Thursday, February 2, 2017

Disenggol Pepo Pakai Isu Impeachment saat Konferensi Pers, Pakde Bilang “Kok Bawa-Bawa Saya?”

DUNIA HAWA - Namanya juga mantan. Selalu salah tingkah kalau sedang baper. Kelakuannya seperti ABG labil yang sudah mutusin gebetannya secara sepihak. Ia merasa dirinya distalking-in hidupnya. Dan merasa eks-gebetannya terusnya meno metionnya. Padahal, tidak terjadi apa-apa. Kekhawatirannya hanyalah sebuah halusinasi dari rasa bersalah yang berlebihan.


Itulah yang ditunjukkan SBY saat mengadakan konferensi pers di markas Partai Demokrat. SBY mengklarifikasi pernyataan Ahok dan kuasa hukumnya terkait namanya yang dibawa-bawa saat sidang kedelapan lalu, yang menghadirkan seorang saksi ahli, KH. Ma’ruf Amin. Nama SBY disebut-sebut telah menelpon Kiai Ma’ruf sebelum dikeluarkannya sikap keagamaan MUI atas Ahok.

Ahok dan kuasa hukumnya menuding kesaksian Kiai Ma’ruf tidak obyektif. Karena, menurutnya, dikeluarkannya sikap keagamaan oleh MUI untuk Ahok dipengaruhi oleh telpon SBY kepada Ketua MUI. Apalagi, setelah peristiwa telponan itu, Agus-Sylvi dan tim mengunjungi Kantor PBNU di Jakarta. Dimana, Kiai Ma’ruf, dari penyampaiannya, mendukung paslon nomor satu ini.

Sayangnya. Niat untuk mengklarifikasi tudingan Ahok dan kuasa hukumnya, Pepo malah “curcol” tentang hal-hal lain seputar fitnah yang ia dapatkan, di bagian pembuka. Sebenarnya, kalau Pepo serius merespon dan ingin mendapat pembuktian dari tudingan Ahok, tempatnya bukan di konferensi pers. Pepo datang saja ke pengadilan untuk klarifikasi di depan majelis hakim. Ini kan kita bicara soal sidang Ahok.

Atau, kalau Pepo merasa telah terjadi pencemaran nama baiknya, ya langsung saja laporkan Ahok ke kepolisian, kalau merasa tudingan Ahok dan kuasa hukumnya tidak benar dan diada-adakan. Tentu menjadi tanda tanya kita semua, mengapa harus konferensi pers? Ada agenda apa?

Saya melihat, tujuan konferensi pers tersebut bukan untuk mengklarifikasi tudingan Ahok. Tapi, tujuan sebenarnya adalah untuk menghantam Pakde Jokowi. Ini seperti peribahasa sambil menyelam, minum air. Daripada menyerang Ahok yang efeknya cuma berhenti di persidangan lebih baik serang sekalian Pakde, minimal menggertak. Seakan-akan Pepo ingin mengatakan, “Jangan macam-macam denganku yah, kamu bisa kumakzulkan.”

Pepo merasa dirinya difitnah dalangi aksi bela islam, juga aksi makar, dan aksi pemboman. Yang jadi pertanyaan adalah siapa yang menuduh Pepo seperti itu? Kalau merasa difitnah, kenapa tidak melaporkannya ke polisi? Lalu, kenapa juga Pepo harus bertemu dulu dengan Jokowi untuk membicarakan masalah ini? Apakah Pepo nggak tahu, Jokowi sedang sibuk ngurusin proyek-proyek mangkrak eranya? Lalu, untuk apa diadakan pertemuan, kalau hanya untuk membicarakan masalah yang bisa ditangani oleh pihak kepolisian?

Malah, Pepo mengatakan bahwa ada dua tiga orang yang melarang Jokowi untuk tidak mengundang Pepo. Loh, kok malah Pepo sekarang menuduh Pakde? Apakah kasus dirinya yang dianggap telah difitnah macam-macam itu cukup penting untuk dibicarakan empat mata dengan Pakde? Atau, Pepo iri melihat Probowo, yang merupakan musuh bebuyutannya, diundang makan oleh Pakde?

Pepo seolah-oleh mau mengancam Presiden dengan menceritakan tentang efek penyadapan yang berujung pada “impeachment”. Kalau Pepo merasa disadap, ya tinggal laporkan ke pihak yang berwajib. Apa sekarang Pepo jadi alergi dengan polisi, setelah Tito sudah menyatakan ke publik akan membuka kembali kasus Antasari? Sehingga, Pepo lebih percaya kepada konferensi pers untuk meminta keadilan? Ini meminta keadilan atau meminta terciptanya kegaduhan?

Pepo memang aneh. Ia bilang bahwa Ahok dan kuasa hukumnya punya rekaman pembicaraan ia dengan Kiai Ma’ruf. Bahkan, katanya, Ahok juga punya transkripnya. Padahal, dalam sidang Ahok kedelapan kemarin, tidak ada disebut rekaman apalagi transkrip. Kok jadinya, Pepo malah menuduh yang tidak-tidak?

Seharusnya, klarifikasi atas tudingan Ahok hanya butuh waktu beberapa menit saja. Dan itupun juga bisa dilakukan via twitter, sebagaimana Pepo biasa merespon. Tapi, memang bukan itu tujuan Pepo. Ada yang mau Pepo senggol, berharap yang merasa tersenggol ketakutan dan langsung ngajak ketemuan.

Ini kan seperti mantan yang no-mention eks-gebetannya di twitter dengan mencuit “Nggak ajak aku makan? Nanti aku bongkar kejelekannya baru tau rasa!” Lah, kan sudah putus, sudah nggak ada yang gimana-gimana lagi. Kok masih berani ngancam?

Sayang sungguh disayang. Senggolan Pepo untuk Pakde ditepis dengan lihai menggunakan jurus kodok dalam panci. Dengan gaya ndesonya yang polos-polos biadab, Pakde menskak-mat Pepo, “Yang berbicara itu, tanyakan saja. Tanyakan saja ke yang bicara. Jangan barangnya dibawa ke saya.”

Pakde meminta ke Pepo untuk langsung minta klarifikasi ke Ahok, buka ke dia. Ada urusan apa juga Pakde ngurusin Sidang Ahok? Malah, Pakde kan diminta untuk tidak turut campur. Kok, sekarang Pakde seolah-olah dipaksa untuk mengintervensi kasus Ahok?

Kalau kasus proyek-proyek yang mangkrak boleh saja libatkan Pakde untuk segera menanganinya. Tapi, untuk kasus Ahok, masa Presiden harus turun tangan juga. Jangan-jangan, urusan penerbitan album kompilasinya Pepo, Presiden harus ikut campur juga. Ini kan gila namanya.

Kemarin gagal dalam upaya makar, kini mau coba gertak Presiden dengan isu impeachment. Dan ternyata, hari ini ketahuan. Mengapa Pepo sengaja angkat kasus penyadapan yang berujung pada impeachment? Karena, hari ini Demokrat mengusulkan hak angket untuk merespon isu penyadapan Pepo. Duhh.. Demokrat ini nggak tahu diri. Belum juga terbukti menyadap, sudah mainkan hak angket. Mereka mengira mereka yang mayoritas di parlemen.

Saya berharap Pepo dan partainya bangun dari halusinasi berkepanjangannya tentang masa lalu yang indah, saat mereka mengeruk kekayaan negeri ini. Bangun..!! Sudah siang..!! Kak Emma tolong bangunkan mereka dong..!!

Ra(i)sa-ra(i)sanya begitulah



@muhammad nurdin


Balada si Pepo

DUNIA HAWA - Mungkin manusia yang tergelisah se-Indonesia raya adalah Pepo. Pepo selalu gelisah sejak tidak menjabat.


Ia gelisah ketika dinasti di partainya hampir terputus. Anak kesayangan satunya bukanlah calon yang bagus. Maka ditariklah bintang terangnya dari pendidikan, ia harus punya penerus.

Pepo gelisah lagi ketika satu persatu masalah pada masanya mulai terkuak. Triliunan rupiah yang dulu dikeruknya, satu persatu tampak. Mereka yang dulu patuh padanya, merasa ditinggal dan teriak. 

Ia harus berfikir seribu cara supaya tidak terjebak.

Pepo tambah gelisah ketika ada program tax amnesty. Ia harus melaporkan seluruh hartanya tanpa terkecuali. Bagaimana mungkin, bisa habis namanya ketika rekeningnya mulai digali. Apa kata dunia, kalau mereka tahu hartanya dari ujung rambut sampai ujung kaki..

Pepo gelisah dan terus berpikir keras. Dia boleh turun tapi kekuasaannya haruslah tidak terbatas. Berkuasa kembali adalah kunci yang paling cerdas. Jika itu terjadi, maka amanlah semua yang ada di brankas.

Maka berlombalah Pepo dengan waktu. Ia gelisah dan selalu terburu-buru. Harus diciptakan banyak peristiwa sebagai pengalihan isu. "Biarkan orang sibuk, supaya mereka tidak fokus ke aku.."

Ia kembali gelisah ketika tidak pernah diundang. Duh, berarti si tukang kayu tahu siapa yang ada di belakang. Akhirnya ia pakai cara lama yang dulu nendang. Gaya prihatin dan dizolimi biasanya selalu mengundang sinpati orang.

Itulah kenapa Pepo selalu muncul di publik. Dengan gaya kadang marah karena merasa diusik. Ia selalu membuat situasi berisik. Ketika situasinya panas, ia muncul dengan wajah sedih dan berkata, "kalian semua ngga asik.."

Pepo selalu merasa gelisah. Ia terpenjara karena begitu cinta dunia. Harta berjibun ternyata tidak bisa membuatnya menikmati hari tua.

Teringat perkataan manusia yang sangat bijaksana. "Ketika Tuhan hendak menghilangkan nikmat seseorang, maka pertama kali yang dihilangkan adalah nikmat akalnya.."

Kunikmati hidupku sambil kutonton drama ini. Aku bersyukur dalam hati, ternyata sedikit itu jauh lebih berarti.

Sambil mengambil pelajaran kuangkat secangkir kopi. "Tuhan, jangan jadikan aku seperti Pepo di masa tuaku nanti..

@denny siregar


SBY Hendaknya Buktikan Tudingannya Tentang Orang Hebat Disekeliling Jokowi

DUNIA HAWA - Efek domino yang ditimbulkan oleh Ahok dengan permasalahannya sudah menjalar dan menerpa kemana-mana. Dalam sidang kasus penodaan agama ke 8 kemarin, nama Sby pun disebut-sebut. Terkait pertanyaan kuasa hukum Ahok kepada saksi, KH. Maruf Amin.


Untuk menggali kenetralan saksi yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum, kuasa hukum Ahok mengorek keterangan guna mencari kebenaran dan keadilan bagi kliennya, lantas menanyakan apakah ada telpon sebelumnya antara saksi dengan mantan presiden 6, SBY, membahas permintaan mengatur pertemuan Agus-Sylvi dengan PBNU dan penerbitan fatwa kasus Ahok.

Jawaban saksi bahwa tidak pernah melakukan pembicaraan lantas diakhiri pernyataan kuasa hukum Ahok bahwa mereka memiliki bukti terkait hal itu. Bukti yang dimaksud sebagaimana disebutkan adanya komunikasi. Tidak ada penyebutan dalam bentuk rekaman maupun transkrip.

Mendengar proses persidangan ini dan ada menyinggung namanya, Sby pun gerah dan selanjutnya melakukan konperensi pers. Seperti biasa, dimulai dengan kalimat-kalimat syahdu mendayu-dayu yang hampir mirip dengan lagu-lagu ciptaannya. Ditutup dengan memposisikan dirinya menjadi korban.

Selanjutnya menyinggung tentang pertemuannya dengan Jokowi yang selama ini belum kesampaian. Keinginan SBY untuk bicara blak-blakan belum mendapat kesempatan.

Siapa yang melaporkan kepada beliau, yang memberikan informasi intelijen kepada beliau, yang menuduh saya mendanai aksi damai 411, menunggangi aksi damai itu, urusan pengeboman dan juga urusan makar.

Saya ingin sebetulnya menyampaikan klarifikasi yang baik dengan niat dan tujuan baik. Supaya tidak menyimpan, baik Pak Jokowi maupun saya, prasangka, praduga, perasaan enak dan tidak enak, atau saling bercuriga.

Beliau Presiden Republik Indonesia, Presiden kita, saya juga pernah memimpin negeri ini sebelum beliau. Karena itu bagus kalau bisa bertemu, saling blakblakan lah apa yang terjadi, apa yang beliau dengar. Supaya ada dialog mana yang benar dan mana yang tidak benar.

Saya diberitahu konon katanya, ada ada tiga sumber yang memberi tahu saya, beliau ingin bertemu saya. Cuma dilarang oleh dua-tiga orang di sekeliling beliau.

Nah dalam hati saya, hebat juga ini orang yang bisa melarang Presiden bertemu mantan sahabatnya yang juga mantan presiden.

Disini saya tidak akan membahas terlalu banyak keluhan-keluhan dari konpersensi pers kemarin. Eman-eman wektune. Namun beberapa point saja karena sudah mengaitkan dengan nama presiden sah yang dipilih oleh rakyat, Bapak Haji Ir. Joko Widodo.

Bukan hanya Jokowi saja yang bingung, sampai sekarang penonton pun juga ikut tidak mengerti pemikiran orang-orang. Segala permasalahan Ahok ujung-ujungnya dikaitkan dengan Presiden. Sejak dari demo-demo kemarin dan SBY pun tidak mau ketinggalan menyinggung nama Jokowi.

Tentang masalah penyadapan, kuasa hukum Ahok sudah jelas dan terang benderang menyatakan bahwa bukti yang mereka miliki tidak disebutkan dalam bentuk rekaman maupun transkrip, namun hanya sebatas komunikasi. Komunikasi bisa berupa keterangan saksi yang mendengar pembicaraan dan bisa juga orang yang mendapat cerita dari para pelaku atau yang mengetahuinya.

Kemungkinan lain, seperti diakui oleh SBY sendiri bahwa beliau menelpon lewat staff KH. Maruf Amin lalu disambungkan, nah..bisa saja staff ini yang dikatakan sebagai saksi bahwa ada komunikasi antara SBY dan Ketua MUI tersebut.

Berita yang belum jelas soal kebenaran adanya penyadapan sudah ditanggapi berlebihan hingga mengaitkan dengan kasus Watergate yang menyebabkan mundurnya Presiden Amerika, Nixon. Ini sudah semacam menggiring pembentukan opini publik apabila benar terjadi penyadapan maka konsekwensinya Jokowi harus mundur. Padahal jika benar telponnya disadap, itu juga belum tentu atas arahan Presiden.

Selanjutnya point kedua terkait paragraf pidato SBY.

Selama ini sering SBY mengucapkan adanya laporan intelijen istana yang salah tentang dirinya. Namun kenapa sekelas mantan Presiden yang menjabat selama 2 periode dalam melakukan konperensi pers masih menggunakan kata “konon” dijadikan dasar rujukan. Arti dari kata konon itu setahu saya belum jelas kebenarannya. Bisa hanya rumor, isu ataupun gosip.

Dampak dari ucapan tersebut juga telah menjadikan polemik serta menimbulkan pandangan negatif masyarakat pada orang-orang disekeliling Presiden dan Jokowi sendiri. Opini masyarakat pun akan menilai bahwa Jokowi adalah Presiden yang mudah diatur oleh orang-orang dekatnya. Tidak memiliki ketegasan dan kepribadian sendiri untuk memutuskan suatu masalah ataupun keinginan, tapi sekedar boneka yang digerakkan oleh 2 atau 3 orang disekelilingnya.

SBY yang menyatakan bahwa dirinya adalah sahabat Jokowi, tentunya tidak ingin melihat  sahabatnya mendapat penilaian negatif dari masyarakat. Sebagai sahabat sejati, dalam suka dan duka pasti akan selalu berada disampingnya. Memberikan support dan bantuan yang dibutuhkan.

Untuk itu alangkah bijak dan baik hati apabila SBY bersedia menyebutkan siapa orang-orang hebat yang dimaksud dan bisa melarang Presiden untuk menemui beliau.

Salam Anu

@elde


Dalilkan SBY “Disadap”, Wacanakan Hak Angket, Skenario Terbongkar

DUNIA HAWA - SBY sedang panik. Kepanikan SBY bisa dilihat dari wacana mengulirkan hak angket yang telah diwacanakan oleh Demokrat sehari pasca konfrensi pers yang dilakukan SBY. Hak Angket diwacanakan akan digulirkan untuk menyelidiki terkait skandal penyadapan pembicaraan Presiden RI keenam, SBY dengan Ketua Umum MUI, Ma’ruf Amin. Tentu hak angket adalah hak anggota DPR dan itu sudah diatur dalam UU Nomor 10/2016 Tentang MD3, Namun yang jadi persoalannya saat ini, wacana untuk menggulirkan hak angket yang diwacanakan Demokrat adalah penuh dengan unsur politis. Selain penuh unsur politis, wacana hak angket juga membuka rahasia kelam SBY terhadap rakyat miskin Indonesia.


Jika Demokrat berdalih hak angket akan digulirkan bukan karena kepentingan politik, tetapi untuk menyelidiki pelanggaran konstitusi  dan UU Nomor 19/2016 atas Perubahan UU Nomor 11/2008  Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, karena telah berdampak terhadap kepentingan masyarakat. Dan terkait SBY yang merasa telah disadap, SBY sama sekali tidak bisa menujukan bukti bahwa telah disadap, karena SBY baru sebatas merasa disadap. Dan jika baru ‘’merasa’’, itu belum tentu benar, dikarenakan justru itu  sebagai bentuk fitnah seolah-olah diarahkan kepada pemerintah, tanpa bisa sedikitpun membeberkan tbukti penyadapan tersebut.

Justru yang menjadi pertanyaan besarnya saat ini adalah mengapa UU ITE yang harus diangketkan setelah SBY merasa disadap? Jika memang tidak ada kepentingan politik SBY dan Demokrat, mengapa tidak mewacanakan jauh-jauh hari? Jika Demokrat berbicara bahwa mewacanakan hak angket karena SBY ‘’merasa’’ disadap,  justru itu tidak ada dampaknya sama sekali terhadap masyarakat luas.

Apa dampaknya terhadap masyarakat jika itu menimpa SBY terkait kepentingan politiknya di Pilkada DKI? Tidak ada! Dari sinilah terlihat adanya kepentingan politik Demokrat dibalik wacana hak angket atas penyadapan yang dirasakan SBY. Karena jika Demokrat bicara berdampak luas terhadap masyarakat, ada yang lebih luas lagi dampaknya ketimbang UU ITE yang akan diangketkan hanya karena Demokrat yang tidak terima nama Ketua Umum Demokrat terseret dan merasa telah disadap.

Pertanyaan besarnya mengapa Demokrat justru diam saja dan membiarkan adanya dampak besar dan sangat luas yang dirasakan masyarakat terkait UU Nomor 30/2009 Tentang Ketenagalistikan, jelas-jelas bertentangan dengan konstitusi, dan ingat UU ini yang dikeluarkan di masa pemerintahan SBY pada 2009. Berdampak luas terhadap masyarakat, dikarenakan energi listrik adalah hajat hidup orang banyak, karenanya perhitungan tarif dasar listrik (TDL) harusnya didasarkan pada kebijakan negara bukan justru mengacu pada mekanisme pasar, terlebih lagi dalam UU Ketenagalistrikan memberikan celah bagi swasta untuk terlibat dalam penyediaan listrik dengan mengintervensi PLN, yang bisa berdampak tingginya TDL

Karena dengan mengacu perhitungan TDL berdasarkan mekanisme pasar, justru masyarakat yang akan semakin berat, terlebih lagi banyak keluarga yang tidak mampu yang tidak sanggup membayar TDL yang dirasakan tidak adil bagi mereka. Mengapa Demokrat membiarkan UU Ketenagalistrikan khususnya yang menyangkut cara menghitung TDL,  yang jelas berdampak luas terhadap kehidupan masyarakat dan sangat bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 33???

Mengapa itu dibiarkan jika Demokrat sungguh-sungguh peduli dengan dampak di tengah masyarakat? Tetapi mengapa Demokrat saat itu tidak mewacanakan hak angket  jika dalil dari diwacanakannya hak angket terhadap UU ITE dikarenakan telah berdampak luas terhadap masyarakat? UU Ketenagalistrikan dampaknya lebih luas terhadap masyarakat, tapi Demokrat diam saja!

Mengapa Demokrat hanya mengurusi UU ITE, sehari pasca konfrensi pers SBY dan melupakan masa lalunya, jawabannya sudah pasti adalah karena adanya kepentingan Demokrat dan SBY dalam Pilkada DKI Jakarta. Dan perlu ditegaskan bahwa kuasa hukum Ahok sama sekali tidak pernah menyebut memiliki bukti penyadapan ataupun bukti transkrip penyadapan, tetapi yang anehnya tiba-tiba , SBY ‘’merasa’’ telah disadap? Aneh tapi nyata, karena ini jelas motifnya politik, seolah-olah ada penyadapan sehingga SBY mendapatkan simpati dari masyarakat, demi kepentingannya dalam Pilkada DKI, ini dilakukan untuk kembali menggerek elektabilitas AHY-Sylviana yang turun drastis pasca debat kedua.

Jika SBY merasa disadap, mengapa SBY hanya melakukan konfrensi pers, mengapa SBY tidak melaporkan orang yang menyedapnya tersebut, terlebih lagi SBY ingin mendapatkan keadilan, SBY bisa membuat laporan sebagai saksi korban, nah dalam posisinya sebagai korban penyadapan, tentu harus ada bukti petunjuk bahwa benar telah disadap, tetapi SBY tidak memiliki bukti tersebut, sehingga tidak berani melaporkan tuduhannya tersebut , yang ada SBY hanya ingin menghangat-hangatkan suasana. Dan SBY jelas tidak berani melaporkan dikarenakan memang tidak ada penyadapan.

Dan tujuan dari konfrensi pers itu apa? Jelas terlihat ada upaya SBY memfitnah orang-orang disekeliling Jokowi, yang disebutnya melarang Jokowi bertemu dengannya. Jika memang benar ada orang yang melarang Jokowi bertemu dengannya, mengapa SBY tidak menyebut siapa nama orang yang melarang Jokowi bertemu dengannya, toh bisa tahu ada 2-3 orang, berarti SBY sudah tahu namanya. Tapi, mengapa SBY tidak menyebut nama-nama 2-3 orang tersebut? Karena itu memang tidak ada dan itu adalah fitnah karena SBY sama sekali tidak bisa membuktikan tuduhannya terkait siapa nama 2-3 orang yang dimaksudnya tersebut!

Selain itu SBY juga telah memberi pesan kepada Jokowi ,pesan yang tersirat sangat jelas dalam analogi skandal Watergate di AS pada tahun 1973, yang berujung dengan di-impeach karena terbukti ada penyadapan. Dan kemarin itu yang diarahkan SBY jelas mengarah kepada Jokowi, Dan itu sejalan yang sedang diupayakan Demokrat hari ini yakni menggalang dukungan hak angket dari partai politik lain agar memenuhi syarat pengguliran hak angket, dan berbahayanya jika hak angket berlanjut pada hak menyatakan pendapat. Jadi terlihat jelas konfrensi pers SBY kemarin bemuatan politik dan tujuan politik tertentu.

Tapi SBY hanya bisa melempar hal-hal yang bisa menghangatkan suasana saja tanpa bisa membuktikan ucapannya dan itu adalah fitnah Kemudian, jika SBY merasa disadap, apa bukti penyadapan tersebut, bisakah SBY dan kuasa hukumnya menujukan bahwa ini loh bukti SBY telah disadap, karena jika SBY berbicara ‘’merasa’’ sudah disadap, itu sama saja melakukan fitnah apalagi tanpa bisa membuktikan tuduhannya tersebut.

Dan Jika dalilnya hanya menyelidiki pelaksanaan UU, ada banyak UU yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak terhadap kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, termasuk UU Ketenagalistrikan yang diterbitkan pada saat SBY masih menjadi Presiden.

Tapi mengapa hari ini Demokrat  ‘’mendadak’’ dan seolah kebakaran jenggot, mewacanakan hak angket terkait SBY yang merasa telah disadap, tanpa bisa menunjuk siapa orang yang telah menyadapnya? Ada muatan politik didalamnya. Karena dengan bermain diranah hukum tata negara melalui hak angket yang sudah diwacanakan dan sedang diupayakan dukungan dari partai lain, tentu memiliki tujuan politik jahat kepada Jokowi, apabila hak angket berujung pada hak menyatakan pendapat. Dalilnya karena SBY ”merasa” disadap, jadi diwacanakan hak angket, padahal ada tujuan tersembunyi dibalik wacana hak angket tersebut dan itu sejalan dengan makna konferensi pers SBY kemarin.

@ricky vinando


Upaya Benturkan NU-Ahok adalah Politik Murahan

DUNIA HAWA - Ada upaya membenturkan NU dengan Ahok setelah lanjutan persidangan kasus penistaan agama yang dituduhkan kepada Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Setelah gagal memainkan politik melalui FPI, sekarang ingin memakai NU untuk mendelegitimasi Ahok sebagai calon gubernur. Sungguh ini adalah politik murahan.


Upaya membenturkan NU-Ahok ini terlihat jelas setelah Kyai Ma’ruf Amin bersaksi di pengadilan atas nama MUI. Sikap Ahok yang mempertanyakan kesaksian Kyai Ma’ruf seolah-olah dianggap sebagai sikap merendahkan pimpinan tertinggi NU. Padahal, dalam persidangan ini tidak ada sangkut pautnya dengan NU. Pihak-pihak lain yang berulah, tapi NU yang harus menanggung getahnya.

Tidak Goyah


Meskipun demikian, warga Nahdliyin tidak akan goyah dan tidak mudah diprovokasi. NU adalah organisasi besar yang di dalamnya banyak aktivis dan intelektual yang bisa membaca persoalan dengan jernih. NU adalah pelindung bagi segenap komunitas dan selalu menjadi garda terdepan dalam menjaga keseimbangan bangsa untuk selalu teduh dan damai.

Permainan politik murahan dan provokasi kebencian tidak akan bisa menggoyahkan kesolidan NU untuk tetap menjadi organisasi moderat.

Jika ada sebagian warga NU yang cenderung reaktif dan marah melihat proses persidangan yang terkesan memojokkan sosok panutannya, maka sikap ini adalah wajar. Hal ini karena warga NU memiliki sikap ta’dzim yang tinggi terhadap Kyai dan menempatkannya sebagai sosok panutan.

Namun kemarahan warga NU tidak akan bisa diprovokasi oleh pihak-pihak yang berkepentingan, karena warga NU juga sadar, inilah konsekuensi logis dari persidangan yang menempatkan setiap orang memiliki kedudukan dan hak yang sama di depan hukum.

Derajat moral yang tinggi, posisi sosial yang prestisius dan berbagai atribut yang melekat dalam diri seseorang harus dilepas di mata hukum. Setiap orang harus tampil sebagai pribadi yang objektif dan independen untuk menunjukkan bukti-bukti material-formal yang diperlukan dalam hukum positif demi tegaknya keadilan.

Hal ini sudah menjadi kesepakatan bersama dalam menetapkan Indonesia sebagai negara hukum. Atas kenyataan ini maka Nahdliyin kembali menata hati agar emosi yang membara tidak sampai membakar sendi-sendi kehidupan berbangsa dan merusak kesepakatan yang telah ditetapkan bersama.

Mendadak Jadi NU


Sayangnya, provokasi ini semakin gaduh setelah banyak pihak mendadak jadi NU. Mereka yang dulunya menghujat NU dan mencaci maki tokoh-tokoh NU tiba-tiba mendadak jadi NU. Mereka menampilkan wajah prihatin kepada NU dan mengecam Ahok secara terang-terangan. Padahal tujuannya jelas, yaitu memainkan kartu massa NU melalui setingan membela Kyai Ma’ruf Amin.

Sungguh suatu sikap buruk yang mencerminkan kerakusan dalam politik kekuasaan. Kalau murni ingin bela NU, semestinya mereka mesti ikut tahlilan, ziarah kubur, sholawatan, menyebarkan wajah Islam yang ramah, moderat, dan toleran. Turut  bahu membahu menjaga NKRI, Bhineka Tunggal Ika, UUD 45, dan Pancasila. Bukan dengan menunggangi NU untuk mendapatkan legitimasi umat Islam atas politik yang berkembang mutakhir.

Menjadi kader NU haruslah dengan tulus, ikhlas dan penuh cinta kasih tanpa kepentingan politik. Sebagaimana dawuh (perkataan) KH. Hasyim Asy’ari, “Marilah anda semua dan segenap pengikut anda dari golongan para fakir miskin, para hartawan, rakyat jelata dan orang-orang kuat, berbondong-bondong masuk Jam’iyyah yang diberi nama Jam’iyyah Nahdlatul Ulama. Masuklah dengan penuh kecintaan, kasih sayang, rukun, bersatu dan dengan ikatan jiwa raga.”

Namun dalam sisi yang lain kita patut bangga, sebagai seorang ulama yang tidak saja alim, tetapi juga arif dan wara’, Kyai Ma’ruf Amin telah menunjukkan suri tauladannya dengan memaafkan Ahok dan tidak melibatkan massa dan para santrinya dalam masalah ini.

Beliau pasti akan mencegah umat melakukan gerakan masa untuk membelanya atas nama apapun. Karena aksi dengan gerakan massa tidak saja mengganggu dan merusak hukum yang telah menjadi kesepakatan bersama, tetapi juga berisiko menimbulkan kemudaratan yang lebih besar.

Begitu juga dengan Ahok, ia telah menunjukkan sikap ta’dzim-nya terhadap Kyai Ma’ruf dengan permohonan maaf yang tulus dan berjanji tidak akan membawanya ke ranah hukum. Meskipun ia dan para pengacaranya memiliki hak konstitusional untuk melakukan proses hukum pada para saksi yang dianggap merugikan, sebagai upaya pembelaan diri di hadapan hukum, namun hal itu tidak ia lakukan. Suatu sikap yang sangat jarang dimiliki pemimpin di negeri ini.

Inilah cara penyelesaian masalah yang khas NU yang lebih mengutamakan kemaslahatan umat daripada melibatkan umat yang bisa memancing kericuhan dan menimbulkan masalah yang lebih besar. Warga Nahdliyin sadar, bahwa menjaga proses peradilan yang jujur dan fair serta menegakkan hukum yang adil merupakan cara terbaik membela muruah dan martabat Kyai Ma’ruf Amin.

Oleh karena itu, jangan ada lagi yang mengadu domba NU demi kepentingan politik. Jangan pernah mencoba-coba untuk melibatkan NU dalam persoalan politik Pilkada di Ibu Kota. Warga NU harus tetap menjaga marwah NU. Jangan sampai NU dimanfaatkan pihak lain untuk kepentingan politik murahan. NU akan tetap sebagai benteng pertahan dan senantiasa menjaga negara-bangsa dari kehancuran.


@ahmad hifni



Politik Bunuh Diri Ahok dan Suasana yang Dimanfaatkan SBY

DUNIA HAWA - Setelah sidang-sidang Ahok sebelumnya yang menghadirkan saksi pelapor, tim kuasa Ahok berhasil membuka satu demi satu keburukan FPI. Mulai dari saksi yang tidak jujur, sampai saksi yang dalam berita BAP sama persis dengan yang lain,bahkan sepatu yang dikenakan mereka.


Dengan kata lain,Tim Ahok berhasil membongkar kedunguan FPI. Angin segar berhembus, Ahok berhasil mendapat kepercayaan masayarakat kembali.  Masyarakat yang sebelumnya terlibat aksi bela Islam dan mendukung Rizieq Shihab sedekit demi sedikit tercerahkan, bahwa setidaknya mereka mendukung kelompok yang bukan berniat membela Islam tapi membela kelompoknya sendiri.

Namun sidang ke-8, sangat disayangkan, Ahok kurang bisa menahan diri. Ia melakukan politik bunuh diri. Saat itu saksi dari MUI yang dihadirkan oleh jaksa penuntut umum adalah KH. Ma’ruf Amin, yang menjabat sebagai ketua MUI sekaligus Ro’is Syuriah NU.

Entah kenapa yang dhadirkan bukannya Bachtiar Nasir, yang juga menjabat sebagai wakil sekretaris MUI sekaligus ketua GNPF-MUI, yang paling getol membuat aksi untuk menjatuhkan Ahok. Kesaksian Ma’ruf Amin di pengadilan tentu membuat sebagian pihak menjadi bingung, apakah  beliau mewakili NU atau karena kapasitasnya sebagai ketua MUI.

Hal yang paling sangat disayangkan adalah ketika Ahok menuding KH. Ma’ruf Amin mendapat telepon dari SBY untuk kemenangan paslon no 1, sebab itu artinya membawa Ahok pada kasus yang lebih besar. Sebagian warga NU yang awalnya sangat simpati menjadi kecewa.

Kok Ahok gak bisa jaga perkataan pada sesepuh NU? Demikian tudingan orang-orang NU. Bukannya selama ini para elite dan sebagian warga NU-lah yang dengan tegas menolak gerakan FPI untuk mengganyang Ahok? Lalu kenapa sekarang balik melaporkan kyai Ma’ruf yang nota bene petinggi NU juga pada polisi?

Memang, posisi Ahok sebagai tersangka membuatnya jadi semakin tak sabaran. Sidang demi sidang tak ada yang memuaskan. Ia terancam kurungan. Berbagai strategi ia lancarkan agar bisa menang di persidangan. Tapi trik Ahok kali ini gagal. Meskipun mungkin saja fatwa MUI ada sangkut pautnya dengan politik atau katakanlah ada pihak memaksa, tapi menyerang Kyai Ma’ruf Amin dianggap kurang beradab.

Masyarakat akan beranggapan, jika Ahok menyerang GNPF-MUI itu tak masalah. Beberapa pihak juga banyak yang antigerakan GNPF MUI. Para elite NU pun juga banyak yang tak setuju. Tapi menyerang salah satu ulama NU jelas salah besar. Meskipun sudah dijelaskan sejak awal bahwa Kyai Ma’ruf Amin bukan saksi dari NU, tapi dari MUI.  

Mendengar sikap Ahok dan tim kuasanya yang ingin menyudutkan salah satu elit NU, Banser dan GP Ansor berang. Mereka bahkan siap-siap mau demo jika memang Kyai Ma’ruf Amin dipolisikan. Hal ini pula yang kemudian membuat kelompok yang dari awal ingin kejatuhan Ahok tiba-tiba dengan semangat ingin mendekat pada NU. Dengan dalih ingin menyelamatkan Ma’ruf Amin dan dengan tagline gerakan bela ulama NU.

Media sosial ramai. Orang-orang yang tadinya sangat membenci ulama NU karena dianggap tidak mendukung FPI, lalu koar-koar siap ikut barisan BANSER dan GP Ansor. Orang-orang yang tadinya sering memfitnah ulama NU, semisal Gus Dur,Gus Mus, Quraish Shihab, dan Said Aqil Siradj, dengan tuduhan syiah, sesat,liberal dan sebagainya kemudian yang paling lantang mengambil sikap bela ulama.

Mereka bahkan siap demo besar-besaran, lebih besar dari tiga demo sebelumnya.

Tim kuasa Ahok kualahan. Mereka menyadari kesalahan. Meskipun memang awalnya mungkin tidak ada  niatan untuk mengadukan Ma’ruf Amin pada polisi, tapi masyarakat yang kadung marah tidak bisa dibisiki hanya dengan permintaan maaf lewat video. Kesalahan Ahok saat ini terlanjur fatal. Ia lantas juga harus berhadapan dengan SBY yang memang sangat menginginkan anaknya untuk menduduki jabatan.

Ahok pun harus makan buah simalakama. Ia jatuh lagi pada kubangan atas kecerobahannya sendiri.

Beruntung orang-orang yang menjabat di elite NU adalah orang-orang berilmu, beragama, dan berintegritas. Mereka menilai suasana seperti ini jelas akan dimanfaatkan oleh kaum radikal yang sejatinya ingin kejatuhan NU dan beberapa partai politik yang sangat  ingin mengambil alih pemerintahan Jokowi. Negara bisa semakin chaos jika elite NU membiarkan warganya untuk ikut demo.

Oleh karena itu, Said Aqil berusaha menenangkan warganya. Yenni Wahid mengajak Banser dan Ansor untuk menahan sikap. Bahkan Ma’ruf Amin sendiri menyatakan memaafkan Ahok dan mengajak semua orang islam untuk memaafkannya. Case Close. Masalah Selesai.

Jika masalah dianggap selesai oleh NU karena memang orang-orangnya penuh maaf, tapi tidak bagi SBY. Dia sangat menantikan situasi ini. Sebelum-sebelumnya SBY hanya bisa curhat melalui Twitter karena kurang dukungan dari masyarakat, maka kali ini dia mulai berani menampakkan diri. Konferensi pers digelar untuk menjawab tudingan tim Ahok beberapa menit setelah persidangan.

Dia bahkan mengatakan akan menggiring Ahok dan tim kuasanya ke penjara karena telah mematai-matai percakapannya. Mantan presiden ini pula beberapa kali menyinggung  jika banyak pihak yang telah membuat fitnah kepadanya dengan mengatakan bahwa aksi demo FPI dan GNPF MUI adalah hasil perbuatannya. Dia berharap Jokowi mengundangnya ke istana untuk menjawab tuduhan makar yang  sering dialamatkan padanya.

Ya, sayang sekali memang, Ahok yang jujur harus berhadapan dengan orang-orang yang mata duitan. Ahok yang pekerja keras dan ingin berbakti pada negeri harus berhadapan dengan kelompok rasis yang hanya mementingkan diri sendiri.

Ahok yang menentang keras koruptor, harus berhadapan dengan para petinggi yang gemar main uang kotor. Kerja keras nya telah membuat pembangunan Jakarta lebih berkembang, membuat jalan tak lagi dikelilingi air tergenang harus dibayar dengan fakta persidangan yang melelahkan.

Seandainya saat itu ia tetap pada pendirian, tetap maju sebagai calon indepeden. Tetap rendah hati menghadapi kelompok yang telah menganggu kredibitasnya, mungkin kejadian ini tak terjadi. Tapi tak mengapa, kejadian ini membuatnya harus introspeksi diri dan mulai belajar pada Jokowi, untuk cuek terhadap fitnah dan tetap bekerja keras, lalu menunjukkan pada masyarakat prestasinya.

Bagaimanapun kesalahan perkataan Ahok, saya masih melihat dedikasinya pada negeri. Jakarta di tangannya sudah jauh lebih baik dan berbenah diri. Dari lubuk hati yang dalam, saya masih berharap tahun ini ia tetap terpilih lagi untuk menjadi gubernur yang ikhlas mengabdi. 

Selanjutnya kita akan lihat, bagaimana sikap Jokowi pada SBY. Kasus Ahok ini memang seperti novel yang belum habis dibaca. Halamannya masih panjang dan alur ceritanya seringkali penuh teka teki dan sering tak terduga. Jika pemerintah tidak mampu meredam orang-orang haus kekuasaan yang sering membungkusnya atas nama agama, bukan tak mungkin Indonesia mengikuti negara Arab lain yang mati penuh derita karena gerakan Islam radikal merajalela.

Tapi saya berharap tidak, Indonesia masih punya ulama NU yang tetap berdiri tegak memperjuangkan agama dengan empat pilar: tawassuth, tawazun, tasamuh, dan i'tidal (moderat, seimbang, toleran, dan tegak). 


@anisatul fadhilah


SBY Tertekan, Jokowi Tertawa, Ahok Terpingpong

DUNIA HAWA - Konferensi pers yang dilakukan Pak Mantan Susilo Bambang Yudhoyono menuai banyak respon dari pihak-pihak tertentu. Ia merasa dizalimi karena adanya dugaan kasus penyadapan pohon karet yang ada di depan rumahnya. Oops. Maksud saya dugaan kasus penyadapan yang dilakukan terhadap dirinya. Ia mengatakan bahwa ada indikasi ke arah sana. Pak Mantan juga mengatakan (atau lebih tepatnya: berhalusinasi) bahwa ada tiga orang abdi dalem istana yang melarangnya untuk bertemu dengan Pak Dhe.


“Ada tiga sumber yang memberi tahu saya, bahwa beliau (Jokowi) juga ingin bertemu saya tapi dilarang dua-tiga orang di sekeliling beliau. Dalam hati saya hebat juga bisa melarang Presiden bertemu sahabatnya yang juga mantan presiden,” – Mantan Kekasih Jiwa

Padahal setelah media massa cetak maupun online mengecek kebenaran tersebut kepada istana, istana tidak membenarkan hal tersebut. Apa yang Pak Mantan katakan di dalam kasus ini, sungguh merupakan hal yang janggal.

“Sama sekali enggak ada pelarangan” – Pramono Anung (Sekretaris Kabinet)

Satu tangkisan telak disampaikan langsung oleh Sekretaris Kabinet Presiden. Penangkisan pertama mungkin tidak membuat orang dan pendukung Pak Mantan puas dan mungkin ini hanyalah suatu hal yang bersifat formal. Namun respon istana tidak berhenti sampai penyataan bahwa tidak ada yang melakukan pelarangan. Istana menantang kembali Pak Mantan yang sedang kesusahan dan kekeringan cinta itu dengan pernyataan yang bertanya kembali.

“Tanyakan saja ke Pak SBY (siapa yang melarang Presiden Jokowi bertemu SBY)” – Pratikno (Mensegneg)

Ini baru sanggahan kedua. Di dalam dunia tinju, dua kali serangan itu belum membuat tumbang seorang lawan. Setelah jab oleh Pak Pramono, cross oleh Pak Pratikno, maka untuk ketiga kalinya uppercut dilangsungkan oleh Pak Johan Budi yang memiliki kapasitas sebagai staff khusus komunikasi.

“Sekarang kan era terbuka, saya sarankan sama Pak SBY disebut saja siapa yang menghalangi,” – Johan Budi (Staf Khusus Komunikasi).

Hmm.. Sudah kuduga…Apa yang kuduga? Tentu saya menduga bahwa ia mungkin memiliki teman halusinasi, atau yang sering diistilahkan dengan imaginary friend di dalam dunia psikologis.

Menurut Abang Wikipedia, saudara dari Om Gugel, teman imajinasi adalah fenomena psikologis dan sosial ketika pertemanan atau hubungan interpersonal lainnya berlangsung dalam ranah imajinasi dan tidak nyata. Teman imajinasi seolah-olah sangat nyata, namun anak-anak biasanya tahu bahwa teman imajinasi mereka tidak benar-benar ada.

Seluruh yang dikatakan Pak Mantan itu benar menurutnya. Mungkin teman itu sangat nyata di hidupnya. Satu hal yang paling menakutkan adalah ketika apa yang ktia angan-angankan, apa yang kita impikan, apa yang menjadi obsesi kita, begitu nyata di dalam hidup kita, namun sebetulnya tidak ada. Inilah yang sangat mungkin diidap oleh orang ini.

Pak Mantan bukan hanya tidak memiliki sahabat halusinasi, namun ia sangat mungkin memiliki dua pribadi yang begitu berbeda satu sama lain. Kepribadian ganda dikenal dengan sebutan Gangguan Identitas Disosiatif (Dissociative Identity Disorder). Sebenarnya, sebagian orang pernah mengalami disosiatif ringan, misalnya melamun atau hilang arah ketika sedang mengerjakan sesuatu. Namun, kepribadian ganda adalah bentuk dari disosiatif yang sudah berat, seberat harga diri anda, Pak Mantan.

2 November dan 1 Februari merupakan dua tanggal yang dapat mengindikasikan bahwa Pak Mantan mengidap gangguan ini.

Pada tanggal 2 November, Pak Mantan yang baru diputusin mungkin masih terbawa emosi dan masih dirundung kisah sedih di hari Minggu yang tidak menyenangkan.

“Jangan sampai beliau dianggap kebal hukum. Ingat equality before the law, itu adalah bagian dari nilai-nilai demokrasi. Negara kita negara hukum.” – Susilo Bambang Yudhoyono, 2 November 2016

Namun kemarin (1 Februari di Wisma Proklamasi, SBY bicara dengan lembut dan sorot mata yang lebih teduh, seolah-olah sudah berhasil move on, namun sepertinya ia hanya semakin pintar untuk menutupi kebohongan yang ada. Tangan kanannya terus memegang mikrofon seperti memegang sesuatu yang keras dengan tegang (hush jangan mikir HR dan FH), tidak menunjuk-nunjuk seperti ketika jumpa pers di Cikeas.

“Saya juga dituduh mendanai dan bahkan menunggangi aksi damai itu, bahkan belakangan katanya menyuruh membom Istana Merdeka, di mana 10 tahun saya tinggal di sana dulu. Katanya juga SBY dalang dari rencana makar yang kemarin akan dilaksanakan.” – Susilo Bambang Yudhoyono, 1 Februari 2017

Waduh.. Bapak Mantan ini kemungkinan besar memiliki raisa sayang yang tidak pernah diungkapkan, dan sekarang untuk menyesal-pun mungkin ia tidak bisa. Seluruh budaya Cikeasnya yang awalnya ingin di asimilasikan dalam pemerintahan saat ini sepertinya masuk ke tahapan gatot alias gagal total.

Ia mengatakan dengan sangat yakin bahwa Pak Ahok memiliki transkrip pembicaraan Pak Mantan dengan Ketua MUI. Dugaan yang diduga Pak Mantan disampaikan dan dimanifestasikan di dalam kalimat-kalimat yang sangat tidak terduga, alias sangat meyakinkan. Padahal tentunya di dalam konfirmasi yang diberikan oleh pihak Pak Ahok dan Tim Pengacaranya, jelas itu bukan penyadapan. Pak Ahok mengklaim ia memiliki bukti. Mengapa sampai disimpulkan oleh Pak Mantan sebagai dugaan penyadapan? Sekali lagi, ini hanya merupakan “halusinasi” yang mengindikasikan adanya “kekhawatiran” yang berlebih dan dimanifestasikan di dalam kepribadian dan gangguan yang mungkin diidap oleh Pak Mantan. Dusta apa lagi yang akan kau perbuat, Pak Mantan? Hasutan macam apa lagi yang akan kau lakukan, Pak Mantan? Kejadian apa lagi yang akan kau dustakan, Pak Mantan? Sudahi saja seluruh permainan romansa cinta berbau mayat ini, Pak Mantan. Jangan sampai Tuhan bosan dengan Anda, Pak Mantan.

Hal yang paling menyejukkan dunia perpolitikan saat ini, menurut saya adalah respon dari Pak Dhe Jokowi. Respon Pak Dhe di dalam menanggapi apa yang Pak Mantan katakan ini menurut saya sudah tepat. Ia tidak akan terpancing dengan hasutan Sang Mantan yang begitu memiliki rasa terpendam yang sudah basi dan mulai dipenuhi oleh ulat-ulat yang menggerogoti kebusukan itu. Pak Dhe tidak merespon karena ia tau bahwa ketika Pak Mantan berkata, Pak Mantan memiliki motivasi. Ketika Pak Mantan memiliki motivasi, Pak Mantan bergerak, atau menggerakkan orang-orangnya. Setelah seluruh pergerakan itu terjadi, Pak Mantan lepas tangan. Pak Dhe seolah-olah dapat membaca Raisa yang dimainkan oleh Pak Mantan. Kudos!

Pak Jokowi tidak ingin meresponi ini, mungkin juga karena Pak Jokowi sedang menunggu bagaimana klimaks dari apa yang akan dikerjakan oleh Pak Mantan, khususnya di dalam mencampuri urusan hukum yang ada. Pak Mantan lupa bahwa pada dasarnya ia bukan lagi orang yang berpengaruh di dalam pemerintahan. Memang, kenangan itu masih ada, namun kenangan yang ada akan perlahan-lahan sirna dan tidak ada jejak lagi. Sepuluh tahun dilewati dengan sia-sia. Ia sempat menaruh tentakel yang bernama Patrialis Akbar di Mahkamah Konstitusi. Sudahlah Pak Mantan, urungkan saja niatmu untuk memasang tentakel di dalam DKI Jakarta dengan keberadaan anak sulungmu dan Si Empok yang “katanya berpengalaman selama 30 tahun” itu. Tuhan tidak buta, Tuhan tidak tuli, dan Tuhan tidak mungkin membiarkan kezaliman terjadi di negara Indonesia tercinta ini.

Kita lihat saja pergerakan seperti apa, goyangan macam apa, dan senggolan yang seapik apa yang akan dilakukan oleh Pak Dhe.

Betul kan yang saya katakan?

@hans sebastian