Tuesday, January 10, 2017

Perempuan dan Upaya Meruntuhkan Budaya Kekerasan

DUNIA HAWA - Kekerasan terhadap perempuan semakin hari semakin meningkat. Baik yang terjadi di ranah domestik maupun di ranah publik. Hal ini seperti fenomena gunung es yang hanya terlihat kecil di permukaan, tapi sebenarnya sangat besar ketika kita menyelami lebih dalam. Mengapa hal ini bisa terjadi?


Budaya kekerasan terhadap perempuan ini berasal dari munculnya budaya patriarki di dalam masyarakat. Budaya yang selalu ‘menomorduakan’ perempuan dalam segala hal dibandingkan dengan laki-laki. Budaya ini menggerus potensi dalam diri perempuan untuk mengejar prestasi yang ia inginkan.

Perempuan harus diatur sedemikian rupa sesuai dengan keinginan laki-laki dan norma sosial yang berlaku. Hal inilah yang menjadi akar atau dasar dari tidak adanya kesetaraan dan keadilan dalam interaksi antara manusia (laki-laki & perempuan).

Sering kita dengar sebutan “dapur, sumur, dan kasur” untuk perempuan ketika nantinya ia menjadi seorang istri. Mereka sudah ditanamkan doktrin sedari kecil, bahwa ke depannya ketika perempuan sudah menikah, ia akan selalu bekerja di area “dapur, sumur, dan kasur”. Seolah-olah hal itu adalah takdir yang harus diterima oleh perempuan. Mereka tidak bisa bergerak memaksimalkan potensinya di luar ketiga hal tersebut.

Sangat berbanding terbalik dengan laki-laki yang dapat dengan bebasnya memilih ke mana pun ia akan bergerak. ia dapat memilih bekerja di luar, bermain, bertemu dengan teman-temannya, dan tidak berkenan untuk mengerjakan tugas domestik. Karena tugas domestik dianggap menurunkan derajat dirinya jika laki-laki yang mengerjakan. Di sinilah awal mula ‘nasib’ seorang perempuan sudah ditentukan. Tidak dapat berubah sampai ia meninggal dunia.

Hal ini sudah mendarah daging selama ratusan tahun lamanya, sehingga menjadi hal yang ‘maklum’ jika hal itu terjadi terhadap perempuan. mereka menganggap wajar jika hal tersebut menimpa dirinya, dan seiring berjalannya waktu akhirnya mereka merasa ‘nyaman’ dengan budaya tersebut. Bahwa mereka merasa selalu dilindungi, dibantu, dan dininabobokan oleh superioritas laki-laki.

Superioritas laki-laki tersebut yang membuat perempuan semakin inferior. Padahal kemampuan perempuan untuk berprestasi tidak kalah dengan laki-laki, mereka mampu menunjukkan prestasi yang luar biasa di luar sana. Bahkan perempuan dapat menjadi pemimpin, seperti yang kita lihat sekarang. Sudah banyak perempuan yang dapat menjadi presiden, menteri, gubernur, dan walikota.

Kenyamanan atas budaya ‘menomorduakan’ perempuan itulah yang membuat gunung es makin lama makin besar, karena perempuan tidak menyadari bahwa dirinya sedang ‘dilemahkan’. Sementara laki-laki terus melanggengkan kekuasaannya di atas perempuan. Hal ini juga yang membuat kemampuan kritis perempuan atas dirinya menjadi tumpul.

Ia dilemahkan secara komprehensif, seperti dalam ranah pendidikan, kesehatan, pekerjaan, psikologis, reproduksi, dan hak asasi dirinya sebagai perempuan. Sehingga semua hal menjadi milik laki-laki terlebih dahulu sebelum menjadi milik perempuan.

Hal yang tadinya berada di bagian bawah gunung es tersebut akan muncul kepermukaan hanya ketika terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Itu pun jika perempuan tersebut mau melaporkannya kepada pihak yang berwajib. Jika ia tidak melaporkan kekerasan tersebut, tentu fenomena tersebut menjadi semakin besar dan tidak terlihat.

Pengaruh tersebut secara psikologis, membuat perempuan dan laki-laki menjadi sangat rentan terkena efek dari budaya tersebut. Mereka menjadi tidak mampu mengungkapkan perasaan terdalamnya kepada orang yang dituju. Mereka memendam perasaan tersebut di dalam batinnya sendiri, dan menanggung rasa sakitnya sendiri. Sementara kapasitas atau wadah untuk memendam perasaan di dalam batinnya itu sangat terbatas.

Jika wadah tersebut sudah penuh dan dipaksakan untuk diisi, maka kapasitasnya akan overload. Jika kondisi jiwa seperti itu, jelas merugikan kesehatan psikisnya. Padahal dengan mengungkapkan perasaan terdalam yang ia rasakan kepada orang yang dituju, membuat efek bahagia di dalam diri kita sendiri.

Namun konstruksi sosial telah mendorong perempuan dan laki-laki enggan mengungkapkan perasaannya. Sehingga terjadilah ketimpangan disalah satu pihak. Lalu, bagaimana kita mewujudkan jiwa yang sehat bagi laki-laki dan perempuan?

Pemahaman mengenai asas-asas kesetaraan dan keadilan dalam melakukan hubungan dengan sesama manusia itu dapat menjadi modalnya. Baik untuk laki-laki ataupun perempuan itu sendiri. Karena ada juga perempuan yang menerapkan budaya patriarki dalam kehidupannya. Bahwa sebenarnya setiap manusia mempunyai hak asasi yang sama adalah hal yang absolut. Tidak ada pengecualian bagi siapapun untuk mendapatkan hak-haknya.

Kita harus mampu berpikir kritis ketika melihat budaya yang ‘melemahkan’ perempuan di sekitar tempat tinggal kita. Merangkul dan mengajak masyarakat adalah hal yang sangat wajib dilakukan ketika ingin mengubah budaya tersebut. sehingga masyarakat dijadikan bagian dalam mengubah budaya yang merugikan tersebut. Namun, sesuatu yang penting sebelum mengajak orang lain untuk berubah adalah memulainya dari diri kita sendiri.

Diri kita akan menjadi landasan atau teladan bagi orang lain yang melihatnya. Kita menghargai keberadaan perempuan sebagai manusia yang utuh. Manusia yang punya cipta, rasa, dan karsa di dalam dirinya. Manusia yang dapat mengungkapkan perasaan terdalamnya dengan tulus. Bukan perempuan yang dianggap sebagai ‘benda’ atau ‘robot’ yang dapat diperintah di mana pun dan kapan pun sesuai keinginan kita.

Bahkan dalam Islam, Allah SWT telah berfirman: “Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q.S. Al Hujurat Ayat 13).

Ayat tersebut mengartikan bahwa Tuhan tidak mengukur derajat tinggi rendahnya manusia dari jenis kelaminnya. Ia melihat manusia dari segi ketakwaan dan imannya di antara manusia-manusia lain.

Meruntuhkan budaya yang sudah terbangun ratusan tahun silam memang tidak mudah, mengubahnya butuh waktu yang tidak jauh berbeda dengan proses terbentuknya budaya tersebut. Maka dari itu, janganlah ‘memperkokoh‘ budaya tersebut menjadi lebih kuat. Mari runtuhkan budaya patriarki, dan ubah menjadi budaya kesetaraan dan keadilan untuk sesama makhluk Tuhan. Makhluk yang hidup berdampingan dengan damai tanpa kekerasan.

Betapa bahagianya diri kita jika melihat dunia ini damai dan saling menghargai satu sama lain atas kekuasaan-Nya. Karena atas izin-Nya, hal-hal baik dapat terwujud secara nyata dalam kehidupan.


@ismoro reza prima putri


Denny Siregar ; Mahasiswa Cabe-cabean

DUNIA HAWA - Lucu baca rencana aksi mahasiswa tanggal 12 Januari nanti. Mereka menamakan gerakan mereka 121, mirip ma gerakan 411 dan 212. Sepertinya ada yang lagi senang ma susunan angka-angka sehingga dijadikan simbol.


Yang paling lucu adalah mereka menamakan gerakan mereka Reformasi jilid II. Mencoba nostalgia dengan gerakan kakak kakak mereka di tahun 98 yang kebanyakan sekarang udah pada kenyang di DPR, perutnya gendut dan rambut mulai botak. Malah ada kakak-kakak mereka yang dulu teriak-teriak "Demi rakyat !!" sekarang lagi tidur-tiduran di sel karena tertangkap mencuri uang rakyat.

Ada lagi yang lebih lucu...


Seorang mahasiswa dari Universitas Islam Indonesia UII berkata kepada media, “Kenaikan tarif biaya STNK, BPKB, SIM, disusul kenaikan harga BBM dan ditambah tingginya harga cabai hingga mencapai 200 ribu lebih, dianggap menjadi bukti nyata ketidak berhasilan Jokowi memimpin Indonesia”, Permisi, harga cabai? Indikator ketidak-berhasilan Jokowi dilihat dari harga cabai? Ini mahasiswa apa emak-emak?

Rasanya mau sobek celana membaca masalah kenaikan biaya STNK 100 rebu rupiah yang hanya 5 tahun sekali itu diributkan. Ditambah BBM naik yang non subsidi juga di permasalahkan. Duh, kok indikator ketidak-berhasilan Jokowi itu cuman bernilai beberapa rebu rupiah gitu ya?

Kenapa si siswa yang merasa maha ini tidak melihat indikator yang lebih besar? Misalnya kembalinya dana ribuan triliun rupiah melalui amnesty pajak ke Indonesia? Atau selamatnya 120 triliun potensi laut Indonesia oleh Menteri Susi? Atau selamatnya uang negara 275 triliun per tahun yang sekian lama dibayarkan ke Petral dalam pembelian migas?

Yang dibahas Jokowi itu triliun, nak.. bukan rebu... Kebiasaan jajan minta emak sih jadi gak paham triliun itu enolnya berapah..

Coba si siswa yang belum lurus kencingnya itu tanya ke warga Papua. Berapa triliun yang dikucurkan Jokowi untuk pembangunan infrastruktur disana, sesuatu yang selama ini tidak pernah dilakukan pemimpin sebelumnya?

Tanya ke NTT, berapa triliun lagi yang dikucurkan Jokowi untuk pembangunan 7 waduk besar disana, supaya mereka tidak akan pernah kekeringan lagi ketika musim kemarau panjang tiba?
Sekali lagi, ini kita ngobrol triliun rupiah adek-adekku yang ganteng-ganteng tapi keteknya jarang kena deodoran.. TRILIUN, tuh gua tulis pake hurup kapital biar bulu halus di atas bibir kalian bisa meregang..
Dan kalian meributkan harga cabai yang naik 200 rebu rupiah per kg yang bukan kebutuhan pokok dan naik sementara hanya karena momentum saja?

Kalian ini nanti lulus cita-citanya mau jadi tukang sayur atau gimana?

Belajar dulu lagi lah hitung-hitungan. Jangan nanti salah lagi ngitung peserta demo yang hanya beberapa ratus orang tapi diklaim 7 juta jiwa. Mending kalian pelajari lagi dengan seksama bagaimana men-download video Mia Khalifa dengan baik dan benar.

Sinih abang ajak minum kopi.. Jangan pake susu kalo berasa laki. Sudah saatnya kalian itu berpikir lebih besar. Malu ma gelar "Maha"nya kalau ternyata kalian hanya sekelas cabe-cabean. Laki itu seruput, bukan minum pake sedotan.. Pahamkan itu, kunang-kunang.

@denny siregar


Menggugat Transparansi Sidang Ahok

DUNIA HAWA - Kita patut mempertanyakan transparansi atas proses persidangan dugaan penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Hal ini menyusul tindakan kepolisian yang melarang para jurnalis meliput sidang kasus Ahok keempat yang dilangsungkan di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta (3/1).


Tidak hanya jurnalis yang dilarang meliput langsung dari dalam ruang sidang, petugas dari Komisi Yudisial (KY) pun dilarang melaksanakan tugas dan wewenangnya (The Jakarta Post, 5/1). Padahal, KY adalah lembaga negara yang memiliki mandat dan wewenang di antaranya memantau proses persidangan.

Sesuai Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, Komisi Yudisial mempunyai wewenang di antaranya menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Kewenangan itu salah satunya dijalankan melalui metode pemantauan langsung proses persidangan.

Sedangkan jurnalis di dalam menjalankan tugas sesuai profesinya dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang mana pada Pasal 4 menegaskan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara; terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran; dan untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.

Selain itu, pers juga diberikan tugas untuk memenuhi hak masyarakat atas informasi sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UU tentang Pers. Sebagai pilar demokrasi, pers mengemban peran strategis untuk memenuhi hak asasi manusia, khususnya hak atas informasi.

Insiden penghalangan tugas jurnalistik dan lembaga negara tersebut memicu adanya kekhawatiran atas transparansi dan independensi proses peradilan kasus Ahok, karena kasus ini menjadi perhatian dan tekanan publik secara masif. Presiden Joko Widodo berkali-kali menegaskan dan menjanjikan bahwa proses hukum atas kasus Ahok akan dilakukan secara adil dan terbuka. Jokowi meminta agar masyarakat turut memantaunya.

Dalam sidang keempat Ahok, ketua majelis hakim hanya meminta agar media televisi tidak menyiarkan langsung. Tidak ada larangan bagi jurnalis non-televisi untuk meliput. Jurnalis perlu tahu isi keterangan para saksi karena sangat penting dalam proses mengetahui dan mengkonfirmasi perkara, sehingga harus dipastikan validitas dan kredibilitasnya, agar tidak memberikan keterangan yang bias dari pokok perkara (misleading).

Menurut Pasal 14 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, setiap orang berhak untuk diadili secara adil dan terbuka untuk umum. Media dan masyarakat dapat dilarang untuk mengikuti seluruh atau sebagian sidang karena alasan moral, ketertiban umum, atau keamanan nasional atau apabila benar-benar diperlukan menurut pendapat pengadilan melalui keputusan yang diucapkan di dalam sidang yang terbuka.

Dari ketentuan di Pasal 14 itu, tidak ada kriteria yang bisa dipenuhi dalam sidang Ahok—baik alasan moral, ketertiban umum, ataupun keamanan nasional—sehingga sidang ditetapkan tertutup bagi jurnalis dan halangan bagi Komisi Yudisial untuk bertugas. Apabila memang ada pembatasan, majelis hakim harus menyampaikan pertimbangannya secara objektif dan disampaikan secara terbuka di depan sidang.

Adanya halangan bagi jurnalis dan petugas KY untuk meliput dan memonitor sidang dengan agenda pemeriksaan saksi itu menimbulkan berbagai dugaan, khususnya terkait dengan kapasitas dan kredibilitas saksi yang dihadirkan. Hal ini di antaranya adalah adanya dugaan bahwa salah satu saksi yang dihadirkan adalah anggota tim sukses salah satu calon gubernur Jakarta.

Lebih lanjut, keempat saksi yang dihadirkan oleh jaksa penuntut umum (JPU) tersebut, bukan saksi yang melihat langsung pidato Ahok di Kepulauan Seribu. Meskipun ada kategori saksi yang mendengar, akan lebih sahih jika yang dihadirkan adalah saksi primer (melihat langsung). Pengertian saksi, menurut Pasal 1 angka 26 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.

Sebagai kasus yang sejak awal diduga rawan oleh intervensi dan mendapatkan tekanan publik yang besar, transparansi atas setiap tahap persidangan kasus Ahok menjadi sangat penting dan krusial agar ada dukungan dan kepercayaan publik dalam setiap prosesnya. Untuk itu, harus dipastikan bahwa forum persidangan akan berjalan dengan adil dengan cara memfasilitasi setiap orang atau lembaga agar bisa menyaksikan dan/atau memantaunya baik langsung maupun tidak langsung melalui televisi atau media cetak/online.

Jika ada faktor tertentu yang membuat identitas dan keterangan saksi tidak bisa disaksikan atau didengar langsung, misalnya karena faktor keamanan, majelis hakim berwenang membuat kebijakan, misalnya meminta keterangan saksi melalui fasilitas teleconference/videocall dan menempatkan saksi di bilik yang tertutup. Mahkamah Agung bisa bekerjasama dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) jika diperlukan.

Insiden penghalangan tugas jurnalis dan petugas KY dalam menjalankan wewenangnya tersebut harus dijadikan evaluasi bersama oleh Polri dan Mahkamah Agung agar tidak terjadi lagi di persidangan berikutnya, karena akan memengaruhi reputasi dan kredibilitas persidangan kasus Ahok.

Jika proses persidangan tidak memenuhi lagi prinsip keadilan dan keterbukaan, maka hasilnya (putusan hakim) akan dipertanyakan kualitasnya yang ujungnya mengaburkan kepastian hukum dan keadilan.

Padahal, dalam sidang Ahok, semua pihak menunggu dan mendorong adanya proses persidangan yang bermartabat agar menghasilkan putusan pengadilan yang adil, benar, dan objektif dengan menjunjung tinggi HAM.

Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, setiap orang berhak diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan secara objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang seadil-adilnya dan sebenar-benarnya.

@mimin dwi hartono

Walgita Anderpati ; Apakah Saya Menjadi Kafir?

DUNIA HAWA - Menjelang usia dewasa ini, patut diakui bahwa kebutuhan untuk beribadah menjadi dasar yang harus saya penuhi. Satu hal yang saya alami: ternyata hanya mengandalkan dan terlalu percaya pada diri sendiri itu membuat hati jadi tidak terlalu tenang.


Saya masih salat, mengaji, istigfar dan berzikir ketika dirundung banyak permasalahan, bahkan bentuk syukur yang saya sebut masih dalam bentuk "Alhamduillah". Saya masih bertahan pada nilai-nilai Islam yang baik bagi saya untuk disepakati.

Lahir Islam dan tumbuh besar di lingkungan keluarga mualaf yang berasal dari aliran kepercayaan "Konghucu", seharusnya tidak membuat saya ragu untuk tetap menjadi Muslim. Sekolah madrasah selama 6 tahun pun harusnya cukup untuk meyakinkan iman saya sebagai orang Islam.

Tapi kemudian praktik-pratik manusia sok suci yang mengatasnamakan Islam membuat saya gerah dan malu dikenal sebagai bagian dari Islam itu sendiri (sorry to say). Melepas identitas artifisial (jilbab) dari keseharian adalah langkah terbaik bagi diri saya saat itu (tapi pasti tidak bagi banyak orang, dan saya menghargai itu). Pertanyaannya, apakah dengan begitu menghilangkan iman saya?

"Melihat lebih dekat" terhadap yang berbeda dan terdekat dengan keseharian. Pergi ke gereja, itulah yang saya lakukan, tapi lagi-lagi manusia cenderung memberi justifikasi tanpa memahami. KAFIR! itulah yang pertama kali disebut. Saya lepas jilbab dibilang kafir, saya pergi ke geraja dibilang kafir, saya ngucapin natal dibilang kafir, saya Konghucu dibilang kafir, saya sudah Islam aja masih dikafir-kafirin. KAFIR!

Istilah "kafir" itu sendiri banyak maksud dan artinya. Dalam konteks kesialan saya di atas mungkin saya dianggap ingkar terhadap keyakinan Islam itu sendiri. Mungkin dengan melepas jilbab, mengucapkan natal, menyimak ibadah di dalam gereja, itu semua (mungkin) membuat iman saya terhadap Islam dan Allah adalah satu-satunya Tuhan yang disembah menjadi hilang.

Jika memang benar dengan melakukan semua itu iman saya sebagai islam kemudian hilang, maka saya punya pertanyaan dan semoga berkenan untuk menjawab:

1. Bagiamana mengukur iman seorang prempuan dari bentuk artifisialnya?

2. Jika di dalam gereja sana ketika terharu melihat hikmatnya orang-orang beribadah lalu yang saya sebut di dalam hati adalah "la ilaha illa allah", apakah saya menjadi kafir?

3. Jika dari dalam gereja sana justru saya menemukan rindu kepada Islam, apakah saya menjadi kafir?

Jika benar secara harfiah kafir berarti orang yang menyembunyikan atau mengingkari kebenaran. Maka kebenaran mana lagi yang harus didustakan?

Pada akhirnya bersepakat dengan iman akan bergantung pada klaim kebenaran yang diyakini masing-masing orang. Justifikasi dan cap sosial yang dilakukan justru mengkafirkan keyakinan itu sendiri, keyakinan bahwa Tuhanlah yang punya hak atas segala justifikasi-Nya.

Jadi, apakah saya menjadi kafir?

@walgita anderpati


Kenapa Publik Menolak Rizieq Jadi Khalifah?

DUNIA HAWA - Di media sosial, beredar surat FPI yang mengajak masyarakat untuk mendukung Rizieq Shihab menjadi imam besar (khalifah) umat Islam Indonesia. Dalam surat  tersebut, terdapat pernyataan bahwa yang mengisi surat akan bersepakat mengangkat Rizieq sebagai khalifah dan berjanji setia atas perintah dan larangannya sesuai syari’at Islam.


Surat edaran FPI ini sungguh tindakan fatal, karena pertama, keinginan Rizieq menjadi khalifah adalah tindakan politis untuk mendapatkan legitimasi publik, khususnya umat Islam Indonesia. Kedua, Indonesia merupakan negara yang berasas Pancasila, setiap warga negara harus taat terhadap konstitusi negara. Tidak dibenarkan melakukan kontrak dan berbaiat terhadap seseorang dengan mengikuti semua perintahnya yang diklaim sesuai syari’at Islam.

Nabi bersabda : “Al Muslimun ‘inda syuruthihim”  (kaum muslim terikat dengan perjanjian yang telah mereka sepakati). Hadis ini kiranya cukup untuk menegaskan bahwa orang Islam yang menjadi warga negara Indonesia wajib mematuhi kesepakatan mereka terhadap Republik Indonesia, yaitu patuh terhadap konstitusi. Jika ada yang berbaiat dan terikat kontrak dengan seseorang yang mendukung Khilafah, maka ia sesungguhnya menjadi pengkhianat Islam itu sendiri.

Menolak


Menurut Irwan masduki, pimpinan Pesantren Assalafiyah Mlangi Sleman, Pesantren di Yogyakarta menolak memberikan dukungan terhadap Rizieq menjadi Khalifah. Bahkan umat Islam Indonesia secara umum telah menolak rizieq menjadi khalifah karena beberapa alasan.

Pertama, Rizieq memiliki treck record sebagai seorang kriminal. Ia pernah dipenjara selama 1,5 tahun karena aksi penyerangan terhadap masa Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan dan berkeyakinan (AKKBB) di Monas, Jakarta Pusat. Umat Islam Indonesia tidak mungkin mengakui seseorang sebagai imam besar jika pernah melakukan tindakan kriminal. Umat Islam Indonesia lebih mengakui kredibilitas keulaman seseorang yang bebas dari perilaku kejahatan.

Kedua, Rizieq kerap memimpin aksi tindakan kekerasan. Aksi yang pernah dilakukan Rizieq seperti penyerangan dan perusakan terhadap rumah ibadah (2005), perusakan kafe (2004), penyerangan terhadap aliran kepercayaan (2007), membakar rumah makan dan restoran (2011), dan masih banyak lagi tindakan kekerasan yang dipimpinnya. Umat Islam Indonesia lebih simpati terhadap ulama yang pro-perdamaian, berperilaku santun, dan demokratis daripada orang yang berperilaku buruk.

Ketiga, Rizieq tidak memenuhi kriteria sebagai seorang ulama. Ulama adalah seorang panutan yang mempunyai kedudukan tinggi setelah para Nabi dan Rasul. Ulama mencerminkan isi kandungan al-Quran dengan perilaku dan tutur kata yang baik. Rizieq kerap menyebarluaskan permusuhan dan kebencian dengan melontarkan pernyataan dengan kata-kata yang kotor, seperti “bego”, “harus dibunuh”, “disalib”, “dipotong tangannya” dll. Perkataan dan tindakan Rizieq tidak sedikitpun mencerminkan dirinya sebagai seorang ulama.

Keempat, Rizieq mendukung ISIS dan berdirinya negara dengan hukum Syariat Islam. Hal ini terbukti dengan mengacu kepada Visi-Misi FPI yang dipimpinnya yang sejak pertama kali berdiri mendukung penerapan Syariah Islam dan penegakan khilafah Islamiyah. Rizieq mengeluarkan maklumat yang menyatakan dukungannya terhadap kelompok ISIS. Padahal Indonesia adalah negara Pancasila, yang sejak pertama berdirinya tidak dibangun sebagai negara agama tertentu.

Islam Damai


Dari berbagai alasan ini maka wajar jika publik menolak Rizieq sebagai khalifah. Ia sama sekali tidak mencerminkan sebagai pemimpin yang toleran. Padahal sejak dulu, para kyai dan ulama Indonesia mengajarkan pentingnya pendidikan toleransi dan keberagaman. Islam mengajarkan nilai-nilai kesejukan, kedamaian, dan kasih sayang. Namun demikian, FPI yang dipimpin Rizieq menampilkan Islam dengan wajah yang keras, garang dan menakutkan.  

Apalagi Islam Indonesia dikenal sebagai Islam yang damai, toleran dan menjunjung tinggi hak-hak manusia. Islam menghargai keragaman dan mengakui adanya perbedaan-perbedaan dalam keyakinan beragama, terutama dalam ajaran yang bersifat parsial dan situasional. Islam tidak menghendaki semua perbedaan yang ada menjelma dalam sebuah konflik terbuka. Karena dakwah dalam Islam harus dengan cara yang lemah lembut, bertukar pikiran dari hati ke hati dan penuh toleransi (Mau’idzatul Hasanah).

Islam bukan agama yang memaksa, apalagi menimbulkan korban nyawa dan aksi kekerasan. Islam adalah agama yang menawarkan jalan terbaik dalam mengarungi kehidupan ini. Kekerasan yang dipimpin Rizieq selama bertahun-tahun telah menjadi kejahatan terburuk atas nama agama di Indonesia. Ini adalah kenyataan yang paradoks, karena agama mengajarkan nilai-nilai luhur, bukan kekacauan. Seorang Rizieq tidak akan pernah menjadi khalifah umat Islam.


@ibnu said



Rizieq Ingin Jadi Khalifah

DUNIA HAWA - Ketika sahabat Umar R. A. diangkat menjadi khalifah, dia menangis karena takut melakukan kesalahan dalam mengambil kebijakan. Lain halnya dengan sahabat Umar R. A., Rizieq Shihab yang secara kapasitas jauh sekali dengan sahabat Umar malah minta diangkat menjadi khalifah (mereka menyebutnya Imam Besar).


Tanpa tangisan dan ketakutan seperti sahabat Umar rasakan ketika itu, Rizieq Shihab dan timnya semakin gencar mengumandangkan kekhalifahan dirinya. Melalui selebaran formulir yang isinya baiat dan sumpah setia bahwa Rizieq Shihab menjadi khalifah

Dalam sejarah Islam, tidak pernah ada seorang Khalifah meminta masyarakat untuk memilihnya menjadi khalifah. Seorang Khalifah dipilih karena kredibilitasnya, baik tingkah laku maupun keilmuannya. Beda halnya dengan Rizieq Shihab, yang meminta dipilih sebagai seorang khalifah. Bahkan, Rizieq dalam selebaran formulirnya seakan memaksa dan mengintimidasi masyarakat untuk memilih dirinya sebagai khalifah

Isi lengkapnya, orang yang menandatangani pernyataan tersebut menyatakan DR. Habib M. Rizieq Syihab, Lc. MA. DPMSS sebagai imam besar umat islam Indonesia dan berjanji setia atas perintah dan larangannya yang sesuai dengan syari’ah Allah SWT dan Rosulnya. Surat pernyataan ini tertulis di Kabupaten Pandeglang, Banten.

Syarat mengangkat khalifah harus melalui persetujuan Ahlul Halli Wal Aqdi. Ahlul Halli Wal Aqdi adalah institusi yang berwenang melepaskan dan mengikat.

Disebut “mengikat” karena keputusannya mengikat orang-orang yang mengangkat ahlul halli. Disebut “melepaskan” karena orang yang berada di institusi ini bisa melepaskan dan tidak memilih orang-orang tertentu yang tidak disepakati.

Yang termasuk dalam Ahlul Halli Wal Aqdi Indonesia adalah pemerintahan resmi, Ulama, dan Ormas Islam besar seperti NU, Muhammadiyah, LDII, Ahmadiyah dan ormas-ormas lainnya yang berkompeten dan diakui negara.

Namun, hingga artikel ini muncul NU dan Muhammadiyah sebagai organisasi Islam terbesar tidak memberi tanggapan dan cenderung tidak mengakui.

Pengangkatan Rizieq Syihab menjadi khalifah adalah tindakan klaim sepihak. Rizieq tidak diangkat oleh Ahlul Halli Wal Aqdi sebagaimana yang disebutkan di atas. Bukan tidak mungkin, Rizieq diangkat oleh golongan mereka saja (FPI) yang mengatasnamakan umat Islam Indonesia.

Rizieq yang besar karena FPI memang meiliki pengikut yang setia dan loyal. Namun, jumlah mereka sangat sedikit sekali jika dibanding jumlah keseluruhan umat islam Indonesia.

Tindakan Rizieq selama ini, tidak sedikit umat Islam yang tidak suka. Bahkan, diantara yang tidak suka Rizieq berasal dari Habib, salah satunnya Habib Acin Muhdor.

Habib Acin sempat menuliskan surat terbuka untuk Rizieq bahkan menjadi viral (Baca_disini). Rizieq dan kelompoknya terlalu memaksakan dan terlalu mengikuti hawa nafsu untuk mencapai kekuasaan dan sangat mungkin mereka membangun Tirani atas nama mayoritas.

Publik Menolak


Seharusnya, klaim Rizieq menjadi khalifah harus diklarifikasi terkait siapa saja yang mendukung dan mengakuinya. Sebab, tindakan Rizieq bersama organisasinya FPI banyak dari umat Islam Indonesia yang tidak suka.

Surat edaran pernyataan kesetiaan pada Rizieq yang disebarkan mendapatkan penolakan. Bahkan, Irwan yang merupakan pimpinan Pesantren Mlangi, Yogyakarta menyatakan Pesantren NU belum membuat surat edaran tandingan, yang berisi seruan untuk menolak surat edaran dukungan terhadap Rizieq.

Lanjutnya, Pesantren NU pada umumnya lebih merujuk pada sosok seperti Habib Muhammad Luthfi bin Yahya dari Pekalongan, Jawa Tengah, yang toleran dan teguh membela Negara Kesatuan Republik Indonesia. Irwan juga menyatakan mayoritas Pesantren NU tidak suka cara Rizieq dalam berdakwah.

Memang, Rizieq bersama FPI sering menunjukkan sikap kekerasan, anarkis, dan main hakim sendiri dalam berdakwah. Padahal, Rosulullah selalu mengajarkan sikap lemah lembut dan lebih mengedepankan menjadi suri tauladan yang baik bagi umatnya.

Yang dilakukan Rizieq bersama FPI sama sekali tidak mengajarkan apa yang Rasul ajarkan. Sehingga, publik khususnya umat Islam tidak suka dengan cara yang dimainkan selama ini dalam berdakwah apalagi menjadikannya khalifah.

Baik Rizieq dan kelompoknya sangat ngotot dan mengedepankan keegoisan pribadi untuk menggapai apa yang mereka inginkan. Seakan-akan, mereka paling berhak memiliki Islam. Tindakan mereka mengatasnamakan mewakili umat Islam Indonesia.

Islam sebagai salah satu agama besar di Indonesia bukan hanya milik Rizieq semata. Rizieq tidak bisa mengklaim secara sepihak apalagi mengangkat dirinya sendiri sebagai khalifah umat Islam Indonesia. Pengangkatan Rizieq menjadi khalifah justru mengkerdilkan umat itu sendiri.


@muhammad ramli