Monday, January 16, 2017

Denny Siregar ; Susahnya Membubarkan FPI

DUNIA HAWA - "Bang, seberapa susah sih membubarkan FPI?". Tanya seorang teman mewakili banyak pertanyaan lainnya. Dan pasti yang nanya nadanya gemas dan geram, kok bisa negara kalah sama ormas?. "Susah banget.." Kata saya.


FPI dalam sejarahnya dibentuk tahun 1998, 4 bulan setelah Soeharto lengser. Banyak kabar yang mengatakan bahwa FPI dibentuk dan dipelihara oleh TNI dan Polri. Salah satu bocoran beritanya dari Wikileaks.

Wikileaks mengatakan bahwa FPI dulu didanai mantan Kapolri Jenderal (Pur) Sutanto. Fungsi FPI adalah sebagai "attack dog" atau bumper ketika menghadapi gejolak yang mengancam pemerintahan.
Apa yang dilakukan Sutanto ini bisa diterima akal, karena pada masa itu segala aksi TNI dan Polri dipantau ketat oleh lembaga HAM luar. Daripada selalu jadi sasaran pelintiran HAM, mending biar FPI aja yang kerja. Begitu kira-kira pemikiran para petinggi pada waktu itu.

Tapi -menurut Wikileaks lagi- Sutanto menstop aliran dana untuk FPI sesudah mereka menyerang Kedubes AS tahun 2006. Dengan stopnya dana dan dibuangnya FPI dari kalangan militer, maka FPI menjadi Ronin- istilah ninja yang tak bertuan.

Puncaknya adalah saat Jokowi menjadi Presiden dan menghapus dana bantuan sosial atau bansos kepada ormas-ormas. Makin kelaparan-lah mereka. FPI pun bergerak mencari pendanaan dari mana saja untuk membiayai organisasinya. Dari uang sumbangan sukarela, mana cukup.

Ternyata situasi FPI yang menjadi Ronin ini dimanfaatkan banyak pihak yang membutuhkan massa. Mulai dari dukungan politik sampai pengerahan aksi massa. Maka tumbuh besarlah FPI karena aksi promo-nya yang memanfaatkan nama agama.

Situasi ini terbangun belasan tahun lamanya. Ibarat kanker, mereka sudah berakar sangat kuat, apalagi banyak pihak yang membutuhkannya. FPI masalahnya bukan musuh dari luar, tetapi mereka juga rakyat Indonesia, sehingga cara penanganannya harus berbeda.

Mencabutnya dengan begitu saja, bukan membuat tubuh menjadi sehat tetapi malah menjadi sakit karena mereka dengan mudah berpindah dan mendapat dukungan banyak pihak, terutama lawan politik Jokowi.

Itulah mungkin salah satu alasan yang mendasari Jokowi mengangkat Jenderal Tito Karnavian sebagai Kapolri. Sebagai seorang pakar di bidang radikalisme dan terorisme pak Tito pasti punya resep ampuh untuk menyembuhkan negara. 

FPI sekarang berada pada situasi puncak akibat berhasil menggalang massa pada aksi-aksi besar di 411 dan 212. Kalau "memukulnya" sekarang jelas salah, karena mereka akan menerapkan strategi "playing victim", strategi yang sangat mereka sukai dalam menghadapi tekanan.

Ibaratnya. FPI itu pengendara motor. Meski mereka yang salah, kalau ketabrak mobil, mereka yang ngotot minta ganti rugi. Karena dalam hukum di jalan raya, pengendara motor - jika melawan mobil - hukumnya tidak pernah salah. "Motor kan posisinya lemah, " begitu kira-kira pikiran mereka.
Dan -saya suka- dengan strategi pak Tito dalam menghadapi FPI ini. Tapi kalau saya jelaskan sekarang, ntar statusnya kepanjangan. Pasti bosen bacanya.

Jadi, mendingan sruput kopi dulu aja.. Kapan-kapan saya ceritakan ya..

"Kapan, bang?".

"Ntar kalau mba Anissa Pohan yang cantik udah ngga marah-marah".

FPI dan Permainan Catur Jokow


Karena suami mba Anissa Pohan sudah bermarga Siregar - pasti sudah gak marah-marah lagi, karena marga Siregar dikenal ramah, santun dan tidak sombong. (yihaaaa!)

Jadi, mari kita lanjutkan analisa tentang cara membubarkan FPI. Sebenarnya kata membubarkan tidaklah tepat. Seperti media abal-abal ketika mereka di blocked, mereka cukup mengganti alamat dan terus bergerak..

Jalan yang terbaik adalah menggunakan kostitusi sebagai alatnya..

Jalur konstitusi ini dibagi dua, sebagai alat untuk menekan dan sebagai alat untuk melegalkan. Dalam kasus FPI, negara bisa membuat sebuah peraturan bahwa sebuah ormas yang tidak berdasarkan Pancasila akan dibekukan. Ini yang sedang digodok oleh Menkopolhukam.

Masalahnya, itu bisa dilakukan jika itu ormas baru atau ormas kecil. Bagaimana dengan ormas radikal yang sudah terlanjur besar?

Disinilah dibutuhkan konstitusi sebagai alat juga. Legalkan saja ormas itu - misalnya menjadi partai. Dengan begitu mereka akan tunduk pada UU yang berlaku baik struktur maupun syaratnya. Dan FPI sudah cukup memenuhi syarat ini.

Dengan menjadi partai, maka akan lebih mudah menjinakkannya. Rakyat yang akan memberikan sanksi sosial dan keributan yang terus terjadi seperti sekarang ini akan bisa diredam.

"Ah, kejauhan bang kalau FPI menjadi partai.. "

Memang. Itu hanya sebagai opsi saja. Tapi ada cara yang -bisa dibilang- sedang dikerjakan oleh aparat sekarang. FPI ini sudah terlanjur besar. Seperti balon gas, meledakkannya sekarang tentu dampaknya akan merugikan. Jalan yang terbaik adalah menggelembungkannya sekalian...

Maka dibukalah jalan selebar-lebarnya supaya FPI semakin besar. Dengan semakin besar melebihi kapasitasnya, maka akan muncul kerusakan dalam FPI sendiri. Mereka akan menjadi pongah dan arogan. Ini sifat dasar manusia, yang sulit sekali dikendalikan.
Ketika FPI menjadi besar dan arogan, maka akan terjadi penolakan dimana-mana. Masyarakat menerapkan sanksi sosial dengan menolaknya. Dan itu sudah terjadi sekarang di Bali, di Kalimantan, di NTT dan banyak daerah lain. Dengan penolakan di daerah-daerah, maka FPI hanya akan bisa beraksi di kota besar di Jawa saja.

Istilah kasarnya, dikandangkan..

Meski begitu, saya tidak setuju dengan cara Kapolda Jabar yang malah memanfaatkan ormas preman untuk berbenturan langsung dengan FPI. Ini cara yang tidak elegan dan akan memunculkan dampak negatif lain, yaitu ormas preman itu besar kepala dan akan menjadi FPI dalam model yang berbeda.

Yang perlu dilakukan aparat adalah membiarkan alam bekerja dan terus menjaga keseimbangan, jangan sampai terjadi bentrokan. Kalau FPI gak perlu dikontrol, cukup masyarakat yang menolaknya aja yang dijaga supaya jangan sampai terpancing adu fisik.

Dengan semakin arogannya FPI, jistru itu akan melemahkannya sendiri. Aparat -yang pasti punya mata-mata di dalam tubuh FPI sendiri- perlahan-lahan akan mengambil alih pucuk-pucuk pimpinan di dalam ormas itu sendiri.

Ketika mereka sudah menguasai FPI dari dalam, maka akan lebih mudah mengarahkannya ke hal yang lebih bermanfaat, seperti menjadi organisasi yang tanggap akan bencana alam.

Konsep "pelemahan" ini sudah terbukti dengan jinaknya PKS dan Golkar yang dulu menjadi rival berat pemerintah. Bahkan Golkar sekarang menjadi bagian dari koalisi pemerintah..

Jadi FPI tidak perlu dibubarkan, hanya konsep radikal mereka yang pelan-pelan dikempeskan. Karena ketika jadi balon kempes, mereka bisa berguna juga. Semisal menjadi tambalan ban..

Beginilah sebenarnya permainan catur itu. Harus ekstra sabar dalam melihat langkah-langkah yang dibuat.

Tidak harus selalu memakan bidak, karena bisa jadi itu hanya umpan. Tapi mengatur posisi strategis sehingga lawan sulit bergerak. Sediakan umpan-umpan supaya bisa mereka makan.

Ini sebagai catatan untuk FPI jika mereka membaca tulisan ini.

Jokowi semakin dipandang rendah, ia malah semakin berbahaya. Lebih baik bergabung dengannya daripada dimakannya.

Seruput dulu ah.. Kopi pagi memang nikmat sekali.

@denny siregar


FPI Mem-Babi-Buta

DUNIA HAWA - Hari-hari genting terakhir ini, Indonesia terus mengalami guncangan. Setelah pengerahan massa dalam jumlah luar biasa, letupan-letupan kecil terjadi di mana-mana. Saya tak ingin berasumsi. Ada banyak indikasi, terlalu banyak kemungkinan mengenai siapa di balik semua ini. Apakah ini berkaitan dengan politik busuk Pilkada DKI Jakarta? Ataukah oknum korban penegakan hukum yang terdesak karena terus dibabat Jokowi? Semua berpeluang, dan mungkin.


Namun ada beberapa hal yang sebenarnya gamblang dibaca. Setiap ada pengerahan massa, selalui ada motif, tujuan, benang merah. Kali inipun, FPI hendak melakukan hal serupa: intervensi hukum.

Rizieq Shihab melakukan blunder luar biasa. Nasibnya kini ada di ujung tanduk. Jika sebelumnya ia dengan bebas memaki Jokowi, Menteri Agama, ulama-ulama toleran, orang-orang pura-pura tidak tahu. Hukum terlihat ragu-ragu. Ada banyak pertimbangan memang. Pendapat subyektif saya menganggap hukum sedang menunggu momentum.

Ada banyak pertaruhan di sana. Sesudah kasus Ahok, segala sesuatu menjadi sensitif. Rizieq Shihab, Bachtiar Nasir, Tengku Zulkarnaen begitu leluasa bertingkah. Mereka menunggang gelombang, menguasai arah angin berhembus. Supremasi hukum menjadi sekadar wacana. Mereka terus membentuk tekanan-tekanan, ingin terlihat dominan. Sementara toleransi, kebhinekaan dan akal sehat terus terancam. Aparat hukum seolah berhitung, mana yang lebih dulu diutamakan. Penegakan hukum atau keamanan Negara.

Saya memahami bahwa, pemerintahan Jokowi terus diusik. Secara langsung, menggunakan kekuatan politik tentu sulit. Jokowi bermain cantik. Pelan tapi pasti, parlemen berhasil dikuasai, para penghalang dilokalisir. Secara dejure, para pengusik bernaung di bawah kendali. Namun secara defacto, selalu ada gesekan, percikan api. Jokowi seperti memelihara ular beludak di bawah tempat tidurnya. Secara diam-diam mereka memberikan ancaman. Mereka memainkan opini massa. Menciptakan bibit amarah, kebencian, dendam di akar rumput.

Gerombolan massa yang telah dicuci otaknya dengan stigma, fitnah, hoax, kebencian, dengan mudah digerakkan. Kenyataan ini telah terjadi di masa lalu. FPI sedang dalam posisi demikian. Rizieq, Imam Besar mereka sedang menghadapi tekanan hukum yang kuat. Pelecehan Simbol dan Ideologi Negara bukan perkara sepele.

Dulu, PKI, partai besar dan kuat itu tumbang hanya dengan memainkan isu ini. Ribuan orang dibunuh tanpa pengadilan. Keturunan mereka diancam dan ditakut-takuti. Soekarno sebagai penguasa yang kalah, harus menerima fitnahan. Padahal dulu Nasakom (nasionalisme, agama, komunisme), buah pikir Soekarno itu diterima dengan baik untuk menyatukan bangsa. Mereka semua berjasa pada Negara. Termasuk pahlawan nasional bernama Tan Malaka, sebagai wakil Partai Komunis Indonesia. Toh semua itu dibabat habis tak bersisa.

Apalagi Rizieq Shihab yang terang-terangan melecehkan Soekarno dan Pancasila. Dan yang melaporkan itu malah putri Soekarno sendiri. Rizieq benar-benar berada di tepi jurang. Ia mungkin merasa gentar karena melihat begitu dalam dan gelapnya jurang itu.

Jika PKI dituduh ingin menghancurkan Pancasila dengan haluan kiri, yaitu komunisme. FPI yang dimotori Rizieq ingin melakukannya melalui haluan kanan, yaitu agama. Dengan delusi Piagam Jakarta, ia ingin mengikuti jejak Kartosuwiryo, pemimpin DI/TII (Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia). Rizieq merasa tengah berada di atas angin. Ia berhasil mengomandoi jutaan orang untuk mengintervensi hukum. Sejak keberhasilan itu, ia tak lelah memaki Jokowi dan Ahok dalam ceramah-ceramahnya. Ia mengobarkan permusuhan dan kebencian dengan kedok agama.

Dan ketika lidahnya yang liar itu menuai karma, Rizieq kembali memainkan politisasi agama. Ia memainkan taktik pecah bambu.

Rizieq menyadari, Kapolda Jabar tipe manusia keras kepala. Ia tak mudah diintervensi. Salah ya salah, proses ya proses. Hukum harus ditegakkan di atas semua golongan. Apalagi ia adalah dewan pembina GMBI (Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia), organisasi yang meminta tanggung-jawab Rizieq atas pelecehan adat Sunda, Sampurasun. Ormas yang bentrok dengan FPI di Bandung kemarin. Maka dari itu, ia harus dibuang jauh-jauh. Tidak tangung-tanggung, Rizieq akan mengerahkan tidak kurang dari lima ribu lasykarnya. Mereka mendesak Kapolri segera mencopot Kapolda Jawa Barat, Irjen Anton Charliyan dari jabatannya.

Saya tahu, GMBI bukan ormas bersih-suci. Ada beberapa catatan-catatan dan tanda tanya di masa lalu. Terlepas dari itu, tuntutan dan tekanan yang diberikan mereka kepada Rizieq dan FPI saat ini masih sesuai jalur semestinya.

Dalam keadaan terdesak, FPI mulai membabi-buta. Kapolda Jabar tentu tidak terkait dengan persoalan pelecehan Pancasila ini. Tapi ia dianggap penghalang. Komentarnya yang tegas tak kenal takut adalah alarm bahaya. Jika sebelumnya Rizieq leluasa berpahit lidah dan tak tersentuh hukum, kali ini ia benar-benar sial. Ia tersadar dari delusi, siapapun bekingnya di masa lalu, kini tak bisa lagi melindunginya.

Praktis, Rizieq berjuang sendiri. Ia memang berusaha masuk ke parlemen, menemui teman demonya, Fadli dan Fahri. Namun, dalam kasus yang berat ini, duo bumper itu tak banyak berarti. Tekanan pada FPI yang kian menguat di banyak tempat membuktikan, ormas ini bermasalah. Di samping anarkis, telah jelas Rizieq orang yang hendak merong-rong Pancasila dengan terus memperjuangkan Piagam Jakarta. Persis seperti yang dilakukan Kartosuwiryo di masa lalu. Siapapun yang membela mereka, patut dicurigai nasionalismenya.

Inilah momen puncak itu. Kita tentu menunggu supremasi hukum dijalankan. Jika di masa lalu hukum ragu-ragu dan terkesan membiarkan Rizieq melecehkan siapapun, kali ini tidak bisa lagi begitu. Proses hukum harus dihormati oleh siapapun, FPI sekalipun tak boleh mengintervensi, apalagi mengancam aparat hukum. Jika dalam pengusutan itu hukum tumpul, tentu ini ancaman bagi bangsa Indonesia. Sama halnya memelihara ular beludak di bawah kolong tempat tidur, yang sewaktu-waktu bisa menggigit kita.

Jika selama ini kita cemas dan khawatir berlebihan dengan kebangkitan PKI yang dinilai berbahaya bagi Pancasila, hari ini telah lahir ancaman baru, FPI namanya. Dan banyak orang justru malah membelanya. Benar-benar amnesia.

@kajitow elkayeni


Dulu PKI Sekarang FPI

DUNIA HAWA - Setelah mendapat angin dengan suksesnya gorengan isu-isu agama untuk melancarkan jalan salah satu calon gubernur DKI yang didukungnya, ormas radikal Front Pembela Islam (FPI) makin membabi buta. Terus-terusan mengintervensi hukum dan apapun isu digoreng dengan agama. Bila kemauannya berbenturan dengan otoritas seperti kasus dengan Kapolda Jabar, akan dibelokkan ke isu agama. Katanya Kapolda menista ulama. 


Fitnah demi fitnah mereka lancarkan di balik jubah. Kini sangat keji, bahkan gerakan-gerakannya makin sulit dibedakan dengan gerakan orang-orang dari Partai Komunis Indonesia (PKI) di masa lalu. Meme-meme diproduksi dan disebar dengan sangat massif untuk mendiskreditkan orang yang tak disukai. Buzzer-buzzer membela dan mereport setiap akun yang dianggap menghalangi. Hanya saja kalau PKI adalah ekstrem kiri, maka FPI adalah gerakan ekstrem kanan yang berkedok agama.

Mereka tak segan mengatasnamakan agama Islam untuk setiap tindakan anarkis yang dilakukan. Pertanyaannya adalah Islam yang mana? Karena Islam yang sebenarnya lembut dan rahmatal lil alamin, bukan radikal dan anarkis seperti FPI. Bisikan hati yang terpendam pun mulai diungkapkan di status-status dan komen-komen orang-orang Islam yang tak rela agamanya dicatut oleh FPI. Tak sedikit yang  merasa rjengah dan resah oleh tindak tanduk FPI namun tidak berani terang-terangan mengungkapkan. Karena satu dan lain hal, sebagian memilih hanya berdoa dan bukan protes pakai pentungan atau demo seperti halnya FPI.

Mulai banyak yang sadar bahwa Islam dan umat muslim Indonesia ini terlalu besar untuk dicatut namanya oleh FPI. Mereka rindu Islam yang lembut dan indah seperti waktu ormas FPI belum lahir pada tahun 1998. Islam adalah agama besar, dan di Indonesia sudah ada sejak beratus-ratus tahun lalu. Kini FPI mendompleng umat islam Indonesia untuk kepentingannya, termasuk kepentingan politik demi melancarkan calon yang didukungnya. Padahal muslim Indonesia terbesar di dunia. Tidak ada FPI pun tetap terbesar di dunia.

Dulu PKI sekarang FPI.  Dulu PKI ingin menghancurkan Pancasila dengan komunisme. Sekarang FPI ingin menghancurkan Pancasila dengan delusi Piagam Jakarta. Mestinya pemerintah lebih tegas. Sebab telah jelas FPI merupakan ancaman utama keutuhan bangsa/NKRI. PKI sudah tidak ada. Aidit sudah mati, Sekarang adanya Habib Rizieq Shihab. Pimpinan ormas yang mem-bawa-bawa nama Islam kdan sok mau memecat Kapolda dari jabatannya. Padahal siapa dia? Presiden juga bukan, panglima tertinggi apalagi. Dia hanya pemimpin Ormas yang tak pernah lelah melecehkan terhadap Pancasila dengan menyebutnya sebagai Pancagila. Dia juga melecehkan salah orang Sunda "sampurasun" menjadi "campur racun".

Dan terakhir dia melakukan fitnah terhadap negara dan Bank Indonesia karena gagal memahami simbol rectro-verso pada mata uang rupiah kertas.  Di samping itu dia tak pernah berhenti melakukan pelecehan terhadap agama lain di setiap ceramah-ceramahnya. Dia hanya pemimpin ormasyang gemar mengumbar hasutan, kebencian, fitnah dan provokasi untuk melakukan kekerasan, namun bermimpi untuk disebut sebagai imam besar umat Ialam. Hello????

Rizieq yang sebenarnya sangat anti NKRI sering beralasan apa yang dilakukannya demi NKRI. Katanya ingin membuat NKRI bersyariat seperti Piagam Jakarta. Itu sama saja mengganti Pancasila dan anti NKRI seperti PKI. PKI sudah lama bubar (1965). Namun kebiasaan suka memfitnah, memecah belah, memprovokasi ada pada diri orang-orang FPI yang sekarang sering justru berkoar-koar "awas bahaya laten PKI". Orang-orang seperti reinkarnasi dari jiwa-jiwa PKI dan pewaris sejati faham komunis. Pakaian saja sok islami namun kelakuan/perbuatan tak bisa dibedakan dengan PKI.

Pada akhirnya, semua gerakan radikal dan anarkis meskipun mengatasnamakan Islam, lambat atau cepat harus segera sirna dari Bumi Pertiwi.

NKRI harga mati

@afa muafa


Perlukah Indonesia Melegalkan Penggunaan Bitcoin?

DUNIA HAWA - Kemajuan teknologi informasi di era globalisasi saat ini tidaklah dapat dibantahkan,  teknologi saat ini menjadi suatu kebutuhan dalam setiap aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat di dunia. Teknologi informasi dapat menunjang kualitas aspek kehidupan masyarakat dalam suatu negara, teknologi informasi mempengaruhi berbagai aspek kehidupan baik itu pendidikan, ekonomi, politik serta hukum.


Seiring dengan berkembangnya teknologi, mode transaksi pun juga berkembang dari yang sebelumnya kegiatan transaksi bisnis dilakukan secara langsung artinya bertatap muka antara penjual dengan pembeli namun kini dengan adanya teknologi, transaksi dapat dilakukan tanpa bertemu secara langsung dengan menggunakan bantuan melalui jaringan internet.

Sebelumnya kita telah mengenal transaksi elektronik menggunakan jaringan internet dalam mode e-banking, credit card, namun  kini telah hadir sebuah mode transaksi elektronik baru Cryptocurrency seperti Bitcoin. Bitcoin adalah sebuah uang elektronik yang dibuat pada tahun 2009 oleh Satoshi Nakamoto.

Bitcoin dalam penerapannya dikaitkan dengan perangkat lunak sumber terbuka yang dirancang oleh Satoshi Nakamoto, Bitcoin menggunakan sebuah jaringan yang disebut peer-to-peer yang artinya menggunakan jaringan penghubung tanpa penyimpanan terpusat atau administrator tunggal.bitcoin tidaklah sama dengan mata uang pada umumnya, Bitcoin dapat disimpan dalam perangkat pribadi seperti komputer pribadi dalam sebuah format file wallet atau disimpan oleh sebuah servis wallet pihak ketiga, dan terlepas dari semua itu Bitcoin - bitcoin dapat dikirim lewat internet kepada siapapun yang mempunyai sebuah alamat Bitcoin.

Penggunaan Bitcoin di Indonesia sendiri memang sudah berjalan, akan tetapi dalam penerapannya terdapat berbagai masalah terkait dengan penggunaan Bitcoin sebagai alat transaksi elektronik. Belum adanya kepastian hukum terhadap penggunaan Bitcoin sebagai alat transaksi elektronik adalah masalah utama dalam penerapannya. Sekarang timbulah pertanyaan perlukah Indonesia melegalkan penggunan Bitcoin ?

Pada  tanggal  6  Februari  2014  Bank  Indonesia  telah  mengeluarkan sebuah  pernyataan  bahwa  Bitcoin  ini  bukan  merupakan  alat  pembayaran yang  sah  di  Indonesia  dan  segala  resiko  terkait  dengan  kepemilikan  atau penggunaan  Bitcoin ditanggung  sendiri  oleh  pemilik/pengguna  Bitcoin dan virtual currency lainnya.

Bank Indonesia secara tegas menyatakan bahwa Bitcoin tidak sesuai dengan amanat UU NO.7 TAHUN 2011 tentang Mata Uang. Padahal negara Jepang sebelumnya telah resmi mengumumkan penggunaan Bitcoin sebagai klasifikasi mata uang yang sah. Di Jepang, regulasi Bitcoin diatur oleh lembaga yang juga mengelola peredaran mata uang yen bernama Financial Services Agency.

Bukan hanya negara Jepang saja yang melakukan kebijakan terkait Bitcoin, Luxemburg juga telah mengambil langkah serupa yaitu melegalkan salah satu bursa Bitcoin raksasa bernama Bitstamp untuk beroperasi di Eropa. Tidak ketinggalan negara adidaya seperti Inggris pun menyetujui untuk menggelontorkan USD14,6 juta untuk membangun lembaga penelitian yang terfokus pada pengembangan mata uang digital dan meyakini teknologi Bitcoin merevolusi dunia. Lantas sekarang kembali timbul pertanyaan, perlukah Indonesia mengikuti kebijakan negara maju tersebut ?

Jika melihat potensi bisnis dalam penggunaan Bitcoin sebagai alat transaksi, negara maju telah mencontohkan penggunaan Bitcoin sebagai alat transaksi. Contohnya adalah Sebuah kota di Swiss bernama Zug telah melakukan transaksi dengan Bitcoin.

Salah satu perusahaan hiburan terbesar yang berada di Jepang, DMM ikut serta merespons penggunaan Bitcoin untuk semua transaksi produk dan layanannya. Seakan tak mau kalah, kota New York, Amerika Serikat (AS) telah merampungkan regulasi Bitcoin yang dinamainya BitLicense dan perusahaan ternama, seperti Microsoft, Rakuten, Overstock, dan Time Inc telah menerima pembayaran melalui Bitcoin.

Indonesia harus segera mengambil sikap terkait potensi penggunaan Bitcoin sebagai alat transaksi. Legalisasi Bitcoin menjadi langkah konkret guna memaksimalkan pertumbuhan ekonomi negara melalui transaksi elektronik. Selain itu, legalisasi dilakukan demi efisiensi dan juga transparansi dalam hal transaksi.

Akibat dari transparansi transaksi maka hal positif yang didapat untuk Indonesia adalah mencegah terjadinya pencucian uang dalam bisnis. Fenomena penggunaan Bitcoin secara global jelas telah mulai banyak dipakai di negara lain karena kehebatannya. Sekarang, sudah saatnya Indonesia ikut serta dalam revolusi transaksi elektronik global.


@muhammad arief



Moralitas Anies Baswedan

DUNIA HAWA - Dulu saya sangat respek kepada orang ini. Mantan rektor, cerdas dan low profile. Siapa menduga dia bakal jadi orang hebat (saat itu belum jadi menteri). Saya nyaris berpikir orang ini sangat sempurna. Setiap kalimat yang keluar dari mulut Anies, dirawat sedemikian rupa sehingga nikmat dicerna.


Bayangan saya, kalau orang ini jadi presiden, Indonesia pasti maju. Dia ibarat berlian yang terkubur dalam lumpur.

Tapi tak dinyana, di balik siluet bayangan purwa rupa, ternyata tersimpan sosok ambisius. Manusiawi memang. Tahun 2014, pada saat semua orang berlomba untuk maju sebagai capres, dia pun bertekad maju untuk ikut menjadi Capres.

Dia mulai mengikuti konvensi partai biru berlogo segitiga tribina (Demokrat). 11 nama beredar mengikuti konvensi itu. Tak tanggung-tanggung, nama beliau tepat berada di urutan kedua setelah Ali Masykur Musa yang berada di urutan pertama.

Sayangnya, konvensi segitiga tribina itu gagal meraih simpati. Ekspektasi tidak tercapai, tak ada partai-partai lain yang melirik untuk ajang bergengsi ini karena aura Jokowi sangat kuat. Sulit ditandingi.

Alhasil, presidential treshold yang menjadi syarat mutlak bagi partai-partai untuk menyodorkan calonnya tidak terpenuhi. Jadilah, konvensi itu seperti sayuran basi, nikmat dilihat tapi kecut dikecap.

Lalu ke mana dia berlabuh? Jelas, jalan yang paling aman adalah berkiblat di rute yang benar, karena di sana ada harapan untuk meniti karier yang lebih prestisius. Jadilah dia didaulat sebagai Juru bicara kampanye Jokow-JK. Tagline yang paling fenomenal waktu itu adalah "Gerakan urun tangan".

"Politik itu terlalu penting untuk kita serahkan pada orang-orang tidak terhormat. Urusan pangan, pendidikan, transportasi, kesehatan, infrastruktur, dan lain-lain, itu diputuskan oleh politik. Saatnya kita semua bersama turun tangan untuk mendukung orang-orang terbaik yang menjadi pemimpin politik. Jangan biarkan yang memimpin kita adalah orang-orang yang salah." (Anies).

Dari sini, terceburlah dia ke dalam magnitudo politik yang begitu kuat. Kata-katanya menyuburkan hati pemuda yang penuh jerami, tiba-tiba berubah menjadi hati penuh berani. Singkat kata, Jokowi-JK menang telak. Dia dipilih menjadi menteri.

Namun memang, yang namanya sebuah jabatan tidak pernah berumur panjang. Jokowi punya target yang harus dipenuhi, sementara yang bersangkutan tidak sanggup mengeksekusi. Jokowi tidak butuh retorika, tapi kerja nyata. Sang mantan, akhirnya diresuffle.

Di lain pihak, ada gelagat tercium. Dia menyusun kekuatan untuk 2019, mirip yang dilakukan SBY ketika mempecundangi Mega. Ada pembangkangan terselubung. Tak pelak, Jokowi pun harus mendepaknya.

Menariknya, kali ini dia mulai maju di DKI mengambil peran antagonis, bukan protagonis lagi. Kata-kata yang dulu kerap menjadi inspirasi, kini sudah menguap bersamaan dengan khayalan tingkat tinggi.

Sejak saat itu, saya mulai tidak respek kepada sosok yang satu ini. Terlalu banyak retorika, minim solusi. Seperti kita saksikan bersama debat perdana Gubernur dan Cawagub DKI Jakarta 2017, Anies Baswedan dengan gaya kesantunannya mengatakan, "bukan hanya kerja, kerja, kerja, setiap kerja selalu ada kata atau gagasan."

Dan yang membuat saya sedikit tercengang, Anies Baswedan menekan soal bangun manusia bukan bangun fisik saja. Kata- kata yang begitu syahdu didengar, bak suara alam yang begitu tenang dan damai untuk dihuni.

Memanusiakan manusia itu kadang kontraproduktif bagi mereka yang kurang paham akan nilai-nilai kemanusiaan. Meluruskan benang basah dengan dijemur itu baik, tetapi alangkah lebih bernilainya jika dipastikan terlebih dahulu bahwa sinar matahari cukup cekatan untuk mengeringkan benang basah itu.

Persoalan relokasi adalah persoalan pro kemanusian. Mungkin butuh orang khusus untuk memahahaminya. Tapi kalau menurut saya, itu sudah tepat sasaran.

Apa sebab? Relokasi sudah jelas-jelas menyediakan tempat yg layak huni disertai jaminan kehidupan lainnya. Fenomena relokasi serupa meluruskan benang basah dengan terlebih dahalu memastikan sinar matahari yang cukup cekatan.

Apa daya, dikabarkan pak Anies Baswedan menerobos jalur Busway saat acara debat berlangsung.

Pak Anies Baswedan, minta maaf itu yang disebut dengan moral yang amoral. Kata dan perbuatan harusnya sejalan.


@damianus febrianto edo



Sunnah Rasul Yang Paling Mendasar Akhlaknya Bukan Kostumnya

DUNIA HAWA - Selama dulu di Jogja, setiap bulan aku berguru kepada Cak Nun (maiyah-an), tokoh Idolaku selain Gus Dur dan Cak Nur, dikenal sebagai tridente intelektual Indonesia modern dari Jombang. beberapa ajaran Cak Nun yang masih kuingat adalah tentang akhlak Rosulullah.


Menurut Cak Nun seorang ulama seharusnya bisa berpakaian yang sama dengan pakaian umatnya yang paling miskin. Cak Nun tidak mempersalahkan orang yang bergamis dan berserban. Malah salut sama mereka yang menunjukan kecintaannya pada Rasulullah dengan meniru persis apa yang ada di diri Rasul. Tapi perlu diketahui bahwa baju Rasulullah tidak sebagus dan sekinclong yang dipakai kebanyakan orang sekarang. Baju Rasulullah sendiri ada 3 jenis : yang dipakai, yang di dalam lemari dan yang dicuci. Dan semua orang Arab di jaman nabi, model pakaiannya seperti itu. Nggak cuma Nabi Muhammad..;Abu Jahal, Sueb, Sanusi, Atim dan orang Arab lainnya, model klambine koyok ngono iku.

Jadi sebenarnya sunnah Rasul yang paling mendasar adalah Akhlaknya bukan kostumnya. Orang yang disukai Tuhan adalah orang yang menyebut dirinya buruk, biso rumongso, nggak rumongso biso.
Orang yang diragukan keihklasannya adalah orang menyebut dirinya baik. Semua nabi mengaku dirinya dzolim : "Inni Kuntu Minadzolimin" (aku termasuk orang yang dzolim). Nggak ada nabi yang mengaku dirinya sholeh. Kalau ada orang yang mengaku paling benar atau alim, langsung tinggal mulih ae...ndang baliyo sriii...!" "

Maka tak sepantasnya ada orang yang mengaku sebagai ulama yang selalu benar dengan menghasut umat untuk membela pribadinya dengan seolah-olah mengatakan "saya pembela Tuhan dan tak boleh disalahkan dengan apa pun, kalau saya berbicara menyakiti orang lain itu karena saya wakil Tuhan, tidak boleh ada hukum selain hukum Tuhan yang menyatakan saya bersalah, kalau saya dinyatakan bersalah maka Tuhan akan marah karena saya sudah membelaNya, saya sudah didzolimi, bela lah saya atau Tuhan juga akan marah padamu," Patut diduga orang ini bukan ulama.

 @tsabit al banan