Wednesday, January 18, 2017

Denny Siregar ; Surga Versi Jonru

DUNIA HAWA - Baca konsep surga versi Jonru yang dibagikan sobat saya Ni Luh jelantik, jadi pengen ketawa pagi-pagi.


Saya meyakini surga itu ada, sebagai reward dari Tuhan kepada hamba yang taat padaNya. Karena ketika kita taat, maka perjalanan di dunia pasti selamat. Inilah konsep keadilan yang sesungguhnya. Karena tidak mungkin yang jahat dan yang baik bercampur dalam satu tempat.

Tapi apakah surga itu adalah tempat kawin seenaknya?

Kalau melihat konteks -bukan teks- diturunkannya kitab suci, kita pasti mengerti bahwa itu turunnya kitab suci berada pada masa jahiliyah, masa ketika kebodohan berada pada puncak tertingginya. Kitab suci selalu memakai bahasa sederhana sebagai perumpamaan. Ia mengambil contoh materi di sekitar, yang dikenal manusia. Seperti penggambaran surga harus ada sungai, pohon dan sebagainya untuk menggambarkan sebuah kenikmatan. Tetapi sebenarnya yang disebut kenikmatan dalam surga pasti lebih tinggi dari itu dan lebih nikmat dari materi yang ada.

Seperti kata Imam Ali as, "kenapa dunia dinamakan dunia (adna)? Karena ia lebih rendah dari segala sesuatu". Jadi sebagus apapun materi di dunia, ia lebih rendah dari segala yang bersifat non materi. Dan surga adalah non materi. Sampe sini, Jonru garuk-garuk janggutnya.

Nah, kepada masyarakat Arab Jahiliyah yang kerjaannya tukang kawin, yang gundiknya bisa ratusan, maka cara mengajarkan kenikmatan surga tentu harus sesuai dengan kapasitas pemikiran mereka pada masa itu. Tidak mungkin kan surga dikabarkan ada liftnya, ada PS4, jadi bisa main game sepuasnya, karena pasti gak nyangkut di pikiran mereka.

Yang dikabarkan kenikmatan kepada mereka dalam bentuk yang mereka ketahui. Kenikmatana versi mereka adalah wanita, maka gambarkan wanita. Hanya di surga tidak bisa disebut wanita karena kurang menjual, maka disebutlah bidadari.

Cara menggambarkan bidadari harus sesuai dengan gambaran wanita yang tercantik di kepala arab jahiliyah pada masa itu. Padahal tidak ada yang tahu bagaimana bentuk bidadari, sebagaimana orang tidak tahu bagaimana rupa malaikat sesungguhnya. 

Begitulah adanya.

Jadi, terimalah konsep surga sebagai bagian dari keadilan Tuhan. Tidak perlu mewujudkannya dalam bentuk material. Anda kan manusia sekarang, bukan manusia pra sejarah yang harus diletakkan batu di depannya, trus di ejakan, "be aba, te utu.. batu".

Cuman memang sekarang ini semua serba terbalik. Zamannya maju, cara berfikir manusianya yang mundur. Jadi niat masuk surga hanya karena ngaceng olala, bukan karena akal menerimanya.
Saya saja bingung menggambarkan secara sederhana bagaimana nikmatnya kopi pagi ini. Masak harus begini, "Hmm.. senikmat men-download Mia Khalifa.." biar sesuai ma zamannya.

@denny siregar



Cacat Logika Gelar Imam Besar Habib Rizieq Shihab

DUNIA HAWA - Entah apa yang yang ada di segolongon orang Islam yang mendukung pemberian Gelar Imam Besar kepada Sayyid Rizieq Shihab. Mereka terus-terusan menyuarakan isu itu. Para pendukung itu merupakan kelompok FPI, HTI, alumni Aksi “Ngaku” Bela Islam. Muhammadiyah dan NU tidak masuk kelompok ini. Entah dari mana usulan ini muncul yang jelas status awal Habib Rizieq Hanya Imam Besar Front Pembela Islam (FPI).


Seseorang akan dipilih, diberi gelar, diberi kehormatan dikarenakan jasanya bagi kelompok tertentu baik secara agama, adat, suku, organisasi maupun kelompok lain. Maka dari itu berikut akan diuraikan cacat logika pemberian gelar Imam Besar pada Habib Rizieq.

Pertama, dalam sejarah dunia Islam, pemberian gelar Imam Besar hanya untuk masjid-masjid saja misalnya Masjid Istiqlal maupun Masjid terbesar diberbagai belahan Negara lain. Sementara untuk gelar Imam, disematkan pada 4 madzhab yang sudah diakui keilmuan Islam diseluruh dunia yakni Imam Syafii, Imam Maliki, Imam Hambali dan Imam Hanafi. Apakah ilmu KeIslaman beliau sudah seperti 4 madzhab tersebut?

Kedua, perilaku Sayid Rizieq Shihab yang justru membuat umat Islam tercerai berai. Fitnah bertebaran keluar dari mulutnya dan memaki bahkan founding fathers Indonesia. Jangankan pada non mslim, pada sesame muslim saja memaki. Lihat rekaman tayangan TV one saat masih bernama Lativi, mencaci Gus Dur yang mantan Ketua Umum PBNU buta mata buta hati. 

Ketiga, hidupnya berfooya-foya tidak mencerminkan kehidupan seperti yang dicontohkan Rasulullah. Rasulullah selalu hidup sederhana, bahkan bajunya tidak jauh berbeda dengan orang miskin yang hidup di Negara yang dipimpinnya. Tapi lihatlah bagaimana Imam Besar FPI itu tampil. Pada aksi 212, beliau menaiki mobil New Pajero Sport baru padahal sebelumnya bertebaran mobil dengan plat nomor 3 huruf dibelakang FPI dengan harga mobil bahkan lebih dari Rp 1 M.


Keempat, organisasi binaannya lebih dikenal merugikan disbanding jasa yang diberikan. Okelah FPI membantu mengatasi korban gempa, membantu masyarakat yang tertimpa bencana namun sejarah mencatat berbagai aksi FPI yang melakukan berbagai tindak kekerasan. Terakhir mereka membakar sekretariat GMBI. Hal itu makin menunjukkan organisasi binaannya bukan menggunakan hukum sebagai landasan bergerak tetapi kekerasan yang diajukan.

Kelima, Memutarbalikkan fakta. Kita bisa lihat diberbagai kejadian. Kasus Ahok jelas, ketika masih banyak perbedaan penafsiran tentang makna Auliya pada Al Maidah 51, Sayid Rizieq ngotot makna Auliya itu pemimpin. Faktanya diberbagai Negara makna Auliya yakni sekutu atau teman karib. Dan kejadian ini diputar menjadi menista Al Qur’an.

Keenam, Tidak menunjukkan sifat seorang pemimpin yakni memenuhi kriteria Sidiq, Tabligh, Amanah dan Fathonah. Adakah beliau mencerminkan syarat ini? Sederhana saja contohnya, selama ini darimana FPI dapat duit? Bagaimana pertanggungjawabannya? Sama sekali tidak jelas.

Sebetulnya masih banyak lagi argumentasi yang menunjukkan cacat logika pemberian gelar Imam Besar Habib Rizieq Shihab. Belum lagi, sudah banyak organisasi keagamaan yang mempertanyakan pemberian gelar tersebut seperti Anshor, Muhammadiyah, NU dan lain sebagainya. Sederhananya begini, menjadi ketua RT saja ada syaratnya apalagi Imam Besar Umat Islam.

@fajar arifin


Rizieq Tidak Paham Pidato Bu Mega

DUNIA HAWA - Rizieq Shihab akan melaporkan Ibu Megawati Soekarnoputri karena pidatonya pada ulang tahun PDIP yang ke-44 (10/1) dianggap menyinggung rukun iman Umat Islam. Rizieq menganggap pidato Bu Mega tentang “self fulfilling prophecy”/ramalan masa depan telah menista agama Islam. Pertanyaannya, apakah benar pidato Megawati bertentangan dengan iman umat Islam?


Menjadi Polisi Agama


Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu kiranya menelaah firmah Allah ini: "Mereka bertanya kepadamu tentang Kiamat, “kapan terjadinya?” katakanlah, sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Rabb-ku: tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia" (QS. Al-A’raf: 187). Dalam surat lain disebutkan:  "Manusia bertanya kepadamu tentang hari bangkit. Katakanlah: Sesungguhnya pengetahuan tentang hari bangkit itu hanya di sisi Allah" (QS. Al-Ahzab: 63)

Pidato yang disampaikan Bu Mega sebenarnya selaras dengan isi kandungan al-Quran di atas, bahwa tidak ada satupun manusia yang mengetahui tentang kehidupan setelah fana. Apa yang disampaikan Bu Mega harus dipahami secara kontekstual dan substantif.

Menurut Bu Mega banyak kelompok radikal yang menghendaki keseragaman dalam berpikir dan bertindak dengan memaksakan kehendaknya. Bahkan mereka dengan fasih meramalkan yang pasti akan terjadi di masa yang akan datang, termasuk dalam kehidupan setelah fana, yang notabene mereka sendiri belum pernah melihatnya.

Apa yang disampaikan Ibu ini merupakan pesan terhadap maraknya kelompok yang mengaku sebagai pembela Tuhan, namun tindakannya kerap menodai esensi ajaran agama. Kelompok ini menjadi polisi agama, mereka tidak hanya mengambil alih peran Tuhan, mereka juga mengambil otoritas Tuhan dengan menjustifikasi orang lain sesat dan kafir. Seolah-olah hanya kelompok mereka yang paling benar dan yang lain salah.

Kelompok radikal selalu menggunakan cara kekerasan dalam dakwahnya. Semangat juang mereka tidak diimbangi dengan ketaatan terhadap hukum. Mereka lupa, kalau Indonesia bukan hanya milik umat Islam, namun milik berbagai agama. Mereka juga lupa bahwa Indonesia juga negara hukum yang sangat menghargai perbedaan berpendapat dan berkeyakinan.

Sebagai contoh, masih teringat jelas dalam ingatan kita, bagaimana ormas seperti Front Pembela Islam (FPI) menampilkan wajah beringas dengan menyerang orang-orang yang mereka tuduh sesat. Sebagaimana mereka lakukan dalam penyerangannya terhadap orang-orang yang tergabung dalam Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan dan Berkeyakinan  (AKKBB) di Monas, Jakarta. Penyelesaian yang ditempuh FPI berujung pada kekerasan tanpa kompromi.

FPI tidak sedikitpun melihat siapa yang sedang dihadapi dan di mana mereka berada. Anak-anak dan ibu-ibu menjadi kebrutalan mereka dalam tragedi itu. Mereka menjadi penegak hukum Tuhan, meski harus mengorbankan nyawa orang lain yang tak berdosa. Pertanyaannya, apakah tindakan kebrutalan FPI yang mengklaim membela agama membuat Tuhan akan tersenyum puas?

Tentu sama sekali tidak. Justru FPI sangat lancang merasa punya hak untuk mengambil alih wewenang Tuhan untuk mendaulat diri mereka sebagai hakim atas orang-orang yang dianggap melenceng dari Islam. Di sinilah umat Islam mesti memilih dalam bersikap, mau mengikuti cara-cara FPI atau meneladani sikap Rosulullah yang senantiasa menebar keramahan dalam setiap dakwahnya.

Rencana pelaporan pidato Bu Mega oleh Rizieq tak lain merupakan sikap FPI untuk menutupi kesalahan-kesalahan yang kerap mereka lakukan. Karena tindakan FPI yang kerap mengatasnamakan perintah agama dalam setiap aksi kekerasannya merupakan tindakan yang berbahaya terhadap Islam dan proses demokrasi di Indonesia. Hal ini karena setiap kekerasan merupakan anti-tesis dari keberagaman masyarakat Indonesia yang damai dan toleran.

Apalagi dalam prinsip Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika, setiap warga negara dijamin oleh konstitusi untuk menganut keyakinannya masing-masing. Para pendiri bangsa (founding fathers) telah menjadikan Pancasila sebagai pondasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang sangat beragam.

Menggalang Kekuatan


Oleh karena itu, sudah saatnya kita menggalang kekuatan untuk mempertahankan NKRI, Pancasila, UUD 1945, dan Bhineka Tunggal Ika. Keempat prinsip dasar negara-bangsa Indonesia ini kini mendapat tantangan serius, yang betul-betul mengancam persatuan, kesatuan dan keutuhan Indonesia.  Saat ini, NKRI sedang dalam kesulitan. Salah satu kesulitan itu adalah memelihara keutuhan eksistensi negara bangsa (nation-state).

Kelompok minoritas yang skeptis dan menolak terhadap negara bangsa Indonesia lengkap dengan keempat prinsip dasarnya merupakan ancaman yang nyata bagi keutuhan negara Indonesia. Mereka punya orientasi ideologi transnasional dengan tujuan menciptakan negara dalam bentuk lain, seperti khilafah atau daulah Islamiyah.

Belakangan, kelompok minoritas ini cenderung agresif dan militan. Di bawah naungan demokrasi, mereka berlindung dengan secara bebas menggunakan ruang publik untuk menegaskan identitas diri lengkap dengan tujuan yang ingin mereka capai yang tidak sedikitpun sejalan dengan prinsip bangsa.

Dalam dua dekade terakhir, sikap intoleran mengatasnamakan agama kian meruyak, baik intra maupun antar-agama. Dalam keadaan seperti ini, sudah saatnya pemerintah, penegak hukum, organisasi dan kelompok masyarakat sipil (civil society) memperkuat peranannya untuk menangkal gerakan radikal ini.


@ahmad hifni


Quraish Shihab Sekeluarga Memilih Melepas Gelar Habib

DUNIA HAWA -Tak sembarang orang bisa jadi habib. Ini bukan gelar yang datang dari langit atau karena menang lotre. Habib ialah gelar yang disematkan kepada orang-orang yang punya pertalian darah, yang memiliki garis keturunan, dengan Nabi Muhammad. Bahkan tak cuma itu. Secara harfiah, habib berarti “orang yang mencintai.” Meskipun demikian, menjadi habib tidak sesederhana arti harfiahnya.


“Pengertiannya bukan hanya orang yang mencintai, tapi termasuk orang yang dicintai, alias jadi Al-Mahbub,” kata Habib Ahmad Muhammad bin Alatas, Ketua Maktab Nasab Rabithah Alawiyah --organisasi pencatat silsilah habib di Indonesia-- kepada kumparan, Rabu (11/1/17).

Menjadi habib bukan perkara mudah. Ada kriteria dan mekanisme yang harus dipenuhi. Mereka mesti menyerahkan daftar silsilah turunan Rasul hingga tujuh tangga keluarga ke atas. Berbagai syarat administrasi pun wajib dipenuhi. Semua itu diatur oleh Rabithah Alawiyah.

Habib, di kalangan Arab-Indonesia, lebih menjadi titel kebangsawanan orang-orang Timur Tengah kerabat Nabi Muhammad SAW --dari keturunan putri Rasulullah, Fatimah, dengan Ali bin Abi Thalib. Menjadi habib di Indonesia menjamin derajat tersendiri di tengah masyarakat. Imej sebagai keturunan Nabi masih menjadi hal istimewa di negara berpenduduk muslim terbesar ini.

Meski demikian, tak semua memandangnya jadi hal utama. Contohnya Quraish Shihab. Quraish Shihab, akademisi, mufasir, dan menteri agama era Soeharto itu sesungguhnya punya semua persyaratan untuk menjadi seorang habib. Quraish merupakan cucu dari Habib Ali bin Abdurrahman, habib asli asal Hadhramaut, Yaman.

Tak hanya dari segi silsilah, Quraish juga teruji secara keilmuan. Ia dihormati berbagai kalangan karena kemampuan akademik dan agama yang jempolan. Namun, Quraish Shihab menolak menggunakan gelar habib. Kenapa? Dalam buku biografinya, Cahaya, Cinta, dan Canda, Quraish mengatakan bahwa ia keberatan menyandang gelar tersebut karena pengertian dan kesan tentang habib di Indonesia telah berkembang jauh.

Quraish sadar ada pergeseran persepsi terkait habib di Indonesia. Di Indonesia, habib berkembang menjadi sebuah kesan. Yakni, kesan menjadi orang yang berilmu wahid dan dekat dengan Rasul. Quraish juga mengkhawatirkan adanya kemungkinan asosiasi Rasul dengan dirinya. Singkatnya, gelar habib di Indonesia menurut Quraish terkesan “mengandung unsur pujian.” Maka ia berkukuh menolak memakai gelar habib, meski berhak.

Quraish berpandangan, mereka yang pantas memanggul gelar habib, selain karena faktor keilmuan dan silsilah, harus pula dilihat akhlaknya.

“Saya merasa, saya butuh untuk dicintai, saya ingin mencintai. Tapi rasanya saya belum wajar untuk jadi teladan. Karena itu saya tidak, belum ingin dipanggil Habib,” ujar Quraish halus.

Quraish juga enggan menyandang gelar kiai. Terlebih sang ayah, Habib Abdurrahman, mengajarkan kepada anak-anaknya untuk tidak menonjolkan gelar apapun, apalagi yang berasal dari garis keturunan.

Kami, kendati memiliki garis keturunan terhormat tidak sekalipun mengandalkan garis keturunan.

Keluarga besar Shihab pun demikian. Alwi Shihab dan Umar Shihab, kedua adik Quraish Shihab, juga memilih untuk tidak menggunakan gelar habib. Alwi mengkhawatirkan adanya fenomena kemunculan habib-habib yang tidak sesuai dengan aturan dan tidak mencerminkan akhlak seorang yang pantas dipanggil habib. Alwi menyebutnya sebagai “inflasi habib,” di mana jumlah habib yang bertambah justru menjadikan nilai mereka turun.

Kami membangun sebagaimana leluhur kami membangun dan berbuat serupa dengan apa yang mereka perbuat.

Ketiga bersaudara itu sepakat hanya memakai sebutan habib untuk kakek mereka, Habib Ali bin Abdurrahman. Sebab, menurut Quraish, cinta sang kakek demikian besar kepada cucu-cucunya.
Maka habib, yang berarti orang yang mencintai, dirasa Quraish sudah tepat untuk kakeknya yang kelahiran Yaman itu.

Lantas Quraish lebih suka dipanggil bagaimana?

“Udah deh nggak usah repot-repot pangil saya habib atau kiai. Panggil saya ustaz saja,” ucapnya tersenyum.

Ustaz berarti “guru,” dan Quraish yang mantan rektor IAIN tak keberatan menjadi sosok yang berbagi ilmu.

@redaksiindonesia