Wednesday, January 11, 2017

Mengadili Aborsi

DUNIA HAWA - ​Baru-baru ini, linimasa salah satu media sosial saya dihiasi dengan perdebatan mengenai legalitas tindakan aborsi yang aman, yang terjadi di beberapa negara Barat. Yang mengangkatnya adalah salah satu akun berideologi feminisme yang saya ikuti, yakni Indonesia Feminis.


Dalam konteks aborsi aman dan legal, aktivis feminisme di negara-negara tersebut memandangnya sebagai salah satu hak reproduksi mendasar dan bagian dari otoritas tubuh seorang perempuan yang harus diperjuangkan, bukan diatur-atur (oleh negara, misalnya) apalagi dikriminalisasi. Perdebatan antara aktivis feminisme liberal dengan kaum konservatif menggaungkan dua istilah bagi masing-masing kubu:

pro-life dan pro-choice.


Saya belum membaca lebih jauh tentang siapa yang lebih dulu menemukan atau memakai kedua istilah itu, tapi saya kira makna harafiahnya sudah cukup jelas: pro-life adalah mereka yang menentang aborsi yang dianggap sama dengan pemusnahan kehidupan, pro-choice adalah mereka yang menganggapnya sebagai pilihan yang harus didukung bagi orang-orang yang memang menginginkannya.

Di Amerika, misalnya, perdebatan sudah menjadi cukup panas hingga menimbulkan konflik fisik, misalnya penyerangan dan teror terhadap fasilitas dan pekerja klinik-klinik Planned Parenthood yang dianggap memfasilitasi aborsi (meskipun banyak dari klinik-klinik itu yang faktanya tidak melakukan prosedur tersebut, melainkan lebih berfokus pada layanan kontrasepsi).

Perdebatan pro-life VS pro-choice ini sepertinya masih belum punya gaung di negara kita. Orang Indonesia secara umum masih asing dengannya. Wacana aborsi sebagai pilihan, apalagi sebagai hak, masih jauh di awang-awang.

Secara hukum, di negara kita aborsi masih dipandang sebagai tindak kriminal. Pasal 75 ayat (1) Undang-Undang no. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan secara umum melarang setiap orang untuk melakukan aborsi, meski masih terdapat ruang pengecualian pada ayat (2), yaitu dalam kasus kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, atau adanya kelainan genetik berat dan/atau cacat bawaan maupun yang tak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi bertahan hidup di luar kandungan, juga pada kasus kehamilan akibat pemerkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban pemerkosaan.

Dalam kasus pemerkosaan ini, terdapat sejumlah syarat yang lebih lanjut dideskripsikan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, yaitu bahwa aborsi hanya dapat dilakukan bila kehamilan maksimal berusia 40 hari sejak hari pertama haid terakhir, juga bahwa kehamilan tersebut betul-betul dapat dibuktikan terjadi akibat tindak perkosaan (di antaranya lewat perhitungan usia kehamilan yang sesuai dengan waktu terjadinya pemerkosaan dan pembuktian adanya tindak pemerkosaan itu sendiri).

Permasalahannya adalah, sebagai negara yang masyarakatnya masih memandang agama sebagai faktor terpenting dalam segala bidang hidup mereka, aborsi di Indonesia masih menjadi momok mengerikan yang “pokoknya salah dan dosa”. Meski dalam hukum agama sendiri masih terdapat banyak perdebatan mengenai kapan tepatnya gumpalan jaringan dalam rahim tersebut dapat dikatakan “manusia”, hal itu tidak menghentikan generalisasi negatif yang ada.

Kata “aborsi” itu sendiri saja sudah memiliki konotasi sangat buruk dalam kehidupan bermasyarakat, mungkin lebih buruk dari pemerkosaan atau pembunuhan. Ruang-ruang pengecualian yang berusaha diakomodasi oleh hukum kita di atas seolah terabaikan akibat konotasi yang sudah telanjur buruk ini.

Bahasa hukum itu sendiri pun tidak lepas dari bias pandangan masyarakat. Hal ini antara lain tampak dari batas waktu 40 hari kehamilan yang diakibatkan tindak pemerkosaan, yang bertabrakan dengan definisi “kehamilan yang menimbulkan trauma psikologis”.

Berapa pun usia kehamilannya, trauma adalah trauma, bukan? Mestinya hukum dapat mengatur jalan keluar lain. Belum lagi jika mempertimbangkan betapa rumit dan biasnya hukum dan sistem peradilan di negara kita bila menyangkut pembuktian tindak pidana pemerkosaan dan kekerasan seksual lainnya.

Tapi bukan itu sebenarnya yang hendak saya sorot dalam tulisan ini. Sebagai seorang dokter tersumpah yang sedang belajar kesadaran gender dan feminisme, aborsi adalah sesuatu yang sudah lama menjadi bahan pergumulan saya. Apalagi ketika muncul perdebatan pro-life VS pro-choice ini. Sikap seperti apa yang seharusnya saya ambil?

Di satu pihak, saya sepakat dengan sudut pandang feminisme yang sangat menekankan otoritas tubuh dan kebebasan (serta kesempatan dan pengetahuan memadai) untuk memilih bagi seorang perempuan. Kedua hal ini sangat krusial apabila kita ingin mengentaskan, antara lain, obyektivikasi seksual dan eksploitasi tubuh yang sudah terlalu lama dibebankan budaya patriarki kepada kaum perempuan.

Hal-hal sederhana namun esensial seperti hak kepemilikan tubuh dan hak bebas dari kekerasan seksual tidak akan bisa diperjuangkan tanpa dua konsep ini. Pro-choice, dengan kata lain, bersama-sama dengan penghargaan terhadap kemanusiaan dan semangat kesetaraan, adalah jiwa yang utama dari feminisme (bukan “mengalahkan laki-laki” seperti yang sering dikira sebagian orang yang mungkin merasa takut disaingi).

Di pihak lain, tidak mungkin menjadi seorang dokter yang tidak pro-life. Dalam hal ini, saya mengambil makna pro-life yang paling umum: memelihara, merawat, mempertahankan kehidupan. Saya akan mengambil perbandingan yang menurut hemat saya bisa membantu, yakni antara seorang dokter dan seorang biolog murni. Keduanya sama-sama ilmuwan; keduanya sama-sama memiliki kewajiban untuk mengambil “jarak” dan bersikap obyektif, bebas bias.

Tapi, sedikit berbeda dengan biologi murni, kedokteran adalah suatu ilmu yang lahir dan dikembangkan begitu erat dengan upaya menyejahterakan kehidupan manusia, individu maupun komunitas. Ilmu biologi murni mungkin dapat memandang obyek keilmuannya sebagai sekumpulan sel, sekumpulan jaringan, sekumpulan organisme, dan seterusnya.

Tapi kedokteran diciptakan sebagai ilmu yang harus memandang “obyek” keilmuannya, yakni manusia, sebagai subyek yang setara dan seharkat dengannya alih-alih sebagai sebatas obyek penelitian.

Seorang dokter di hadapan pasien tidak dapat bersikap “dingin” sebebas seorang biolog murni di laboratorium. Oleh karena itu, saya menemukan diri saya tidak dapat memandang jaringan yang sudah melewati proses pembuahan sebagai “only fetal tissues” seperti yang diklaim sebagian pro-choice (yang berargumen bahwa seorang perempuan sebagai manusia individu memiliki harga lebih dari “some fetal tissues”).

Secara genetika, DNA yang dikandung oleh jaringan itu sudah merupakan penanda genetik yang unik dan spesifik, tak ada duanya di dunia, cikal bakal individu manusia yang betul-betul baru. Dan hidup. Terlepas dari apakah ia akan bertahan lebih lanjut atau tidak. Oleh karena itulah, saya rasa, definisi kehamilan dalam ilmu kedokteran sudah dimulai sejak dari proses pembuahan.

Karena itu, ketika salah satu artikel yang dibagikan oleh akun Indonesia Feminis menekankan bahwa tidak ada dan tidak mungkin ada yang namanya feminis yang pro-life, saya merasa aneh. Saya membagikan ulang artikel tersebut ke linimasa saya dengan catatan, “Salah – setidaknya menurut saya. Saya seorang feminis, dan saya menganggap diri saya pro-life sekaligus pro-choice.”

Beberapa saat kemudian, entah memang sebagai respon atau cuma saya yang kegeeran – saya berdoa semoga yang kedua – admin akun Indonesia Feminis membagikan ulang pendapat mereka bahwa bagi feminisme, pro-life dan pro-choice adalah dua hal yang sangat bertentangan dan tidak mungkin sejalan.

Aborsi adalah hak, aborsi terjadi karena seorang wanita tidak menginginkan kehamilannya, dan aborsi adalah pilihan yang harus diberikan kepada perempuan tersebut sebagai bentuk penghargaan terhadap otoritas tubuhnya. Titik. Saya pun mendesah, lalu menutup aplikasi media sosial di ponsel. Saat itulah saya memutuskan bahwa saya harus benar-benar memikirkan, lalu menuliskan, pendapat saya soal ini. Saya tidak bisa terus-menerus terbagi dua.

Saat membaca argumen mengenai “aborsi yang aman harus diberikan sebagai hak kepada perempuan yang menginginkannya”, saya teringat pengalaman saya dengan banyak pasien lanjut usia. Ini pengalaman sederhana, yang saya yakin sudah sering dialami oleh nyaris setiap dokter, terutama yang bekerja di daerah.

Pasien-pasien lansia di daerah seringkali sudah terbiasa dengan jarum suntik. Zaman dulu, saat fasilitas dan tenaga kesehatan masih sangat terbatas, mantri-mantri desa yang adalah ujung tombak kesehatan sering berkeliling ke kampung-kampung. Dan andalan mantri-mantri tersebut, yang generasinya saat itu belum berkesempatan untuk mengenyam pendidikan sekomprehensif pendidikan kedokteran/keperawatan/kebidanan zaman sekarang, adalah jarum suntik. Segala penyakit obatnya disuntik.

Ada seorang mantri di wilayah kerja saya yang sampai hari ini masih femes dan begitu dipercaya masyarakat. Dulu, menurut cerita beberapa perawat yang lebih muda, setiap bulan saat jadwal Posyandu ia selalu berkeliling membawa sekotak jarum suntik dan ampul-ampul berisi vitamin B. Satu kali suntik sekian puluh ribu. Dan begitu banyak orang yang datang minta disuntik. Hal itu berlangsung sampai sekarang, meski ia sudah pensiun.


@putri widi saraswati



Surat Terbuka dari Habib untuk yang Mengaku Habib

DUNIA HAWA - Sebetulnya saya sudah ingin menghentikan segala bentuk penulisan surat, dari surat terbuka, surat tertutup, surat syariah sampai surat konvensional. Tapi isu soal seseorang yang mengaku habib akhir-akhir ini sempat membuat saya tersentak dan menarik ke gelanggang. Saya rasa harus dipertegas kembali pengetahuan tentang kedudukan habib demi mengurangi korban dawir a.k.a dagang wirid dari siapapun yang menjadikan gelar habib sebagai pengganti modal dan skill.


Saya ingin menceritakan kejadian-kejadian yang menimpa saya paska penulisan surat terbuka saya yang pertama, yang bagi sebagian orang diklaim memiliki tendensi personal kepada Habieb Rizieq Sihab. Tak masalah, setiap orang berhak menilai tulisan dengan persepsinya masing-masing.

Selain saya ditimpuki degan ribuan komentar negatif, ratusan ancaman verbal, dan puluhan serangan teror, saya juga mendapatkan berbagai hikmah dan teman-teman baru. Hal ini yang membuat saya semakin yakin, bahwa mengkritik dengan sangka baik berbeda dengan menghina berlandaskan kebencian.

Beberapa teman-teman muslim kaget membaca surat terbuka saya kepada HRS, mereka menganggap ini sebuah sikap yang lancang, walaupun tidak sedikit juga yang memberikan apresiasi kepada saya. Di luar dari pro kontra seputar surat terbuka saya waktu itu, ada hal-hal positif yang saya hidupkan di tengah-tengah mozaik kehidupan masyarakat yang saat ini tengah heboh dengan gelar “habib”.

Sebagian teman dari muslim mengakui bahwa apa yang telah saya tulis mengubah opini negatif tentang habib yang selama ini dianggap identik dengan kekerasan, intoleransi dan ektremisme. Sebagian habib merasa terwakili oleh surat itu. Teman-teman non-muslim, terutama Kristen dan Etnik Cina merasa diperhatikan dan mendapatkan gambaran yang utuh tentang Habib.

Dan yang terpenting dari semuanya adalah, banyak dari kita jadi mengetahui bahwa seorang Habib besar sekalipun tidak luput dari kritikan. Dan mengajarkan cara baru untuk pemuda-pemudi bangsa dalam berdialektika di dunia maya, bukan hanya sibuk merawat dendam.

Sekarang, pesan saya tujukan untuk para pengaku Habib:


Yang perlu Anda sadari, “habib” bukanlah gelar yang diraih karena sebuah upaya. Gelar habib juga bukan prestasi akademik atau titik sempurna seorang manusia. Sehingga Anda tidak perlu bersusah payah menggandengkan kata “Habib” di depan nama Anda.

Gelar “Habib” yang dipaksakan hanya akan memberikan kenikmatan sementara di dunia ini. Kemudian Anda akan dibalas dengan perlakuan manusia melalui hukuman sosial. Contohnya kita sudah sama-sama tau. Di sela-sela kasus penistaan agama, ada seorang yang mengaku habib malah menistakan Pizza Hut. Dan jadi korban bullyingsemesta sosmed.

Walaupun setelah itu keluar klarifikasi dari pihak terkait bahwa dia tak mengaku habib, tapi memang bernama “habib”. Sehingga saya juga perlu klarifikasi ulang, bahwa dia tak mengaku habib, dan surat ini tertuju bukan untuknya. Tapi untuk para pengaku habib.

Anda tak perlu minder dengan perlakuan orang-orang yang begitu respect kepada seorang habib, sehingga Anda merasa berkepentingan menyandingkan diri Anda pada status “Habib”, karena masih banyak habib-habib mulia di negri ini yang tidak mendapatkan penghormatan serupa. Dan itu bukan masalah di mata Allah.

Saya mendengar kabar, di pelosok-pelosok pedesaan di Jawa dan berbagai daerah seberang, banyak orang mengaku habib. Saya bisa pahami, sulitnya ekonomi, rendahnya taraf pendidikan, minimnya kemampuan dan berbagai kelemahan lain membuat seseorang kalap dan tidak merasa bersalah mengaku habib. Karena sudah terlanjur mancung dan berjenggot, apa salahnya dieksploitasi?

Dalam hadis Nabi dikatakan: “Tidaklah seseorang menisbatkan kepada selain ayahnya sedang dia mengetahui melainkan dia telah kufur kepada Allah. Dan barangsiapa yang mengaku-ngaku sebagai suatu kaum dan dia tidak ada hubungan nasab dengan mereka, maka hendaklah dia menyiapkan tempat duduknya di neraka”. (HR. al-Bukhori, No. 3508 dan Muslim, No. 112).

Hadis di atas bukan penegasan tentang kemuliaan kedudukan para habib, melainkan sebuah larangan untuk berbohong atas nama “keturunan”. Artinya Nabi sangat menekankan untuk setiap umatnya mengenali identitas dirinya. Dan menerimanya sebagai suatu amanat dari Allah. Anak siapapun Anda, ras apapun Anda, bangsa apapun Anda, terimalah itu sebagai anugerah.

Untuk para pengaku Habib, sadarlah! bahwa dunia tidak akan mencatat nama Anda dalam sejarah maupun buku-buku saku. Apabila kekeliruan yang sengaja Anda rawat ini tidak menyengsarakan Anda, percayalah, anak-anak Anda yang akan menanggung beban moral sebagai anak dari seseorang yang mengaku habib. Dan sialnya belum ada seorang pun yang mengaku habib memiliki kontribusi di dunia ini. Bahkan di Indonesia, negrinya para pengaku Habib, belum ada satupun dari mereka yang berjasa.

Sekian surat yang saya tulis untuk kebaikan bersama. Tanpa sedikitpun rasa bangga diri karena terlahir sebagai habib, surat ini hanya perspektif dari seorang yang terlanjur habib karena mendapat efek negatif berupa tuduhan kepalsuan kehabib-an, tuduhan pemanfaatan gelar habib, berserta banyak tuduhan-tuduhan tak sedap lainnya berkat ulah para pengaku habib.

Wassalamualaikum wr.wb.

(Acin Muhdor, 06 Januari 2017)

@habib acin muhdor


Membedah Otak Kaum Fundamentalis-Ekstremis

DUNIA HAWA - Indonesia darurat intoleransi. Ya, sesuai hasil survei Wahid Institute, intoleransi, radikalisme, dan fundamentalisme agama rawan terjadi di Indonesia. Hal ini merebak beberapa tahun belakangan ini. Gejala ini semakin menggeliat kala Pemilihan Kepala Daerah Jakarta mendekat.


Mereka juga muncul dalam pelbagai modelnya; dari penolakan, penistaan, pembubaran ibadah, perihal “haram” atribut Natal, pengeboman rumah ibadah, hingga penghapusan pertemanan dari media sosial diakibatkan perbedaan pandangan keagamaan.

Semua hal di atas berawal dari batok kepala bagian depan. Di belakang dahi kita terdapat otak bagian depan atau frontal; satu dari empat bagian besar otak (lainnya adalah parietal, temporal, dan occipital) berperan sebagai pusat pergerakan dan penentuan baik dan benar padaa suatu tindakan.

Secara spesifik, di dalamnya terdapat prefrontal cortex. Lapisan otak yang menutupi hampir seluruh otak depan adalah pusat kognisi, pengambilan keputusan, dan mencerminkan perilaku sosial seseorang. Bagian ini sangat erat hubungannyaa pada dopamin, sebuah senyawa kimia yang menjadi penyambung serabut saraf di otak. Keduanya turut dipengaruhi oleh aktivitas agama sebagai faktor lingkungan.

Dalam sejarahnya agama memang erat kaitannya dengan perkembangan otak. Sekitar 500.000 tahun yang lalu, otak manusia mengalami perkembangan lapisan terluar otak yang disebut neo cortex. Antropolog Robert Dunbar menyebutkan hal itu terjadi pada manusia arkaik, Homo Sapiens pada saat mereka mulai mengenal agama dan bahasa.

Perkembangan manusia kemudian menggiring dan menjadikan agama salah satu peran vital, salah satunya menjadikan agama penyejuk bagi manusia. Hal ini diperkuat oleh adanya temuan bahwa agama dapat mengurangi tingkat stress manusia dan menurunkan tingkat bunuh diri. Melihat kebermanfaatannya dan pentingnya, Badan Kesehatan Dunia (WHO) kemudian mengkategorikan agama sebagai faktor yang berhubungan dengan kualitas hidup seseorang.

Agama juga menunjukkan perilaku yang luar biasa, khususnya dalam aktivitas otak. Patrick McNamara, pakar neurosains, dalam esainya The Dopamine Switch Between Atheist, Believer and Fanatic menyebutkan bahwa dopamin dan prefrontal cortex telah berperan pada para begawan perdamaian dan pemimpin dunia. Sebut saja Martin Luther King, Mahatma Gandhi, Confucius, hingga Jeanne d’Arc. Mereka adalah orang yang teguh pada tradisi keagamaan dan menjadikan keyakinannya untuk kepentingan umat manusia.

Prefrontal Cortex dan Dopamin
Karl Marx mengucapkan adagium “agama adalah candu”, Richard Dawkins berujar bahwa keseluruhan poin utama dari keyakinan keagamaan adalah bahwa ia tidak didasarkan dari pembenaran rasional. Hal tersebut kiranya dapat dilihat dari prefrontal cortex dan dopamin. Memang nyatanya keduanya bisa melahirkan kreativitas yang luar biasa pada manusia. Namun ada suatu episode ketika keduanya juga dapat melahirkan sesuatu yang di luar dugaan.

Seperti halnya candu, hal itu dapat juga ditemukan pada pemakai obat-obatan halusinogen LSD yang menghasilkan pengalaman religius. Obat halusinogen tersebut meningkatkan aktivitas dopamin di prefrontal cortex yang menjadikan imaji yang nyata. Ketika peningkatan drastis tersebut mencapai titik puncaknya, maka lahirlah penyakit mental pada orang tersebut. Fanatisme, radikalisme, dan intoleransi kemudian terjadi; rasionalitas tertutup oleh gelap mata.

Sisi gelap kombinasi agama-dopamin-prefrontal cortex ini melahirkan Jim Jones (pemimpin agama yang bertanggung jawab bunuh diri massal di Georgetown), Aum Shinrikyo (otak pengeboman gas sarin di Tokyo), hingga Al-Qaidah dengan tragedi 9/11.

Erik Asp dan sejumlah peneliti dari Rumah Sakit Iowa, AS, melakukan penelitian pada 20 pasien dengan kerusakan bilateral dan ventromedial prefrontal cortex (disebut vmPC) yang semuanya terafiliasi dalam aliran keagamaan tertentu. Dari hasil tersebut, dia merumuskan Teori False Tagging yang menyatakan bahwa orang-orang dengan pandangan dunia fundamentalis ekstrim menunjukkan perubahan struktural dan fungsional pada bagian dari lobus prefrontal.

Para peneliti membenarkan teori ini dengan hasil pengukuran untuk memperkirakan tingkatan otoritarianisme, fundamentalisme, dan keyakinan agama yang kuat di antara kelompok-kelompok pasien yang dipilih dengan perubahan patologis di bagian prefrontal ini dan dibuktikan dengan metode pencitraan otak (CT Scan dan MRI).

Ditemukan juga gangguan fitur koordinasi dari bagian depan otak dengan amigdala, yang merupakan sepasang kumpulan serabut yang menyerupai kacang almond. Amigdala ini berperan kepada emosi dan ingatan pada manusia.

Teori tersebut pada percobaan yang dilakukan Asp menyimpulkan bahwa kerusakan pada prefrontal cortex disebabkan oleh adanya pemahaman fundamentalisme dan ekstremisme dalam pandangan agama. Selain dari agama, pandangan dogmatis lainnya bisa menghasilkan kerusakan yang sama seperti nasionalisme, prasangka, dan pandangan sosial lainnya.

Melihat hal itu, seorang pakar neuorsains dari Universitas Oxford memandang hal tersebut sama seperti halnya gangguan mental. Kelak perlakuan dan terapi pada schizophrenia diterapkan juga pada fundamentalis, radikalis, ataupun para intoleransi. Hal itu diutarakannya dalam sebuah peresentasi penelitian di sebuah literary festival.

Apa pun itu, salah kiranya jika agama yang mentah-mentah disalahkan dalam kelainan otak ini. Namun kesalahan itu terdapat pada penganut yang terlalu berlebihan menganut agamanya. Kecenderungan seseorang beragama untuk senantiasa berbuat baik dan hanif, misalnya, ditemukan juga pada penelitian Joni Y. Sasaki dari Universitas California. Sasaki  mengatakan bahwa kombinasi gen dopamin reseptor dan agama dapat menghasilkan altruisme dan kebaikan pada individu dan orang lain.

Sekiranya benar pendapat Immannuel Kant bahwa aktivitas moral dan kebaikan itu terjadi dari adanya rasa kewajiban yang rasional, apa pun keyakinan dan kepercayaan politiknya adalah yang utama. Dengan meninggikan kebaikan bersama dan kemaslahatan di atas perihal dogmatis mungkin kita dapat terhindari dari kelainan fungsi dari prefrontal cortex atau dopamin, juga halusinasi mengerikan yang menggiring pada kekerasan.

Maka, waspadailah “terjangkit” kelainan otak itu pada penolakan berkedok agama terhadap calon gubernur, kecintaan berlebihan terhadap calon gubernur, sikap reaktif nan berlebihan pada fatwa atribut Natal, atau bahkan status media sosial yang bersifat provokatif.

@dhihram tenrisau


Denny Siregar : Selamat Pagi PAKDE

DUNIA HAWA - Pagi, pakde.. Pagi ini cuaca basah habis hujan deras semalam. Aku sudah membuat secangkir kopi untuk teman sebelum memulai kegiatan.


Tiba-tiba aku seperti melihat dirimu. Duduk dihadapanku dengan wajah seperti memendam sesuatu. Tubuhmu bergetar seperti ingin menyampaikan banyak hal yang tidak terpikirkan olehku.

"Kamu pernah merasakan melihat kemiskinan yang benar-benar kemiskinan?". Bibirmu seperti ingin mengungkapkan banyak rahasia kepadaku. "Bayangkan, disatu tempat bahkan ada masyarakat yang harus berjalan kaki berhari-hari hanya sekedar untuk mencari makan... ".

Aku terdiam. Tidak sanggup membayangkannya, tetapi engkau sanggup melihatnya. Itulah mungkin kekuatan terbesarmu sampai sekarang. Kau bangun jalan dari ujung utara ke selatan, hanya supaya mereka yang menghancurkan hatimu itu bisa menikmati kemewahan yang bernama "pembangunan".

Kau beri mereka listrik yang selama ini buat mereka hanya mimpi yang tidak berkesudahan. Kau bangun waduk-waduk besar, hanya supaya mereka tidak menderita karena kekeringan.

Ah, sanggupkah aku berada di posisimu sekarang?

Engkau pasti geram melihat hanya satu persen dari rakyatmu yang serakah turunan menguasai separuh tanah di bumi pertiwi ini. Engkau pasti marah melihat banyak serigala buas yang bertahun-tahun menguasai semua sendi mulai dari pangan sampai air bersih.

Rahangmu pasti berdetak kuat karena mengetahui betapa tertinggalnya kita selama ini hanya karena perilaku orang-orang yang mengaku mencintai ibu pertiwi tapi terus memperkosanya sampai mati.

Dan ketika engkau mulai mengusik zona nyaman mereka, membakar sumber pangan mereka, menghancurkan komunitas mereka, mereka menyerangmu balik dengan segenap tenaga.

Para serigala di migas yang selama ini menikmati kekayaan dari selisih besar harga bensin di Papua, meraung terluka. Para babi di pangan yang selama ini menentukan berapa yang harus kami makan, menjadi sangat liar.
Para ular berbisa yang selama ini berbagi proyek dengan tikus raksasa, menjadi kelaparan. Belum lagi serangan hama dari negeri lain yang terusik karena engkau mengusir mereka. Dan gerombolan binatang penjilat yang ingin memanfaakan kedudukanmu.

Mereka bersatu padu, bergelombang menyerangmu. Engkau digoyang sejak awal memerintah. Difitnah, dicaci dan diancam. Bahkan mereka sanggup membiayai ribuan kaum belalang bodoh untuk menurunkanmu dari jabatan.

Menakjubkan, sama sekali tidak kulihat wajahmu ketakutan. Engkau malah melihatku dengan getir sambil berkata, "Betapa banyaknya energi kita terbuang sia-sia. Uang yang seharusnya untuk pembangunan, malah tercurah untuk menghadapi mereka. Waktu yang seharusnya kita kejar supaya tidak tertinggal dari bangsa lain, terhambat hanya untuk meladeni nafsu mereka. Tenaga yang seharusnya digunakan untuk membersihkan piring kotor dari pesta meriah yang ditinggalkan, harus disisihkan untuk menahan mereka... ".

Engkah mengangkat pundak kurusmu yang lelah menahan begitu besar beban yang ada. Dan entah kenapa - aku seperti melihatmu berbicara kepada seseorang yang telah lama tiada. "Bung, anda benar. Tugasku sekarang jauh lebih berat, karena dulu engkau berperang dengan bangsa lain sedangkan aku harus berperang dengan bangsaku sendiri..".

Engkau berdiri dari dudukmu. Ingin kubuatkan secangkir kopi untukmu. Tapi kurasa kau belum mau. Karena secangkir kopi adalah kemewahan dan engkau masih belum bisa merasakan itu. Belum. Sampai engkau bisa melihat anak-anak bangsamu merasakan kemewahan yang sama, keadilan pembangunan yang sama dan kesetaraan hak yang sama.

Kulihat punggungmu yang hilang dari pandanganku. Kucecap kopi hitamku. Ah, betapa bersyukurnya aku yang hanya orang biasa dengan beban minimal saja. Merdeka dalam arti sesungguhnya tanpa beban tanggung jawab yang begitu berat.

Selamat pagi, pakdeku. Jangan pernah lelah mencintai kami. Kami berjanji akan terus melangkah bersamamu.

@denny siregar