Tuesday, January 24, 2017

Indonesia dari Kacamata Minoritas

DUNIA HAWA - Mendengarkan pidato perpisahan mantan Presiden Obama di pangkalan militer Joint Base Andrews sesaat sebelum beliau menaiki helikopter untuk berlibur, membuat saya merenungkan negara yang saya cintai ini, Indonesia.


‘I said before and I will say again that when we started on this journey, we did so with an abiding faith in the American people and their ability, our ability, to join together and change the country in ways that would make life better for our kids and grandkids. Change didn’t happen from the top down, but it happened from the bottom up.’ …

Jika kita melihat kembali, jauh ke belakang, ke masa-masa dimana kakek dan nenek kita masih belia, apa yang diucapkan oleh mantan Presiden Obama serupa dengan cita-cita yang mereka perjuangkan dengan darah dan keringat mereka dulu.

Mereka memiliki kepercayaan dan keyakinan yang kuat bahwa bersama-sama, terlepas dari apa pun agamanya, terlepas dari apapun sukunya, mereka mampu mengubah daerah jajahan Belanda dan Jepang ini menjadi negara yang merdeka, negara yang mampu memberikan kehidupan yang lebih baik bagi anak – cucu – cicit mereka dibandingkan kehidupan mereka sendiri.

Dan sejarah pun membuktikan bahwa perubahan itu hanya dapat terwujud bukan dari pucuknya saja tetapi dari bawah hingga ke atas.

Tentu saja, ketika mereka bersama-sama memperjuangkan hal ini, mereka tahu bahwa komposisi perbedaan agama, bisa menghambat cita-cita mereka. Namun mereka pun sadar bahwa satu-satunya cara untuk terlepas dari belenggu penjajahan adalah dengan bersatu, melepas keegoisan demi kesejahteraan hidup anak, cucu bahkan cicit mereka.

Dan demi  kesetiaan mereka terhadap cita-cita mewujudkan negara zamrud katulistiwa ini, mereka pun sepakat untuk tidak menjadikan negara ini milik segolongan agama. Mereka sadar, agama – jika dipergunakan sebagai alat kekuasaan – akan beralih menjadi senjata makan tuan bagi cita-cita mulia mereka.

Mulia bukan cita-cita mereka?


Besar dengan cerita-cerita heroik kakek dan paman saya dalam memperjuangkan negara ini yang sama sekali jauh dari keegoisan agama, membuat saya melihat perbedaan agama adalah hal biasa. Bahkan menjadi cerita kebanggaan saya setiap kali saya bertemu dengan rekan dari belahan lain bumi Indonesia; kebanggaan yang akhir-akhir ini menguap, berganti dengan kekecewaan.

Kecewa? Ya, saya kecewa, karena Indonesia dulu yang saya kenal dan saya alami ketika kecil dan remaja, berbeda 180 derajat dengan wajah Indonesia saat ini.

Saya masih ingat dengan jelas, tetangga saya, orang Indonesia keturunan Arab, saya memanggilnya Abah dan Umi, mengikuti anak-anak mereka memanggil orangtuanya. Saat Ramadhan tiba, saya dengan leluasa bermain di rumah mereka, menunggu si Umi memasak penganan dan hidangan untuk berbuka. Bahkan jika penganan mereka sudah matang, dengan senang hati si Umi memberikan penganan itu untuk saya nikmati. Jika lebaran tiba, rasanya seperti di langit ketujuh, makanan kiriman dari Abah dan Umi berlimpah-ruah.

Saya masih ingat, ketika nampan berisi piring-piring kiriman si Abah dan Umi yang ditutup serbet bermotif tiba di rumah, maka nenek saya akan sibuk mencuci piring-piring tersebut, mengisinya dengan masakan untuk dikirim kembali.

Sebaliknya ketika natal tiba, kami pun mengirimkan kue natal kami kepada Abah dan Umi, dan ritual yang sama pun berulang, nampan kami kembali dengan masakan balasan.

Bukan hanya bertukar makanan, kami pun bertukar selamat, saling bertemu di pintu rumah masing-masing.

Beranjak remaja, kali ini tetangga saya sudah berganti, bukan lagi Abah dan Umi, tetapi orang Betawi dan orang Jawa, dengan ritual yang sama berulang kembali. Bedanya kali ini masakannya tentu saja sesuai dengan daerah asal tetangga kami, semur ala betawi, ketan tape uli, opor dan ketupat.

Bertukar selamat? Tentu saja, ritual ini masih sama. Bukankah ini ciri khas orang Indonesia, bertukar-makanan, bertukar selamat. Indah bukan?

Ketika saya beranjak dewasa dan berkeluarga, tetangga saya pun berganti, dan saya pun menjadi satu-satunya orang yang beragama Katolik di antara mereka yang beragama Islam.

Ritual masa kecil yang terpatri dalam ingatan saya, pelan-pelan punah. Dari semula setiap hari natal saya mendapat ucapan selamat natal, pelan-pelan mereka menghilang. Hanya tersisa satu keluarga saja yang masih setia menyampaikan ucapan selamat natal. Perubahan yang semula membuat saya terheran-heran lama kelamaan membuat saya maklum dan masa bodoh.

Bagaimana dengan Ramadhan? Sama saja. Dari bulan yang sangat indah di ingatan masa kecil saya, menjadi bulan yang ditingkahi dengan permintaan penutupan warung makan, pemakaian tirai, bahkan diwarnai dengan tindakan kekerasan aparat dan segolongan ormas. Hal yang tidak pernah saya temui di masa kecil dulu. Bulan yang membuat tekanan darah saya meningkat.

Kebaya mendadak menjadi pakaian yang ‘kurang’ sopan, bahkan tidak sesuai dengan kaidah agama. Kesenian tradisional, warisan turun-temurun nenek moyang kita, mendadak tidak sesuai dengan syariat agama.  Bahkan di satu daerah, kesenian tradisioanal mendadak punah. Kerudung khas wanita Indonesia mendadak berganti menjadi Hijab. Ucapan selamat ulang tahun, atau ucapan simpati jika seseorang sakit dalam Bahasa Indonesia, mendadak berganti dengan Bahasa Arab.

Pendirian rumah ibadah? Ah, inilah awal mula perbedaan ini dimulai, ketika SKB 3 menteri dikeluarkan demi langgengnya kekuasaan.

Hari Natal? Sejak kejadian pengeboman terhadap gereja, untung ada pemuda Banser NU yang dengan setia menjaga ketenangan kami beribadah, pemandangan yang sudah tidak asing lagi dan bahkan sangat dinanti.

Perbedaan agama semakin lama semakin meruncing, justru ketika Indonesia sudah melesat jauh dibandingkan ketika kakek dan paman saya berjuang untuk mendirikan negara ini. 

Generasi yang lahir kemudian, yang mengenyam pendidikan tinggi, mendadak lupa tentang asal-usul dan budaya mereka. Bagi mereka Indonesia hanyalah sekedar nama, bukan negara yang harus dijaga warisan dan budayanya. Mereka bahkan menafikan budaya Indonesia yang dijadikan alat siar agama yang mereka anut.

Dan yang lebih menyedihkan, melihat kenyataan bahwa generasi saya pun, yang seharusnya menjadi pengayom mereka yang lahir kemudian, mendadak terserang amnesia. Bahkan mereka tidak mampu memilah siapa yang harus didengar dan dipercayai. Atau benarkah pernyataan yang disampaikan.

Berdiri di sisi minoritas – dari sisi agama – mendadak saya rindu Indonesia yang saya kenal ketika kecil dulu. Indonesia dengan pakaian tradisionalnya yang mampu mengeluarkan keelokan dan keanggunan perempuan Indonesia. Indonesia dengan budayanya yang dikagumi seantero dunia. Indonesia yang mengedepankan rasa hormat dan menghargai terhadap mereka yang berbeda keyakinan.

Melihat Indonesia dari kacamata minoritas, saya jadi teringat pembicaraan tadi siang, ketika kami yang saling berbeda keyakinan berdiskusi tentang negara tercinta ini.

‘Kebayang gak, bagaimana Indonesia lima tahun dari sekarang,’ujar salah seorang teman.

‘Lihat saja bagaimana mereka yang berpendidikan tinggi mendadak kehilangan akal sehatnya, mengidolakan budaya Arab, tanpa sadar bahwa yang diidolakan itu bahkan sekarang berganti kalender, dari Hijriah menjadi Masehi.’ujar yang satunya lagi

Saya pun hanya sanggup memandang keluar sambil memandang jalan Sudirman yang lengang, sementara pikiran saya melayang jauh, ke negeri yang gemah ripah loh jinawi toto tentrem kerto raharjo. Negeri yang entah kapan pernah sangat menghargai dan bangga akan budayanya sendiri.

Entah kenapa, mendadak saya jadi teringat pidato perpisahan mantan Presiden Obama sesaat sebelum lepas landas dan wajah mendiang kakek dan paman saya. Pasti di atas sana bersama para pejuang lainnya, mereka menangisi cucu mereka yang lupa akan pengorbanan dan perjuangan mereka mendirikan negara ini, cucu mereka yang amensia bahwa agama bukanlah alat untuk melanggengkan kekuasaan, bahwa mayoritas bukan berarti meniadakan hak minoritas, cucu mereka yang lupa bahwa Indonesia tidak seragam, tapi beragama budaya, beragam suku dan beragam agama.

@juinita


Menganalisa Surga-nya Jonru Dari Kacamata Sufisme

DUNIA HAWA - “Tak seorangpun mengetahui berbagai nikmat yang menanti yang indah dipandang sebagai balasan bagi mereka, atas apa yang mereka kerjakan”

(QS. As-Sajdah :17)


Kalau bukan Jonru, siapa lagi yang bisa berbuat kontroversial di negeri ini ? Dan penggambaran surga versi-nya Jonru unik sekaligus ironis. Dikatakan unik, karena surganya Jonru adalah melulu penerjemahan kenikmatan duniawi semata yang kasat mata. Bedanya, hanya masalah tempat dan waktu saja. Jika kenikmatan-kenikmatan semacam itu dinikmati di dunia maka haram hukumnya. Sementara kelak di surga –menurut Jonru- kenikmatan-kenikmatan tersebut dihalalkan.

Disebut ironis karena penggambaran surga versi Jonru hampir diamini sebagian besar umat ini. Bukankah memang ini juga yang diajarkan sebagian guru-guru agama kita semenjak kecil ? JIka seorang lelaki muslim masuk surga maka kelak akan mendapatkan bidadari. Penggambaran bidadari sebagai sesosok perempuan cantik, molek dan selalu perawan adalah cerita lumrah yang diceritakan dari generasi ke generasi umat Islam. Penggambaran atau penafsiran seperti ini seakan sudah menjadi kebenaran itu sendiri. Maka, ketika semasa kecil penulis mengajukan pertanyaan kritis kepada sang guru agama, bagaimana dengan posisi seorang perempuan muslim yang sholeh, apakah ia akan mendapatkan bidadari juga ? Tidak ada jawaban yang memuaskan dari sang guru. Seakan-akan surga itu diperuntukkan untuk Kaum Adam saja.

Dalam Al-Qur’an sendiri terdapat ayat yang menerangkan bahwa orang-orang beriman dan beramal kebajikan di surga kelak akan memperoleh “azwaajun muthahharah” (Al-Baqarah 25; Alu Imran 15; An-Nisa’ 57) atau “huurun `iin” (Ad-Dukhan 54; Ath-Thur 20; Al-Waqi`ah 22). Barangkali karena kebanyakan penafsir kita laki-laki, maka dalam tafsir-tafsir Al-Qur’an bahasa Indonesia “azwaajun muthahharah” sering diterjemahkan “istri-istri yang suci”.

Arti terjemahan yang berbau perbedaan gender ini perlu segera mengalami reformasi, sebab dalam bahasa Arab istilah “azwaaj” (plural dari “zawj”) tidak melulu berarti “istri”, melainkan dapat juga berarti “suami” atau “pasangan” atau “kelompok”, tergantung dari konteks masalahnya.

Sedangkan kata “huur”, yang sering diterjemahkan sebagai “bidadari”, berasal dari tiga huruf dasar ha-waw-ra yang artinya “teman setia”. Istilah ini berlaku baik bagi pria maupun wanita, dan sama sekali tidak merujuk kepada gender tertentu, apalagi dengan konsep “bidadari” yang berasal dari pemikiran pra-Islam. Dari akar kata ha-waw-ra, muncul “huur”, “hawariy” atau “huwaar”, yang semuanya berarti “teman setia”, bisa jadi laki-laki dan mungkin juga perempuan.

Sesungguhnya penafsiran surga yang sering diceritakan dari generasi ke generasi umat Islam sepanjang masa adalah imbalan yang sifatnya duniawi. Imbalan kenikmatan yang “sudah” pernah dirasakan di dunia ini juga. Padahal ,sejatinya seperti disebutkan dalam ayat pembuka di awal paragraf ada penegasan, “Tak seorang pun mengetahui berbagai nikmat yang menanti.” Hal ini sejalan dengan hadits Nabi Saw :

Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah Saw bersabda : “Allah SWT Berfirman : Telah Aku siapkan bagi Hamba-Hamba-Ku yang sholeh, apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan didengar oleh telinga dan terlintas dalam benak manusia.” Seorang pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka, yaitu bermacam-macam nikmat yang menyedapkan pandangan mata, sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (Shahih Muslim-Shahih Bukhari).

Dengan demikian, baik dari ayat Al-Qur’an sendiri dan hadits Nabi Saw, kenikmatan surga jauh berada di atas level kenikmatan duniawi. Atau dengan kata lain, sebuah kenikmatan yang belum pernah dirasakan oleh panca indera kita. Melampaui itu semua.

Bahkan, bila kita sodorkan kepada sufisme, penggambaran surga –seperti versinya Jonru- yang hampir identik dengan kenikmatan duniawi adalah penggambaran yang dangkal. Apakah peribadatan-peribadan kita di dunia ini melulu untuk mendapatkan ganjaran surga atau ke-ridhaan Ilahi ? Imam Ja’far al Shadiq pernah mengelompokkan tiga tipologi ritus peribadatan hamba kepada Allah. Kesatu, kaum yang menyembah Allah karena takut. Yang demikian itu adalah ibadat hamba sahaya. Kedua, kaum yang menyembah Allah hanya untuk mengharapkan imbalan. Yang demikian itu adalah ibadatnya para pedagang. Dan yang ketiga adalah kaum yang menyembah Allah dengan cinta. Maka itu adalah ibadat mereka yang merdeka. Itulah ibadat paling utama (dalam Dahlan, 2003: 28).

Rabi’ah al-Adawiyah adalah nama yang sangat legendaris di dunia tasawuf. Seorang sufi perempuan yang jika dilukiskan jalan hidupnya adalah kecintaan kepada Tuhan. Dengarkan munajatnya ketika malam telah menyelimuti langit:

“Tuhanku, bintang-bintang telah bersinar, orang-orang telah lelap dalam tidur, raja-raja telah menutup tirai istananya, para kekasih telah menyepi, namun aku tetap berdiri di hadapan-Mu.”

Perihal surga dan segala kenikmatannya bukanlah menjadi perhatiannya. Ia beribadah kepada Tuhan bukan mengharap-harapkan surga atau ketakutan akan neraka. Ia telau melampaui itu semua. Hati Rabi’ah tak menginginkan kesenangan akhirat karena yang dicita-citakannya hanya satu : Berjumpa dengan kekasihnya. Dalam konteks inilah kita memahami salah satu doanya yang terkenal :

“Tuhanku, kalau aku mengabdi kepada-Mu karena takut akan api neraka, masukanlah aku ke dalam neraka itu, dan besarkanlah tubuhku dalam neraka itu, sehingga tidak ada tempat lagi di neraka itu buat hamba-hamba-Mu yang lain. Kalau aku menyembah-Mu karena mengharap surga-Mu, berikan surga itu kepada hamba-hamba-Mu yang lain, sebab bagiku Engkau saja sudah cukup.”

Hampir serupa dengan Ra’biah, Sufi Dzun Nun mengungkapkannnya dalam kata-kata :

“Ketakutan akan gulungan api maha panas neraka kalau dibandingkan dengan ketakutan akan berpisah dengan kekasih, ibarat setetes air yang terjatuh di hamparan samudra yang tak berbatas”

Begitu pula dengan Beyezid bangga dengan kerinduannya kepada Tuhan ketimbang imbalan surga atau neraka :

“Andai saja kedelapan surga dikuakkan di gubukku dan kekuasaan atas kedua cakrawala dunia diserahterimakan kepadaku, kutakmau menukarnya dengan segenggam keluhan yang timbul di pagi hari dari kedalaman relung jiwaku ketika aku tersergap rindu kepada-Nya” (dalam Attar).

Dengan demikian, bagi kalangan sufi, ibadah bukan sekadar ritual yang nantinya ditukarkan dengan segala kenikmatan surga. Namun, kerinduan akan Tuhan adalah surga itu sendiri. Seperti dikatakan Hazrat Mirza Ghulam Ahmad as, “surga kita adalah Tuhan kita.

@akhmad reza


Giliran FPI di Pretel

DUNIA HAWA - Situasai saat demo 411 lalu memang situasi yang sangat berbahaya. Bukan jumlah massanya yang mengkhawatirkan, tetapi banyak elemen yang bermain memanfaatkan keadaan dan berkepentingan untuk membuat demo itu chaos. Dan kita bisa merasakan betapa tegangnya situasi pada waktu itu..


Alhamdulillah, kinerja aparat keamanan sangat teruji disini. Kita patut bangga sudah melewati situasi genting dengan selamat. Meski secara waktu, energi dan materi benar2 terkuras. Ratusan miliar rupiah terbuang sia-sia, baik dari sisi pendana demo maupun pemerintah yang ingin supaya situasi kembali aman.

Dan dari pidato Jokowi menanggapi demo 411, ia tampak sangat geram. Sesudah demo 411, aparat bergerak cepat. Gerakan pecah ombak dimulai. Satu persatu provokator dikandangkan dan shock therapy dengan tuduhan makar berjalan. Tuduhan itu bukan tanpa bukti. Aparat memegang banyak bukti rekaman dan aliran dana yang tidak bisa mereka bantah.

Sesudah satu barisan besar pecah, demo selanjutnya 212 meski masih berskala besar sudah mulai aman. Karena aman itulah, Presiden akhirnya masuk ke tengah demonstran dan berkomunikasi disana..

Sekarang tinggal kelompok kecil saja dari aksi massa besar. Dan serangan menuju FPI sebagai salah satu ormas yang paling aktif dalam demo-demo massa.

Bisa dibilang disinilah FPI dipreteli. Serangan dari segala penjuru menghantam Habib Rizieq yang terlihat sebagai panglima utama di lapangan. HR harus di desakralisasi, karena sudah berkembang pemahaman bahwa ia adalah orang suci. Dibangunlah konsep perlawanan rakyat kepada HR, dengan memanfaatkan kesalahan akibat kepongahannya sendiri..

FPI tentu tahu situasi ini. Mereka resah dan mulai panik. Melawan penggembosan ini mereka kemudian melakukan propaganda Revolusi. Sebuah teriakan sia-sia, menurut saya, karena momentumnya sudah lewat. Rakyat sudah kembali bekerja seperti biasa karena sidang Ahok -yang dijadikan pintu masuk bagi mereka- sudah terlaksana dengan informasi yang terbuka.

Kita bisa melihat inilah waktu dimana FPI menjadi kerdil. Tidak perlu memukul mereka, cukup dengan menaruh mereka pada sudut sempit, dan proses pembusukan akan berjalan sendiri...
Demo hari ini yang mengajak "umat Islam" untuk membebaskan HR, tidak mendapat sambutan berarti. Karena rakyat tahu bahwa ini hanya untuk kepentingan FPI sendiri, bukan agama. Lagian bukti video bahwa HR bersalah tersebar luas.

Sambil seruput kopi, boleh dong saya kasih analisa tambahan..
Dengan semakin mengecilnya gerakan massa dengan tema "Penista agama", maka proses hakim menyatakan Ahok tidak bersalah akan lebih mudah dan tidak terganggu demo besar seperti sebelumnya..

Untuk FPI boleh saya titip sedikit pesan ? Sini saya 
bisikkan.. 

"Pakde kok dilawan..."

Seruput dulu ah..

@denny siregar


Pertandingan Dimulai! Megawati Sudah Dilaporkan Atas Penistaan Agama

DUNIA HAWA - Tentunya masih segar dalam ingatan kita di mana Rizieq berencana melaporkan Megawati atas dugaan penistaan agama, lalu meminta mediasi yang kemudian ditolak oleh PDIP. Dan usai diperiksa di Polda Metro Jaya kemarin, Rizieq langsung berorasi di depan ribuan pengikutnya untuk melaporkan para pelaku penistaan agama Islam pada kepolisian di daerah masing-masing.


Rizieq kembali menggelora. Rizieq yang sempat melempem kembali garang dan menunjukkan taringnya. Rizieq mengatakan, tidak peduli apakah pejabat atau pimpinan partai, harus dilaporkan jika memang dinilai menghina Islam. Para penoda agama harus diproses secara hukum dan tak pandang bulu bahkan harus diproses hingga meja hijau (pengadilan).

“Kita lihat bagaimana tegaknya keadilan di Republik ini. Jangan hanya laporan habib ulama diproses sementara laporan kepada pejabat tidak diproses,” kata Rizieq. Awalnya saya pikir Rizieq cukup berani mengatakan itu sambil berorasi. Ini dilakukan dengan cara terang-terangan di depan ribuan massa pendukung. Tak habis pikir bagaimana orang ini selalu tak habis-habisnya membuat manuver sensasi. Tapi setelah dipikir-pikir, Rizieq tidak seberani itu. Mengapa?

Alasannya sederhana, karena dia meminta pengikutnya untuk melaporkan para pelaku penista agama, BUKAN DIRINYA SENDIRI. Kalau suruh-suruh orang melaporkan, sama saja bohong. Kalau memang berani, seharusnya melaporkan sendiri, bukan meminta orang lain yang melakukan. Saya pun bisa kalau begitu, berlindung di balik massa untuk memberikan arahan.

Dan hari ini Megawati dilaporkan ke Bareskrim Polri atas tuduhan penodaan agama, dan dinilai melanggar pasal 156 dan 156a KUHAP. Pelapornya adalah Humas LSM Aliansi Anak Bangsa Gerakan Anti Penodaan Agama bernama Baharuzaman. Dia mempersoalkan pidato Megawati saat Ultah PDIP pada tanggal 10 Januari lalu.

Baharuzaman mempersoalkan kutipan pidato yang berbunyi, “Para pemimpin yang menganut ideologi tertutup pun memosisikan dirinya sebagai pembawa ‘self fulfilling prophecy’, para peramal masa depan. Mereka dengan fasih meramalkan apa yang pasti terjadi di masa yang akan datang, termasuk dalam kehidupan setelah dunia fana, padahal notabene mereka sendiri tentu belum pernah melihatnya.” Secara spesifik dalam laporannya ke Bareskrim, Baharuzaman mempersoalkan kalimat pemimpin ideologi tertutup sebagai peramal masa depan.

Saya masih belum tahu apakah ini ada hubungannya dengan himbauan Rizieq sebelumnya agar melaporkan siapa pun yang menista agama. Kalau ada hubungan, yah seperti yang saya katakan, Rizieq tidak cukup berani melaporkan sendiri, hanya berani meminta orang melaporkan. Ada satu alasan yang membuat ini masuk akal. Rizieq waktu itu ingin melaporkan Megawati dengan pidato yang itu juga. Sebutan Megawati mengenai peramal masa depan itulah yang diperkarakan Rizieq. Rizieq dan Baharuzaman mempersoalkan spesifik pidato yang sama.

Berarti ada yang tersinggung, yaitu pemimpin dengan ideologi tertutup. Entah siapa dia, saya kurang tahu. Berarti jika itu dipermasalahkan, dengan menggunakan ilmu cucoklogi amatiran yang tak perlu mikir terlalu berat, ada yang merasa dirinya pemimpin dengan ideologi tertutup yang memosisikan dirinya sebagai peramal masa depan. Karena tidak senang, maka dilaporkanlah Megawati.

Kalau pun laporan Baharuzaman tak ada hubungan dengan orasi bimbauan Rizieq, mari kita analisa keanehannya. Saya tidak melihat ada unsur penistaan agamanya. Karena tidak mengungkit agama sama sekali. Di potongan pidato tersebut, Mega menyebut pemimpin menganut ideologi tertutup, bukan ulama, bukan pemuka agama. Tidak juga menyebut ayat atau agama mana pun secara spesifik.

Peramal masa depan? Memangnya itu penistaan agama? Sekali lagi, tidak ada kata agama di situ. Saya bingung apakah pelapor memahami di mana letak penistaannya atau hanya sebagai titik titik. Ini terkesan sangat lucu, melaporkan apa yang tidak jelas. Agama saja tidak disinggung, padahal yang disinggung adalah pemimpin. Pidatonya saja abu-abu nggak jelas, paling nanti kasusnya lenyap seiring berlalunya waktu.

Tapi saya merasa ini hanya lelucon belaka, karena PDIP dari dulu sudah siap pasang badan dan sudah menolak mediasi dengan Rizieq. Artinya PDIP sudah siap berperang. Paling-paling nanti pelapor yang dituntut balik karena membuat laporan tak berdasar. Kita lihat saja nanti bagaimana kelanjutannya dan siapa yang akan mewek dizalimi.

Dan satu lagi. Pembaca percaya kasus Ahok tidak bermuatan politik? Coba tarik benang merahnya dari sebelum 411. Awalnya cuma Ahok, sekarang sudah melebar ke Megawati. Hanya orang yang tidak waras yang bilang kasus ini tidak bermuatan politik terkait pilkada. Sepertinya ini bukan masalah penistaan agama lagi, melainkan ada yang lebih dari ini. Tapi saya malas bespekulasi, nanti saja. Apa pun itu, perseteruan telah dimulai, dan kita akan lihat semakin terang ada apa dengan semua ini karena Megawati pun sudah ikut terseret. Something will happen.

@xhardy


‘Blunderisasi’ Pasangan Calon Nomor 1

DUNIA HAWA - Pilkada DKI Jakarta kali ini menunjukkan persaingan yang luar biasa. Semakin mendekati waktu pencoblosan semakin menumpuk pula janji-janji yang dikeluarkan masing-masing pasangan calon. Sangat menarik bagi para penggemar acara politik untuk mendalami apa saja yang telah dijanjikan dan seberapa besar kemungkinan janji tersebut dapat dilaksanakan pada saat kemenangan tiba.


Kita lihat yuk janji-janji apa saja yang tertangkap media yang diberikan oleh pasangan calon nomor 1 kepada para penggemarnya.

1. Bantuan Langsung Tunai


Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk keluarga kurang mampu sebesar 5 juta Rupiah per tahun per keluarga. Ada yang mendukung dan ada juga yang menolak program BLT. Bagi yang mendukung, mereka menganggap bahwa BLT dapat membantu mengurangi kemiskinan dan kesenjangan sosial di Jakarta. Sedangkan yang menolak, mereka menganggap kebalikannya, dan menganggap sebagai pembodohan masyarakat.

BLT pernah dipakai oleh SBY pada tahun 2005. Bisa dilihat dari tabel di atas “Jumlah Penduduk Miskin Dan Tingkat Kemiskinan per Kota / Desa 2004-2012”. Tabel diambil dari Bappenas dalam laporan yang berjudul “Kinerja Pembangunan 2004-2012”. Dalam tabel terlihat jumlah penduduk miskin kota tahun 2004 tercatat 11,4 dimana pada saat itu BLT belum dijalankan. Tahun 2005 meningkat 12,4, 2006 meningkat menjadi 14,49, baru turun tahun 2007 menjadi 13,56.

Padahal Agus-Sylvi menargetkan turunnya angka kemiskinan dari 3,75% menjadi 2,75% dengan dikeluarkannya BLT. Sedangkan hasil dari BLT versi SBY membuktikan BLT tidak berdampak siknifikan terhadap angka kemiskinan.

Apakah AHY-Sylvi akan tetap menjalankan BLT?

Jawabannya adalah ya. BLT adalah daya tarik bagi pemilih pasangan nomor 1, walaupun telah dijelaskan oleh AHY pada saat debat Cagub dan di beberapa media, BLT hanya bersifat sementara. Bisa dikeluarkan selama 1 tahun, 2 tahun, terserah kepada AHY kapan mulai dan kapan berhenti. Sama seperti era SBY, mulai tahun 2005 – 2007 dan kemudian dilanjutkan kembali tahun 2008.

Kekurangan dari BLT adalah lemahnya monitoring atas dana yang dikeluarkan. Tidak ada yang bisa menjamin bahwa dana akan sampai 100% ke masyarakat yang membutuhkan dan kemungkinan pembagian BLT yang tidak merata sehingga banyak warga tidak mampu yang tidak menerima BLT.

Bila kita bandingkan dengan petahana atau program Pemprov saat ini, bantuan tidak diberikan dalam bentuk tunai tetapi melalui kartu yang dapat dimonitor kegunaannya dan telah ditentukan fungsi dana tersebut. KJP untuk pendidikan, KJS untuk kesehatan dan KIP (program bantuan pendidikan pemerintah pusat) untuk warga Indonesia tidak mampu selain penerima KJP.

Apakah Jakarta masih memerlukan Bantuan Langsung Tunai untuk masyarakat tidak mampu bila sudah KJP, KJS, KIP dan BPJS?

2. Bantuan Tunai 1 Miliar per RW


Program yang satu ini menjadi perdebatan di dunia dan akhirat. Semudah itukah seorang Gubernur membagikan uang APBD sebesar 1 miliar untuk setiap RW di Jakarta. Kasihan sekali RW-RW yang ada di luar Jakarta. Mereka akan protes ke Gubernurnya masing-masing dan bertanya kapan kami mendapat bantuan 1 miliar seperti Jakarta? Apa salah kami sehingga diperlakukan tidak adil?

Bila program ini berhasil dilaksanakan, pintu bagi Gubernur lain untuk berbagi ‘ember’ akan terbuka lebar. Berapa triliun yang akan dibagikan oleh para Gubernur?

Kita ambil saja data dari kompas tahun 2014 yang mengatakan ada 2.709 dan kita asumsikan saja tidak ada tambahan di tahun 2016. Sehingga total dana yang dibutuhkan adalah sebesar Rp. 2.709.000.000.000 atau 2,7 triliun per tahun. Total lima tahun masa kepemimpinan Gubernur menjadi Rp. 13.545.000.000.000 atau 13,5 triliun.

Djarot sebagai wakil Gubernur saat ini mengatakan “Lupakan program-program yang angin surga seperti itu. Gimana nanti mempertanggungjawabkannya”. (Horas Sumut News)

“Saya gerilya ke seluruh Jakarta, banyak yang bilang, akhir-akhir ini RT/RW tidak diberdayakan, betul? Saya justru ingin berdayakan RT/RW, karena banyak gagasan baik dari sana dan RT/RW yang paling tahu kondisi lingkungan tempat tinggalnya,” kata Agus.  (metro online)

Memberdayakan RT / RW sudah dilakukan dengan adanya Qlue dan bisa juga penyampaian langsung program kerakyatan kepada Gubernur. Tidak harus memberi 1 miliar kepada setiap RW dan mempersilahkan RW merencanakan dan menjalankan sendiri program anda, saya sebagai Gubernur tidak ikut campur.

Apakah program ini bisa dilakukan? Bisa saja. Tergantung dari wakil rakyat yang duduk di DPRD. Apakah mereka akan kritis dan mempertanyakan cara monitoring agar uang 1 miliar tidak disalahgunakan. Siapa yang akan menjadi auditor dari semua aktifitas pengeluaran dana semua RW di Jakarta? Dan siapa yang akan menjadi akunting yang mengumpulkan bukti pembayaran dan pengecekkan kebenaran dari data yang diberikan? Siapkah ketua RW mempertanggungjawabkan dana hibah tersebut dan siap untuk menjadi tersangka bila ada kesalahan. Bola panas bukan orang yang memberikan hibah, tetapi bola panas ada pada si penerima hibah.

Dan satu hal yang harus diingat, itu adalah uang Negara. Saat ini, pemerintahan Jokowi berusaha untuk meningkatkan pendapatan Negara dengan melakukan Tax Amnesty dan mengejar target penghasilan dari pajak. Bila uang 13,5 triliun tersebut disalahgunakan, maka yang harus menanggung akibatnya adalah rakyat juga. Pemerintah akhirnya akan lebih meningkatkan target pajak untuk menutupi kekurangan dana APBN.

3. Penanggulangan Banjir


Sesuai dengan artikel “Jakarta Memilih: Cagub Dengan Program Bebas Banjir”, posisi AHY-Sylvi adalah yang terendah dalam hal penanggulangan banjir di Jakarta. Pada saat ditanya dibeberapa kesempatan, AHY selalu memberikan jawaban yang berbelok-belok dan tidak memberikan jawaban langsung tentang programnya. Setelah beberapa hari dan setelah banyaknya artikel yang mempertanyakan program banjir sang AHY, baru keluar pernyataan dari AHY mengenai penanggulangan banjir yang dipasang di situs resmi Demokrat yang juga merupakan artikel dari detik. Berikut kata-kata AHY:

AHY mengaku sudah memetakan sejumlah daerah rawan banjir di Jakarta. Dia mengaku punya jurus jitu yang akan digunakan jika terpilih menjadi Gubernur DKI. Wow.. jurus jitunya disimpan dulu dan akan digunakan bila terpilih menjadi Gubernur. Pasangan lain berlomba untuk membuat program yang bagus dan disampaikan kepada warga. Kalaupun tidak terpilih, konsep banjir dapat dipakai oleh calon Gubernur lain. Bukankah itu sama dengan membantu rakyat? Jadi bila anda ingin tahu program penanggulangan banjir versi AHY, silahkan coblos dulu paslon nomor 1 di Pilkada nanti.

“Begini kita tahu, kita sudah hitung juga dan tentunya akan dimutakhirkan lagi melalui tidak hanya diskusi. Insya Allah saya terpilih jadi gubernur, saya akan duduk bersama dengan banyak sekali pakar dan juga para praktisi yang selama ini telah menangani perkotaan,” kata AHY di kawasan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, Minggu (22/1/2017). Loh kok jadi begini? Bukannya tadi bilang sudah ada jurus jitu? Sekarang masih harus duduk dengan para pakar dan juga para praktisi. Kenapa posisi Gubernur tidak diserahkan kepada praktisi yang sudah bertahun-tahun menata kota Jakarta? Kanapa warga Jakarta perlu memilih anda di Pilkada yang akan datang? Saya kira wajar bagi orang waras untuk bertanya seperti itu.

Dari pembicaraan di atas, bisa disimpulkan, banjir akan tetap ada selama 5 tahun ke depan. Pilihannya hanya bertambah banjir atau berkurang banjirnya. Menurut anda para pembaca yang budiman?

4. IT sebagai solusi permasalahan Ibukota


“IT merupakan fundamental utama dalam mencari solusi di Jakarta. Sebagai ibu kota negara, tentunya harus juga semakin berbasis pada IT,” ujar AHY usai menghadiri seminar leadership di Balai Rakyat Plumpang, Jakarta Utara, Minggu (22/1/2017). Sejumlah permasalahan yang dapat diatasi melalui pemanfaatan IT di antaranya banjir, kondisi lingkungan, polusi, dan aksi kriminalitas yang terjadi di Jakarta. 

Ini adalah janji terbaru dari AHY untuk menggunakan IT sebagai solusi problema Jakarta. Sebenarnya saya ingin sekali mengetahui secara jelas bagaimana IT bisa memberikan solusi. Tapi sayangnya, para peserta seminar tidak ada yang bertanya secara jelas hubungan antara IT dan masalah Ibukota. Kemana saja para peserta seminar itu? Coba anda membayangkan sendiri-sendiri pertanyaan di bawah ini dan sampaikan saran anda untuk membantu pendukung AHY:

Bagaimana IT bisa menanggulangi banjir? Tolong jelaskan caranya

Bagaimana IT bisa menanggulangi polusi? Tolong jelaskan caranya

Bagaimana IT bisa menanggulangi aksi kriminalitas? Tolong jelaskan caranya

Sudahlah. Kita akhiri saja dan kita lanjutkan di lain waktu (bila ada waktu).

Salam-salaman yuk..

“Apalah arti rupa jika di dalamnya tak ada makna, hanya bagai ruang hampa, tiada sinar dan udara.

@arif


Jangan Jadikan Indonesia Seperti Suriah

DUNIA HAWA - Sepanjang travelling ke beberapa negara di Eropa dan Turki seminggu lalu, ada pengalaman yang bikin ngenes dan mikir. Pemandangan yang jauh berbeda dibandingkan kunjungan saya ke Eropa sepuluh dan tiga tahun lalu. Tiga tahun lalu memang banyak peminta-minta asal Romania, tapi tahun ini saya melihat beberapa gelandangan/ peminta-minta berkerudung yang mengaku berasal dari Suriah.


Sedih melihat mereka yang berpakaian Muslim menyapa kami dengan “Assalamu’alaikum” dan bicara dengan Bahasa Arab mengejar kami untuk recehan 1 atau 2 euro. Sedih melihat mereka mengemis di negara-negara mayoritas non Muslim apalagi di saat suhu sekitar minus di musim dingin dan harus tidur beralas seadanya di emperan butik kawasan mewah seperti Champs Elyssees (Paris) dan Duomo (Milan). Sementara saya masih bisa tidur nyaman di dalam kamar hotel dengan penghangat ruangan.

Di Istanbul pun pemandangan yang sama saya lihat. Saat akan memotret Blue Mosque, ada dua gadis cantik berkerudung hitam mendekati saya. Mereka mengucap “Assalamu’alaikum” dan saya jawab “Wa alaikum salam”. Saya pikir mereka hanyalah sesama turis muslim yang senang melihat saudara sesama muslimnya. Tetapi saat salah satu gadis berbicara dengan bahasa seperti bahasa Arab dengan wajah memelas, saya langsung berusaha menghindar. Salah satu gadis yang lebih besar menyodorkan amplop “Money miss” katanya

Saat naik tram dari Kabatas ke Sultan Ahmet, masuk seorang balita cantik berkerudung ala kadarnya berkulit putih dengan pipi merah.naik bersama ibunya berkerudung pula dari halte dekat jembatan Galata. Sebentar kemudian, saat pintu tram ditutup, sang balita mendekati semua penumpang di tram dengan wajah memelas sementara ibunya diam. Kalau di Indonesia sang balita mungkin sudah jadi pemain sinetron, wajahnya mengingatkan saya pada Arumi Bachsin.
Sebagai Muslim, apa pun aliran Islam mereka, tentunya saya sedih melhat pemandangan ini. Tapi apa yang bisa saya lakukan, kalau negara-negara mayoritas Islam kaya di Arab saja seakan tidak peduli? Orang-orang Turki pun cuek, karena sebenarnya menurut teman saya yang wartawan Turki, orang-orang Suriah masuk ke Turki ilegal, dan mereka menjadi beban pemerintahan Erdogan.

Jangan sampai karena politik kita dipecah belah, atau dibuat seperti Suriah. Lihatlah apa yang terjadi sejak kampanye Pilpres dua tahun lalu. Diawali dengan penyebaran hoax atau fitnah di media sosial untuk saling benci. Kita dipecah menjadi dikotomi Muslim dan non Muslim. Islam dan Islam liberal. Sebagian yang merasa Islamnya benar menuding temannya yang Muslim sebagai Muslim liberal atau syiah tanpa berpikir ke depan akibat dari hasutan, hoax atau fitnah yang mereka sebarkan. Kita tidak sadar, banyak negara yang iri dengan Indonesia. Mereka takut jika negara ini bersatu dan fokus untuk membangun, Indonesia akan menjadi negara hebat.

Saya teringat beberapa hari lalu di awal perjalanan saya di eropa, di lobi Soft Hotel dekat Stasiun Kereta Gare De L’Est Paris, mungkin karena saya berjilbab, saya disapa assalamualaikum oleh seorang laki-laki dengan ponakannya yang ternyata orang Suriah yang sudah “sukses” tinggal di Jerman. Bahasa Inggrisnya sangat bagus beraksen Inggris Amerika. Saya sempat tanya apa sebenarnya yang terjadi di negara asalnya, karena di Indonesia beritanya simpang siur. Dia hanya menjawab, “It’s nightmare, complicated, politic. Jangan sampai negara kamu dipecah belah seperti kami”

Mereka, pengemis Syria itu dulunya punya kehidupan layak seperti kita, tapi harus menelan harga diri menumpang tinggal di negara orang, apalagi negara non muslim, minta-minta kepada orang yang memandang muka mereka pun tidak.

Untuk kamu yang masih terhasut hoax / fitnah, pikir-pikirlah, hidup ini adalah berkah. Kebebasan untuk hidup layak adalah berkah luar biasa. Mungkin saat ini sholat dengan tenang, pergi ke kampus dan tempat kerja, nonton film di bioskop, berkumpul dengan keluarga dalam suasana yang hangat adalah hal lumrah yang kita tidak syukuri. Jangan sampai hal-hal tersebut diambil barulah kita bersyukur.

Yang jari-jarinya masih hobi sharing berita dan atau gambar hoax atau pun fitnah, lebih baik mikiiiiiir lagi. Bayangkan anak-anak Bapak/ Ibu yang unyu-unyu itu tiba-tiba harus putus sekolah, jadi peminta-minta di negara orang, hidup sengsara di tengah suhu minus 2 derajat di emperan toko yang tertutup salju tebal. Bayangkan, sebelum ego dan kemalasan kita mencari kebenaran membutakan kita

Allah sungguh baik memilih kita lahir dan tinggal di negara yang nyaman seperti Indonesia, dengan suhu nyaman yang tidak terlalu panas dan tidak terlalu dingin. Berhenti membanding-bandingkan Indonesia dengan negara anu atau pemerintahan anu, karena saat kita lihat dari dekat, tidak ada negara/ pemerintahan yang benar-benar sempurna. Itulah pentingnya piknik.

@sari musdar


Inilah, Mengapa Rizieq Selalu Didukung

DUNIA HAWA - Rizieq Shihab terus-menerus digerus masalah. Hebatnya, masalah itu terus-menerus dia bikin sendiri. Rasa-rasanya, tiada hari tanpa masalah, dan tiada masalah kecuali ulah sendiri. Wekawekaweka. Mungkin, hidupnya jadi sepi bin sendu jika tak bikin masalah. Maka, segala sesuatu dipandangnya sebagai inspirasi mencipta masalah. Duit aja bisa dijadikan masalah olehnya, padahal duit itu hanya benda. Benda mati lagi. Alih-alih saya dan anda, sebagai manusia. Jika yang benda saja dijadikan masalah olehnya, semua orang lebih menjadi masalah lagi baginya. Semua orang, barangkali, kecuali FPI dan otak-otak dungu yang mendukungnya.


Saya mengenali Rizieq ini sejak ia  berteriak-teriak melawan Gus Dur. Terlepas saya adalah pengagum Gus Dur, hormat dan takjub dengan keilmuan dan kebijaksanaannya, suatu pribadi yang tak tertandingi kewaskitaan dan kebijakannya, saya melihat Rizieq adalah sejenis makhluk yang hobinya teriak-teriak yang menggadaikan kepribadiannya melalui umpatan dan teriakannya itu. Kalau berbicara, ia berteriak. Kalau ceramah, ia teriak. Kalau mengumpat, ia teriak. Kalau memaksa, ia teriak. Kalau menghakimi orang lain, ia teriak. Menghakimi duit, ia teriak. Menghakimi bendera, ia teriak. Menghakimi komunis, ia teriak.

Inti kata seorang Rizieq: Teriak adalah senjatanya. Dan…takbir, adalah legitimasinya.

Perselingkuhan antara teriakan dan takbir ini menjadi kepribadian Rizieq, dan dipakai sebagai senjata andalan untuk mendapatkan dua hal. Pertama, mendapatkan simpati dan dukungan dari golongannya dan orang-orang dungu lainnya. Kedua, mempermasalahkan segala sesuatu yang menurut otaknya dianggap salah, sesat, menyimpang, kafir, komunis, PKI, dan seterusnya.

Tujuan pertama dan tujuan kedua di atas, sejauh ini sangat sukses tercapai. Puncak kesuksesan dan keberhasilan itu tercermin dalam aksi-aksi demo bela Islam. Mengusung bendera FPI, memperalat MUI dengan GNPF-nya, simpati dan dukungan terhadap Rizieq meluas berjuta-juta. Berbagai kalangan mendadak rame-rame mendukung Rizieq untuk memperkarakan si penista agama. Tak peduli apakah Ahok benar atau salah secara hukum, yang terpenting adalah bagaimana Rizieq berhasil menjejalkan ide “si penista agama harus diseret dan dipenjara”.

Ustadz-ustadz tiba-tiba bermunculan. Orang yang tak tahu siapa Bakhtiar Nasir mendadak tahu. Nama Teungku Zulkarnain dielu-elukan. Ustadz-ustadz yang telah kehilangan panggung mendadak mendapatkan panggungnya kembali. Artis-artis yang (sok) Islami, yang mencitrakan diri islami, mendadak berdiri di belakang Rizieq. Umat-umat alai nan lebay ikut bersorak-sorai. Ditambah politisi busuk nan bejat, mendapat momentum untuk melancarkan kebusukan dan kebejatannya.

Merasa berhasil seperti itu, Rizieq semakin menggila. Jurus teriakan semakin gencar. Ketika satu per satu kebenaran terungkap, fakta-fakta justru bertolak-belakang dengan teriakan-teriakan Rizieq, saksi-saksi goblok nan lucu justru memperlihatkan kepentingan busuk di balik serangan-serangan verbal-komunal terhadap Ahok, Rizieq ternyata tak bergeming. Rizieq tetap pada kepribadiannya sendiri. Rizieq tak (pernah) merasa keliru dan salah. Rizieq harus selalu merasa benar. Maka, ia tak pernah mempedulikan derasnya hujatan, makian, dan teriakan-teriakan lawan. Ketika di berbagai wilayah saat ini bermunculan aksi menolak FPI, pertanyaannya: Apakah hal itu mengurangi keyakinan Rizieq dan mengurangi simpati terhadap FPI itu sendiri??

Mari kita lihat persoalan ini dengan jernih. Orang-orang yang selama ini meneriakkan anti FPI adalah orang-orang yang sama, yang selama ini memang sudah muak dengan sepak-terjang FPI. Orang-orang ini, tentu saja, adalah orang-orang yang tercerahkan hati dan otaknya. Sedari awal, mereka tahu bahwa FPI hanyalah sejenis kumpulan orang-orang dungu yang menjalani hidupnya dengan kedunguan itu. Bagi mereka, FPI tak lebih seperti cerita tentang katak kolam yang mendapatkan kunjungan katak laut. Katak kolam ini, tak pernah pergi ke mana-mana selain berputar-putar berjumpalitan seluas kolamnya. Tetapi, ia sombong kepada katak laut dan mengatakan bahwa tak ada tempat yang lebih luas daripada kolam hidupnya. Orang-orang yang tercerahkan hati dan otaknya adalah ibarat katak laut terhadap katak kolam FPI ini!

Sekali lagi, mereka yang berteriak anti FPI adalah orang-orang yang sama. Pada ujung satunya, orang-orang yang bersimpati terhadap FPI juga adalah orang-orang yang sama pula, yang selama ini memang simpati terhadap FPI. Malah, mereka mendapatkan tambahan dukungan dari politisi-politisi busuk dan bejat yang kerjaannya mengail di air keruh. Plus, mantan-mantan gila yang gak bisa move on.

Sampai di sini, saya ingin mengatakan bahwa sejauh mana teriakan anti FPI, fakta-fakta kebobrokan tentang FPI ditunjukkan, kebusukan-kebusukan FPI terungkap, itu sama sekali tak mengurangi gairah dan nafsu anggota-anggota FPI dan para simpatisannya! Dengan kata lain, apa pun suara kebenaran anda ungkapkan, jamaah FPI tetap setia dan tak bergeming sama sekali. Hebat kan?

Itulah, kenapa Rizieq yang sedang diperkarakan tak selalu kekurangan anggota untuk membelanya. Itulah, kenapa FPI tetap saja melakukan demo dan aksi mendukungnya. Entahlah, ini soal apa. Apakah soal cinta dan kepatuhan pada imam besarnya? Atau ada soal lain hingga mereka membabi buta dalam cinta dan setia.

Kalaupun terpaksa harus mencari-cari jawaban oleh sebab apa FPI tetap saja tak  berubah walaupun hujatan, cacian, makian, dan teriakan orang-orang yang menentangnya semakin nyaring terdengar, saya menemukan tiga kemungkinannya. Pertama, soal duit. Kedua, soal kedunguan yang membabi-buta. Ketiga, gabungan antara soal duit dan kedunguannya.

Begitulah kura-kura…

@taufiqurrahman al-azizy

Ahok ke Sylvi: Dikit-dikit Bilang Politisasi, Ini Saya Sudah Terdakwa, Bos

SYLVI DAN DUGAAN KORUPSI 


DUNIA HAWA - Ahok heran mengapa pemeriksaan Sylvi dikaitkan langsung dengan politik. Belum apa-apa, Agus Yudhoyono (pasangan Sylvi di Pilkada DKI) sudah bilang politisasi. Sebelum kita lanjut, saya akan tulis ulang sedikit tentang Sylviana Murni dan dugaan korupsinya secara sederhana.


Sylviana Murni, pasangan Agus Yudhoyono (AHY) di Pilkada DKI, dipanggil Bareskrim untuk diperiksa mengenai dugaan korupsi dana bantuan sosial waktu ia masih menjabat sebagai Kepala Kwartir Daerah (Kwarda) Pramuka DKI Jakarta.

Pemeriksaan berlangsung selama 7 jam, Pk 07.53 – Pk 15.29. Ini pemeriksaan lho, untuk dimintai keterangan (bahasa kerennya : klarifikasi), masih tahap sangat awal dalam suatu penegakan hukum. Polisi sebagai aparat negara berhak meminta keterangan apapun kepada siapapun yang berkaitan dengan pelanggaran hukum negara. 

Sylvi mengatakan bahwa itu “bukan dana Bansos (Bantuan Sosial)” tapi Dana Hibah. Sylvi tidak eksplit mengatakan tidak korupsi, hanya menampik kekeliruan bahwa itu bukan Bansos, tapi itu Hibah. Anda tidak paham bedanya? Tidak apa-apa, sangat manusiawi. Bapak Wakil Menteri Keuangan kita, Mardiasmo, juga sama bingungnya kok dengan kita.

“Saya juga masih bingung bedanya bansos dan hibah. Ini yang sedang ramai dibicarakan, karena bansos ini kan bisa macam-macam bentuknya,” jelas Mardiasmo.

Intinya begini kata Bapak Wakil Menteri Keuangan, keduanya belum ada aturan yang efektif dan gampang disalahgunakan. Apapun urusan instansi yang memerlukan dana, bisa diambil dari Bansos dan tidak dibatasi. Bila kurang, dapat ditambahkan. Awalnya untuk mengatasi masalah sosial, tapi sekarang entahlah. Mengenai hal ini, kementerian mengkaji ulang tentang regulasi Bansos.

Pasti ada perbedaan antar keduanya, tapi regulasi yang mengatur apakah suatu dana itu Bansos atau Hibah masih kurang jelas sehingga mudah diselewengkan. Maka dari itu akan dikaji ulang oleh Kementrian Keuangan.

AGUS DAN DUGAAN POLITISASI


Mengenai pemanggilan Sylvi ini, Agus serta merta langsung mengatakan politisasi. Politisasi maksudnya bersifat politik. Jadi mudahnya begini, Sylvi diperiksa Bareskrim mengenai dugaan korupsi karena ada muatan politik bukan murni karena adanya kasus pelanggaran hukum. Bahasa kasarnya, ini cuma intrik politik pesanan saja dari pemerintah entah siapa.

“Sangat saya sayangkan. Ini kok seperti rasa-rasanya aroma politiknya terlalu tinggi, diupaya mencari sesuatu yang tidak ada,” ungkap Agus usai kampanye di Pasar Petak Sembilan, Glodok, Jakarta Barat, Kamis 19 Januari 2017.

Saya sependapat dengan Masinton Pasaribu yang mengatakan Agus ini kekanak-kanakan dan merendahkan kapasitas dan profesionalitas Kepolisian. Baru diperiksa sebagai saksi saja sudah langsung reaksi, “Ini politisasi!” Dulu bilang kasus Ahok (lawan Pilkada-nya), percayakan pada hukum, sekarang Sylvi yang belum jadi ‘kasus’ saja, sudah langsung reaksi, “Politisasi!” Kok mirip sama kaum secingkrangan berdaster ya.

Sama-sama impulsif. Senggol dikit, DUAR! Sumbu pendek.

Dari sini mulai kelihatan, kata Masinton Pasaribu, mana paslon yang benar-benar mentaati hukum, mana yang hanya sebatas retorika. Entah kenapa, kata-kata ini kelihatannya pas saja. Dan entah kenapa, makin mirip dengan kaum secingkrangan berdaster. 

Sama-sama standar ganda soal hukum. Orang lain boleh diperiksa, saya/kami jangan.

Tentang standar ganda hukum gampangnya begini, kalau orang lain melanggar, patuhi hukum! Kalau saya atau pasangan saya melanggar, teriak, “Politisasi!” atau “Mediasi!”, tergantung pakai kosa kata siapa. Mirip makna dibaliknya, cuma kosa katanya berbeda.

PESAN MORAL AHOK KE AGUS DAN SYLVI


“Sedikit-sedikit politisasi. Tersangka saja belum. Ini (saya saja sudah) terdakwa, bos,” kata Ahok di kawasan Condet, Jakarta Timur, Senin (23/1/2017).

Nah lho! Bahasa Ahok kurang jelas apa. Saya dan Anda pembaca, sibuk membaca di atas keterangan-keterangan bahasa formal yang saya tulis, dan semua seketika sia-sia kalau Ahok sudah ikutan ngomong di artikel saya ini. Selesai sudah, gak ada bahasa halus kemasan politis lagi di tulisan saya ini.

Ahok sama malasnya dengan kita semua dengan kata “politisasi”, tapi dia yang paling berhak berbicara itu. Dia yang paling merasakan realitas pemaknaan kata itu. Tuntutannya seakan mengada-ada, penuntutnya cuma modal bukti video editan, yang edit video sudah tersangka, saksi-saksi sumpah palsu semua (atau gak nyambung), dan sebut sendiri silahkan sesukanya.

“Cek saja benar atau enggak. Saya saja enggak pernah ngeluh politisasi. Jalani hukum saja supaya pengadilan membuktikan,” kata Ahok.

Tembakan kedua, langsung to the point. Gak pake prihatin-prihatinan, gak pake ‘sangat disayangkan’, gak pake hafalan atau pun puitis, langsung saja. Intinya Ahok ingin mengingatkan bahwa inilah hukum, jalani saja. Kenapa harus mengeluh. Ini kan negara hukum. Emang yang punya hukum bapak lo apa? Eh…

Demikian para Rusa dan Kura-kura. Silahkan share supaya tetap waras pada realitas.

@alderre



Kasus Korupsi Masjid Naik ke Penyidikan! Siapa yang Akan Jadi Tersangka?

DUNIA HAWA - Seperti yang kita ketahui bersama, beberapa minggu terakhir ini terdengar kabar dugaan korupsi pembangunan Masjid Al Fauz yang tengah diusut oleh Badan Reserse Kriminal Polri (Bareskrim Polri). Kasus ini begitu menyita perhatian kita bersama karena ada salah satu peserta Pilkada DKI 2017 yang “diduga” terlibat, yaitu calon wakil gubernur DKI Jakarta nomor urut satu: Sylviana Murni.


Dugaan korupsinya terjadi pada tahun anggaran 2010 dan 2011. Sylviana yang kala itu menjabat sebagai Walikota Jakarta Pusat pun diduga terlibat, namun rasanya setahu saya hingga kini belum dibantah secara tegas oleh Sylviana. Ketika diminta responnya, Sylviana pun enggan menjawab pertanyaan wartawan. Menurut saya jika memang bersih dalam kasus ini, kenapa Ibu Sylviana ini aneh sekali ya tidak langsung membantah? Apakah menjaga-jaga agar jangan sampai ada kebocoran atau sedang mencocokkan alibi dengan pihak-pihak lain atau sedang menyusun strategi atau apa.

Saya tidak tahu


Diberitakan bahwa biaya untuk membangun masjid tersebut adalah Rp 27 miliar, tapi ada penambahan senilai Rp 5,6 miliar pada 2011. Setelah melakukan pengecekan fisik masjid dan memeriksa sekitar 30 saksi, akhirnya kasus dugaan korupsi pembangunan Masjid Al Fauz di kantor Wali Kota Jakarta Pusat ini telah dinaikkan menjadi penyidikan! Yang artinya, tindakan pidana korupsi telah ditemukan oleh Bareskrim Polri.

Siapa yang Akan Jadi Tersangka


Setelah naik ke penyidikan, sekarang tinggal ditentukan siapa tersangkanya dan polisi kelihatannya sedang mendalami kasus ini lebih lanjut. Yang menyeramkan bagi saya adalah ada dua nama besar yang naik ke permukaan akibat kasus ini, yaitu Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi DKI Jakarta Saefullah dan Sylviana Murni yang kita ketahui sendiri siapa.

Polisi memang sudah memeriksa Saefullah karena beliau adalah Walikota Jakarta Pusat yang menggantikan Sylviana, tapi seingat saya Sylviana Murni belum pernah diperiksa untuk kasus ini. Yang pemeriksaan minggu lalu itu tentang Dana Bansos Pramuka. Jadi, kalau kasus korupsi ya biasanya yang melakukan pelanggaran hukum antara eksekutif, legislatif dan juga pihak korporasi.

Entah ada sangkut pautnya tidak dengan legislatif ya. Kalau ada pihak legislatif yang diduga terlibat, seharusnya kan polisi ada melakukan pemanggilan pemeriksaan, dan masa tidak ada pemberitaan sama sekali?

Di sisi lain, Saefullah dari keterangannya terkesan membela Sylviana Murni dengan menyatakan Ibu Sylvi sedang diklat saat tanda tangan kontrak terjadi. Tapi menurut logika saya ini bukanlah pembelaan yang kuat, karena meskipun sedang diklat pun tetap saja bisa ada aliran dana yang masuk kan? Uang tutup mulut bisa saja kan. Jadi tetap saja mungkin kena.

Karena Polri telah menyatakan belum tahu siapa yang harus bertanggung jawab atas korupsinya karena ada dua periode wali kota, berarti terbuka kemungkinan bagi siapapun dari keduanya untuk terjerat. Semua tergantung keterangan dari saksi lainnya.

Berikut beberapa kutipan pernyataan dari Saefullah dan juga dari pihak kepolisian (dapat dibaca disini, disini, disini, disini dan disini)

“Belum tahu siapa yang bertanggung jawab. Yang jelas ada dua periode wali kota saat itu,” ujar Kepala Divisi Humas Polri In­spektur Jenderal Boy Rafli Amar pada 12 Januari 2017.

“Sudah dinaikkan ke penyidikan, ya sekitar minggu lalu,” ujar Kabag Penum Divisi Humas Polri, Kombes Martinus Sitompul di Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Senin 23 Januari 2017.

“Proses penyidikan itu untuk mencari tersangka, untuk menemukan tersangka,” ujar Kombes Martinus.

“Enggak ada masalah apa-apa, masjidnya bagus kok, silakan lihat saja,” kata Saefullah di kantor Bareskrim pada 11 Januari 2017.

“Namun, saat tanda tangan kontrak (pembangunan Masjid Al Fauz dengan kontraktor), Bu Sylvi sedang Lemhannas (diklat) sehingga yang tanda tangan kontrak (dengan kontraktor) itu Pelaksana Harian Wali Kota Jakarta Pusat, waktu itu jadi Wakil Wali Kota Jakarta Pusat, Pak Rospen Sitinjak,” kata Saefullah.

“Dibalikin (kelebihan anggaran) tahun 2011 juga, sesuai hasil audit,” kata Saefullah.

Bukan Kriminalisasi


Telah disampaikan oleh polisi bahwa penyelidikan baru dilakukan sekarang karena memang laporannya baru masuk. Meski masjid itu dibangun pada 2010, pelapor yang identitasnya dirahasiakan ini sepertinya memang telah menyimpan amunisi ini untuk dikeluarkan di momen yang tepat.

Memang wajar saja jika ada dugaan bahwa pelaporan ini terkait Pilkada DKI. Tudingan ini menurut saya masih masuk akal. Tapi karena kasus Ahok juga diduga kuat terkait Pilkada DKI, kalau saya melihatnya ya hukum karma saja ini mah.

Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian ya untuk kubu nomor satu. Hehehe. Saya rasa tahun lalu kan pasti sudah senang sekali karena Ahok terkena kasus hukum, jadi ya sekarang meskipun baru diusut ya sudah sedikit mengganggu kubu nomor satu pastinya.

Demikian bantahan polisi mengenai tudingan kriminalisasi dari kubu nomor satu (disini). Mohon dibaca ya bagi pendukung kubu nomor satu.

“Kami hati-hati, ekstra hati-hati, tak sembarangan melakukan langkah hukum tanpa didasarkan fakta, harus mengacu pada hukum acara,” kata Boy ditemui di Mapolda Metro Jaya, Rabu 18 Januari 2017.

“Kemudian, ada informasi beredar dan itu disampaikan ke pihak kepolisian. Atas nama UU wajib mendalami, lakukan penyelidikan untuk melihat apakah ada pelanggaran hukum,” ujar Boy.

Dampak ke Pilkada DKI


Meskipun kita tidak tahu nama-nama lain yang berpotensi menjadi tersangka kasus korupsi ini, konstelasi politik di Pilkada DKI 2017 sepertinya akan berubah jika Saefullah atau Sylviana Murni menjadi tersangka.

Jika Saefullah yang jadi tersangka, menurut saya tidak banyak dampak ke Pilkada DKI. Namun kita ketahui bersama kan Bapak Saefullah ini juga ada sedikit banyak berpolitik tahun lalu dengan ikut penjaringan beberapa partai dan juga dapat dilihat dari komentarnya di Badan Musyawarah Betawi. Tapi Saefullah sebagai PNS bukanlah pendukung calon mana pun secara resmi, jadi tidak akan berdampak secara signifikan terhadap elektabilitas calon mana pun.

Namun jika Sylviana Murni yang jadi tersangka, kita bisa tebak akan terjadi gejolak besar di politik Ibu Kota. Mungkin bukan hanya gempar di jagad raya Twitter dan Facebook, bisa jadi akan ada aksi-aksi demonstrasi atau penyebaran hoax yang tidak dapat dihindari. Bukan tidak mungkin juga akan ada yang baper di Path, curhat di Twitter ataupun ngeles di konferensi pers.

Meski kasus dugaan makar sang suami Sylviana tidak berdampak terhadap elektabilitas pasangan nomor satu, kalau kasus korupsi tuh beda persepsinya di masyarakat. Rakyat kita miskin karena ulah korupsi, dan ada kebencian yang mendalam dari seluruh lapisan masyarakat kita terhadap para koruptor.

Maka menurut saya harapan calon nomor satu untuk memenangkan Pilkada DKI dapat dipastikan akan musnah jika cawagubnya tersandung kasus korupsi. Karena sebodoh-bodohnya atau betapa pun cintanya rakyat DKI terhadap nomor satu, tidak mungkin akan ada mayoritas 50% yang memilih calon yang terlibat kasus korupsi. Jadi pasti akan game over untuk nomor satu.

Sebenarnya kalau melihat dari kestabilan dan ketenteraman bangsa dan negara, ya jangan sampai deh Ibu Sylviana ini terkena kasus ini. Kita pastinya tidak ingin negara kita ribut lagi kan? Kita tidak ingin mendengar dan membaca tudingan-tudingan kotor dari pihak nomor satu ataupun dari pendukungnya. Saya juga sudah lelah dan bosan baca curhatan seseorang di Twitter yang tidak jelas maksudnya.

Lagipula, kemungkinannya kecil bagi Sylviana untuk jadi tersangka, karena kan beliau belum pernah diperiksa dalam kasus ini. Kecuali polisi dalam waktu dekat ini melakukan pemanggilan terhadapnya, yang mungkin saja merupakan “tanda-tanda”.

Karena sudah ditemukan tindakan korupsi, berarti sudah pasti ada pelaku korupsinya. Tidak mungkin lah hantu atau tuyul yang melakukan korupsi kan. Dan izinkan saya untuk mengutuk pelaku korupsi pembangunan masjid ini, karena bagi saya kasus inilah yang sesungguhnya penistaan agama Islam. Tapi kenapa ya tidak ada yang demo, tidak ada yang teriak-teriak gantung atau bakar, tidak ada yang buat spanduk tembak mati dan tidak ada fatwa apa-apa dari MUI?

Oh iya saya baru ingat, katanya korupsi itu memang sudah diketahui haram menurut Prof Mahfud MD saat menjawab pertanyaan follower di Twitter, sehingga tidak diperlukan fatwa. Jadi mungkin yang melakukan korupsi ini lupa ingatan bahwa korupsi itu haram saat melakukannya ya. Hahahaha…..

Dari sebatang pohon yang ingin berdiri kokoh dan tegar di tengah kekejaman dunia ini………

@aryanto