Monday, January 9, 2017

Tafsir Keberpihakan Kepada Perempuan

Menyegarkan penafsiran terhadap perempuan.


DUNIA HAWA - Tidak berpihak adalah bagian dari keberpihakan itu sendiri, termasuk dalam tafsir, keberpihakan adalah suatu hal yang wajar dalam penafsiran, sebagian mufassir memang ada yang bersikap netral, sehingga menawarkan pengetahuan tentang kondisi teks secara makna saja, karena teks adalah tujuan akhir


Ketika indonesia ditimpa bencana gempa bumi misalnya, ada sebagian mufassir (da’i) mengaitkan bencana dengan azab Tuhan dengan mengutip beberapa ayat azab, tentu saja, sengaja atau tidak, tafsiran ini menyakiti korban bencana dan menguntungkan pemerintah yang berkuasa dan terkesan bebas dari kesalahan mengingat bencana tersebut adalah takdir Tuhan yang tidak bisa dihindari

Keberpihakan kepada perempuan dalam tafsir

Sebagian mufassir (da’i) mengungkap hikmah dibalik penduhuluan lapad al-zaniyah (perempuan yang zina) dari pada al-zani (laki-laki yang zinah) dalam al-Nur ayat 2, berikut ayat lengkapnya:


الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ

Hikmahnya adalah “karena perempuan yang mendorong mendorong laki-laki untuk melakukan zina, perempuan mengundang gairah untuk laki-laki”

Penafsiran ini memang sering dijadikan legitimasi bahwa perempuan adalah biang keladi dari terjadinya perzinahan bahkan pemerkosaan,

Dalam konteks pemerkosaan terhadap perempuan, tafsiran ini kurang tepat, karena tidak berpihak kepada korban, apalagi pada fakta, tidak hanya perempuan yang mengenakan pakaian ketat yang menjadi korban perkosaan, namun juga perempuan yang memakai baju rapi tertutup kerap menjadi sasaran para penjahat kemanusiaan

Jika kita melihat ayat yang lain di surah al-mu’minun, justru yang pertama kali harus menjaga pandangan dan kemaluan adalah laki-laki bukan perempuan, dimana dalam redaksi ayat, instruksi untuk mu’minin (mudzakar) mendahului mu’minaat (perempuan)

قل للمؤمنين يغضوا من أبصارهم ويحفظوا فروجهم ذلك أزكى لهم إن الله خبير بما يصنعون وقل للمؤمنات يغضضن من أبصارهن ويحفظن فروجهن

Jadi jika ada pertanyaan ” Mengapa perempuan menjadi objek penyalahgunaan sex? Jawaban nya adalah karena laki-laki liar (tidak menjaga pandangan dan kemaluan) dan karena terdapat sebagian perempuan yang suka dengan sengaja pamer kemaluan

Kembali kepada bahasan di atas, Lalu apa hikmah dibalik didahulukannya lapad al-zaniyah (perempuan pezina) daripada kata al-zani  (laki-laki pezina)?

Jawabannya “Karena perempuan yang zina lebih besar mendapatkan kerugian daripada laki-laki. katanya sih kehilangan keperawanan lebih rugi daripada kehilangan keperjakaan, selain itu hukuman sosial terhadap perempuan lebih besar karena hamil daripada hukuman sosial terhadap laki-laki”


@dani kamal



Pantaskah Mengkafirkan?

DUNIA HAWA - Dalam surat-suratnya di Endeh kepada A.Hassan, Bung Karno mengkritisi mudahnya mengucap kata kafir kepada kemajuan peradaban. Bung Karno mengkritik keras kaum kanan yang seolah tak mau mengikuti perkembangan zaman atau anti kemajuan. 


"Kita royal sekali dengan perkataan ‘kafir’. Pengetahuan Barat-kafir; radio dan kedokteran –kafir; pantolan dan dasi dan topi-kafir; sendok dan garpu dan kursi-kafir; tulisan Latin-kafir; ya pergaluan dengan bangsa yang bukan Islam pun-kafir! Padahal apa yang kita namakan Islam? Bukan roh Islam yang berkobar-kobar, bukan api Islam yang menyala-nyala, bukan amal Islam yang mengagumkan, tetapi dupa dan kurma dan jubah dan celak mata! Siapa yang mukanya angker, siapa yang tangannya bau kemenyan, siapa matanya dicelak dan jubahnya panjang dan menggenggam tasbih yang selalu berputar-dia, dialah yang kita namakan Islam. Astagafirullah! Inikah Islam?" tulis Bung Karno. 

Tulisan Bung Karno ini menjadi relevan dengan masa saat ini, di mana kata kafir begitu mudah terlontar. Jika ada alien turun dari langit, mungkin alien tersebut akan berpikir bahwa kita adalah orang-orang paling suci dalam abad ini.

Padahal menjadi orang mukmin itu tidak mudah. "Dan tahukah kamu apakah jalan yang mendaki dan sukar itu? Melepaskan perbudakan, atau memberi makan pada hari terjadi kelaparan, (kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat, atau orang miskin yang sangat fakir. Kemudian dia termasuk orang-orang yang beriman, dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang," (QS: Al-Balad 12-17) 

Al-Ghazali pun dalam bukunya Minhajul Abidin menjelaskan tujuh tanjakan menjadi seorang mukmin yang sejati. Tanjakan pertama, sebagai seorang mukmin ibadah kita harus disertai ilmu dan makrifat. Kalau sudah berilmu & makrifat, harus bertaubat. Kalau sudah bertaubat, harus mampu memelihara diri dan menaklukan nafsunya sendiri.

Kalau sudah, harus bisa menahan diri dari godaan riziki, bahaya, berbagai macam kesusahan, dan takdir dari Allah. Kalau sudah bisa menahan godaan, harus penuh rasa tawakkal, berserah diri, sabar, dan ridho. Kalau sudah melewati semua ini, lagi-lagi harus bisa mengalahkan riya' (memamerkan diri) dan ujub' (mengagumi diri sendiri). Barulah kalau sudah, sampai pada tanjakan akhir di mana yang tersisa dalam diri hanyalah limpahan puji dan syukur kepada Allah. 

Sudahkah kita melewati setiap tanjakan ini dan menjadi seorang mukmin yang sejati? Sudahkah kita meruntuhkan ego dalam diri kita? Sudahkah hilang sifat riya dan ujub' dari diri kita? Sudahkah kita menjadi orang suci tanpa noda? Atau sudahkah setidaknya kita selalu berusaha memperbaiki diri? Sudahkah kita menyerahkan diri hanya untuk melimpahkan puji dan syukur kepadaNya? 

Atau jangan-jangan kita justru belum mencapai tanjakan yang disebut Al-Ghazali itu sama sekali? Jangan-jangan ibadah kita pun masih minus ilmu dan makrifat! 

Tapi mengapa kita berani dengan mudahnya memberi cap kafir kepada orang lain? Sudah sama-sama Islam, madzhabnya berbeda, kafir! Sudah madzhabnya sama, beda cara pandang, kafir! Pokoknya harus sama dengan kita. Kalau tidak sama, ya berarti kafir, Oh betapa mudahnya! Benar kata Bung Karno, royal sekali kita mengucap kata kafir!

Jika ibadah masih belum disempurnakan ilmu, hidup masih diabdikan untuk kepuasan diri sendiri, ego masih menggrogoti, riya' dan ujub' masih menyatu dengan kita,  pantaskah kita menilai, menghakimi dan bahkan memberi cap kafir kepada mereka yang berbeda ketika Allah saja menciptakan kita untuk berbeda?

Apa yang salah dengan kita?


@tsamara amany


Denny Siregar ; FPI Suruh Hormat Bendera Dulu Ajah

DUNIA HAWA - Dandim Lebak Banten pun akhirnya dicopot. Pencopotan Dandim oleh Pangdamy Siliwangi ini terkait pelatihan bela negara antara TNI dan beberapa anggota FPI yang viral di media sosial. Dandim Lebak Banten menyalahi prosedur hirarkis karena tidak melapor ke Danrem dan Pangdam terkait pelatihan itu.


Diluar masalah prosedur yang dilanggar itu, memang aneh jika TNI melatih anggota FPI. FPI selama ini dikenal sebagai ormas yang cenderung anarkis. Sungguh tidak pada tempatnya TNI berlatih bersama FPI karena itu akan menguatkan tuduhan bahwa FPI dipelihara oleh "alat negara". Dan ketika isu itu semakin menguat, maka TNI akan kehilangan kepercayaan dari masyarakat.

Sejak aksi 411 dan 212, beberapa ormas begitu jumawanya berkoar bahwa mereka adalah kesatuan yang kuat. Angka "7 juta manusia" yang sangat tidak masuk akal memenuhi Monas dan sekitarnya, adalah bagian dari menumbuhkan kebanggaan sebagai motivasi untuk melakukan aksi-aksi selanjutnya.

Dan ketika akhirnya tersebar bahwa FPI -salah satu ormas yang terlibat dalam aksi itu- berlatih dengan TNI, bayangkan mereka semakin merasa mendapat angin untuk memperbesar barisan mereka. Bisa tumbuh kepercayaan dari banyak orang untuk masuk FPI dan siap dicuci otak untuk melakukan aksi kekerasan atas nama Islam.

Seharusnya jika memang TNI ingin menerapkan konsep bela negara kepada FPI, yang pertama harus dilakukan adalah mengubah mindset mereka dahulu. Selama ini banyak anggota FPI yang mindsetnya sama sekali tidak menunjukkan kerukunan umat beragama dan berpotensi memecah persatuan di negara ini.

Pengenalan-pengenalan kembali terhadap konsep negara dan persatuan inilah yang hilang dari banyak ormas termasuk FPI, sehingga anggota mereka merasa bahwa hanya merekalah yang berhak tinggal di negara ini dan yang lain ngontrak.

Lagi juga, jika ingin menerapkan latihan bersama konsep bela negara kenapa FPI tidak disuruh melepas atribut ormas mereka? Ini yang mau dilatih orangnya atau ormasnya? Ormas-ormas termasuk FPI itu memang beberapa waktu ini condong kepada TNI daripada merapat ke Polri. Mereka selalu mengagung-agungkan Panglima TNI, bahkan menyandingkannya sebagai "pimpinan pengganti" berpasangan dengan Prabowo. Ini jelas berbahaya, ada indikasi untuk mengadu TNI dan Polri.

Dan tidak bisa disanggah, bahwa ada beberapa anggota TNI mungkin juga Polri yang masih menggunakan paradigma Islam versi ormas seperti FPI. Ketika anggota-anggota TNI seperti ini dibiarkan, maka ada kemungkinan mereka akan mudah terprovokasi atas nama "Bela Islam".

Bahaya sekali, karena mereka memegang senjata. Nanti terbelah lagi TNI ada yang hijau, ada yang merah dan malah ada yang pelangi.

Keputusan Pangdam Siliwangi langsung mencopot Dandim Lebak Banten itu sungguh langkah yang tepat, cepat dan tegas. Ini menunjukkan bahwa TNI tetap solid di bawah pemerintah dan tidak mudah disusupi untuk kepentingan ormas-ormas tertentu.

FPI, HTI, MIUMI, FUI dan ormas-ormas atas nama agama itu lebih bagus jejerkan dan suruh hormat bendera dulu saja.. Lihat ketangguhan mereka karena selama ini banyak diantara mereka yang berfikir bahwa hormat bendera itu musyrik dan mereka ada di negara kafir karena tidak menerapkan syariat Islam. Atau ajak minum kopi dan suruh mengucapkan keras-keras sila-sila Pancasila. Paksa mereka mengucapkan 1000 kali sila kedua, "Kemanusiaan yang adil dan beradab.." Biar gak kofar kafir mulu kayak wong kenthir yang jarang ditraktir.

Dan taruh foto Presiden besar-besar di hadapan mereka semua, sambil mengeja pelan-pelan, "Ini Presiden. Presiden kita adalah Jokowi. Presiden kita bukan Erdogan". Eh, seruput... ada yang ngamuks nanti..

@denny siregar


Teori Perubahan (Kemauan) Wanita

DUNIA HAWA - Di dalam buku, film, cerita pendek, novel, puisi, dan beberapa kisah-kisah yang beredar di masyarakat, stereotype dari seorang pria adalah mereka yang memiliki sifat superior ketimbang wanita (di mana wanita tentu saja sebagai pihak inferior). Pria juga digambarkan sebagai pihak yang selalu dominan dalam segala hal, mulai dari kehidupan sosial, ekonomi, budaya, dan (tentu saja) politik--apalagi kekuasaan. Namun, apakah di dalam kehidupan sehari-hari juga demikian?


Mari kita lihat bagaimana stereotype ini berkembang di kehidupan sehari-hari. Hasilnya pun "Ya", Pria memang memiliki stereotype sebagai pihak yang lebih kuat, lebih perkasa, memiliki kuasa akan segala pilihan, dan tentu saja soal politik yang berujung pada "hanya pria yang berhak menjadi seorang pemimpin".

Wanita tetap berada pada posisi inferior pada stereotype-nya di kehidupan sehari-hari. lagi-lagi saya akan menutup paragraf ini sama seperti paragraf pertama dengan sebuah pertanyaan yang sesegera mungkin harus kita jawab bersama. Apakah faktanya demikian?

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, kita harus mengetahui (dan juga tidak lupa) tentang sebuah peristiwa yang mengindikasikan bahwa wanita sebenarnya tidak se-inferior itu. Wanita, pada tahun 1960-an pernah membentuk dan berkumpul di dalam tiga (iya, tiga. bukan hanya satu) organisasi yang benar-benar bergerak dalam memperjuangkan hak seorang wanita.

Oh, iya, perlu diingat bahwa jaman dahulu posisi wanita, selain sebagai seorang inferior, mereka juga tidak memiliki hak-hak seperti sekarang ini seperti hak untuk bekerja, hak untuk berkarya, hak untuk mengeluarkan pendapat, dan lain sebagainya. Organisasi-organisasi tersebut adalah NOW (National Organization for Women), NWPC (the National Women's Political Caucus), dan WEAL (the Women's Equity Action League).

Satu orang yang pada saat itu memberikan efek luar biasa pada gerakan para wanita pada saat itu (yang akhirnya disebut gerakan feminist) adalah Betty Friedan, seorang wanita yang turut membentuk organisasi NOW dan juga pimpinan pertama organisasi tersebut.

Mbak Betty ini selanjutnya yang dengan lantang menyebutkan bahwa mereka--para feminist--akan sekuat tenaga berjuang demi hilangnya diskriminiasi gender di segala lini kehidupan (sosial, politik, ekonomi, ataupun personal). lalu, apakah gerakan ini membuahkan hasil? ya, sangat amat membuahkan hasil.

Bertahun-tahun setelah proses perjuangan tersebut, wanita kini lebih di hargai. Wanita kini memiliki kesamaan hak dan tidak didiskriminasi. Bahkan di banyak negara di dunia ini memberikan jatah kursi "wakil rakyat" untuk para wanita, ada persentasenya, dan beberapa juga pernah dipimpin oleh presiden wanita. Mbak Betty dan Kartini, engkau pasti bangga melihat wanita saat ini.

Tapi, jika diperhatikan, semakin ke sini praktik menghilangkan tindak diskriminasi gender dan pemerataan hak terhadap pria dan wanita mengalami penyimpangan. Tidak usah jauh-jauh, kita bisa mengambil contoh dari negara dengan tingkat pluralisme begitu tinggi di berbagai lini kehidupan, iya, betul, Indonesia. Di Indonesia, kita bisa melihat bahwa praktik gerakan feminist (penghilangan diskriminasi dan penyetaraan hak gender) sudah tidak pada tujuan awal mereka lagi.

Di Indonesia, wanita memiliki hak lebih ketimbang pria. Dalam hal transportasi misalnya, kereta api menyediakan gerbong khusus wanita yang (tentu saja) hanya diperuntukkan untuk wanita. Coba saja anda-anda yang pria masuk ke sana, berapa pasang mata yang dengan cepat memandang sinis anda.

Jangankan di gerbong khusus wanita, di gerbong umum saja andai pria mendapatkan tempat duduk dan diam saja ketika wanita harus berdiri akan mendapatkan pandangan sinis dari seisi gerbong--terutama penumpang wanita.

Lalu, yang paling fenomenal adalah KDRT atau KDLG (Kekerasan Lintas Gender). Ketika posisinya seorang pria menyakiti wanita secara fisik, dan wanita bercerita kepada temannya, sahabatnya, atau orang-orang di lingkungannya (atas kejadian kekerasan fisik itu), wanita itu akan cepat mendapatkan simpati yang luar biasa.

Tapi, bayangkan jika kedudukan tersebut dibalik, pria yang disakiti oleh wanita secara fisik (ditampar, dipukul, dan lain sebagainya), lalu di pria itu bercerita ke temannya. apa yang terjadi? kemungkinan pria itu akan mendapatkan ucapan-ucapan sekitar: "yah, lu digituin sama cewek aja masa cengeng, sih?".

Satu lagi, dalam beberapa kesempatan untuk mendapatkan sesuatu, pasti akan berlaku istilah: "Ladies first, dong!".

Sebenarnya, jika memang menuntut kesetaraan gender dan tidak ingin ada diskriminasi, praktik di lapangan tidak boleh sampai sebegitu hebat. Jika pada akhirnya pria yang harus selalu mengalah di tempat umum kepada wanita, pria yang harus diam ketika disakiti wanita, atau bahkan pria yang (seolah) tidak bisa bertindak banyak atas tindakan-tindakan-tindakan wanita yang merugikan pria, kita bisa bertanya pada diri sendiri: "sebenarnya yang mengalami diskriminasi gender saat ini siapa?"

Bisa saja hal ini merupakan efek dari sebuah konflik antara sang penguasa (superior) dan kelompok tertindas (inferior). Dalam salah satu teori perubahan, ini masuk dalam teori konflik yang memiliki hubungan erat dengan teori Karl Marx tentang strata kelas.

Kita bisa saja dan sah-sah saja menempatkan pria (yang dahulu) sebagai sosok yang berkuasa (superior), sedangkan wanita (tentu, wanita yang dahulu juga) sebagai kelompok tertindas. Gerakan feminist terhadap tertindasnya kaum wanita ini yang menjadi moment "menentang"-nya kaum inferior kepada superior. Sehingga terjadi perubahan pada sistem sosial yang (mungkin) kita rasasakan pada saat ini.

Jadi, yaaa... salah pria juga sih pada saat itu. sesuai jargon jaman sekarang yang kekinian:

"pria memang selalu salah di mata wanita"

Tapi, sebagai manusia yang baik hatinya, kita tidak perlu mempermasalahkan hal ini. Toh di dalam ajaran agama, kita diperintahkan untuk memuliakan wanita, terutama ibu kita. Jangan lupa, di dalam surat Al-Qur'an, surat An Nisa ayat ke 19 di mana Allah menjadikan kepada seorang perempuan banyak kebaikan.


@deny gunawan susandi