Wednesday, February 1, 2017

NU, Tetap Tenang dan Jangan Gegabah

DUNIA HAWA - Bulan Februari 2017 sepertinya menjadi bulan yang ‘panas’ bagi politik tanah air meskipun sekarang masih dalam musim hujan. Tanda-tanda panasnya suhu politik dibuka pada hari ini 1 Februari 2017 dengan ramainya berita bahwa NU mulai dibenturkan dengan Ahok, Gubernur non aktif DKI Jakarta. Banyak reaksi dari warga Nahdliyin yang keberatan dengan sikap Ahok kepada KH Ma’ruf Amin, ketua MUI sekaligus Rais Aam PBNU 2015-2020, dalam persidangan kemarin. Tapi, saya berpendapat bahwa apa yang dilakukan Ahok adalah meng-counter pribadi KH Ma’ruf Amin dalam kapasitasnya sebagai Ketua MUI dan mantan Wantimpres era Pak Mantan, bukan dalam kapasitas beliau sebagai Rais Aam NU. Setidaknya ada 3 alasan mengapa Ahok tidak mungkin menyerang beliau sebagai Rais Aam NU:


Pertama, sejak lama Ahok sudah dekat dengan Gus Dur, Tokoh Besar NU. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Gus Dur lah yang mendukung Ahok untuk maju dalam Pilgub Bangka Belitung 2007. Saat itu, Gus Dur pula lah yang paling nekat mendukung Ahok untuk maju. Dengan alasan tersebut, tidak mungkin ahok menyerang NU yang notabene-nya mempunyai tempat khusus di hati Ahok.

Kedua, KH Ma’ruf Amin dihadirkan di persidangan atas nama MUI, bukan NU. Ini menjadi penting dijelaskan mengingat banyak yang beranggapan bahwa KH Ma’ruf Amin juga mewakili NU dalam persidangan. Masalah antara Ahok dan KH Ma’ruf Amin adalah dalam kapasitas beliau sebagai ketua MUI. Oleh karena itu, tidak relevan apabila masalah ini dikait-kaitkan dengan NU.

Ketiga, Ahok melalui kuasa hukumnya sudah minta maaf dan melakukan klarifikasi tentang hal tersebut. selain itu, disebutkan juga bahwa Ahok tidak akan melaporkan KH Ma’ruf Amin ke pihak berwajib. Hal ini jelas menunjukkan  kerendahan hati Ahok serta menunjukkan rasa hormatnya kepada NU.

Dari ketiga asumsi tersebut, saya meyakini bahwa Ahok melakukan counter kepada KH Ma’ruf Amin hanya dalam kapasitasnya sebagai ketua MUI, bukan sebagai Rais Aam NU. Apa yang dilakukan AHok juga merupakan hal yang lumrah manakala seorang terdakwa melakukan klarifikasi terhadap saksi dalam sebuah persidangan.

Saya melihat banyak reaksi spontanitas dari warga NU terkait perkara ini. Saya rasa hal ini adalah wajar mengingat KH Ma’ruf Amin merupakan kyai-nya warga Nahdliyin. Namun perlu diingat pula bahwa beliau dihadirkan dalam persidangan adalah dalam kapasitas sebagai ketua MUI yang melaporkan Ahok terkait dugaan kasus penistaan agama. Saya mengapresiasi sikap warga NU selama ini yang cenderung diam dan tidak ikut memperkeruh kasus ini. Saya berharap pula bahwa warga NU tidak terpancing amarahnya dan melakukan hal yang bisa mencoreng nama NU sebagai penjaga Islam Nusantara.

Prediksi saya adalah kaum sebelah akan terus memanfaatkan isu ini untuk dibesar-besarkan dan mencoba untuk membenturkan NU dan Ahok. Sudah menjadi kebiasaan bahwa kaum sebelah akan terus melakukan provokasi manakala ada isu yang bisa menjatuhkan lawan politiknya. NU yang selama ini bersikap netral dalam Pilkada DKI akan digoda untuk masuk dalam pusaran konflik ini. Apalagi PKB, sebagai salah satu parpolnya NU, merupakan salah satu pendukung pasangan calon gubernur DKI yang sangat berkepentingan terhadap kasus ini.

Langkah selanjutnya ada di tangan NU sendiri, apakah akan masuk ke pusaran konflik ini ataukah menjaga sikap dan menilai bahwa apa yang dilakukan ahok terhadap KH Ma’ruf Amin adalah dalam kapasitasnya sebagai ketua MUI. Kalau boleh berharap, saya sangat mengharapkan kepada warga NU untuk tetap tenang dan tidak gegabah dalam menyikapi hal ini. Saat ini hanya NU yang menjadi garda terdepan dalam menjaga NKRI dari serangan kaum radikalis dan ekstrimis yang mencoba untuk merongrong NKRI.

Jadi bagaimana warga Nahdliyin?


@abu mumtaz


Riziek Tersangka, SBY Disebut-sebut dan Firza Husain “Dilindungi”

DUNIA HAWA - Konstelasi politik Pilkada DKI jakarta tahun 2017 sedang bergerak menuju puncak ‘Klimaks”. Masa kampanye akan segera berakhir dan hari “H” Pencoblosan tanggal 15 Februari tinggal dalam hitungan hari. Sulit untuk tidak menduga-duga adanya hubungan erat bahkan keterkaitan langsung antara kontestasi perebutan kursi gubernur dan wakil gubernur dengan berbagai kejadian dan kasus yang sedang dalam proses hukum.


Situasi di luar arena Pilkada juga sudah hampir klimaks, setidaknya rambu-rambu ke arah sana satu demi satu mulai bermunculan, meskipun yang terlihat secara kasat mata adalah hubungan asimetris antara kontestasi Pilkada dengan beberapa kasus, tapi tokoh utama dalam kasus berbeda itu memiliki keterkaitan dengan kasus lainnya yang melibatkan kontestan Pilgub DKI Jakarta.

Salah satu contoh, Kasus dugaan penodaan Pancasila dimana Riziek Syihab sebagai tersangka tidak ada kaitannya dengan Pilkada DKI Jakarta. Tapi nama Riziek Syihab dan FPI tidak bisa dilepaskan dari kasus dugaan penistaan agama yang didakwakan kepada Ahok.

Akankah jika garis nalar dan logika ditarik menghubungkan setiap simpul kejadian, pada akhirnya terbuka korelasi yang tak terbantahkan antara simpul satu dengan simpul lainnya dan resultante dari setiap kejadian akan mudah diterjemahkan sebagai “semua karena pertarungan merebut jabatan Gubernur DKI Jakarta”, bahkan jika ada agenda terselubung, semuanya akan terungkap. Mungkin seperti inikah yang akan kita saksikan sebagai ending seluruh rangkaian cerita? Pengadilan yang akan menjawab.

Riziek Syihab, tokoh sentral di lapangan di hampir semua gerakan dan aksi demonstrasi menuntut calon gubernur petahana Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) dengan menamakan diri Gerakan Nasional Pembela Fatwa GNPF-MUI atas tuduhan penistaan Agama. Senin 30 Januari 2017 Kepolisian Daerah Jawa Barat menetapkan Riziek Syihab sebagai tersangka kasus dugaan penodaan Pancasila sebagai tindak lanjut atas laporan Sukmawati Soekarnoputri.

Upaya penegakan hukum yang membelit Riziek terus berjalan, termasuk kasus-kasus lainnya yang sedang diusut pihak Kepolisian. Sangat terbuka kemungkinan Riziek akan menyandang status tersangka dalam beberapa kasus berbeda, dan kemungkinan akan disusul dengan tersangka-tersangka lainnya juga terbuka.

Penting untuk dicatat bahwa Kasus dugaan penodaan Lambang Negara Pancasila yang menempatkan Riziek Syihab sebagai tersangka tidak ada korelasinya dengan Pilkada DKI Jakarta alias berdiri sendiri. Tapi Riziek Syihab berdiri di banyak kasus.

Memang lidah tak bertulang, “meskipun tulang punya lidah”, tapi hati-hati dengan lidah/mulutmu. Lidah orang bijak ada di belakang hatinya, sedangkan hati orang sombong ada di belakang lidahnya.

Sehari setelah Riziek resmi tersangka, Firza Husein (Firza) yang juga ditangkap bersama tokoh nasional dan aktivis lainnya pada jum’at dinihari menjelang aksi “Super Damai” tanggal 2 Desember 2016, kembali ditangkan polisi pada 31 Januari 2017. Menimbulkan pertanyaan, dalam kasus dugaan makar Firza sebagai tersangka tapi tidak ditahan, kenapa tiba-tba ditangkap lagi?

Apakah Penangkapan Firza merupakan cara pihak kepolisian untuk memberikan perlindungan kepada tersangka dan calon saksi mahkota yang akan membatu penegak hukum menyatukan mosaic? Waktu yang akan menjawab. Yang pasti tidak ada salahnya menunggu nyanyian Firza.

Mungkin tidak terlalu menarik untuk mencari tahu siapa Firza Husein saat ikut tertangkap bersama tokoh nasional dan aktivis pada jumat dinihari 2 Desember tahun 2016 lalu, tapi ternyata tokoh yang tidak diperhitungkan ini justru bisa menjadi salah satu kunci untuk membuka sekat-sekat penghubung setiap kejadian dan tokoh-tokoh yang ada di dalam maupun di luar panggung. Firza tentu banyak melihat, mendengar dan mengetahui tentang kasus dan kejadian akhir-akhir ini, jadi tolong lindungi Firza Husain.

Pada hari yang sama selasa 31 Januari, nama Presiden Ke 6 Republik Indonesia Bapak Susilo Bambang Yudoyono (SBY) disebut-sebut dalam persidangan Ahok, mengingatkan kita pada Edhie baskoro Yudhoyono (Ibas) yang juga sering disebut-sebut dalam persidangan. Bedanya SBY disebut dalam persidangan kasus dugaan penistaan agama sedangkan Ibas dalam kasus korupsi. hmmm… Do’a melalui twitter memang mustajab.

Nama SBY disebut-sebut oleh pengacara terdakwa saat menanyakan kepada ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ma’aruf Amin yang hadir sebagai saksi persidangan ke 8. Dikutif dari Republika.co.id. sebagai berikut.

“Apakah sebelum pertemuan hari Jumat, Kamisnya ada telepon dari SBY sekitar pukul 10:16 WIB supaya diatur pertemuan dengan paslon satu agar diterima di PBNU dan SBY juga minta segera dikeluarkan fatwa soal penodaan agama?,” tanya salah seorang pengacara Ahok, Humphrey Djemat kepada Ma’aruf.

Namun, pertanyaan itu dibantah oleh Kiai Ma’aruf. Ia menegaskan bahwa saat itu dirinya tidak menerima sms dari Presiden keenam tersebut.

Atas jawaban itu, Humphrey pun mengingatkan jika Ma’aruf sudah diambil sumpah sebelum memberikan kesaksiannya. Pasalnya, ia mengklaim bahwa timnya mempunyai bukti yang kuat terkait hal itu. “Saudara tahu konsekuensinya jika memberikan keterangan palsu, siapapun itu,” kata Humprey. (Republika.co.id)

Baca sekali lagi kutipan di atas. Semoga yang saya kutip ini salah. Ma’aruf ditanya, “Kamisnya ada telepon dari SBY sekitar pukul 10:16 WIB”. Jawaban ma’aruf Amin, “Ia menegaskan bahwa saat itu dirinya tidak menerima sms dari Presiden keenam tersebut”.

Ditanya “apakah terima telpon”, dijawab “tidak menerima SMS”, semoga kutipan ini keliru. Saya belum menemukan rekaman kesaksian Ma’aruf Amin dipersidangan Ahok. Tapi kalau memang benar seperti itu jawaban Ma’aruf Amin, wew,,, Kok begitu?

Nah, ada apa? Kena apa MUI tidak mengawal sendiri Fatwanya? Kena apa MUI mengutus Riziek Syihab? Kenapa riziek Syihab? Ada apa dengan riziek Syihab? Apakah ulama-ulama MUI ilmunya kalah dengan Riziek Syihab? Apakah ada motivasi lain dan agenda terselubung dibalik aksi-aksi mengatasnamakan agama itu? Apakah MUI tidak mengetahui bahwa Riziek Syihab dan FPI sangat anti Ahok? Apakah MUI sengaja menyerahkan Fatwanya untuk dikawal oleh ormas yang memang sangat anti dengan Ahok? Apakah karena Riziek Syihab dianggap mampu memobilisasi Massa? Sejak kapan Fatwa MUI perlu pengawalan? Apakah karena pesanan? Apakah karena scenarionya memang seperti itu? Apapun jawaban Ma’aruf Amin, tetap perlu mendengar jawaban dari pihak lain termasuk Firza Husain dan akan semakin menarik kalau Riziek Syihab ikut bernyanyi. sehingga perlindungan khusus dan pengamanan extra untuk Firza Husein dan Riziek Sihab adalah maha penting!

Bahwa Fatwa MUI yang disusul dengan Aksi Demonstrasi GNPF-MUI ada hubungannya dengan Pilkada DKI jakarta, sepertinya sudah terjawab, tinggal menunggu para pihak untuk membuat pengakuan, jika masih diperlukan. Setidaknya, Ma’aruf Amin mengakui dua hal.

MUI meminta Riziek Sihab untuk mengawal kasus dugaan penistaan agama yang dituduh dilakukan Ahok, dengan alasan Riziek sebagai alumni S1 di Arab Saudi dan juga seorang doktor. Semoga Ma’aruf amin tidak bermaksud merendahkan kualitas pendidikan di Indonesia.

Bahwa Fatwa MUI dikeluarkan karena adanya desakan dari masyarakat. Apakah masyarakat yang dimaksud adalah Susilo Bambang Yudhoyono? Semoga bukan. Tapi kalau ternyata terbukti Fatwa MUI merupakan “pesanan “ SBY”, maka ini merupakan momentum yang tepat untuk membuka kembali kasus Antasari Azhar. Hadiah rumah dari negara untuk mantan presiden SBY yang nilainya mencapai 300 milliar rupiah perlu dipertimbangkan untuk ditarik kembali. Pemberian hadiah rumah dari negara untuk mantan presiden SBY berdasarkan Perpres no 52 yang ditandatangani oleh SBY tanggal 2 Juni 2014 sekitar 4 bulan sebelum akhir masa jabatannya..

Saya tiba-tiba sedih ketika menulis bagian ini. Kita diajarkan menghargai pahlawan, menghormati dan mendoakan pemimpin, termasuk di dalamnya mantan pemimpin. Tapi, ah… sudalah, cepat atau lambat, kebenaran pasti terungkap.

Sebagai penutup jika Firza Husain “Buka-Bukaan”, rasanya Riziek Syihab tidak sanggup bertahan untuk tidak “bernyanyi”, Semoga.

Jadi, jangan senang dulu.

@s hakim


Fatwa MUI Dikeluarkan Karena Pesanan Sejumlah Pihak?

DUNIA HAWA - Sidang persidangan Ahok ke-8, tanggal 31 Januari 2017 kemarin mendatangkan sejumlah saksi, salah satunya dari pihak MUI, yang dihadiri oleh KH. Ma’ruf Amin. Menurutnya, fatwa itu dikeluarkan MUI karena desakan dari sejumlah pihak. Ia juga mengatakan bahwa keputusan tersebut melibatkan 4 tim, yaitu komisi fatwa, pengkajian, Humkam dan Infokom.


Pengkajian dilakukan selama 11 hari, yakni dari 1-11 Oktober 2016. Dari investigasi 4 komisi tersebut, akhirnya MUI lalu mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa ucapan Ahok mengandung penghinaan Alquran dan Ulama.

Tentu sangat disayangkan jika fatwa MUI terkesan dipaksakan apalagi alasannya karena desakan pihak tertentu. Sebenarnya pihak mana yang begitu mendesak MUI? Apakah dari FPI yang dari dulu getol ingin melengserkan Ahok sampai membuat gubernur tandingan segala?

Karena dituntut mengambil sikap itulah MUI kemudian mengeluarkan fatwa yang lagi-lagi berujung pada kontroversi. Bahkan Rais Aam Syuriah NU secara terang-terangan menyatakan sikap tidak setuju dengan fatwa MUI itu, demikian pula Buya Syafii Maarif, mantan ketua umum Muhammadiyah, yang menyatakan bahwa ucapan Ahok tidak ada unsur penghinaan terhadap agama.

Jika MUI dianggap lembaga yang mewakili ormas Islam, lalu mengapa fatwa yang dibuat sangat bertentangan dengan NU dan Muhammadiyah yang notabene ormas Islam terbesar di Indonesia?

Lalu buntut dari fatwa tersebut didirikanlah gerakan GNPF-MUI tepat setelah fatwa MUI yang menyatakan bahwa ucapan Ahok telah menistakan agama. Ketuanya adalah Bachtiar Nasir yang juga menjabat sebagai wakil sekretaris MUI. Maka tak heran banyak masyarakat yang salah paham dan menganggap GNPF-MUI bagian dari ormas MUI, sebab saat demonstrasi mereka sering membawa bendera berlambang MUI.

Padahal gerakan itu bukanlah bagian dari MUI dan tujuannya jelas berbau politik, hanya ingin menghadang Ahok menjadi Gubernur, meskipun dalam orasinya mereka selalu mengatakan untuk aksi bela Islam. Gerakan ini pula yang kemudian mengajak massa untuk demo Ahok yang diadakan tiga kali berturut-turut di Jakarta.

Tak cukup dari itu, Muslim Cyber Army yang dibentuk FPI juga banyak menyebar kebencian, terutama kepada pihak-pihak yang dari awal tidak setuju dengan gerakan FPI, seperti pada pimpinan NU, seperti Said Aqil Siradj dan KH. Mustafa Bisri (Gus Mus) serta mantan Pimpinan Muhammadiyah, Buya Syafii Maarif.

Tim Muslim Cyber Army ini pula yang sangat giat menggiring opini secara massif bahwa menentang fatwa MUI berarti menentang Islam. Tidak mendukung FPI berarti tidak mendukung ulama. Padahal sudah jelas fatwa MUI ini sangat bertentangan dengan pandangan NU yang menyatakan bahwa baik pemimpin nonmuslim maupun muslim berhak jadi pemimpin

Alasannya, jika merujuk pada tafsir terdahulu mengenai Al Maidah 51, yang dimaksud bukanlah untuk pemimpin seperti gubernur, karena konteks saat itu yang sedang dalam kondisi perang. Kalau begitu, Islam manakah yang dimaksud FPI itu?

Dari sini kita bisa melihat bahwa fatwa yang dibuat MUI sebenarnya hanya untuk kepentingan politik saja, dan jelas sangat menguntungkan FPI dan ormas Islam yang sejak dulu menginginkan kekhilafahan, seperti PKS dan HTI.

Kecenderungan MUI yang memihak pada ormas radikal ini rupanya dimanfaatkan oleh mereka untuk menghalau orang-orang yang berusaha menghalangi gerakan mereka. Karena merasa didukung itulah FPI kemudian menuntut Kapolri untuk memecat tiga Kapolda, yaitu Kapolda Jawa Barat: Anton Charlian, Kapolda Metro Jaya: M. Iriawan, dan Kapolda Kalimantan Barat: Musyafak.

Kapolda Jawa Barat dituntut karena dianggap mengerahkan massa GMBI untuk menyerang FPI, Kapolda Metro Jaya dianggap melakukan adu domba saat demonstrasi 4 November 2016, sedangkan Kapolda Kalbar karena penolakan wasekjen MUI di Sintang.

Tak puas dengan hal itu, Rizieq berusaha meyakinkan masyarakat bahwa PKI sudah bangkit lagi. Ia kemudian mengarang-ngarang opini yang menyatakan pemerintah berusaha membangitkan lagi PKI karena terdapat logo palu arit di mata uang yang baru.

Meskipun berkali-kali pihak BI bilang bahwa itu adalah proses rectoverso untuk pengamanan uang, FPI tetap bebal. Mereka tak mau mendengarkan bahkan  tak mau duduk bersama untuk mendengarkan penjelasan dari pihak BI. Mereka lebih senang ribut, lalu melaporkannya pada kepolisian untut menuntut uang rupiah itu dicabut kembali.

Ternyata memnag semua pihak yang dianggap menghalangi aksi dan gerakan atau ideologi FPI dilaporkan ke polisi. Mungkin mereka menganggap jika MUI sudah dikuasai, sangat mudah menggerakkan massa untuk mendukung mereka, sebab isu agama di Indonesia memang sangat sensitif dan alat paling ampuh untuk menarik massa.

Bagaimana jika ada pihak yang tidak setuju? Tinggal minta MUI untuk mngeluarkan fatwa. Beres masalah, seperti halnya kasus Ahok.

Namun hal yang tak terduga beberapa waktu lalu, salah satu anggota MUI, Istibsyaroh, berkunjung ke Israel dan melakukan pertemuan dengan Presiden Reuven Rivlin. Hal ini membuat pihak MUI kebakaran Jenggot. PKS, FPI, dan GNPF-FPI kecewa. Menurut Istibsyaroh, dia hanya berniat mengunjungi Masjid Aqsa di Jerussalem, lalu ditawarkan untuk bertemu Presiden.

Apa yang dikatakan anggota MUI ini tentu tak dapat dipercaya, masa iya orang lagi mau jalan-jalan, tiba-tiba disuruh bertemu Presiden? Bisa jadi ini memang strategi pemerintah yang ingin menurunkan pamor MUI. Mengingat selama ini fatwa yang dikeluarkan MUI sering kontroversi dan cukup membuat ‘repot’ pemerintah.

Dan saat sidang Ahok ke-8, kita dikejutkan lagi oleh pernyataan pengacara Ahok yang mengetahui adanya telepon dari SBY pada ketua MUI Ma’ruf Amin. Jika itu benar, tentu masyaarkat tidak akan percaya lagi pada organisasi Islam ini, sebab fatwa nya saja hanya berdasar kepentingan politik. Dan jika memang terbukti benar, saya berharap bubarkan saja MUI atau dileburkan pada Kementerian Agama.

Urusan fatwa toh bisa diserahkan pada NU dan Muhammadiyah yang merupakan ormas terbesar, sedangkan urusan seritifikat halal memang sebaiknya bukan wewenang MUI sebab dana yang diterimanya tidak bisa diaudit.


@anisatul fadhilah


Nahdlatul Ulama Setelah 91 Tahun

DUNIA HAWA - 31 Januari merupakan momen peringatan hari lahir Nahdlatul Ulama, yang pada tahun 2017 memasuki usia ke-91. Dalam momentum tersebut, berbagai lapisan pengurus (jam’iyah) dan penganutnya (jamaah) menggelar sebuah perayaan sebagai ungkapan rasa syukur atas eksistensi NU yang hingga kini tetap berkiprah di Republik ini.


Ekspresi syukur ini berkaitan dengan posisi NU yang secara historis dimotori oleh KH Hasyim Asy’ari dan sesepuh lainnya yang selalu memposisikan diri sebagai organisasi yang mendukung kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara yang berdaulat.

Bahkan, hingga saat ini NU menjadi salah satu organisasi kemasyarakatan terbesar yang banyak berperan penting bagi tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dengan paham aswaja an-nahdliyah yang berdimensi moderat (tawasuth), toleran (tasamuh), proporsional (tawazun), dan berkeadilan (ta’adul), NU senantiasa mendeklarasikan pentingnya nilai-nilai kerahmatan dalam menjalankan ajaran keislaman di ruang publik.

Namun, di balik kesuksesan para pendiri NU dalam menancapkan tiang pancang paham aswaja dalam keberislaman kita, ada sebuah pekerjaan besar yang hingga kini perlu digarap serius. Yakni, yang berkaitan dengan konsolidasi pergerakan (harokah) yang bisa merapatkan barisan warga NU baik di level organisasi (jam’iyah) dan di level kelompok penganut (jama’ah). Konsolidasi pergerakan ini penting dilakukan agar keberadaan NU bisa menjadi organisasi yang dikelola secara sistemik.

Diakui atau tidak, selama ini barisan NU yang tersebar di berbagai kantong massa terkadang berjalan sendiri-sendiri. Antar kelompok yang dilingkupi oleh nafas ke-NU-an terkadang pula berseberangan, baik dengan jamaah maupun jam’iyah NU. Semisal, beberapa persoalan sosial-keagamaan yang sudah ditetapkan garis kebijakannya oleh pengurus NU, baik di level pusat maupun daerah, namun tidak memperoleh respons yang seragam. Bahkan ada beberapa kelompok yang justru mengakomodasi dan mengikuti kebijakan yang ditetapkan oleh organisasi kemasyarakatan lain yang secara ideologis berseberangan dengan NU.

Peristiwa 212 merupakan salah satu bukti empiris di mana Pengurus Besar NU yang sudah menyampaikan larangan kepada warga NU untuk tidak terlibat dalam kegiatan itu, namun tak sedikit yang terlibat dalam hiruk-pikuk gerakan massa 212 tersebut. Padahal, apa yang diusung oleh gerakan massa 212 bisa jadi berseberangan dengan cara pandang pengurus NU merespons persoalannya. Apalagi aksi 212 yang selama ini dianggap sebagai representasi perjuangan umat Islam justru ditengarai sebagai peristiwa sosial yang bisa jadi lebih condong kepada nuansa politis.

Manajemen Gerakan


Menghadapi berbagai rintangan yang diam-diam maupun terang-terangan ingin mengoyak keberadaan NU di republik ini, semua lapisan warga NU harus terjaga untuk membenahi berbagai aspek penunjang yang mampu melandasi keberdayaan NU di tengah percaturan regional, nasional, maupun internasional. Apalagi di tahun-tahun mendatang NU memiliki berbagai impian untuk menguatkan posisi NU melalui pendirian berbagai jenis layanan publik baik di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum, dan semacamnya.

Maka, dalam mengelola NU tidak sekadar dilandasi oleh berbagai jenis perkumpulan seadanya (taken for granted), akan tetapi bagaimana perkumpulan ini dikelola secara manajerial agar menghasilkan sebuah gerakan yang terstruktur, sistematis, dan masif.

Pertama, secara terstruktur berkaitan dengan model penataan organisatoris secara koordinatif dan sinergis dari level pusat hingga ranting dan menguraikan garis instruksi kepemimpinan yang bisa dilaksanakan di setiap jenjangnya dan jamaah yang tersebar di berbagai pesantren dan majelis berdasarkan asas kepatuhan dan kepatutan yang proporsional.

Kedua, secara sistematis berkaitan dengan model konsolidasi gerakan keagamaan yang sistemik. Agar pemikiran dan pandangan ulama yang sarat dengan nilai-nilai kerahmatan dan ke-aswaja-an ‘ala annahdliyah bisa dijadikan sebagai motivasi sosial bagi jamaah NU dalam mengawal perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Ketiga, secara masif berkaitan dengan gerakan ideologis dalam mengimplementasikan ajaran keislaman ala NU yang berbasis pada kearifan. Dengan demikian, karakteristik NU sebagai organisasi yang akomodatif terhadap tradisi (al muhafadzah ‘ala qadim ash shaleh) dan responsif terhadap perkembangan zaman (wal akhdzu bil jadid al ashlah) betul-betul dilaksanakan dengan baik.

@fathorrahman ghufron 


Intelijen SBY VS Pemerintah?

DUNIA HAWA - Hari ini Rabu, 1 Februari 2016, Susilo Bambang Yudhoyono selaku Ketua Umum Partai Demokrat menggelar jumpa pers di kator DPP. Beliau menyampaikan keinginannya untuk dapat berjumpa dengan Presiden Jokowi, dan ingin menyampaikan berbagai klarifikasi terkait sejumlah tuduhan yang ditujukan kepadanya.


SBY merasa difitnah terkait tuduhan mendanai aksi damai 411, menginisiasi gerakan makar, hingga rencana pengeboman Istana Merdeka. SBY merasa, ada informasi salah yang diberikan kepada pemerintah dari pihak intelijen.

Disini saya merasa prihatin, dan mencari informasi, kapankah pemerintah secara tegas dan terbuka mengatakan bahwa SBY yang mendanai aksi damai 411, menginisiasi gerakan makar sampai  rencana pengeboman Istana Merdeka?

Seperti yang dilansir dalam laman kompas.com, dia mengatakan “Sayang sekali saya belum punya kesempatan bertemu Bapak Presiden kita, Bapak Jokowi. Kalau ada niatan bertemu, saya mau ngomong blakblakan. Siapa yang melaporkan kepada beliau, siapa yang beri informasi intelijen kepada beliau yang menyampaikan saya ada di balik aksi damai 411, pengeboman, hingga urusan makar,”

Dari pernyataan SBY di atas, saya berasumsi, dia mengetahui bahwa Jokowi mendapat informasi salah dari intelijen, kan aneh, padahal Jokowi tidak pernah melakukan jumpa pers dan mengumumkan, bahwa SBY yang mendanai aksi damai 411, pengebomana sampai makar. Pernyataan SBY menurut saya memiliki arti, bahwa dirinya difitnah oleh pemerintah.

Jika pemerintah belum pernah mengeluarkan statment bahwa SBY mendanai aksi 411, pengeboman sampai rencana makar, pertanyaannya, dari manakah dia mendapatkan informasi tersebut? Sehingga dia berani mengatakan, bahwa pemerintah mendapatkan informasi yang salah dari intelijen?

Terkait dari mana sumber informasi yang didapat SBY, saya juga jadi berfikir, apa iya dia juga mendapatkan informasi tersebut dari intelijen yang masih loyal kepadanya, dimana kemungkinan adanya orang-orang lama dijaman pemerintahannya yang mungkin masih memiliki suatu ikatan, baik ikatan emosi maupun ikatan lainnya.

Selain itu, SBY juga mengatakan”Saya ingin sebetulnya melakukan klarifikasi, secara baik dengan niat dan tujuan yang baik supaya tidak ada yang menyimpang atau curiga,” . Dari pernyataan tersebut, seharusnya pak SBY jug mengkoreksi diri, ada apa dengan konfrensi pers lebaran kuda, itu maksudnya apa?begitulah kira-kira pak.

Selain itu, seperti yang dilansir dalam laman detik.com, SBY juga mengatakan “Kalau betul ada percakapan saya dengan Pak Ma’ruf Amin, atau percakapan siapa pun dengan siapa disadap tanpa perintah pengadilan, dan hal-hal yang tidak dibenarkan undang-undang, itu namanya ilegal,”. Menurut saya, jika memang tidak ada yang salah, tidak perlu khawatirlah pak, disadap juga untuk kepentingan negara dan bapak sendiri, siapa tahu bapak mau diculik, diancam dan sebaginya, yang seharusnya marah-marah itu jika disadap Australia pak, hehe… Dan saya rasa belum ada pernyataan resmi, bahwa bapak memang disadap, jadi santai dulu ya pak.

“Satu bulan yang lalu, sahabat dekat saya tidak mau menerima telepon saya karena diingatkan orang di lingkungan kekuasaan, hati-hati telepon kalian disadap sehingga kalau bicara melalui utusan,” kata SBY . Dari pernyataan tersebut, saya jadi bingung, apa sih yang mau dibicarakan, mengapa meski ketakutan begitu? Bukannya seharusnya pak SBY klarifikasi, bahwa dia tidak merencanakan hal buruk, tidak perlu ngalor-ngidul, cukup coba keluarkan transkripnya jika memang ada perencanaan jahat, itu sih menurut saya pak. Pak Jokowi yang difitnah ini itu saja tidak pernah mengeluh apalagi takut, karena pak Jokowi tidak merasa dan tidak melakukan seperti yang difitnahkan oleh kaum sapi-sapian yang begitu masif menyebarkan fitnah kepadanya, termasuk jangan lupa pak, orang Istana di zaman bapak, yang memfitnah menggunakan media obor rakyat.

Pak SBY sabar ya, saya juga ikut prihatin kok, semoga tidak ada yang namanya adu domba demi kekuasaan ya pak, kasihan rakyat jelata seperti saya yang ingin hidup tenang didalam negara yang sesungguhnya sangatlah kaya dan majemuk ini.

@cak anton


Firza Husein ”Berpotensi” Jadi Tersangka Chat Sex, Ini Penjelasan Hukumnya

DUNIA HAWA - Kasus dugaan pornografi yag diduga melibatkan Rizieq Shihab dan Firza Husein telah ditingkatkan ke tahap penyidikan, itu artinya tidak lama lagi akan ada penetapan tersangka dalam kasus ini, dikarenakan penyidik Direktorat Reskrimsus Polda Metro Jaya telah melakukan penyelidikan dan telah menemukan ada peristiwa pidana yang diduga sebagai tindak pidana yang terkait dengan konten pornografi aplikasi Whatsapp, sehingga ditingkatkan ke tahap penyidikan, dalam hal ini sudah masuk pada mencari dan mengumpulkan barang bukti terkait yang berhubungan dengan konten-konten yang menyangkut dengan percakapan ‘’seks’’ diduga Rizieq dan Firza melalui aplikasi Whasapp.


Hal itu bisa dilihat serangkaian kepentingan penyidikan, yakni sudah dilakakukan penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan Direktorat Reskrimsus Polda Metro Jaya, di rumah Firza Husein di kawasan Lubang Buaya, Cipayung, Jakarta Timur. Yang digeledah antara lain 4 kamar, dua di lantai bawah dan dua lainnya di kamar atas, dan ada pula barang-barang yang disita yakni seprai kasur, bantal, guling dan  TV, yang ada di dalam kamar Firza.

Namun barang bukti yang disita tersebut masih kurang kuat untuk menjerat Firza, sehingga penyidik harus kembali menggeledah, menyita dan memotret terhadap beberapa hal lain dari rumah Firza, karena masih ada beberapa petunjuk hukum lagi lagi yang belum diambil dan dipotret penyidik, tujuannya jelas agar bisa memperkuat bukti yang telah disita penyidik, karena apa yang disita oleh penyidik hari ini belumlah cukup untuk pembuktian di pengadilan.

Hal lain yang harus ditemukan dan disita penyidik adalah mencari dan menemukan baju berwarna abu-abu yang dikenakan Firza yang nampak jelas dalam foto yang diuploadnya dalam percakapan melalui aplikasi Whasapp dengan diduga sebagai Rizieq Shihab. Baju berwarna abu-abu tersebut merupakan salah satu bukti paling penting untuk kepentingan pembuktian, karena jika baju berwana abu-abu tidak berhasil ditemukan atau tidak disita justru jaksa akan kesulitan membuktikan bahwa benar Firza dalam foto tersebut.

Selain baju berwarna cokelat yang harus dicari dan disita oleh penyidik, penyidik juga harus memeriksa, memotret/memfoto keramik di semua kamar mandi yang ada di rumah Firza, tujuannya adalah untuk mendapatkan kesamaan/persesuaian dengan foto keramik yang ada di dalam Whasapp/yang jadi latar foto, dengan keramik kamar mandi yang ada di rumah Firza, sehingga bukti bisa semakin kuat.

Dan corak keramik kamar mandi yang berbentuk mirip seperti lingkaran yang dikelilingi dua warna yang saling berkombinasi, sebagaimana dalam foto juga harus dicocokan dengan semua keramik kamar mandi yang ada di kamar mandi rumah Firza, dan difoto, tujuannya agar barang bukti yang dimiliki penyidik sangat kuat, serta tak ketinggalan pula memeriksa dan mencocokan keramik berwarna putih yang mana dibagian tengahnya terdapat dua warna berkombinasi dan bergaris-garis pada keramik putih dinding kamar mandi yang jadi latar dalam foto tersebut. Selain itu hal lain yang perlu dicari, ditemukan dan disita oleh penyidik adalah satu buah selimut berwarna putih yang menjadi alas  saat berselfie dalam posisi sedang tengkurap dengan dua tangan direntangkan lurus kedepan.

Selain itu, screenshot ‘’bugil’’ dan ‘’percakapan diduga Rizieq dan Firza’’ juga harus ditemukan penyidik, yakni dengan memeriksa handphone Firza, karena itu sangat penting dan bernilai tinggi pada saat pembuktian. Dan penyitaan sejumlah barang mulai dari seprai kasur, bantal, guling dan  TV , membuat Firza sangat berpotensi menjadi ”tersangka”, karena penyidik sudah memiliki bukti permulaan yang cukup, apalagi jika semua yang diterangkan di atas dilakukan oleh penyidik, maka barang bukti yang dimiliki penyidik akan sangat sulit disangkal sedikitpun, dan termasuk Rizieq juga yang akan diperiksa untuk kasus tersebut.

@ricky vinando


Duh Kyai

DUNIA HAWA - Membaca jalannya sidang Ahok dengan saksi ketua MUI membuat saya merinding. KH Ma'ruf Amin yang ketua MUI juga Rais A'am PBNU, dengan entengnya berkata fatwa yang keluar bahwa Ahok sudah menistakan agama Islam, dilakukan tanpa melakukan konfirmasi kepada yang dianggap menistakan.


Fatwa keluar begitu saja, tanpa memperdulikan bagaimana nasib orang yang terkena fatwa? Saya membayangkan, jika hukum syariat Islam diterapkan di Indonesia dengan keputusan berdasar fatwa seperti itu, maka akan banyak kepala orang terpenggal tanpa pernah diberi hak untuk membela dirinya.

Mengerikan... Betapa murahnya sebuah fatwa menunjukkan betapa murahnya sebuah nyawa. KH Ma'ruf Amin tidak bisa melepaskan diri dari ketidak-netralannya dalam mengeluarkan fatwa. Begitu cepatnya fatwa terhadap Ahok sebagai penista agama tanpa ada proses panjang, menunjukkan ada "bau" politik yang sangat kentara. Dan hanya orang bodoh yang berkata, "Tidak ada hubungannya fatwa itu dengan Pilgub.."

Kedekatan KH Maruf Amin dengan SBY sebenarnya sudah bukan rahasia lagi. Politisi yang berbaju ulama ini rekam jejaknya terbaca bahwa beliau pernah ada di PPP dan PKB. Dan pada masa pemerintahan SBY, ia diberi tempat dalam Dewan Pertimbangan Presiden.

Bukan keberpihakannya yang menjadi masalah, karema keberpihakan itu adalah hak warga negara.

Tetapi menggunakan jabatan sebagai ulama dan menetapkan nasib seseorang berdasarkan keberpihakan dan ketidak-sukaan, sungguh menampakkan kepada umat lain bahwa Islam itu adalah agama yang tidak adil.

Apa yang harus dibanggakan dari Islam jika seorang ulamanya begini?

Ah Kyai... Sungguh jangan jual murah agama ini hanya demi duniawi. Jujurlah dalam hati, waktu kita di dunia hanya sebentar dan pengadilan itu dekat.

Pertanggung-jawaban Tuhan itu presisi dan tidak bisa dibohongi dengan gelar, jabatan bahkan ilmu agama yang mumpuni. Beban ulama jauh lebih berat dari beban awam, karena awam tidak mengerti agama dan berusaha menjalani sedangkan ulama mengerti agama dan harus menjalani.

Seandainya semua ulama Islam begini, haruskah aku berTuhan hanya pada secangkir kopi?

Karena kopi tidak pernah menyembunyikan kepahitannya, sebanyak apapun gula mengelilingi. Seruput dulu, Kyai... Semoga akal bisa menjadi jernih..

@denny siregar