sama-sama dari satu lembaga yang sama MUI, dan semua keterangannya mendukung pendapat keagamaan MUI. Bayangkan, untuk isi BAP saja tidak objektif , karena ada kemiripan, apalagi keterangannya di persidangan, makin tidak objektif lagi, sehingga harus ditolak keterangannya oleh majelis hakim.

Alasan terakhir yang membuat majelis hakim harus menolak keterangan Ahli Agama Islam dari MUI , Hamdan Rasyid, yang memberikan keahliannya pada Selasa, 7 Februari 2017, adalah dikarenakan hampir semua kesaksiannya di persidangan mirip-mirip dengan kesaksian Ma’ruf Amin. Nah sedangkan Ma’ruf Amin dalam BAP-nya dan keterangannya di persidangannya pada Selasa, 31 Januari 2017, mirip sekali dengan transkrip Buni Yani, jadi terlihat jelas transkrip Buni Yani yang dijadikan dasar rujukan dikeluarkannya pendapat keagamaan MUI, sehingga keterangan keduanya harus ditolak

@ricky vinando


Awasi dan Kawal Forum RT / RW di Pilkada DKI

DUNIA HAWA - Tujuan tulisan ini sebenarnya hanya 1, untuk mencegah kemungkinan terjadinya kecurangan dalam upaya pemenangan salah satu bakal calon gubernur di DKI Jakarta.


Sudah banyak yang tahukan kalau ada salah satu kandidat yang mengorganisir RT / RW lewat pertemuan Forum RT / RW yang diadakan di Sentul, Jawa Barat, Minggu (5/2/2017).

Forum RT / RW yang diundang adalah gabungan dari Ketua RT / RW bersama pengurus lingkungan yang ada di lima kota dan satu kabupaten di Jakarta. Masing-masing wilayah dikoordinir oleh Dewan Presidium.

Bahkan Forum RT / RW yang di undang ini sebelumnya sempat mengecam kebijakan Qlue yang ditetapkan oleh Pemprov DKI Jakarta.

Jadi Anda tahukan jika dibalik pertemuan ini ada pemanfaatan kekuatan kelompok yang sempat berseberangan dengan kebijakan Paslon nomor urut 2?

Sekalipun undangan kepada Forum RT / RW ini dikatakan lebih bersifat pribadi, buat Saya itu tidaklah penting.

Bahkan ada sanggahan yang mengatakan bahwa RT / RW itu artinya Rakyat Tangguh / Republik Wibawa .

Kelihatan sekali ada kesan dan usaha untuk menghindar dari kecurigaan beberapa pihak mengenai upaya dalam memobilisasi Forum RT / RW untuk memenangkan mereka dalam Pilkada DKI?

Tahukan Paslon mana yang Saya maksud? Tentu saja Paslon yang dimaksud adalah Paslon yang beberapa waktu ini sempat melakukan hal-hal yang mendatangkan blunder buat mengangkat elektabilitas Paslon tersebut

To the point saja deh, Paslon ini adalah Paslon nomor urut 1 pasangan Agus Harimurti Yudhoyono – Sylviana Murni.

Lewat tulisan ini Saya hanya ingin mengajak masyarakat DKI Jakarta untuk mewaspadai, mengawal dan mengantisipasi setiap gera gerik para RT  / RW yang ada dilingkungannya.

Tentunya Anda yang merasa warga Jakarta tidak ingin di pimpin oleh seseorang yang tidak memiliki kemampuan dalam memimpin Jakarta kan?

Buat Saya, Forum RT / RW ini jika tidak di kawal dengan seius, bisa Saya menimbulkan masalah buat keberadaan Jakarta di masa yang akan datang.

Saya tidak mengatakan bahwa semua RT / RW yang ada di Jakarta memiliki niat untuk memenangkan Paslon nomor urut 1 Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni.

Tetapi tidak semua juga tidak punya kepentingan untuk memenangkan Paslon nomor urut 1.

Mengapa keberadaan mereka Saya anggap perlu untuk di waspadai, di kawal dan di antisipasi?

Jawabannya sederhana sekali…

Karena ada kemungkinan dan potensi jika para RT / RW yang diundang dalam pertemuan Forum RT / RW di Sentul, Jawa Barat, Minggu (5/2/2017) melakukan hal-hal yang mendatangkan keuntungan bagi salah satu pasangan calon yang akan berlaga di Pilkada DKI.

Kira-kira apa yang bisa dilakukan Forum RT / RW jika memang ingin memenangkan Paslon nomor urut 1 pasangan Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni?

Ada 2 hal yang bisa mereka lakukan…

Pertama, melakukan kecurangan dengan merekaya hasil Pilkada.

Kedua, mempengaruhi pemilih yang ada di lingkungannya.

Jika mereka berhasil melakukan 2 hal diatas, keuntungan apa yang akan mereka dapat?

Ya sudah tentu mereka akan mendapatkan keuntungan yang tidak kecil dikemudian hari dari pasangan yang akan diuntungkan

Lalu apa keuntungan yang di dapat warga nya?

Ya tidak dapat apa – apalah hehehe

Jadi mari waspadai dan kawal wilayah Anda dari upaya-upaya halus yang kemungkinannya bisa dimainkan oleh pihak RT / RW di tempat Anda berada yang tergabung dalam Forum RT / RW yang hadir di dalam pertemuan di Sentul.

Tapi jika RT / RW ditempat Anda tidak tergabung dalam Forum RT / RW berarti Anda tidak perlu terlalu kuatir sekalipun ada kemungkinan untuk mereka juga di lobi oleh para RT / RW yang ikut di acara pertemuan tersebut

Awasi perhitungan suara sampai selesai dan catat hasilnya serta laporkan ke bawaslu jika ditemukan / ada indikasi kecurangan yang dilakukan oleh pihak RT / RW berserta jajarannya

Jangan terpengaruh dengan bujuk rayu mereka jika mereka ingin mempengaruhi Anda dengan berbagai macam iming-iming

Begitulah kira-kira.

@aru martino


Sidang Kesembilan Ahok

DUNIA HAWA - Kasus dugaan penistaan agama Islam yang menyeret Gubernur Non Aktif, Basuki Tjahja Purnama alias Ahok sepertinya akan mengalami antiklimaks. Mungkin terlalu subjektif namun kenyataannya dalam beberapa kali persidangan mengenai kasus tersebut telah menghadirkan hal-hal yang cukup menggelitik mulai dari ketidakhadiran saksi langsung di tempat kejadian perkara (TKP), kontradiksinya pernyataan Ketua MUI kaitannya dengan perbincangan dengan Pak SBY hingga kedatangan saksi yang langsung melihat dan mendengar pada saat kejadian perkara berlangsung. Seorang nelayan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu.


Dia adalah Jaenudin alias Panel, berumur 39 tahun yang hadir sebagai saksi pada persidangan kesembilan kasus dugaan penistaan agama Islam pada 27 September 2017 di Kepulauan Seribu. Jaenudin dijadikan saksi karena merupakan orang yang berada dan barangkali menyaksikan pidato sang Gubernur. Sidang pun dilangsungkan di Auditorium Kementerian Pertanian.

Majelis hakim pun sedikit terkejut dengan pernyataan Panel yang menilai bahwa tidak ada pernyataan Ahok yang menyinggung warga pulau dalam pidatonya di Pulau Pramuka yang lalu. Ironisnya, dia pun tidak mengetahui bersaksi untuk kasus apa. Fakta ini pun terungkap ketika Majelis Hakim mencoba mendalami pernyataan saksi.

Panel mengatakan bahwa baru mengetahui kasus penistaan agama tersebut saat di kantor polisi dan televisi. Panel sendiri memang tidak terlalu khatam mengenai Al-Quran bahkan tidak mengetahui tentang Al-Maidah ayat 51 apalagi penafsirannya. Lalu apakah ini akan menjadi antitesa dari semua saksi yang telah menyampaikan pernyataannya yang homogen menuntut pemenjaraan Ahok sebagai konsekuensi yuridis sekaligus realisasi dari tuntutan Aksi Super Damai.

Bisa jadi Ahok dipenjara jika Majelis Hakim tidak mampu menunjukkan sisi keobjektifan hukumnya malah mendengarkan subjektifitas pandangan dari saksi sendiri. Mungkin hingga saat ini kasus tersebut masih menjadi bahasan yang cukup mendalam untuk terus diselidiki kebenarannya.

Posisi Ahok pada kasus penistaan agama Islam memang masih menyandang status terdakwa belum juga dinonaktifkan oleh Menteri Dalam Negeri karena akan menunggu ketetapan hukum yang mengikat. Pernyataan Panel ini akan semakin ditelaah disebabkan memiliki sisi pertimbangan hukum yang cukup kuat mengingat beliau adalah saksi mata di TKP. Namun tidak cukup sampai disitu Ahok harus mampu melakukan pembelaan yang dapat dijadikan pertimbangan melepaskan diri dari status hukumnya. Setelab upaya kriminalisasinya terlalu overdosis.

Terus apa yang dapat kita simpulkan dari kejadian di persidangan kesembilan Basuki Tjahja Purnama jika dikaitkan dengan keadaan faktualnya? Sedikit ulasannya.

Pertama, Ahok adalah orang pertama di Indonesia disangkakan sebagai terdakwa terkait penistaan agama Islam.

Kedua, Ahok selalu meyakini bahwa dia tidak pernah bermaksud untuk menyerempet Al-Maidah sebagai bahan politis atau bahan pertentangan. Barangkali beliau hanya menempatkan Al-Maidah sebagai Surah yang sangat suci jadi tidak mungkin dipelintir apalagi untuk kebutuhan politik. Bahkan beliau pun meminta maaf kepada seluruh umat Islam di Indonesia sebagai bentuk kesadaran yang cukup melegakan.

Ketiga, Jika kita menyimak pernyataan saksi sebelum Panel cenderung memberikan kesan pemaksaan untuk memenjarakan Ahok dan inipun menjadi bahan kesaksian yang sebenarnya sangat tidak relevan dengan substansinya. BAPnya pun hampir sama loh.

Keempat, hari-hari ini Ahok semakin memperjelas posisinya adalah korban politisir melalui isu agama. Ahok mungkin tidak mampu lagi ditandingi karena alasan konstruktifpun telah dipenuhi oleh beliau jika dikaitkan sebagai Gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022 mendatang.

Kelima, rupanya ada yang ikut terseret namanya dalam kasus tersebut. Publik mungkin tidak terlalu sadar dengan hal ini tapi Ahok berani mengatakannya hingga si dia pun baper ketika dikaitkan dan buru-buru untuk menyelenggarakan konferensi pers agar terlihat sebagai korban yang terzalimi.

Keenam, si dia itu adalah gurita politik selama ini. Terusik karena ketidakpuasannya selama satu dekade memimpin negeri ini atau mungkin merasa risih karena tidak mencicipi proyek besar selama dua tahun setelah lengser dari tampuk kenyamanan. Bukan kekuasaan karena gurita politik ini hanya memanfaatkan kekuasaan dengan kenyamanan menukarkannya dengan penderitaan rakyat, proyek pemerintah yang terbengkalai hingga kasus-kasus hukum aktivis alm.Munir kala itu.

Ketujuh, si gurita politik itu rupanya semakin melankolis. Maklum usia tua pun bisa jadi alasan tapi sedikit kebongkar ambisiusme beliau karena berusaha merebut Indonesia dari pemimpin jujur nan bersahaja melalui pertarungan di DKI. Langkahnya adalah harus menyingkirkan Ahok dari ibukota.

Kedelapan, pendukung si gurita pun tidak tinggal diam. Berusaha memalingkan pandangannya dari fenomena ini dengan memasang klausal penyadapan. Agak terlihat kayak di film-film Hollywood.

Kesembilan, Ahok adalah tokoh yang cukup berani menyebut nama gurita politik sebagai orang yang sukses mengelabui publik dengan keluguannya, kepolosannya, kenaifannya padahal sangat berperan penting pada aksi nasi bungkus kemarin itu.

Kesepuluh, Ahok jika memenangkan pertarungan maka niscaya gurita politik ini akan kebakaran jenggot dan terus tergerus yang pada akhirnya tersinggkir dari peta politik Indonesia.

Begitulah Kira-Kira.


@herry pasrani mendrofa