Thursday, January 12, 2017

Fitnah dan Kebohongan Irena Handono di Bawah Sumpah Alquran

DUNIA HAWA - Bagaimana jika ada seseorang yang memberi kesaksian bohong (palsu) dibawah sumpah Al-Qur'an, karena informasi yang diterima tidak terverifikasi dan tidak mengandung kebenaran?


Tentu hal ini sangat berbahaya dan maka dari itu Allah SWT mengingatkan kepada hamba-Nya dalam Q.S AL-Hujurat ayat 6 :

"Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu."

Ayat di atas jelas mewanti-wanti, agar umat Islam selalu "tabayyun" (cek dan ricek) terhadap informasi apapun yang akan diterima. Entah dari manapun atau dari siapapun, hal itu guna menghindarkan manusia dari perbuatan yang mencelakakan dan berujung pada penyesalan.

Apa yang disampaikan IH di persidangan Ahok jelas sangat keterlaluan. Meskipun telah disumpah dibawah Al-Qur'an, namun apa yang disampaikan banyak mengandung fitnah dan kebohongan.


Berikut rangkaian fitnah dan kebohongannya Irena Handono di persidangan Ahok :


Pertama, IH memfitnah Ahok telah merobohkan masjid tanpa menjelaskan, masjid mana yang dimaksudkan. Padahal kalau Ahok merobohkan masjid (seperti masjid di Marunda), ya itu untuk dibangun kembali yang lebih bagus. Faktanya: diera Ahok justru banyak Masjid baru dibangun dan diremajakan.

Baca : Resmikan Masjid di Rusun Marunda, Ahok Kecewa dengan Kualitas Bangunan. (disini)

Kedua, IH memfintah Ahok melarang kegiatan keagamaan di Monas bagi umat Islam, tapi mengizinkan umat Kristen merayakan Paskah di sana. Faktanya: Ahok melarang untuk semua kegiataan keagamaan (bukan hanya islam, tapi Kristen, Hindu, Budha dan lainya juga dilarang ), ini karena fungsi Monas ingin dikembalikan sesuai Keppres 95. Monas bukan untuk kegiatan keagamaan. (baca_disini)

Ketiga, IH memfitnah Ahok melarang siswa mengenakan pakaian muslim (jilbab). Faktanya: Ahok tidak pernah mengeluarkan larangan tersebut. Baca : Ahok: Saya Enggak Melarang Anak Sekolah Pakai Jilbab. (disini)

Dan masih banyak fitnah dan kebohongan lain yang disampaikan oleh IH di persidangan Ahok, Selasa (10/1/2017).

Bahkan ketika ditanya, Hakim: "apakah tidak sebaiknya sebelum melapor melakukan klarifikasi terlebih dahulu?" IH justru menjawab : "Saya taat hukum, yang memiliki tugas untuk cek dan ricek (tabayyun) itu kepolisian. Saya sebagai warga negara hanya memiliki hak untuk melapor,"

Pertanyaanya saya : Lha, apakah Allah SWT menurunkan Surat Al-Hujurat ayat 6 itu berlaku hanya untuk pihak kepolisian saja? Hebat bener tafsiran mu'alaf yang mendadak ustadzah dan penggerak khilafah ini.

Pandangan Denny Siregar tentang Mualaf Ustadzah Irena Handono


Mualaf itu berarti orang yang baru masuk Islam. Dan karena baru, berarti ia perlu banyak belajar.

Mempelajari Islam itu tidak mudah. Sebagai sebuah ajaran yang penuh tuntunan, Islam harus dilihat dari banyak sisi dengan keilmuan yang memadai. Jika tidak, maka yang terjadi adalah kegagalan penafsiran.

Ketika gagal tafsir, maka yang terjadi adalah kegagalan seluruh struktur pemahaman tentang Islam. Seperti membangun gedung, pondasi yang gagal akan meruntuhkan seluruh sendi bangunan.

Bahayanya, ketika bangunan itu ditempati orang, maka yang terjadi adalah kecelakaan besar. Karena itulah, untuk memahami apa itu Islam, maka dibutuhkan bertahun2 pelajaran untuk sekedar memahami struktur pondasinya.

Jadi, seorang yang baru masuk Islam selayaknya harus banyak belajar. Dan menempatkan seorang yang sedang belajar menjadi pengajar, sama seperti seorang tukang sapu yang diberi kepercayaan membangun gedung bertingkat sembilan.

Yang terjadi adalah kegagalan berjamaah. Entah mana yang lebih bodoh, si mualafnya yang sedang belajar atau jamaahnya yang menjadikan ia pengajar..

Dan itu hanya terjadi disini, di bumi datar.

Bumi dimana ketika secangkir kopi dihidangkan, kopinya dibuang dan cangkirnya yang dimakan..

Mereka disana tidak kenal "Seruputtt.."

Mereka taunya cuman, "Krauk..krauk.. krompyanggg !"

Salam tabayyun, ya ustadzah Irena..

@yusuf muhammad




Denny Siregar ; Oprasi Senyap Pak Jokowi

DUNIA HAWA - Sejak lama Jokowi paham bahwa ia akan banyak digoyang, terutama ketika ia harus memberantas banyak mafia yang sudah puluhan tahun berkuasa.


Dan ada satu waktu ia harus menghadapi gejolak besar yang memanfaatkan umat Islam untuk berhadapan dengannya. Karena itu ia harus mengambil langkah langkah penting dalam keputusan strategisnya.

Pertama, angkat Tito Karnavian sebagai Kapolri. Tito ini sangat strategis karena ia sangat paham gerakan Islam radikal global dan lokal. Track record Tito sejak awal memang spesialisasinya disana..

Ketika saat Jokowi digoyang dengan masuk melalui pintu penistaan agama oleh Ahok, maka kita bisa melihat betapa strategisnya peran pak Tito. Jika bukan beliau Kapolrinya, entah gimana situasi sekarang..

Kedua, bungkam aktor-aktor dibelakang layarnya. Cara membungkam aktor itu bukan dengan main tangkap dan penjarakan, karena itu akan memunculkan kediktatoran baru. Tapi cukup panggil mereka dan shock therapy dengan tuduhan makar.

Lihat kan sekarang, sudah pada bungkam? Mulai dari Rachmawati sampai Ahmad Dhani sudah tidak lagi berani berkoar. Mereka tiarap semua. Perhatikan juga, kemana sekarang Fadli Zon dan Fahri Hamzah yang dulu sempat berkibar?

Ketiga dan ini yang paling penting, bunuh karakter para tokoh penggerak yang mengatas-namakan Islam. Pembunuhan karakter ini ada berbagai cara :

Satu, melalui persidangan Ahok. Dimana akhirnya persidangan itu membuka kedok bahwa mereka yang mewakili saksi itu ternyata bukan orang pintar.

Dan perlahan-lahan masyarakat yang kemarin terprovokasi mulai sadar bahwa mereka memihak orang yang salah. Jokowi memisahkan antara provokatornya dan masyarakat yang terprovokasi.

Kedua, laporkan mereka. Kesalahan terbesar para penggerak aksi berbaju ulama itu adalah mereka masuk perangkap strategi pemerintah. Pemerintah seakan terlihat tak berdaya dan membiarkan mereka. Dengan begitu mereka -seperti balon yang ditiup- akan membesar.

Seperti balon, jika mereka dipaksa diledakkan tentu efeknya adalah kerugian. Makanya, mereka tidak ditangkap karena jika ditangkap bukan dengan cara dan waktu yang tepat, tentu mereka akan menjadi pahlawan.

Caranya, kempeskan pelan-pelan. Habib Rizieq yang tadinya bermimpi jadi Imam besar, sekarang panik menghadapi banyak laporan mulai penistaan Pancasila, ceramah agama, lambang di mata uang dan laporan masyarakat Sunda yang merasa terhina.

Tanpa disadari musuhnya, Jokowi membelah satu persatu kekuatan besar itu menjadi kepingan kecil yang tak berguna. Masih ingat tragedi Koalisi Merah Putih yang sekarang tanpa nama?

Pola perang Jokowi ini seperti sudah menjadi ciri khasnya. Sama seperti ia memindahkan PKL di Solo dengan tenang. Sama seperti ketika ia menyelesaikan kisruh KPK VS Polri jilid 2.

Sama seperti ketika ia memisahkan Rizal Chalid dan menyingkirkan Setnov dari kursi ketua DPR lalu mengakuisisi Golkar dan menjadikan partai yang dulu musuh besarnya itu menjadi bagian dari koalisinya.

Jokowi tipikal pembunuh senyap. Ia membiarkan orang meremehkannya, padahal disitulah sebenarnya kekuatannya.

Jika ia seorang ninja, ia tidak membunuh dengan samurai, tetapi dengan racun yang disiapkan. Ia bersahabat dengan mereka, membiarkan mereka mentertawakannya, dan tanpa sadar musuhnya mati dengan penuh kebahagiaan karena mengira sudah berhasil mengalahkannya.

Dia orang Solo, itu yang banyak orang lupakan. Ia ramah ketika orang baik padanya, dan ia tetap ramah ketika orang jahat padanya. Jokowi adalah gabungan dari visi Soekarno dan kecerdikan Soeharto dalam memerintah.

Dalam bidak catur, ia bukan raja. Karena ia tahu, raja hanya bisa berjalan selangkah, berat dengan kedudukannya. Ia menempatkan diri sebagai kuda, karena kuda mampu bergerak tanpa ada yang menghalangi jalannya. Kuda juga dianggap bukan bidak yang terkuat, karena itu ia tidak pernah menjadi ancaman nyata.

Itulah kenapa setiap main catur, pasti yang pertama kali saya incar adalah sepasang kuda. Gabungan mereka berdua itu sungguh mengerikan.

Sekarang kuda Jokowi sudah melangkah maju ke pertahanan lawan. Dan raja gendut, gempal, besar dan lamban itu sedang gemetar ketakutan karena posisinya sedang diincar.

Itulah awal dari kata, "Sampai lebaran kuda!!".

Semoga sejarah kata lebaran kuda ini bisa dimuat di Wikipedia atau situs "Did you know?".

Saya itu bingung, entah mau seruput atau mau ketawa.

@denny siregar


Membedah Surat Terbuka KM ITB

DUNIA HAWA - Belakangan saya cukup bersyukur sudah lulus dari ITB, karena kalau tidak, saya akan menanggung malu karena surat terbuka KM ITB belakangan ini. Beberapa tahun lalu, kejadian seperti ini pernah terjadi, ketika mahasiswa ITB mengusir Jokowi dari mimbar ilmiah. Saya menyebutnya Pseudo-Heroisme, rasa kepahlawanan yang palsu. Sebagian anak-anak ITB ini begitu ingin menjadi pahlawan, namun kenyataanya yang mereka lakukan justru hanya jadi lawakan di mata masyarakat. Saya akan menjabarkan beberapa kegagalan pikir anak-anak ini, agar saya tidak disebut serampangan menulis artikel ini.



1. Harga BBM dilemparkan ke mekanisme pasar

Pertama sebelum saya membantah gagasan pertama yang dikemukakan anak-anak ITB ini, saya justru akan mengutip kalimat dari surat terbuka mereka sendiri,

“Meski memang yang ditetapkan adalah harga BBM Non-Subsidi, tetapi tetap tindakan yang terjadi sekarang, tetap bertentangan dengan Pasal 14 Perpres No 191 tahun 2014.”

Anak-anak ITB ini dalam surat terbukanya sendiri mengakui bahwa Pertamina masih menjual produk BBM dengan harga yang tidak mengikuti harga pasar. Tugas pertamina menjaga kepentingan rakyat Indonesia akan kebutuhan BBM tetap dijaga lewat bahan bakar premium dan solar yang masih dijual dengan harga lama. Rakyat masih dapat membeli bahan bakar minyak dengan harga yang ditentukan oleh pemerintah.

Saya juga dapat menyimpulkan bahwa anak-anak ITB tidak menggunakan data dan justru dengan serampangan mengambil kesimpulan. Berikut saya kutip kesimpulan mereka di awal surat.

“Memperhatikan kondisi masyarakat, di tahun baru 2017 ini, terdapat beberapa kebijakan/tindakan yang diambil oleh pemerintah yang berpotensi untuk menyengsarakan rakyat, melemahkan daya beli masyarakat.” 

Pada saat harga Pertamax, Pertamax Plus, Pertamax Turbo, Pertamina Dex, Dexlite dan Pertalite dinaikkan 300 rupiah per liter, apakah produk Premium habis di pasar? Sudahkah adik-adik ITB ini meminta data dari Pertamina atau melakukan survey lapangan di SPBU-SPBU? Bila kenyataanya premium masih dapat diakses dan produk lain yang naik harganya, masih dibeli oleh masyarakat. Lantas rakyat mana yang telah diklaim oleh anak-anak ITB ini menjadi sengsara dan dilemahkan daya belinya?

Atau jangan-jangan adik-adik ini tidak mengerti teori ekonomi. Bila memang produk-produk seperti pertamax ini dipatok dengan harga yang menyengsarakan pembeli. Tentunya pembeli akan beralih ke produk substitusi dengan harga yang terjangkau, yakni premium. Jika tidak, maka artinya produk tersebut masih memiliki harga yang rasional di mata konsumennya.

Belum lagi, beberapa bulan sebelumnya, Jokowi memaksa Pertamina menyamakan harga BBM di Papua sama dengan pulau Jawa. Padahal jika adik-adik ITB ini mau sedikit saja membuka wawasannya, mereka akan menemukan kenyataan bahwa pemerintah justru dengan tangan besi melawan harga pasar. Pertamina merugi 800 milyar, hanya demi negara hadir di Papua. Negara dengan tegas menurunkan harga minyak yang selama bertahun-tahun beredar dengan harga 70.000 rupiah per liter, dipaksa turun hingga 7.000 rupiah.

2. Pencabutan Subsidi Listrik 900 VADi poin kedua surat ini tidak disebutkan bahwa subsidi listrik yang ditarik hanya subsidi listrik bagi 18,8 juta rakyat golongan menengah. Padahal, pemerintah menyatakan bahwa 4,1 juta pelanggan yang telah diverifikasi tidak mampu, masih akan tetap diberikan subsidi. Berikut kutipan beritanya :“Di Indonesia, total pelanggan listrik 900 VA ada 22,9 juta rumah tangga. Namun berdasarkan kajian dari Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), hanya 4,1 juta pelanggan dinilai layak mendapatkan subsidi.Sisanya, 18,8 juta pengguna distrik 900 VA merupakan rumah tangga mampu sehingga tidak berhak mendapatkan subsidi dari pemerintah. Pelanggan inilah yang subsidinya dicabut.” Kesimpulan ini diambil tanpa perhitungan sama sekali bagaimana jumlah subsidi yang ditarik tersebut dapat serta merta memiskinkan kalangan kelas menengah.3. Hilirisasi MinerbaGagasan poin nomor 3 ini sebagian besar justru salah arah. Pemerintahan Jokowi – Jusuf Kalla baru terpilih pada tahun 2014. Jangka waktu 5 tahun sejak diterbitkannya Undang-Undang nomor 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara, berada di kepemimpinan SBY. Justru akibat gagalnya pemerintahan SBY menarik investor untuk dapat membangun smelter di Indonesia lah, undang-undang ini harus diperpanjang. Karena apabila tidak diperpanjang, banyak perusahaan tambang yang akan gulung tikar, bukan hanya perusahaan tambang besar, namun juga perusahaan tambang kecil.Namun ada yang menarik dari salah satu pertanyaan dari surat ini. Berikut kutipannya :“Apakah 8 tahun semenjak 2009 masih tidak cukup juga untuk mengumpulkan bea keluar yang selama ini dipungut oleh negara untuk membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian?” [1]Pertanyaan ini mengandung dua kesalahan berpikir. Dan bila kita analisa, jawabannya justru akan mematahkan sendiri gagasan nomor satu dalam surat tersebut.Kesalahan pertama adalah gagasan industri pengolahan bahan tambang harus di bangun oleh Pemerintah sendiri. Bila demikian, maka iklim pengolahan bahan tambang akan semakin lesu, karena swasta akan enggan untuk ikut masuk dalam industri tersebut. Pihak swasta tidak akan berani masuk ke dalam industri yang bersaing langsung dengan pemerintah. Yang harus dilakukan pemerintah adalah menyiapkan infrastruktur pendukung untuk menarik investasi di bidang pengolahan barang tambang tersebut.Kedua, bea keluar yang ditarik pemerintah akan masuk kedalam pendapatan negara dan akan diakumulasikan dalam APBN. Tidak serta merta pemasukan di bidang industri pertambangan akan dipakai konsumsi untuk industri itu juga. Bila demikian, siapa yang akan membiayai operasional negara lainnya? Sedangkan, pada tahun 2013 saja, APBN Indonesia masih defisit dengan salah satu pos pengeluaran terbesar adalah subsidi BBM. Jadi jawaban untuk pertanyaan mereka adalah tidak! Bea keluar yang ditarik pemerintah tidak cukup, karena dari 8 tahun sejak 2009, lima tahun pemerintah menghabiskan banyak uang negara untuk subsidi BBM yang sebagian besar dinikmati kalangan menengah.Justru yang seharusnya dikritik oleh para mahasiswa ini adalah rendahnya penerimaan negara di era Jokowi. Jokowi masih belum mampu mencapai penerimaan negara sebesar yang ditargetkannya. Hal ini menyebabkan APBN di era Jokowi sejak tahun 2014 masih saja defisit. Namun pada poin keempat dalam surat tersebut, anak-anak ITB ini justru menentang pemerintah menaikkan pendapatan negara lewat penyesuain biaya pengurusan STNK, TNKB dan BPKB.Dari tiga poin diatas, kita dapat melihat kurangnya kemampuan mahasiswa-mahasiswa ini dalam melakukan analisa dan mengambil kesimpulan. Yang paling mengherankan saya adalah bagaimana bisa surat dengan gagasan selemah ini dijadikan ancaman untuk melakukan demonstrasi ke DPR meminta pertanggungjawaban presiden. Tampaknya mahasiswa ini sudah tidak sabar lagi ingin memobilisasi masa dan bertindak seakan-akan penuh patriotisme dan heroik.Tapi yang menjadi ironi adalah di poin terakhir mereka bicara soal masalah kerukunan sosial, padahal beberapa minggu lalu pengusiran paksa ibadah terjadi di wilayah kampus mereka sendiri. Apa yang mereka lakukan? Tidak ada! Sekalinya mereka punya kesempatan untuk berbuat heroik di kampus mereka sendiri, mereka malah tidak melakukan apa-apa. Lalu sekarang, mereka kekeuh mengeluarkan surat terbuka, yang bahkan ketika masih menjadi draft saja sudah diolok oleh masyarakat ramai. Sekali lagi saya bersyukur sudah jadi alumni ITB, karena ada kata “alumni” yang memisahkan identitas diri saya dengan mereka yang membuat surat terbuka itu. Meskipun jujur harus saya akui, saya tetap merasa malu. @pappub.id

Kepada Anak- anakku Mahasiswa

DUNIA HAWA - Tahun 1998 kakak kalian tampil heroik menjatuhkan Soeharto. Mengapa ? Yang mereka jatuhkan adalah rezim korup, dan tak ada hukum yang bisa menghentikan KKN. Sejarah revolusi yang sukses di manapun karena rezim terlalu kuat tanpa hukum yang membatasi mereka. Dan itu terjadi begitu saja tanpa ada arsitek. Memang dari kekacauan itu lahirlah tokoh pemimpin yang mempersatukan semua agar kembali membangun dari puing puing kehancuran.


Di zaman sekarang, kekuasaan terdistribusi secara efektif sehingga tidak mungkin seorang penguasa bisa berkuasa tanpa batas. Apalagi Jokowi sang presiden tidak ada sedikitpun terindikasi melakukan KKN. Anaknya jualan martabak. Semua anggota keluarga tetap melanjutkan kehidupan normalnya tanpa terpengaruh dengan duduknya Jokowi sebagai orang nomor 1 di republik ini. Tidak ada alasan yang masuk akal atas aksi demo kalian. Tidak. Justru semakin memperlihatkan kelas kalian semakin jatuh..Baik saya jelaskan..,

Kenaikan harga BBM?
Yang naik itu bukan premium dan solar tapi Pertamax, Pertamax Plus, Pertamax Turbo, Pertamina Dex, Dexlite dan Pertalite. Naiknya hanya Rp. 300. Itu BBM untuk mereka yang mampu. Apakah mereka keberatan ? Tidak. Kalaupun mereka keberatan mereka bisa pindah ke Premium ya kan. Jokowi tidak peduli kepada rakyat dan tunduk dengan pasar? Apakah dengan memaksa harga BBM di Papua sama dengan daerah lain dianggap pro pasar? karena itu Pertamina merugi Rp. 800 miliar. Pasar memang tidak bisa di lawan. Tapi pada batas tertentu negara harus hadir ya hadir demi keadilan walau mahal sekali ongkosnya.Apakah rezim sebelumnya mikir soal ginian?

Kenaikan listrik? Di Indonesia, total pelanggan listrik 900 VA ada 22,9 juta rumah tangga. Namun berdasarkan kajian dari Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), hanya 4,1 juta pelanggan dinilai layak mendapatkan subsidi. Sisanya, 18,8 juta pengguna distrik 900 VA merupakan rumah tangga mampu sehingga tidak berhak mendapatkan subsidi dari pemerintah. Pelanggan inilah yang subsidinya dicabut.” Apakah salah,bIla orang mampu tidak perlu di subsidi?

Mengapa terus di perpanjang izin ekspor bahan baku Minerba? Apakah pemerintah berpihak kepada asing? Amanah UU Minerba itu ada di zaman SBY. Selama itu SBY gagal mendatangkan investor industri pengolahan minerba. Dan apabila di era Jokowi di hentikan ekspor konsentrat maka akan banyak perusahaan minerba yang gulung tikar. Mengapa pemerintah tidak bangun sendiri. Kemana penerimaan bea eskpor selama ini? Kalau pemerintah bangun sendiri maka investasi swasta akan lesu, dan lagi dari mana dananya pemerintah? Bea yang di terima oleh rezim SBY habis begitu saja untuk subsidi tanpa pernah berpikir untuk bangun smelter. Yang di lakukan pemeirntah sekarang adalah membangun insfrastruktur agar investor swasta bisa masuk membangun smelter. Karena smelter itu membutuhkan listrik yang sangat besar.

Lantas kalian demo dasarnya apa? Kalau cara berpikir seperti ini maka jangan salahkan apabila kalian lulus engga ada yang mau terima kerja, dan pasti kalah dengan pekerja dari ASEAN lainnya. Ingat loh kini sudah masuk MEA, pengusaha bisa ambil pekerja dari ASEAN lainnya..cobalah berpikir cerdas dan banyak belajar agar kalian tidak jadi pecundang hanya karena provokasi orang engga waras...

Pahamkan sayang...

@erizeli jely band


Mengadili Aborsi #2

(lajutan bagian_1)

DUNIA HAWA - Perkara semua-penyakit-obatnya-disuntik-biar-manjur ini terbawa sampai sekarang. Banyak pasien, terutama tapi bukan hanya lansia, yang merasa tidak puas dan tidak sembuh jika tidak disuntik. Masalahnya, tindakan menyuntik sesungguhnya bukanlah tindakan enteng yang bisa dilakukan tanpa risiko dan indikasi. Saya bukan tipe dokter yang mudah menyuntik pasien.


Sesuai dengan prinsip utama kedokteran, yakni beneficence (melakukan hal yang memberikan manfaat/kebaikan) dan non-maleficence (tidak melakukan hal yang merugikan), setiap tindakan harus dipertimbangkan untung ruginya. Lakukan sesuatu hanya apabila manfaatnya melebihi risikonya.

Nah, bukan masalah yang mudah menjelaskan ini pada pasien yang minta disuntik, terutama para oma dan opa yang terkadang sudah sulit berkomunikasi dan punya sugesti tinggi. Kadangkala, saya terpaksa melakukan juga meski tak ada indikasi medis, sebab kalau tidak pasien saya itu malah tampak begitu tidak damai sejahtera, merasa tidak diapa-apakan. Biasanya saya memilih menyuntikkan sesuatu yang sekecil mungkin risikonya dan sesedikit mungkin volumenya. Indikasinya? Untuk menenangkan hati dan sugesti.

Apa hubungannya dengan aborsi? Hubungannya adalah soal “melakukan suatu tindakan saat diminta”. Terlalu sering kita lupa dengan aspek aborsi yang sejatinya adalah suatu tindakan medis – tindakan medis invasif, pula – yang memerlukan indikasi.

Sebagai tindakan medis (sama seperti perkara suntik-menyuntik di atas) aborsi tidak serta-merta diberikan ketika diminta (abortion on demand); ia diberikan ketika dibutuhkan, disetujui, serta dimengerti segala konsekuensinya. Pertanyaan berikutnya adalah, kapan dan mengapa aborsi dibutuhkan oleh seorang perempuan?

Aborsi dibutuhkan ketika suatu kehamilan tidak diinginkan atau membahayakan; saya kira kita semua dapat menyetujui itu meski dengan kadar berbeda-beda. Ruang pengecualian dalam hukum kita di atas sudah berusaha mengakomodasi sebagian contoh aplikasinya, yakni kasus pemerkosaan dan kehamilan berisiko. Tapi, masih banyak aspek lain yang terlewatkan, padahal lebih sering terjadi.

Apakah kehamilan tidak diinginkan terjadi hanya dalam kasus pemerkosaan, yang dalam hukum kita didefinisikan sebagai hubungan seks yang dipaksakan dengan kekerasan fisik oleh laki-laki kepada perempuan yang bukan istrinya? Tidak selalu.

Seorang remaja perempuan yang menjalani hubungan pacaran dengan relasi kuasa yang tidak seimbang, misalnya, bisa dimanipulasi bahkan di-bully secara mental oleh kekasihnya untuk berhubungan seksual. Bukan rahasia lagi bahwa pengetahuan remaja Indonesia mengenai kesehatan reproduksi dan seksualitas masih sangat minim. Pengetahuan soal seksualitas ditabukan.

Pengetahuan kontrasepsi belum menyentuh mereka dengan semestinya. Sudah sering saya temukan, ada banyak remaja yang memangtahu bagaimana caranya berhubungan seksual, tapi sesungguhnya tidak mengerti apa-apa tentang seksualitas. Belum lagi akses yang begitu mudah terhadap pornografi mainstream, yang sering memberikan gambaran yang salah tentang seks dan relasi antarindividu yang melakukannya.

Ketidaktahuan dan kenaifan berbahaya ini terus terpelihara nyaris tanpa penawar sampai mereka dewasa, menikah, berkeluarga. Sementara itu, hormon terus menggelegak dalam darah muda, dan di sekeliling mereka, masyarakat selalu siap untuk menghakimi secara moral – masyarakat yang sama naifnya. Remaja yang hamil di luar nikah ditendang dari sekolah dan dijadikan sampah masyarakat. Remaja yang ketahuan aborsi dimasukkan penjara. Kemiskinan pengetahuan berbuah derita, apa pun yang terjadi.

Ada banyak pula perempuan menikah yang tidak memiliki relasi yang sehat dengan pasangannya, atau dengan keluarganya. Anak-anak Indonesia (definisi “anak” menurut WHO adalah 18 tahun ke bawah) belum terlindung secara hukum dari praktik pernikahan anak.

Kontrasepsi, dengan segala tabu dan mitos yang menyelubunginya, masih menjadi “urusan perempuan”; laki-laki dalam keluarga seringkali tidak tahu dan tidak mau tahu apa-apa soal kontrasepsi, meskipun di rumah nanti mereka seringkali sangat bersemangat mengatur-atur organ reproduksi istrinya.

Urusan ranjang masih dipandang sebagai kewajiban istri terhadap suami, bukan suatu pilihan pribadi. Ada tekanan sosial pada setiap pasangan yang telah menikah untuk segera memiliki anak, baik mereka menginginkannya atau tidak. Belum lagi faktor ekonomi yang mencekik leher.

Akibatnya, indikasi tindakan aborsi yang tadinya hanya seputar indikasi medis sesungguhnya harus dinilai secara lebih luas. Ada indikasi psikologis, sosial, ekonomi. Ada banyak hal yang dapat menyebabkan seorang perempuan hamil di luar kehendaknya sendiri.

Ada banyak hal yang dapat menyebabkan seorang perempuan yang, meski awalnya hamil sesuai kehendaknya, menjadi tertekan karena kehamilannya. Ada banyak hal yang dapat menyebabkan status atau kehidupan seorang bayi yang terlahir dari rahim seorang perempuan menjadi sama hina/buruknya dengan apabila perempuan itu memutuskan untuk “membunuh” si bayi sebelum lahir. Hamil atau tidak hamil, dilahirkan atau diaborsi, tubuh perempuan seringkali jadi serba salah.

Dalam hemat saya, perkara aborsi seharusnya dipandang secara jauh lebih komprehensif dari sekadar kesibukan mengilegalkan atau memasuknerakakan. Yang betul-betul harus dihukum adalah mereka yang menipu serta membahayakan para perempuan dengan melakukan aborsi tidak aman dan menarik biaya yang tak masuk akal, atau mereka yang memaksakan tindak aborsi pada seorang perempuan.

Kepada para perempuan itu sendiri, mata dan hati yang adil harus dipergunakan. Sebab-sebab mengapa suatu kehamilan yang tak diinginkan terjadi, dan mengapa kehamilan itu menjadi tidak diinginkan, harus betul-betul dievaluasi. Setiap kasus berbeda, setiap perempuan memiliki hidup dan pengalaman serta beban yang berbeda, setiap dari mereka membutuhkan penanganan yang berbeda-beda.

Generalisasi atas sesuatu yang sespesifik ini adalah suatu kebodohan. Sebab jangan-jangan bukan para perempuan itu yang tidak bermoral. Jangan-jangan kita sendiri yang sedang bersikap sebagai masyarakat yang penuh semangat menghakimi namun sesungguhnya selalu menutup mata terhadap keadilan dan kasih. Katak dalam tempurung yang telunjuknya cepat melayang.

Seorang guru saya di bagian obstetri-ginekologi saat pendidikan profesi dokter dulu pernah bertanya: apabila pada suatu titik akhirnya kamu harus memilih antara menyelamatkan ibunya atau bayinya, mana yang kamu pilih? Jawaban guru saya itu adalah: ibunya.

Menurut beliau, seorang ibu yang selamat akan mampu membesarkan anak-anaknya yang sudah ada sebelumnya, dan memiliki anak lagi bila ia menginginkannya. Namun seorang bayi yang sejak lahir telah kehilangan ibunya, artinya kamu mengambil pertahanan dan sumber hidupnya yang sangat esensial.

Kami semua bingung mendengarnya. Yang kami tahu, ilmu obstetri-ginekologi selalu berurusan dengan dua nyawa yang harus dipertahankan. Titik. Tapi realitas pertanyaan guru saya itu jelas: hidup ini tidak selalu ideal. Kamu tidak bisa menyelamatkan semua orang, dan kadang kamu memang harus memilih, meski dengan berat hati. 

Tindak aborsi, apabila dapat dicegah, bagi saya haruslah dicegah. Pekerjaan rumah kita masih banyak soal ini. Kita masih harus bergumul dengan pendidikan seks yang benar, kesetaraan gender, hak-hak kontrasepsi, penghargaan atas tubuh, dan sebagainya. Termasuk yang belum banyak diperhatikan padahal sangat penting: hak mengakses kontrasepsi darurat untuk mencegah kehamilan saat terjadi kegagalan metode kontrasepsi yang lain, misalnya kebocoran kondom. Di pihak lain, kehamilan itu sendiri masih sering dipandang sebagai aib. Padahal kehamilan, bagaimanapun status perkawinannya, sejatinya adalah suatu momen penciptaan kehidupan. Individu baru yang terbentuk bukan dan tidak boleh dipandang sebagai aib. Kehamilan sebisa mungkin harus dirayakan, dipelihara, direngkuh, diperlakukan oleh masyarakat dan keluarga sebagai berkat, bukan kutuk.

Namun, ketika tindakan aborsi tersebut memang memiliki indikasi yang kuat (dan bukan hanya soal medis), ketika ia sungguh menjadi satu-satunya jalan terakhir untuk menyelamatkan kehidupan seorang perempuan, maka ia harus dilakukan dengan aman sebagai pemenuhan hak bagi perempuan yang membutuhkannya. Sebab masyarakat kita memang bukan masyarakat utopis; akan selalu ada orang yang sulit menghargai sesamanya di luar penampakan kulitnya. Dan hidup di tengah-tengah orang-orang yang demikian dapat menjadi hidup yang tak berperikemanusiaan.

Sebab hidup itu, ternyata, bukan cuma soal nyawa itu sendiri. Kamu tidak bernapas, makan, minum, lalu serta-merta hidup. Hidup, ternyata, juga adalah soal memanusiakan seseorang. Dan perkara memanusiakan ini seringkali lebih rumit daripada perkara membuat seseorang tetap bernapas.

@putri widi saraswati


Jubah, Jenggot dan Bahasa itu Hanya Budaya Saja

DUNIA HAWA - Bahasa, jubah dan berjenggot itu bagian dari budaya Arab dan Timur Tengah sejak zaman bahoela jauh sebelum Islam lahir pada abad ke-7 M. Karena itu jangan heran jika anda melihat komunitas Kristen Arab juga berjubah, meskipun tentu saja ada yang tidak, sebagaimana Arab Muslim: ada yang berjubah, juga ada yang tidak. Suka-suka mereka.


Tradisi berjenggot juga dipraktekkan sejumlah kelompok agama ortodoks diluar Islam, khususnya Kristen Ortodoks (Amish, Old Order Mennonite, Ortodoks Koptik seperti foto di bawah ini, dlsb) dan Yahudi Ortodoks (Yahudi Heredi, Lev Tahor). Karena Nabi Muhammad hidup dalam kultur dan tradisi Arab/Timur Tengah, maka sudah sewajarnya jika beliau juga berjubah dan berjenggot.

Dengan kata lain, berjenggot dan berjubah itu bukan hanya "sunah [tradisi] rasul" tetapi juga sunah atau tradisi masyarakat Arab / Timur Tengah (laki-laki) waktu itu. Alasan memelihara jenggot itu simpel saja karena gak ada barbershop, tidak ada hubungannya dengan malaikat. Masak malaikat ngurusi jenggot? Meski begitu, silakan saja kalau mau berjenggot (saya juga berjenggot meskipun ukuran minimalis), bebas-bebas saja.

Bahasa, selain medium komunikasi, juga budaya. Demikian juga dengan Bahasa Arab, tidak ada hubungannya dengan identitas keislaman dan kualitas keimanan seorang Muslim. Kalau hanya soal Bahasa Arab, orang-orang Kristen Arab di Mesir, Suriah, Libanon, Bahrain, Iraq, Palestina, dlsb, jauh lebih fasih Bahasa Arab-nya ketimbang sejumlah kaum Muslim di Indonesia yang gemar berantum-antum atau berakhi-ukhti. Sebagaimana umat Arab Muslim, kaum Arab Kristen juga berkhotbah pakai Bahasa Arab, Injil mereka juga berbahasa Arab, gereja-gereja mereka juga tertulis dengan huruf Arab. La memang itu bahasa mereka, masak mereka mau pakai Bahasa Batak.

Karena itu tidak usah "sok-sokan", gagah-gagahan, dan "lebay-njeblay" soal bahasa Arab ini. Biasa-biasa saja lah. Kualitas keislaman dan keimanan itu tidak ditentukan oleh fasih dan tidaknya dalam berbahasa Arab, oleh panjang-pendeknya jenggot, atau berjubah atau tidak, tetapi oleh baik-tidaknya perilaku individual dan sosial seorang Muslim itu.

@Prof.Dr.Sumanto al Qurtuby, MSi, MA

Staf Pengajar Antropologi Budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi