Saturday, January 14, 2017

Denny Siregar ; Debat Cagub, Debat Kurang Ngopi

DUNIA HAWA - Ternyata banyak yang menunggu saya mengulas tentang debat Cagub semalam. Kebetulan saya ga nonton. Dan sesudah nonton youtube, saya malah berfikir, "Sial, ngapain gua nonton ya?".


Tidak ada sesuatu yang baru disana. Sudah kita bahas banyak dalam tulisan. Dan memang lebih lucu membahas program-program yang diluncurkan sebelum debat.
Ada yang ingin menghilangkan mobil seharga 3 miliar dari jalan, ada yang berkata bahwa semua permbangunan Jakarta itu adalah kerja Foke dan ada yang kerjaannya bagi-bagi duit melulu seakan-akan tidak ada lagi program selain duit duit dan duit.

Saya ga tahan aja ngeliat Ahok harus membantai kedua pasangan lawannya dengan argumen argumen cerdas karena memang hanya ia dan Jarot yang menguasai akar masalahnya. Mereka berdua sama-sama pernah di birokrat, sehingga tahu dari A sampai Z bagaimana menata wilayah.

Ahok dan Jarot seperti mengajari kedua pasangan lain, bagaimana seharusnya birokrat itu bekerja. Birokrat itu bukan sekedar pengumbar janji dengan ide-ide yang sama sekali tidak sesuai fungsi. Birokrat itu pekerjaan teknis bukan sekedar politis.

Agus masih agak terbantu dengan adanya Sylvi, meski Sylvi juga ternyata jawaban-jawabannya ambyar karena -mungkin- dulu ia saat jadi birokrat lebih banyak bermain di sisi politis daripada menguasai teknis.

Sedangkan Anies dan Sandi jauh lebih parah, karena mereka seperti tinggal di menara gading, ketinggian untuk di gapai. Istilah kasarnya, mereka terlalu priyayi.
Jadi, kalau warga Jakarta masih pada waras, seharusnya sudah tahu siapa yang layak membenahi kota mereka.

Kan anda tidak mencari pimpinan yang kalau ada masalah terus moshing -menjatuhkan diri ke kerumunan- mendadak? Sikap itu saja sudah menunjukkan, kalau nanti ada masalah ya tinggal mencari simpati aja, beres perkara.
Lagian Agus terlihat banget dikuasai oleh keluarga. Sikap proteksi berlebihan bu Ani menunjukkan Agus belum mampu mandiri lepas dari tekanan orangtua. Ketika Agus memimpin Jakarta, sesungguhnya bu Ani lah Gubernurnya. Dan mulailah terbayang masa 10 tahun ketika beliau menjadi "Presiden" Indonesia..

Ditambah sikap istri yang tidak dewasa yang tidak kuat menghadapi bully-an di media sosial. Duh, mba Anissa bagaimana seandainya anda menjadi istri seorang Jokowi dan Ahok yang kerap dihujani fitnah? Kelebihan Agus ketika ia nanti memimpin Jakarta pasti tenang. Ya tenang, karena semua dapat bagian mulai dari ormas Islam sampai anggota dewan. Biaya supaya tenang itu ia bebankan lagi ke warganya.

Sedangkan Anies adalah seorang motivator. Kalau warga Jakarta susah, motivasi aja biar mereka kenyang dengan kata-kata harapan, "Yang kuat, ya sayang.. ".

Saya yakin, yang menonton acara itu sesungguhnya juga sedang mencari acara hiburan. Daripada nonton sinetron yang ga habis-habis serinya, mending nonton drama bertemakan pilkada.
Acaranya kurang ganas, ga ada yang emosional, "bocorrr.. bocorrr.." seperti pilpres waktu itu. Debat kemarin kayak perlombaan deklamasi. Puitis tanpa isi. Tidak ada separuh menonton, saya matikan Youtube dan mulai minum kopi.

Kringgg.. seorang teman menelpon.

"Den, Alexis itu apa?". Lalu saya menerangkan dengan detail sampai ke sudut sudut yang tidak banyak terjamah.

@denny siregar


Lucu! Reaksi Nitizen atas Celoteh Tengku Zulkarnain Pasca Penghadangan

DUNIA HAWA - Peristiwa penghadangan Pengurus (Wasekjen) Majelis Ulama Indonesia (MUI), Tengku Zulkarnain, sedikit banyak berbuah kelucuan. Alih-alih menebar haru atau mempertontonkan kekerasan fisik, celoteh atau reaksi yang ditujukkannya justru memaksa nitizen untuk ngakak bersama—yang lain silahkan menyusul! Ngakak-nya.


Bermula dari penghadangan yang dilakukan oleh para pemuda Dayak DAD (Dewan Adat Dayak) Kab. Sintang, bukannya menghadapi, si ustadz yang dikenal gemar mengadu-domba umat ini malah mengurungkan niat.

Tadinya sih mau menebar risalah, atau apalah itu namanya, melalui ceramah, tapi yang ada malah memilih untuk melarikan diri. Kabur bersama rombongan yang selalu siap setia menemani perjalanannya.

Wah-wah, padahal kan selangkah lagi tuh bisa mati syahid. Mati model beginian kan pahalanya gede. Masuk surga + 72 bidadari cantik. Bukan begitu, tadz?

Dalam komentarnya di Facebook page milik Tengku Zulkarnain (@K.H.TengkuZulkarnain) atas postingan fotonya bertagar #Admin, pemilik akun Kudabesi Terpedo membuat satu ilustrasi berupa dialog. Ilustrasi ini kira-kira menggambarkan situasi dan reaksi Tengku Zulkarnain saat itu.

Ajudan: Yuukk turun, tadz! Tuh temen-temen Dayak sudah siap nyambut kedatangan ente.

Ustadz: Nyambut pale loe peyang. Itu nyambut napa bawa golok dan parang? Cam mana sambutan kek begini. Antum dah gila apah?

Ajudan: Gak apa2, tadz. Kan malah bagus, tadz. Justru sekarang surga udah di depan mata, tadz. Tinggal turun tangga dikit, masuklah anda di surga, tadz. Bidadarinya udah siap kok, tadz!!!

Ustadz: Gilak antum. Antum manu ane modiyar digorok apah? Kagak… kagak… Ane pulang ajah… Ayo puter balik pesawatnya…!!!

Ajudan: Jadi gak mUcau nich, tadz, masuk surga? Gak nyesel nich? Katanya kalo kita syahid bela Tuhan, pahalanya surga, tadz. Pan ente mau dakwah itu jihad juga, tadz. Masak takut digorok, pak ustadz?

Ustadz: Pokoknya balik… Balik… Ayo balik. Piloot mana pilot… Ayo balik kanan…

Ajudan: Wah, gak jadi masuk surge nich…

Ustadz: Muka loe peyang. Loe mau mampus apah… Gue ogah.. Pulang.. Pulaaang…

Tak hanya Kudabesi Terpedo, akun bernama Uchem Muhammad Ibn Syatori juga nimbrung memberi nyinyiran. Karena memang, tagline postingan foto itu seolah memberi perbandingan setara antara Tengku Zulkarnain dengan para Nabi.

"Karena setiap nabi pernah diusir kaumnya, begitu juga ulama." Uchem membalas: Bedanya, Nabi selalu mengajak (ke arah) kedamaian. Lah Anda? Perusak kedamaian. Jadi kalo ada Anda, ya gak damai.

Selain di Facebook, di laman twitter @UstadTengku, postingannya lagi-lagi mengaduk emosi tawa. Ia menulis: Alhamdulillah Saya Sehat Wal ‘Afiat Tdk Kurang Apapun. Orang2 Bawa Mandau (Golok) ke Run Way Sampai Pintu Pesawat, BUKAN Tanggungjawab saya—maaf, saya mau ngakak dulu dalam hati.

Ya iyalah sehat. Datang dengan jubah nan gagah berani ke medan perang, hebatnya pulang tanpa lecet. Ya, karena tak berani turun aja. Tak berani ambil resiko. Mungkin takut mati, meski mati dalam keadaan syahid. Lantas di mana kesamaan Tengku Zulkarnain dengan para Nabi itu?

Celoteh yang memancing emosi tawa ini pun lagi-lagi berbuah nyinyiran dari nitizen. Misalnya oleh pemilik akun @dimazpras7: mandau rasanya joss langsung ketemu 7 bidadari sebagai amaliyah memerangi kapir, kok mlh balik bdan. Atau @StephJones: Mau jihad dan mati syahid dikasih kesempatan koq gak diambil.

Terlepas dari nyinyiran nitizen atas celoteh Tengku Zulkarnain, satu hal yang patut kita catat bersama adalah alasan warga/pemuda Dayak DAD menghadang kedatangan Wasekjen MUI itu.

Seperti dinyatakan Andreas, pihaknya menilai Tengku Zulkarnain telah menghina suku Dayak secara umum. Pemimpin Aksi DAD ini mengenang celoteh yang pernah keluar dari mulut seorang Tengku, yang kurang lebih menyatakan bahwa warga suku Dayak itu kafir, tidak pantas masuk surga, dan lebih buruk daripada binatang (tempo.co).

Tak heran kiranya jika DAD menolak kedatangan orang yang mereka anggap telah membuat hinaan provokatif. Mereka melarang sang provokator untuk menginjakkan kaki di tanah kelahiran yang mereka cintai.

Ya, begitu pun yang lain, mereka (Dewan Adat Dayak) adalah juga Warga Negara Indonesia yang tidak rela kalau-kalau negerinya diluluh-lantahkan hanya oleh penebar ideologi sempit. Bukan MUI yang mereka benci, tapi provokator di tubuh MUI. Itu patut dicamkan!

@maman suratma


Presiden Undang Makan Kyai Said Aqil, Kenapa Rizieq Tidak?

DUNIA HAWA - Beberapa hari lalu (11/1/17), Presiden Joko Widodo mengundang Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siraj di Istana Merdeka, Jakarta. Sudah menjadi rahasia umum, jika jokowi sering berdiplomasi di atas meja makan. Setelah sebelumnya ketua parpol, kini giliran ormas Islam dari NU.


Menurut kyai Said, ia diundang ke istana untuk membahas Islam radikal yang mulai merongrong masyarakat Indonesia.

"Indikasi, fenomena menguatnya Islam radikal menjadi agenda kita. Bagaimana memperkuat kembali, terus memperkuat Islam moderat dibangun kembali," kata Said.

Dia mengungkapkan dunia melihat mayoritas umat Islam Indonesia adalah moderat, toleran dan bermartabat.  "Akhir-akhir ini agak mulai mengendor dan gejala intoleransi mulai menguat. Bagaimana upaya intoleran ini dapat kita atasi dan kembali ke Indonesia yang toleran, Indonesia yang damai, yang beradab, yang bermartabat, Islam kultur bukan Islam yang doktrin, Islam ramah," harap Said Aqil.

Untuk mengatasi itu, kata ketua PBNU, pemerintah harus melibatkan para kyai dalam ceramahnya untuk membimbing masyarakat kembali ke Islam moderat, toleran, beradab dan ramah. Undangan makan siang ini tentu menunjukkan bahwa Presiden sangat mempercayakan NU-yang notabene ormas Islam terbesar di Indonesia- untuk mengatasi aksi radikal dan intoleran yang akhir-akhir ini sangat menganggu. Ulama seperti KH. Maimoen Zubair, Gus Mus, Quraish Shihab, Habib Luthfi, dll dianggap sang Presiden mampu mengatasi masalah keberagamaan di Indonesia.

Pendekatan Presiden pada ulama NU tentu tidak kali ini saja. Pada 10 Januari 2017 lalu, Jokowi hadir pada acara Maulid Nabi Muhammad SAW di pekalongan bersama Habib Luthfi. Sebelumnya beliu juga menyempatkan silaturrahmi ke salah satu ulama NU juga, KH. Taufiq Wonopringgo, pengasuh pesantren At Taufiqy, Pekalongan.

Safari ke pelbagai pesantren NU rupanya memang menjadi agenda Presiden. Selama 2016 misalnya, Presiden pernah ke Pesantren Gontor di Jawa Timur, Pesantren Mukmin Mandiri di Sidoarjo, Pesantren Asrama Perguruan Islam (API) di Magelang, Pesantren At-Tauhidayah di Tegal, Pesantren Al Mizan di Majalengka, Pesantren Buntet di Cirebon, dan sebagainya.

Kedekatan Presiden dengan ulama tak hanya ditunjukkan dengan silaturrahmi saja. Setiap bulan, Jokowi rutin (setiap bulan) beliau mengundang sejumlah ulama NU untuk khatmil Quran. Salah satu ulama yang sering diundang adalah Alm. Kyai M. Choiron Syakur, pengasuh pesantren Wahid Hasyim, Bangil (berdsarkan info dari putri Alm: Naily Zulfa Jannah). Dan entah kenapa, acara khotmil bulanan di istana ini memang tidak pernah diliput media.

Jadi sangat kejam sekali jika ada pihak yang megatakan Jokowi anti Islam, beragama Kristen, antek PKI, yang paling parah dalam buku Jokowi Undercover karangan Bambang Tri disebutkan Jokowi adalah anak haram dengan kata lain bukan anak Sudjiatmi.

Lalu, jika Jokowi sering menyambangi ulama NU, bagaimana dengan FPI? Apa mungkin beliau mau melakukan konsolidasi dengan FPI agar suasana tak terlalu panas seperti saat ini?

Rasanya Jokowi tidak terlalu mengindahkan ormas ini, atau malah menganggap kelompok ini bukan bagian dari ormas Islam. Presiden tak mau kompromi. Ormas ini pula yang sangat menyulitkan presiden dan yang sebenarnya memecah belah umat. Tapi toh Jokowi tidak langsung memberangus kelompok ini, meskipun sebenarnya mudah saja. 

Ia membiarkan FPI sibuk dengan aksinya dengan melaporkan orang-orang baik ke polisi. Setelah Ahok, kini giliran Sukmawati yang akan dilaporkan balik terkait Pancasila. Lalu setelah itu Sri Mulyani selaku kementrian keuangan, Gubernur BI, bahkan Peruri terkait logo BI yang di rectoverso, sehingga menurut orang-orang FPI menyerupai palu arit, lambang PKI.

Tapi lihatlah, kedunguan FPI mulai muncul ke permukaan. Di sidang Ahok, para saksi dari FPI bukan orang yang pintar dan kompeten. FPI juga sekarang kewalah karena laporan masyarakat terkait ceramah-ceramah Rizieq yang sangat kontroversi. Aksi bakar kantor ormas yang dilakukan oleh FPI di Bogor dan Bandung juga menunjukkan bahwa kelompok ini sangat tidak layak dilabeli ormas Islam.

Ya, sebentar lagi masyarakat akan paham mengapa mendukung FPI berarti mendukung kedunguan itu sendiri. Jadi tak perlu lah Jokowi mengundang Rizieq ke istana atau meminta Rizieq menghentikan aksi nya itu. Kekuatan pemerintah, TNI-Polri, anggota  NU dan ulamanya jauh lebih besar dari pada FPI yang hanya segelintir itu.

Jadi sudah paham kan, kenapa Rizieq tidak diundang makan siang ke Istana?

@anisatul fadhila

Negeri Para Pemarah

DUNIA HAWA - Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, tonggak bersejarah bagi bersatunya semua elemen di NKRI kini hanya menjadi seremoni tanpa makna. Bangsa yang semestinya semakin besar dengan keanekaragaman ini terlihat seperti semakin bebal dan goblog dalam menghadapi perbedaan. Menyakitkan menerima kondisi yang seperti ini apalagi bagi mereka yang ikut memperjuangkan kemerdekaan negeri. Apa sebenarnya yang terjadi dengan negeri ini ?


Semakin banyak kaum terpelajar tidak lantas membuat bangsa ini menjadi bertambah pintar, faktanya kita seperti mengalami kemunduran berabad-abad.

Banyak nya ulama, ustadz dan rohaniawan tidak membuat bangsa ini menjadi semakin religius tapi malah menjadi brutal seperti abad pertengahan.

Berakhirnya era represif bernama Orde Baru disertai lahirnya era reformasi juga tidak otomatis menjadikan bangsa ini menjadi lebih maju dalam peradaban. Bahkan tokoh-tokoh yang membidani reformasi sekarang ini ikut larut dalam ketidaktentuan arah. Era yang digadang-gadang akan menimbulkan demokrasi yang lebih baik dan menimbulkan optimisme malah seperti jadi ajang pertarungan politik para elit dalam berebut kekuasaan.

Rakyat seperti mainan yang ditendang kesana kemari dengan berbagai bentukan opini, negara ini semakin tidak jelas arahnya. Tatanan budaya dan kultur peradaban yang sempat menjadi ikon Indonesia di mata dunia hilang entah kemana, berganti dengan sikap saling curiga mencurigai antar kelompok, golongan bahkan individu.

Euforia demokrasi menjadi tak terkontrol bahkan kebablasan. Orang jadi bebas berpendapat sesuka hati tidak perduli dengan azas kebenaran. Masyarakat yang satu idealisme bebas membentuk organisasi, bahkan partai politik, tanpa perduli lagi dengan ideologi yang berlandaskan azas Pancasila, ideologi yang menjadi semangat kebersamaan dalam membangun bangsa ini.

Dengan dalih kebebasan berpendapat dan berlindung dibalik hak asasi beberapa orang mendirikan kelompok yang pada masa orde baru sama sekali tidak berani menampakkan hidungnya. Semua bebas bicara, semua bebas berpendapat, hal itu sah saja sepanjang tidak memaksakan apa yang menjadi ideologinya untuk dijadikan solusi bersama.

Yang terjadi adalah beberapa kelompok yang kemudian menjadi radikal berusaha untuk memaksakan apa yang diyakininya untuk dijadikan solusi hidup bernegara. Alih-alih menjadi patriot pembela negara mereka justru berperang bagi negara lain atas dasar kesamaan ideologi, bukankah mereka pengkhianat bangsa?

Dengan dalih pemurnian agama, lengkap dengan dalil yang diambil dalam kitab suci, mereka mencoba masuk kedalam sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Mereka seolah membutakan mata bahwa Indonesia adalah multikultur dengan aneka ragam adat dan budaya. Dalam terminologi ini mereka tidak ada bedanya dengan fasisme Nazi yang menginvasi dengan dalih pemurnian RAS.

Isu tentang agama menjadi santapan yang lezat untuk mereka kunyah, apa yang tidak sesuai dengan ideologi versi mereka akan dibabat habis. Budaya menjadi sesuatu yang diharamkan karena tidak sesuai syariat yang mereka yakini. Stigma sesat, kafir dan sebagainya menggema di bumi Nusantara !! Wajah Islam berubah menjadi wajah pemarah, marahlah dan bagimu sorga !! Anomali...

Memprihatinkan memang ketika terjadi pembiaran, yang terjadi mereka justru merasa mendapat legitimasi untuk melakukan aksi kemarahannya. Lebih prihatin lagi aksi seperti ini jadi tunggangan parpol yang menjadi oposisi. Seolah parpol sudah tidak lagi mempunyai ideologi, kecuali ideologi waton suloyo, yang penting beda. Apa yang bisa diharapkan dari parpol semacam ini?

Kekalahan saat pemilu bagi mereka merupakan aib yang harus ditebus dengan aksi-aksi menentang pemerintah tidak hanya di parlemen tapi sampai ke jalanan. Simbol-simbol keagamaan yang mewujud dari seorang Ustad, Habib dan mereka yang berjubah dijadikan tameng dan pembenaran atas sebuah aksi provokasi. Bahkan pejabat setingkat wakil ketua DPR sekarang getol memprovokasi melewati akun sosial media, apa jadinya jika orang seperti ini mengendalikan pemerintahan?

Beruntung bangsa ini pernah melahirkan putra-putra terbaik yang mendedikasikan hidupnya untuk keutuhan NKRI dan diteruskan oleh generasi setelahnya. Tak kurang dari KH.Hasyim Asy'ari kemudian diteruskan oleh KH.Wahid Hasyim dan dilanjutkan lagi oleh KH.Abdurrahman Wahid serta banyak ulama-ulama lain seperti KH.Ahmad Dahlan dan yang lainnya. Ulama besar yang juga membesarkan nama Islam di tanah air, Islam yang ramah, Islam yang tidak mudah menghakimi dan selalu bisa menghargai perbedaan pendapat bahkan dengan kalangan selain Islam.

Bahwa Indonesia terlahir dengan berbagai macam adat dan budaya sudah tidak terbantahkan, secara spiritual bangsa ini sudah melahirkan kepercayaan seperti kejawen, sunda wiwitan dan sebagainya. Hadirnya Wali Sanga di tanah jawa dengan membawa keyakinan baru tidak pernah menimbulkan masalah karena mereka bisa melebur dengan adat dan budaya setempat.

Tapi kenapa akhir-akhir ini semua seperti ingin merubah tatanan yang sudah dibangun sedemikian cantik oleh pendahulu kita?

Islam dimata sebagian orang seperti layaknya monster yang menakutkan dan penuh dengan paksaan berujung kekerasan. Proses beragama yang terjadi disertai pemberangusan terhadap budaya, sekali lagi dengan dalih pemurnian agama. Ujaran bid'ah, sesat dan kafir bahkan sudah menjadi bagian dari budaya baru.

Dibarengi dengan hilangnya identitas seperti kebaya, sanggul, sarung, batik dan lurik berganti dengan burqa, kaffayeh dan jubah. Aku dan kamu berubah menjadi ana dan antum, ikhwan dan ukhti, terima kasih berubah menjadi syukron, emak dan bapak menjadi abi dan umi, seolah-olah jika tidak memakai bahasa kearab-araban ke-Islaman mereka jadi tidak kaffah, dan kita tidak sadar itu sedang terjadi. Alih-alih menyi'arkan agama mereka justru membawa budaya baru ke Indonesia. Budaya yang belum tentu sesuai dengan pluralitas disini tapi mereka paksakan untuk diterima.

Kadang tidak habis pikir dengan kaum intoleran ini, apa mereka ingin jadikan Indonesia seperti Timur-Tengah dengan konflik sektarian yang tiada henti, apakah mereka tidak bercermin pada Yugoslavia yang hancur lebur karena pembantaian etnis. Mengerikan sekali, bagaimana mungkin antar tetangga yang sebelumnya rukun kemudian saling bunuh karena perbedaan etnis dan keyakinan, dan itu terjadi disana.

Agama yang seharusnya menjadi ranah privasi telah dipaksakan untuk dikonsumsi oleh publik, hanya karena mayoritas kemudian memaksa minoritas untuk tunduk tanpa berhak bersuara. Ayat-ayat suci yang semestinya dijadikan ajang introspeksi dijadikan alat berpolitik sesaat demi kepentingan untuk berkuasa.

Dan ketika dikritisi yang terjadi adalah kemarahan mengatas namakan Tuhannya, ampun. Tuhan sudah diperalat atas nama kebenaran dan dikesankan kemarahan mereka adalah mewakili kemarahan Tuhan. Kalimat Takbir diteriakkan dengan penuh emosi disertai tindakan anarki.

Aksi yang tidak lepas dari tindakan provokasi dari segelintir ulama yang anti toleransi semakin sering kita saksikan. Pancasila sebagai landasan kita bernegara mereka caci maki sebagai thoghut dan bukan solusi.

Untung saja masih lebih banyak orang yang waras fikir dan menertawakan aksi bodoh seperti itu. Tidak kurang seperti KH.Said Aqil Siradj sudah melarang warga Nahdliyin untuk terlibat dalam aksi-aksi demonstrasi. Walaupun tanpa dilarangpun sebenarnya kaum Nahdliyin sadar sepenuhnya bahwa aksi ini adalah tindakan bodoh para santri internet.

Orang yang belajar Islam dari hasil googling dan menemukan dalil dari situs radikal kemudian menelan mentah-mentah tanpa tabayyun. Atau santri yang ngaji hanya dari hasil terjemahan Al-Qur'an tanpa menggunakan ilmu alat dan tafsirnya. Mungkin yang ada dalam pikiran mereka belajar agama itu seperti belajar memasak yang dengan mudah kita bisa cari resepnya di internet, tanpa proses mengaji dan mengkaji setiap ilmu yang ada serta melihat konteksnya dalam era sekarang.

Semoga saja pemerintah bisa bertindak dengan cepat, ancaman terhadap keutuhan NKRI selalu akan terjadi, keutuhan NKRI dalam keberagaman masyarakat dan budaya adalah cita-cita bersama. Semua berhak hidup nyaman di Indonesia, sikap intoleransi hanya akan menimbulkan disintegrasi dan selayaknya untuk diambil tindakan tegas.

Islam selalu berkembang dan akan selalu sesuai dengan konteks kekinian, ayat adalah hak Allah dan tafsir nya akan selalu disesuaikan dengan waktu dan jaman. Yang seperti ini tidak akan kita dapatkan dengan hanya ngaji di internet, harus ke pesantren dan ngaji dengan para ulama disana. Bukankah kita disuruh merapatkan kaki kita ke ulama, bukan ke internet?

@iwan al fauza