Friday, February 3, 2017

Mensesneg Bilang Tidak Ada Instruksi Sadap, Begitu Juga BIN, Jadi Pepo Disadap Siapa?

DUNIA HAWA - Isu sadap menyadap yang telah menimpa Bapak Susilo Bambang Yudhoyono (biar lebih akrab kita sebut saja Pepo) adalah satu-satunya isu yang mampu mengalahkan sedapnya skandal video chat “Firza Hots”, menurut analisis pakar ra(i)sa. Gara-gara ini, Pepo sampai membuat konferensi pers. Pepo merasa wilayah-wilayah privasinya terganggu. Padahal, ia kini hanyalah seorang warga biasa.


Dari mana kesimpulan Pepo bahwa dirinya telah disadap? Jawaban yang selama ini kita dapat adalah dari sidang Ahok kedelapan kemarin. Ahok dan pengacaranya menuding bahwa sikap keagamaan MUI dipengaruhi oleh komunikasi yang pernah terjadi antara Pepo dengan Kiai Ma’ruf pada tanggal sekian, jam sekian, menit sekian.

Detail waktu tersebut lah yang menjadi dasar bagi Pepo untuk menyimpulkan bahwa dirinya telah disadap. Tidak mungkin kan detail seperti itu diketahui kalau bukan memang telah terjadi penyadapan. Begitu kesimpulannya.  Hanya dari detail waktu saja, bisa disimpulkan adanya penyadapan? Bisa saja kan ada orang yang melihat mereka sedang telponan saat itu. Ini aneh.

Lebih jauh lagi. Pepo mengatakan bahwa Ahok dan pengacaranya punya rekaman dan transkrip. Nah, dugaan Pepo mulai melebar. Padahal, sampai saat ini belum ada pernyataan dari Ahok dan pengacaranya bahwa mereka punya dua benda yang Pepo sebutkan tadi. Ini lebih aneh lagi.

Lalu Pepo tiba-tiba menceritakan tentang skandal “Watergate”. Hebat sekali, dari sebuah dugaan penyadapan, lalu Pepo mencari dalil yang menyatakan bahwa sebuah skandal penyadapan dapat berujung pada penjatuhan rezim. Ini jauh lebih aneh lagi.

Saya ra(i)sa, ini bukan lagi klarifikasi. Pepo bukan lagi menjelaskan, tapi menuduh. Selain menuduh, Pepo juga mengancam. Jelas-jelas ini kode keras kepada pemerintah. Pemerintah seolah-olah dipaksa untuk mengakui adanya penyadapan. Sebab, tidak mungkin Ahok dan kuasa hukumnya yang menyadap. Lalu, setelah memaksa pemerintah, Pepo juga menakut-nakuti pemerintah dengan cerita tentang Watergate yang berujung pada impeachment.

Lalu, disenggol lah oleh Pepo institusi-institusi seperti Polri, BIN, juga TNI. Dimana tiga institusi ini sangat solid mendukung pemerintahan Jokowi. Tentu, Pepo akan menyenggol mereka. Membawa mereka masuk kedalam pusaran prasangka Pepo. Tujuannya untuk mencitrakan bahwa setiap yang kontra pemerintah pasti disadap oleh ketiga institusi negara tadi.

Pepo memang cerdas membangun opini. Sebuah dugaan yang masih mentah pun, bisa ia sulap menjadi fakta. Apalagi disampikan dengan nada prihatin, seperti melodi “ada pelangi di bola matamu”. Akhirnya, orang-orang seperti Jonru dan yang secingkrangan dengannya akan mendapatkan ruang untuk menyerang pemerintah.

Pepo sudah terlalu jauh mengkhayal. Fantasinya mampu melampaui fantasinya Rizieq soal cangkul-mencangkul. Pepo terlalu ke-ge er-an hingga menyimpulkan pemerintah harus menyadapnya. Apa kepentingan pemerintah untuk menyadap seorang mantan presiden yang mewariskan banyak proyek mangkrak?

Jokowi tipe pekerja yang realistis dan tidak pernah terjebak pada masa lalu seseorang. Memang benar banyak proyek mangkrak, tapi bagi Pakde, ngapain juga ngurusin penguasa sebelumnya? Apa pernah keluar statemen Pakde yang menyenggol sang mantan terkait proyek-proyek mangkrak? Apakah saat Pakde ke Hambalang, Pakde sempat menyenggol-nyenggol sang mantan? Kan nggak!

Tapi. Sang mantan bapernya bukan main saat Pakde ke Hambalang. Pepo adalah jenis mantan yang terjebak dalam ilusi masa lalunya yang indah. Saking indahnya masa lalu Pepo, hingga ia sendiri ketakutan untuk melupakannya. Apalagi, para koleganya banyak yang sudah berseragam orange.

Mensesneg, Pramono Anung, sempat memberi klarifikasi ke media bahwa presiden sampai detik ini Presiden tidak pernah memberikan instruksi penyadapan ke Pepo. Ini dilakukan karena pemerintah menghargai posisi beliau sebagai mantan presiden RI.

Di tempat yang lain pun, BIN juga menyampaikan klarifikasi bahwa mereka tidak terlibat dalam sidang Ahok. Apa yang Ahok dan pengacaranya sampaikan berupa sebuah informasi tentang adanya komunikasi, itu tanggung jawab Ahok dan kuasa hukumnya. Intinya, BIN tidak pernah terlibat atau memberikan sebuah informasi tertentu kepada Ahok dan kuasa hukumnya.

Kalau klarifikasi dari Mensesneg dan BIN adalah bohong dalam pandangan Pepo, silahkan saja buktikan di tempat yang tepat. Jika tujuannya untuk mencari titik temu. Tapi, jika tujuannya untuk menciptakan kegaduhan lain, silahkan curhat di banyak tempatnya. Kita akan lihat sampai dimana kadar kenegarawanan seorang Pepo.

Kabid Humas Polri, Brigjen Rikwanto pernah ditanya tentang kasus penyadapan ini oleh wartawan, apakah itu akan diusut? Ia hanya tersenyum kecil sambil sesekali menahan tawa saat menjawab. Ia mengatakan bahwa itu kan dugaan penyadapan. Terus, penyadapannya itu sendiri ada atau tidak, polisi kan belum tahu. Buktinya pun belum ada. Semuanya masih katanya. Jadi ini masih tenggelam.

Kita lihat saja. Apakah isu penyadapan ini benar-benar terjadi? Kalau memang benar, seharusnya Pepo dan partainya harus melaporkan kasus ini kepada polisi. Bukan curhat ke media. Apalagi buat hak angket di DPR. Ini kan lucu. Kita jadi dibuat tertawa melihat semua dagelan ini.

Sampai-sampai, saya berpikir bahwa jangan-jangan ini cuma akal-akalan Pepo agar AHY punya alasan tidak hadir di Mata Najwa, dengan alasan, keluarga mereka sedang dapat masalah. Malu juga kan kalau isu tidak hadirnya AHY di Mata Najwa jadi ramai.

Tapi, saya masih penasaran. Anggap saja Pepo benar-benar disadap. Lalu, siapakah yang menyadap? Presiden tidak pernah kasih instruksi. BIN juga sudah klarifikasi. Apalagi Polisi. Tidak mungkin. Jangan-jangan, yang menyadap Pepo adalah Kak Emma. Kak Emma, kamu jahat banget..!!

Ra(i)sa-ra(i)sanya begitulah.


@muhammad nurdin



Gara-gara Ahok

DUNIA HAWA - Tiba-tiba saja negeri ini seperti dilanda gempa berkekuatan 70 skala Richter. Gejalanya sudah mulai terasa semenjak Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menjadi Wakil Gubernur DKI pada 2012. Ada banyak aksi demo digelar untuk meminta Ahok mengundurkan diri dari kursi Wagub. Alasan pendemo, mayoritas warga DKI beragama Islam. Ahok sendiri menganut agama Kristen. Tidak jelas dalil mana yang digunakan oleh para pendemo. Mereka membawa dalil berdasarkan agama, sementara negara kita bukan negara agama. Negara kita yang berlandaskan UUD 1945 dan Pancasila tidak menjadikan agama sebagai syarat untuk menjadi kepala daerah atau wakil kepala daerah di mana pun.


Gak usah jauh-jauh cari contoh. Buktinya, ya si Ahok sendiri. Meskipun bukti ini sudah agak lama berselang, namun dijamin tidak kadaluarsa atau expired. Ahok, sebelum bikin heboh DKI Jakarta dan sekitarnya, ternyata sudah pernah menjadi Bupati di Belitung Timur, daerah kelahirannya. Bayangkan, daerah tersebut mayoritas beragama Islam (90%), namun Ahok yang beragama Kristen kok  terpilih dalam Pilkada Belitung Timur? Ya jelas tidak masalah. Lha, wong rumusnya tetap sama kok, UUD 45 dan Pancasila. Dan kalau rajin membaca berita atau mengikuti perkembangan zaman di negeri sendiri, ada banyak Kepala Daerah, Gubernur, Bupati, Walikota, yang agama atau keyakinannya berbeda dari mayoritas masyarakat. Dan semuanya baik-baik saja. Aman dan terkendali. Jadi sampai di sini, sebenarnya tidak jelas apa yang diinginkan oleh para pendemo yang mengatasnamakan agama tersebut.

Ahok memang dikenal sebagai sosok pejabat yang lain daripada yang lain. Kalau dalam pelajaran biologi, dia tergolong binatang langka. Ya, manusia semacam Ahok sangat langka di negeri ini. Dia sangat anti-korupsi.

Sebelum dia membubuhkan tanda tangan tanda setuju di atas  draf APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah). Kalau ada mata anggaran yang aneh dan dirasa tidak perlu, Ahok tidak segan-segan mencoret. Cret! Ahok tidak peduli apakah oknum DPRD yang mengusulkan anggaran siluman itu nanti menceret, rezekinya seret, atau stress. Bagi Ahok, uang rakyat tidak boleh dipermainkan walau hanya satu sen pun. Tentang hal itu, Ahok sudah ngomong dengan tegas: “Selama gua jadi gubernur, tidak akan gua biarkan satu sen pun uang rakyat lu colong!”

Sekali lagi, Ahok tidak sesumbar alias ngemeng doang. Ketika dia melihat ada mata anggaran di RAPBD 2016 yang bunyinya aneh: “Peningkatan Pemahaman SK Gubernur 168 tentang RT dan RW Kecamatan……”. Setiap nilai anggaran ini dipatok Rp 100.000.000 per kecamatan. Dan jika  di DKI ada 44 kecamatan, maka Rp 100.000.000 x 44 = Rp 4,4 miliar. Ahok sendiri  yang tidak ngeh apa juntrungan mata anggaran ini pun geram, dan mencoretnya, dan juga menulis kata-kata: “PEMAHAMAN NENEK LU”. Sudah pasti, anggota-anggota DPRD yang mengusulkan mata anggaran itu marah besar, sebab neneknya dibawa-bawa Ahok. Tapi itulah Ahok. Ngomong ceplas-ceplos, apa adanya.

Hahahahha… Gak ada Ahok gak rame! Begitu kira-kira komentar masyarakat DKI yang sudah sekian lama gerah melihat sepak terjang para wakil parpol yang bersemayam di sebuah gedung di Jalan Kebonsirih sana. Dan kehebohan tidak hanya sampai di “nenek lu”. Ada pula anggaran untuk UPS (Uninterruptible Power Supply) yang besarnya puluhan miliar rupiah. Padahal, menurut orang yang mengerti barang, harga satu unit UPS paling bekisar puluhan juta rupiah. Itu pun sudah the best-lah. Ini kok ada yang miliaran rupiah per unit? Saking besarnya anggaran untuk UPS ini membuat Haji Lulung takjub, terkesima sampai-sampai keseleo lidah menyebutnya USB. Gara-gara lidah yang keseleo ini, jagad media sosial ramai lagi dengan olok-olok, yang konon sempat membuat Pak Haji stress berat. Khawatir terjadi hal-hal yang tidak diinginkan menimpa Bang Haji, sapaan akrabnya, muncullah  gerakan “Save Haji Lulung” di media sosial. Sebab, bukan apa-apa, kita sangat membutuhkan sosok Haji Lulung yang berani berkata-kata demi membela konstituen. Ceileeeeeeee…

Ya. Gara-gara “ulah” Ahok, ketahuanlah bahwa di RAPBD itu ada anggaran yang jumlahnya mencapai Rp 12 triliun namun tidak jelas peruntukannya. Uang yang belum sempat cair itu ramai disebut dengan “dana siluman”. Wah… andaikata anggaran itu lolos, maka uang sebesar itu masuk kantong pihak-pihak yang tidak berwelas asih pada nasib masyarakat. Dan masih banyak lagi contoh gebrakan Ahok yang menyetop berbagai dana yang tidak jelas juntrungannya. Sudah barang tentu banyak pihak yang kebakaran jenggot dan naik pitam setinggi-tingginya, sebab sumber pemasukan atau rejeki rutin tahunan mereka disumbat oleh Ahok. Maka tak ada cara lain, Ahok harus disingkirkan, apa pun caranya.

Semua orang bernafsu menjadi lawan Ahok. Semua masalah ditimpakan kepada Ahok. Ucapan-ucapan Ahok menjadi masalah. Ahok yang temperamen dan sering berkata apa adanya, digarap oleh mereka. Maka Ahok disebut si mulut jamban. Lucu juga, sebab orang-orang yang menuduh Ahok si mulut jamban, nyata-nyatanya mulut dan perangai mereka jauh lebih norak dan beringas ketimbang Ahok.

Naas bagi Ahok, dia kesandung penistaan agama. Dia dituduh menghina agama sewaktu berpidato dalam kunjungan kerja ke Pulau Seribu. Meski ada sikap pro-kontra seputar kasus Ahok ini, namun pihak-pihak yang sejak dulu membenci Ahok, kini punya senjata baru dan canggih. Ahok menista agama! Maka gegerlah seluruh Indonesia. Apalagi DKI sudah memasuki musim pilkada, Cagub-cagub lain, saingan Ahok, memanfaatkan betul momen ini.

Sadar Ahok adalah lawan tangguh, ada cagub yang membawa-bawa bapaknya, mamanya, bininye, tetangganya (tetangga jauh) yang kebetulan fasih menyitir ayat-ayat suci dan punya banyak simpatisan. Heboh dah… Sekali mereka demo, menuntut si Ahok ditangkap dan dipenjarakan, Jakarta bergetar, seperti digoyang gempa. Bukan hanya warga DKI yang risau, roti-roti pun bisa jadi musuh besar!!!

DKI menjadi hiruk pikuk. Semua orang harus hati-hati berbicara. Sebab salah-salah bisa diadukan telah menista agama. Fizza Hut pun terkena sialnya. Namanya tercemar dan menjadi bahan guyonan. Untunglah pemilik Fitsa Hats, eh… fizza hut, tidak latah dan ikutan geblek dengan menuduh Ahok sebagai akar permasalahan yang menyebabkan makanan lezat khas Itali itu ternista.

Gara-gara Pilkada 2017, DKI menjadi ajang tuduh-menuduh, ajang adu-mengadu. Habib Rizieq dituduh menista dan menghina Pancasila. Yang dituduh tidak kalah garang, dan menuduh orang lain menista agama. Untung kepolisian kita sabar dan profesional. Semua pengaduan masyarakat diproses dengan bijak. Tidak ada yang kebal hukum. Kalau memang bersalah ya harus dihukum. Tidak perduli mau kerahkan pasukan berani mati untuk membela majikan. Toh dari kubu lain sudah siap pula pasukan yang akan membela NKRI dari rongrongan orang asing.

DKI ramai, seluruh pelosok Tanah Air ramai. Semua hanya melihat DKI Jakarta. Kasihan daerah lain, pilkada mereka jadi terlupakan. Semua tentang DKI dan AHOK. Ya… semua karena Ahok. Maka, mari kita sama-sama mengheningkan cipta sejenak dan lalu mengatakan: Ahok, gak ada loe gak rame...

@h. hans p


Harusnya Amien Rais Ditangkap Karena Upaya Makar

DUNIA HAWA - “Jangan sampai saya yang akan memimpin semua Rakyat Indonesia pisah dari Indonesia, bila Ahok tidak segera ditangkap,” ujar Amien Rais ketika memberi sambutan dalam acara Resepsi Milad ke-107 Muhammadiyah Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Surabaya pada hari Minggu tanggal 20 November 2016 yang lalu.


Saat itu Amien Rais mendesak Presiden Jokowi agar segera memenjarakan Ahok yang menurutnya telah menista agama Islam. Menurutnya, Ahok itu berpotensi memecah-belah bangsa. Jika Presiden Jokowi tidak segera menjebloskan Ahok ke penjara, maka Amien Rais ancam akan pimpin rakyat segera berpisah dari Indonesia.

Presiden Jokowi juga ia kecam seolah-olah tidak mengedepankan kepentingan bangsa yang lebih besar. Menurutnya jika sampai Presiden Jokowi terlambat bertindak, maka sama saja dengan membunuh sejarah bangsa Indonesia. 

Padahal kasus Perkara Ahok sudah masuk dalam ranah hukum, tapi karena ada kepentingan politiknya yang terselubung, Amin Rais maunya Ahok harus segera ditangkap dan dijebloskan ke penjara dan mengancam Presiden Jokowi bahwa ia akan memisahkan NKRI kalau Ahok tidak segera ditangkap.

“Nasi belum jadi bubur, tangkap segera. Kalau yang lain ditangkap, kenapa ini kok bebas. Ada apa?” ujar Amien Rais.

Apa Amien Rais ini sudah pikun bahwa negara kita adalah negara hukum, kok ngasal memaksa Presiden RI asal main tangkap saja. Hukum adalah panglima di negara ini, bukan Amien Rais. Kepentingan Bangsa yang lebih besar adalah bila hukum ditegakkan dengan seadil-adil nya. Biarkan Lembaga Hukum yang menentukan apakah Ahok bersalah atau tidak. Kelihatan sekali ambisinya ingin agar Ahok segera dipenjara. Ada apa?

Kalau Amien Rais mau mengajak rakyat memisahkan diri dari Indonesia, pertanyaannya saya, memisahkan diri kemana? Rakyat yang mana yang mau ikut Amien Rais? Sudah siap apa tidak Amien Rais tiap hari kasih makan rakyat yang ikut dia? Barangkali Amien Rais punya pulau sendiri dan kapal besar untuk mengangkut rakyat yang mau ikut dia memisahkan diri dari NKRI.

Yang jelas statement Amien Rais itu sudah masuk dalam ranah makar karena mengancam Presiden akan memisahkan NKRI. Seharusnya Polisi menangkap dan memeriksanya apa maksud ucapannya, seperti menangkap Sri Bintang Pamungkas, Ratna Sarumpaet, Ahmad Dhani, Rachmawati Soekarnoputri, Jamran, Rizal Kobar, dan Firza Husein.

Dalam Undang-Undang Perbuatan Pidana Makar secara tersirat sudah jelas disebutkan bahwa barangsiapa yang mencoba menghasut, memprovokasi untuk melakukan perbuatan makar, maka diancam dengan hukuman mati atau penjara maksimal 20 tahun.

Bahaya besar bagi negara ini kalau provokator dan penghasut seperti Amien Rais ini dibiarkan merajalela dan koar-koar menghasut rakyat untuk pisah dari Indonesia jika keinginan dan ambisinya tidak terpenuhi.

Memaksa Ahok untuk segera ditangkap dan dipenjarakan, itu namanya pemaksaan kehendak dengan mementingkan kelentingan pribadi dan golongan. Statement Amien Rais itu menyiratkan bahwa ia ingin Jokowi patuh dan menuruti kehendaknya. Memangnya Amien Rais itu siapa? Jangan bawa-bawa nama rakyat Indonesia.

Presiden Jokowi adalah Presiden yang sah dan konstitusional sesuai Undang-Undang yang berlaku, tolong jangan ganggu kerja Pemerintahan Jokowi, biarkan Pemerintah bekerja untuk kemakmuran rakyat. Kami rakyat akan bangkit melawan terhadap siapa saja yang memprovokasi agar pisah dari indonesia.

Penyampaian pendapat di muka umum harus mematuhi ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Penyampaian Pendapat Di Muka Umum.

Dalam UU No. 9 Tahun 1998 diatur tentang kewajiban, larangan dan sanksi bagi pelaku atau peserta penyampaian pendapat di muka umum, salah satunya dengan tidak melakukan kejahatan terhadap negara berupa provokasi dan hasutan untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan menggulingkan Pemerintah Indonesia yang sah dan konstitusional.

Itu namanya tindak pidana makar dan Kasus makar bukan delik aduan. Polisi sebagai alat negara harus mengusutnya sampai tuntas apa maksud dari perkataan yang terlontar dari mulutnya Amien Rais itu.

Kura-kura begitu.

@argo javirez


Ahok Tersulut, Mantan Memancing, NU Kokoh

DUNIA HAWA - Tidak berapa lama yang lalu, kita melihat bahwa ada sekelompok orang yang menggoreng isu Ahok di dalam bersikap kepada Ma’ruf Amin di dalam persidangan, yang dianggap mengejek dan menista ulama. Isu ini sempat meledak pada hari itu dan hari setelah itu. Banyak meme dan kalimat-kalimat dari kaum sumbu pendek yang merasa terzalimi dengan sikap Ahok dan kuasa hukum di dalam mencecar dan mencabik-cabik kepribadian Bapak Ma’ruf Amin yang pada saat persidangan menjabat sebagai Ketua Umum MUI.


Namun haters tidak bodoh, mereka pintar di dalam menggoreng isu ini. Isu ini digoreng dengan memposisikan Ma’ruf sebagai salah satu sesepuh NU. Mereka terus menghasut-hasut warga Jakarta melalui media sosial, dan media mainstream untuk terus memancing suasana panas, dan swing voters berhasil dialihkan pandangannya kepada pasangan Agus Sylvi yang disebut-sebut oleh Ahok pada saat sidang ke-8. Ternyata apa yang saya lihat pada sidang ke delapan ini tidak sesuai dengan apa yang saya harapkan. 

Lantas mengapa mereka mencampur-campur antara posisi Pak Ma’ruf Amin sebagai sesepuh NU? Padahal saat persidangan, Pak Ma’ruf Amin ini menjadi saksi di dalam posisinya sebagai Ketum MUI, bukan sesepuh NU. Inilah kecerdasan haters, yang sangat mungkin disetir oleh orang-orang cerdas pendukung pasangan calon nomor satu dan tiga, Agus Sylvi dan Anies Sandi. Saya menebak mungkin Rizieq yang sedang cemas menunggu kasus Firza, ia dapat menarik nafas sebentar mendengar “berita baik” ini.

Klarifikasi pun langsung dilontarkan oleh pihak Ahok dan kuasa hukumnya, menyatakan bahwa mereka tidak akan melaporkan KH Ma’ruf Amin. Ahok pun sudah mengklarifikasi langsung di video yang juga viral. Pak Ma’ruf pun menerima secara positif klarifikasi Ahok yang “menyelamatkan”nya dengan tidak melaporkan kejadian ini.

Bagaimana respon NU? Saya sependapat dengan beberapa teman saya yang juga merupakan penganut paham Islam yang diajarkan oleh NU. Islam moderat, begitulah istilah yang boleh saya sematkan kepada teman-teman saya. Mereka tentu tidak terpancing. NU dikatakan tetap kokoh. Mereka hanya kembali mengingatkan saya bahwa NU membawakan pengajaran Islam dan mencoba sangat rasional di dalam menafsir Qur’an. Begitu pula ketika mereka menafsir kejadian yang ada. Mereka tentu sangat berhati-hati. Malahan melalui perpecahan yang coba dimunculkan oleh haters, mereka tetap berdiri kokoh dan sesuai dengan apa yang menjadi maklumat petinggi-petinggi mereka. Banyak sekali orang-orang yang mengatasnamakan NU untuk mencoba menumbangkan Ahok. Ahok mengakui di dalam video klarifikasinya, bahwa selama ini NU-lah yang selama ini mendukung pergerakan Pak Ahok.

Manusia-manusia yang memiliki sumbu pendek, lagi-lagi gagal strategi. Tentu sang sutradara, yang merupakan Pak Mantan merasa gerah. Ketika elektabilitas anaknya turun, naiklah sang ayah untuk membuat sebuah konstipasi (ups maksud saya konspirasi) untuk menurunkan yang lain.

Mental ini merupakan mental orang-orang baru, maksud saya orang-orang Orde Baru. Untuk menaikkan elektabilitas, mereka harus menginjakkan kakinya di atas kepala saingannya. Bukannya beradu gagasan dan adu program, adu siapa tinggi, mereka justru beradu siapa yang lebih rendah. Inilah mental yang sangat terlihat di pasangan calon nomor 1, Agus Sylvi, dan nomor 3, Anies Sandiaga, di dalam menggoreng isu-isu yang berkaitan dengan SARA (Suku, Agama, dan Ras). Baik Pak Mantan maupun Pak Wowo. Mereka memiliki keinginan yang masih belum tercapai. Ketika Italia memiliki Pope Fransiscus from Vatican, dunia Indonesia memiliki Pepo Politicus from Pacitan. Ketika dunia perfilman memiliki sutradara bernama Jay Subiakto, dunia perpolitikan memiliki Wow! Subianto.

Sampai kapan Indonesia bebas dari paham orde baru? Jangan sampai NU dijadikan alat untuk menyerang Ahok. Percuma lakukan itu, karena saya sangat percaya bahwa NU solid dan organisasi keagamaan kuat ini tidak akan terpengaruh oleh hal yang remeh-temeh, yaitu Pilkada. Tentu cendikiawan ini mengamini bahwa Tuhan mereka bukan Tuhan yang harus dibela seperti Ia lemah tanpa kehadiran kita, seperti kaum sebelah yang sangat titik-titik, yang memiliki paham yang jauh berbeda dari paham yang saya kenal di kalangan cendikiawan NU.

Jangan sampai Tuhan lagi-lagi bosan dengan ulah orang-orang Orde Baru yang selalu menggunakan cara yang tidak sehat di dalam memenangkan sebuah Pilkada, terutama pada saat-saat seperti ini, Pak Pepo from Pacitan dan Pak Wow! Subianto.

“Berapapun besar biaya dan resikonya, NU akan menjaga keutuhan NKRI.” – K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)

Betul kan yang Gus Dur katakan?

@hans sebastian


NU-Muhammadiyah, Radikalisme, dan Pembaruan Penafsiran

DUNIA HAWA - Beberapa tahun, bulan, dan hari belakangan ini, gejolak radikalisme kembali semarak di Tanah Air. Setidaknya sejak peristiwa Bom Sarinah 14 Januari 2016 lalu, isu demikian kembali bergema dengan kencang di tengah-tengah masyarakat. Berbagai perbincangan, baik di dunia nyata maupun di dunia maya, baik oleh kalangan tua maupun anak muda, sama-sama tak lepas dari hal-hal yang masih bersangkut-paut dengan radikalisme dan terorisme.


Terakhir, aksi 411 dan 212 yang dipelopori oleh FPI dan GNPF-MUI telah membuat persoalan ini memasuki babak baru yang lebih terang sekaligus mengkhawatirkan. Terlepas dari unsur politik yang membungkus kedua demonstrasi itu, agitasi massal di hadapan khalayak plus sorotan kamera media yang terjadi pada keduanya telah menjadikan krisis radikalisme ini jauh lebih besar daripada sebelumnya.

Presiden Jokowi, guna menangkal efek beracun dari radikalisme yang tengah naik daun ini, beberapa kali melakukan kunjungan ke berbagai instansi, termasuk ke kedua organisasi Islam terbesar di Indonesia, yaitu NU dan Muhammadiyah.

Tercatat, tiga hari sebelum aksi 411, Presiden Jokowi mengumpulkan para petinggi NU dan Muhammadiyah beserta MUI di Istana Negara untuk membahas aksi yang akan berlangsung. Tiga hari seusai aksi 411, Presiden mengunjungi Sekretariat PBNU lalu melanjutkan sowan ke Kantor PP Muhammadiyah sehari setelahnya.

Dalam pertemuannya dengan kedua organisasi Islam terbesar di Tanah Air tersebut, Presiden secara garis besar mengapresiasi dan memotivasi keduanya untuk terus menjadi pengayom bagi moderasi Islam di Nusantara.

NU dan Muhammadiyah sejak dulu senantiasa didengang-dengungkan sebagai penjaga garda terdepan bagi citra Islam yang moderat, toleran, dan ramah di Negeri Zamrud Khatulistiwa ini. Dilihat dari kiprah keduanya sepanjang lintasan sejarah, peran NU dan Muhammadiyah dalam menjaga kebhinnekaan Republik Indonesia, terutama di kalangan internal umat Islam, memang tidak dapat dimungkiri begitu saja.

Namun, satu hal yang patut disayangkan adalah bahwa roh dan marwah tersebut kini tengah mengalami sakaratul maut akibat tumor ganas radikalisme yang kian parah dari hari ke hari. Bukti yang paling jelas akan hal tersebut adalah masih adanya orang-orang dari kalangan akar rumput NU dan Muhammadiyah yang ikut dalam kedua aksi 411 dan 212 padahal kedua organisasi itu secara resmi mengimbau para anggotanya untuk tidak berpartisipasi.

Bahkan, yang lebih memilukan lagi adalah tidak digubrisnya fatwa terbitan PBNU yang melarang umat untuk tidak beribadah salat Jumat di jalan. Sebagaimana kita ketahui, alih-alih menuruti fatwa itu, umat dari berbagai daerah di Tanah Air justru datang membludaki Jakarta sesuai dengan arahan para pemuka FPI dan GNPF-MUI sehingga jalan sepanjang Monas dan Bundaran HI penuh akibat massa yang melaksanakan salat Jumat.

Mengapa realitas ini bisa sampai terjadi? Dalam pandangan saya, yang demikian itu disebabkan oleh suatu fakta konkret bahwa penafsiran-penafsiran keagamaan mendasar dari NU dan Muhammadiyah pada hakikatnya tidaklah jauh berbeda dengan penafsiran kaum radikal.

Jadi, ketika sebagian warga NU dan Muhammadiyah sadar akan kemiripan tersebut, mereka dengan senang hati bergabung dan mendukung perjuangan kaum radikal, meninggalkan nama organisasi di belakang punggung.

Berikut akan saya ketengahkan beberapa poin mengenainya yang paling umum dan masyhur diperbincangkan.

Masalah Jihad


Kelompok-kelompok radikal memiliki keyakinan teguh bahwa jihad melawan orang-orang kafir, yakni para non-Muslim, adalah satu bentuk kewajiban dan keniscayaan.

Mereka mendasarkan keyakinan ini pada sebuah hadis riwayat Imam Bukhari dan Muslim bahwa Nabi Muhammad SAW diutus untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan salat, serta menunaikan zakat.

Barulah kala mereka bersaksi seperti itu, darah dan harta mereka aman dari tangan umat Islam. Mengutip Ibnu Rajab al-Hambali, salah satu ulama klasik yang menjadi rujukan kaum radikal, dalam Jami‘ al-‘Ulum Wa al-Hikam, “Fayuqtalu man aba-l’ Islam,” yakni “Dibunuhlah siapa yang menolak Islam.”

Dengan legal standing seperti itu, mereka meyakini – dan itulah harapan mereka pada masa kemunduran Islam seperti sekarang – bahwa ketika Imam Mahdi dan Nabi Isa datang pada akhir zaman, kedua sosok tersebut akan membunuhi semua manusia, kecuali yang mengucapkan kalimat syahadat.

Dengan begitu, menurut Mulla ‘Ali al-Qari’ dalam Mirqat al-Mafatih, “La yabqa ‘ala wajhil ardhi kafirun ma dama ‘Isa hayyan fil ardh.” Artinya, “Tidak ada tersisa di atas muka bumi seorangpun kafir selama Isa masih hidup di bumi.”

Penafsiran-penafsiran yang diikuti oleh kalangan NU dan Muhammadiyah tidaklah berbeda nyata dengan penafsiran kelompok-kelompok radikal dalam masalah jihad ini.

Pada Muktamar Ke-33 NU di Jombang 2015 lalu, dibentuk rumusan “Khasha’ish Ahl as-Sunnah Wa al-Jama‘ah an-Nahdhyiyyah” yang berisikan karakter-karakter khusus yang mencirikan ke-NU-an. Dalam daftar ciri khas tersebut, hadis tentang memerangi orang-orang kafir sampai mereka memeluk Islam juga dibahas.

Hadis tersebut digunakan sebagai dalil penunjang akan beratnya mengafirkan seorang Muslim karena dengan kekafiran itu, sembari menukil Abdurrahman Ba‘alawi dalam Bughyat al-Mustarsyidin, darah dan harta mereka menjadi tidak terjaga lagi.

Artinya, kendati tidak sekentara kaum radikal, kaum Nahdliyin secara tidak langsung juga berkeyakinan bahwa darah dan harta orang-orang non-Muslim yang tidak menerima Islam tidaklah bisa dipastikan keterjagaannya. Hal tersebut jelas mengarah pada tendensi yang sama dengan kecondongan kaum radikal

Oleh karena itu, bukanlah hal yang aneh ketika kaum Nahdliyin memegang pula keyakinan bahwa Nabi Isa akan turun dari langit untuk membanjiri bumi dengan darah manusia mengingat Imam Nawawi pernah mengatakan, “Wash-shawab anna ‘Isa la yaqbalu illa-l’ Islam.” Maknanya, “Yang benar adalah bahwa Isa tidak akan menerima apapun dari seseorang, kecuali keislamannya.” Begitulah bunyinya seperti dinukil oleh Imam Suyuthi dalam At-Tausyih.

Masalah Meninggalkan Salat dan Menjadi Murtad


Selanjutnya, masalah yang patut menjadi perhatian adalah hukuman bagi orang yang meninggalkan salat dan murtad.

Dalam hadis Imam Bukhari dikatakan bahwa batas yang membedakan keislaman seseorang dengan kekafiran adalah salat. Barangsiapa yang meninggalkannya, ia telah kafir.

Hadis ini secara bulat disepakati baik oleh Mazhab Syafi‘i yang menjadi rujukan NU maupun kaum radikal serta jumhur ulama lain sebagai legitimasi bahwa orang yang meninggalkan salat telah murtad dari Islam sehingga wajib dibunuh.

Asy-Syaukani menyatakan dalam Nail al-Authar, “Wa illa qatalnahu,” yakni, “Jika ia tidak bertaubat, ia kita bunuh.” Praktis, hanya Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya yang lebih “moderat” kala mereka menghukumi para peninggal salat dengan hukuman penjara, bukan hukuman mati.

Masalah Khilafah


Apabila pada ketiga masalah di atas NU-Muhammadiyah memiliki kebersetujuan dengan kelompok-kelompok radikal, kini kedua organisasi Islam terbesar di Negeri Zirbad ini boleh dibilang tidak berdaya menghadapi argumentasi kaum radikal.

Kaum radikal sangat menjunjung tinggi eksistensi khilafah yang hanya dengannyalah, bagi mereka, umat Islam bisa meraih kejayaaan di dunia. Mereka berdalil dengan hadis yang termaktub dalam Musnad Ahmad bahwa kekhilafahan Islam akan muncul sekali lagi setelah lewat masa kerajaan-kerajaan yang menyombong dan lalim.

Dalam pandangan mereka, setelah Dinasti ‘Utsmaniyyah runtuh pada 3 Maret 1924 dengan lengsernya Sultan Abdul Majid, kekhilafahan Islam pasti akan muncul lagi sesuai dengan janji Nabi Muhammad SAW. Karenanya, berbagai golongan dalam umat telah berupaya mendirikan lagi institusi khilafah sejak awal kejatuhan Ottoman terlepas dari manhaj atau cara mereka yang berbeda dalam mematerialisasikan ide itu.

Orang-orang NU dan Muhammadiyah tidak bisa menampik keadaan ini sebab hadis yang dijadikan hujah oleh kaum radikal adalah sahih berdasarkan keterangan para ahli hadis sehingga tidak memungkinkan untuk ditolak. Seumpama hadis tersebut ditolak, artinya iman kepada segala ucapan dan perbuatan Nabi Muhammad SAW tidaklah sempurna.

Harus Berani Memperbarui


Berkaca pada realitas di atas, bila NU dan Muhammadiyah tetap ingin menjadi pelindung keberwujudan NKRI dari himpitan kaum radikal, pembaharuan penafsiran-penafsiran keagamaan yang bersenada dengan penafsiran radikal harus dikerjakan.

Memang, pembaharuan yang mesti dilaksanakan di sini pun cukup radikal karena menyangkut pendapat ulama-ulama terdahulu yang amat dihormati. Namun, jika dipahami bahwa sosok-sosok alim itu hanyalah berijtihad sampai batas kemampuan dan informasi yang tersedia bagi mereka, yang dalam berijtihad pun mereka bisa saja melakukan kesalahan, niscaya pembaharuan ini akan terwujud.

Para cendekiawan NU dan Muhammadiyah hendaknya selalu ingat bahwa Islam adalah agama yang, “Shahih li kulli zaman wa makan,” yakni, “Cocok bagi setiap zaman dan tempat.” Ketika Islam adalah agama yang kompatibel dengan perubahan zaman dan perbedaan kondisi masing-masing tempat di mana manusia berada, membebek nilai-nilai lawas yang berbahaya secara terus-menerus justru bertentangan dengan prinsip utama tadi.

Oleh sebab itu, ulama-ulama NU dan Muhammadiyah haruslah berani.

@r. iffat aulia ahmad argawinata



Bedah Puisi Fadli Zon Curcol di Sajak Sang Penista

DUNIA HAWA - Ckckck… Kelakuan wakil rakyat yang satu ini bener-bener deh. Saya sering kehabisan stok kata-kata sifat untuk menggambarkan perasaan yang mendadak mampir, kalau membaca berita tentang Fadli Zon ini. Untuk selanjutnya saya akan sebut dia FZ saja, supaya bisa menjaga kewarasan saya. #MendadakPening

Jabatannya sebagai Wakil Ketua DPR Bidang Politik dan Keamanan ternyata tidak menjamin kewarasan dalam cara berpikirnya. Latar belakang pendidikannya terlihat mentereng, sarjana pada Program Studi Rusia di FIB UI, Master of Science (M.Sc) Development Studies dari The London School of Economics and Political Science (LSE) Inggris dan mendapatkan Gelar Doktor di Program Studi Sejarah FIB UI. Terus, haruskah saya bilang wow gituhh..?? Ngga mau. Kenapa? Karena semua gelar itu tidak lantas membuat dia mewakili seluruh rakyat Indonesia, dude... 
Minimal saya tidak merasa terwakili oleh dia!


Yang terpatri di benak saya saat mendengar nama FZ adalah adegan-adegan yang membuat saya merasa muak. Contohnya, FZ berfoto selfie bersama Presiden Amerika, Trump tapi ongkos kesana nya pakai duit rakyat. Lalu, FZ berfoto bersama Bambang Tri penulis buku Jokowi Undercover yang sekarang sedang duduk manis dalam jeruji besi. FZ juga mengirimkan fax kepada Kedubes RI di Amerika untuk menggunakan fasilitas negara demi anaknya yang berkunjung kesana. Juga waktu FZ teriak-teriak kayak orang kesurupan di depan pagar istana dalam aksi 411. Terus FZ juga “kabur” ke Panama sebelum aksi super damai 212, tapi kemudian menjadi tempat curhatan Rahmawati dan Ahmad Dhani terkait kasus dugaan makar. Geez.. Jadi apa kerja nyatanya buat negara??

Dan FZ barusan meluncurkan Puisi Baru lagi yang berjudul Sajak Sang Penista, dengan keterangan cuitannya: “SAJAK SANG PENISTA, catatan puisi saya hari ini tentang penista agama”. Saya kutipkan sajaknya seperti yang dilansir di detik.com ya:

Sajak Sang Penista


di tengah damai Jakarta
kau pamerkan keangkuhan sempurna
sumpah serapah intimidasi
mengalir sederas air banjir
lalu kau cibir orang-orang pinggir
menggusur tanpa basa basi
menindas dengan tangan besi
dan kau seenaknya korupsi
dari rumah sakit hingga reklamasi
memenuhi nafsu ambisi

di tengah damai Jakarta
kau nista ayat-ayat Tuhan
Al Qur’an dituduh alat kebohongan
kaulah yang merobek kebhinekaan
juara pengkhianat Pancasila 
pemecah belah kerukunan beragama
biang segala adu domba

di tengah damai Jakarta
kau fitnah lagi kyai dan ulama
serbuan berita palsu hasutan gila
ancaman teror fisik hingga penjara
kau bagai diktator pemilik dunia
menyebar resah ke segala arah
menggalang lautan amarah

kami tahu kau hanya pion berlagak jagoan
di belakangmu pasukan hantu gentayangan
tangan-tangan kotor penguasa komplotan
konspirasi barisan kejahatan
hukum mudah kau beli murah
keadilan punah habis dijarah
demokrasi dikebiri sudah
peluru muntah berhamburan
provokasi pesta kerusuhan

tapi ingatlah sang penista
takdir pasti kan tiba
rakyat bersatu tak bisa dikalahkan
doa ulama kobarkan keberanian
umat yang terhina berjihad kebenaran
orang-orang miskin membangun perlawanan
dan tirani pasti tumbang

di tengah damai Jakarta
kaulah penabur benih bencana

Fadli Zon, Jakarta, 2 Februari 2017

Tadinya mau saya bedah semua setiap baris dalam puisi diatas. Tapi takut #MendadakPingsan ditengah jalan hahaha. Secara singkat Puisi biasanya bermakna konotatif, dengan pengungkapan secara implisit, samar, dengan makna yang tersirat. Bagi saya pribadi Puisi itu adalah suatu ilusi tentang keindahan, terbawa dalam suatu angan-angan, sejalan dengan keindahan penataan unsur bunyi, penciptaan gagasan, maupun suasana tertentu sewaktu membaca suatu puisinya (baik dalam hati maupun ketika disuarakan).

Sajak di lain pihak lebih bermakna khusus, tak sekadar hal yang tersirat, tetapi sudah menyangkut materi isi puisi, bahkan sampai ke efek yang ditimbulkan, seperti bunyi. Karena penulisan Sajak berbentuk baris-baris yang teratur dan terikat, serta mengutamakan kesesuaian bunyi bahasa, apakah itu keselarasan bunyi, kekontrasan ataupun kesamaan (rima).

Kembali ke Puisi FZ diatas, bait ke-1 berisi 10 baris dan bermakna bahasa yang negatif, tidak berima, tidak teratur. #FailPuisi #FailSajak. Bait ke-2 berisi 7 baris dan tetap bermakna tuduhan, hujatan, dan kebencian. Tidak teratur, tidak indah, tidak berima. #FailPuisi #FailSajak. Bait ke-3 berisi 7 baris bermakna negatif dan provokasi. Sedikit teratur, sedikit berima. #FailPuisi #BitSajak. Bagi saya, sajak ini maksa.

Bait ke-4 berisi 9 baris yang bermakna negatif dan sok tahu, gak nyambung lho. Sekilas saya tangkap ada inspirasi dari permainan catur, film hantu, film soal mafia dan film koboy. Wkakaka.. saya ngga bisa kalo menulis serius lama-lama >.<   Ada sedikit keteraturan dan sedikit keselarasan bunyi rima disini. Saya kasih hashtag #FailPuisi #BitSajak.

Bait ke-5 berisi 7 baris bermakna ancaman dan menghibur diri sendiri sih #imho. Sama sekali tidak teratur dan tidak selaras bunyinya. #FailPuisi #FailSajak. Bait ke-6 yang terakhir (Thanks Lord) berisikan 2 baris saja. Seharusnya ini bisa menjadi penekanan / kesimpulan (punching line) dari rentetan kata-kata absurd diatasnya. Tapi ternyata tetap ngawur, hahaha…

Ahh syuu-dahlah mungkin memang segitu kapasitas berpikir Anggota Dewan Taman Kanak-Kanak kita (seperti yang pernah disindir oleh Gus Dur). FZ dalam cuitannya bilang Puisi tapi judul puisinya saja Sajak. Tidak konsisten, Kalau mau Puisi ya puisi saja, ikuti pakem yang berlaku dalam sastra puisi, vice versa dengan kalau mau milih nulis Sajak.

Lebih baik saya sudahi sampai disini bedah puisinya sebelum saya beneran #Pengsaaan. Omong-omong, mungkin itu puisi ditujukan buat Penista Agama yg mempertanyakan mana bidannya ya? 

Catatan beberapa puisi FZ yang lain yang menurut saya ngawur (logical fallacy).

Dua Tahun Berjalan Sudah (ditujukan untuk pemerintah Jokowi dan Jusuf Kalla)
Tak Pernah Terbayang (ditulis setelah aksi bela Islam 411)
Sajak Tukang Gusur (ditujukan untuk Ahok, sang sumber inspirasinya)
Akhir pesan saya untuk FZ, lain kali kalo mau bikin sajak sebaiknya gunakan Bahasa Rusia saja, Hahahaha

@retha putri