Sunday, January 8, 2017

Memahami Feminisme Islam (Refleksi Pemikiran Husein Muhammad)

DUNIA HAWA - Feminis, mungkin kalau mendengar istilah ini seakan kita alergi atau semacam fobia. Kata feminis bagi sebagian orang masih terlalu tabu untuk dikatakan. Apa lagi untuk diperbincangkan.


Golongan konservatif di Indonesia masih menganggap feminisme adalah sesuatu yang haram, tidak boleh dibahas. Seperti ketika dulu mereka mengharamkan filsafat. Ini merupakan konsekuensi logis dari adanya term baru yang belum bisa diterima secara akal sehat. Karena bagaimanapun paradigma kita mengatakan bahwa feminisme bertentangan dengan nilai budaya ketimuran, apa lagi dengan agama Islam.

Namun, memang apakah begitu gambaran dari feminisme? Sebegitu menjijikkankah feminisme? Apakah memang akal sehat kita tidak bisa menerima sama sekali konsep-konsep tentang feminisme sehingga membuat kita menolak mentah-mentah terhadapnya? Dari sini saya mengambil kesimpulan bahwa masyarakat kita terlalu fobia pada hal-hal yang berbau kebarat-baratan. Apa lagi menyangkut tentang perempuan.

Bagi paradigma masyarakat timur, perempuan hanyalah sesosok makhluk tuhan yang kebagian tugas-tugas di sekitar dapur, sumur, dan kasur saja. Tidak lebih dari itu. Dan bagi yang melanggar tradisi tersebut akan dianggap durhaka! Kondisi seperti ini cukup miris mengingat kita hidup di zaman milenium yang mengedepankan kebebasan walaupun kebebasan tersebut masih dalam batasan-batasan rasional kita.

Hal ini ditambah lagi dengan doktrin agama yang mengekang. Kita tahu bahwa agama Islam yang berasal dari Arab mempunyai budaya patriarki yang sangat kental. Ini juga yang menyebabkan distorsi cara pandang kita terhadap Islam. Kita belum bisa membedakan antara konsep agama dan konsep budaya. Kita cenderung mencampuradukkan keduanya.

Lalu bagaimana sebenarnya sikap Islam terhadap feminisme? Saya tidak mau menyebutkan ini adalah sikap Islam. Lebih tepatnya cendekiawan muslim yang peduli terhadap perjuangan feminisme itu sendiri.

Semisal Hossein Nasr atau Amina Wadud dari luar negeri atau nama-nama seperti Nasaruddin Umar, Masdar F Mas’udi, dan Husein Muhammad yang merupakan tokoh intelektual muslim dari dalam negeri yang memperjuangkan nilai-nilai feminisme dalam Islam.

Pertanyaannya, apakah memang ada konsep feminisme dalam Islam? Untuk menjawab pertanyaan ini baiknya kita mengutip dulu apa itu sebenarnya agama. Emil Durkheim mendefinisikan agama sebagai organized system of the beliefs and rituals that focuses on the sacred (sistem organisasi tentang kepercayaan dan ritual yang fokus pada hal-hal yang suci).

Dari sini kita dapat memahami bahwa sebenarnya agama itu berfungsi sebagai sarana penyucian jiwa, yang sangat tepat bila dikaitkan dengan feminisme, dalam ruang lingkup penyucian jiwa dari kepercayaan tentang paradigma berkuasanya laki-laki terhadap perempuan dalam kesewenang-wenangan. Agama, dalam pandangan masyarakat luas disimpulkan bahwa ia merupakan stuktur yang sangat diskriminatif terhadap perempuan.

Saya ambil contoh Karl Marx, tokoh yang sangat digandrungi oleh alur pemikiran kiri ini berpandangan bahwa peran agama adalah alat untuk membentuk peran gender. Yaitu menegasikan penderitaan perempuan hanya demi menginginkan kenikmatan akhirat. Peran agama telah menjadi sangat vital dan tendensisus untuk membuat paradigma yang sangat mengakar tentang peran dan fungsi perempuan.

Lalu bagaimana dengan Islam? Apakah ia juga merupakan agama yang tidak bersahabat dengan perempuan? Untuk menjawab pertanyaan ini saya akan mengungkapkan pemikiran salah satu cendekiawan muslim yang memperjuangkan nilai-nilai feminisme dalam Islam yaitu KH Husein Muhammad.

Dalam bukunya, Islam Agama Ramah Perempuan, Husein menceritakan awal mula mengapa dirinya menjadi pejuang feminisme dalam Islam. Dalam hal ini Husein tidak dapat dikategorikan feminis karena menurut esensinya feminis adalah sebuah gerakan peningkatan kesadaran gender dalam transformasi sosial. Yang menurut esensi itu sendiri seorang feminis adalah seorang perempuan.

Ungkapan paling tepat bagi beliau adalah pejuang konsep feminisme dalam Islam. Husein pada awalnya tertarik dengan isu-isu perempuan saat diundang kawan karibnya Masdar F Mas’udi dalam seminar tentang perempuan pada tahun 1993. Dari sanalah kemudian gagasan-gagasan Husein yang semula menolak pandangan kesetaraan perempuan karena dianggap bertentangan dengan pandangan konservatif mulai berubah.

Husein mulai mengagas dan mengkonsistenkan pandangan feminisme dalam Islam melalui tulisan-tulisannya. Husein dianggap tokoh yang otoritatif dalam menumbuhkan gagasan ini karena dia adalah kiai pesantren yang memiliki keahlian dalam bidang hukum Islam melalui literatur-literatur kitab kuningnya meskipun hal ini mendapat banyak penolokan dari banyak kiai lainnya.

Dalam buku tersebut, Husein mengungkapkan argumen-argumen yang cukup kuat tentang mengapa harus ada konsep feminisme dalam Islam. Husein melihat adanya diskriminasi yang cukup kuat terhadap perempuan. Hal ini terlihat dari interpretasi agama dalam memunculkan hukum-hukum terhadap perempuan.

Menurut Husein, hal tersebut terjadi bukan karena agamanya yang salah. Tapi interpretasi agama yang digunakan secara kurang tepat oleh orang-orangnya. Khususnya mengenai perempuan. Husein lagi-lagi hanya ingin meluruskan interpretasi tersebut. Baginya Islam bukanlah musuh bagi perempuan. Bahkan ia merupakan sahabat terbaik bagi perempuan karena Islam sangat menjunjung tinggi harkat dan martabat perempuan.

Begitulah kira-kira pandangan Husein. Melihat kenyataan bahwa agama dalam kacamata Husein bukan sebagai sarana yang tepat untuk mendapatkan hak-hak asasinya melainkan pengekang yang mempersempit ruang gerak perempuan. Hal ini terjadi pada produk hukum klasik seperti tidak diperbolehkannya perempuan menjadi hakim. Perempuan dilarang untuk menjadi pemimpin, dan lain sebagainya.

Bagi Husein, ini merupakan ketidakadilan karena bagaimanapun perempuan juga mempunyai hak yang sama dengan laki-laki sebagai mahkluk yang sangat dimuliakan Allah SWT. Seperti pada tulisan yang berjudul “Tauhid untuk Keadilan dan Kesetaraan Gender”, Husein menyatakan bahwa makna literal dari tauhid adalah mengesakan atau menunggalkan segala sesuatu.

Husein menyatakan, tauhid bukan hanya ungkapan verbal individual semata melainkan sebagai pembentuk suatu ke-esa-an dalam hal tatanan sosial, politik, dan kebudayaan. Makna ini berarti mendefinisikan suatu pembebasan manusia dari segala bentuk penindasan dalam ruang lingkup universal. Termasuk segala bentuk diskriminatif terhadap perempuan.

Dari pandangan di atas bisa disimpulkan bahwa Islam sesungguhnya mempunyai cita-cita yang sama dengan feminisme global meskipun dalam hal ini Husein termasuk dalam kategori pejuang feminisme Islam.

Bukan feminisme muslim dalam arti membuka ketertutupan Islam terhadap konsep feminisme global melalui literatur-literatur yang terdapat dalam rujukan Islam yakni Alquran, Hadis, maupun dari berbagai pandangan ulama klasik. Bukan aktivis feminisme muslim yang memperjuangkan konsep-konsep feminismenya melalu teori-teori feminisme universal.

Walhasil, KH Husein Muhammad merupakan seorang yang berkompeten dalam memunculkan ide-ide feminisme dalam ruang lingkup internal Islam. Setidaknya, hal ini merupakan keterbukaan Islam sebagai agama yang inklusif dalam menerima gagasan-gagasan baru khususnya mengenai konsep keadilan dan kesetaraan gender.

Gagasan ini juga memahamkan kita tentang interpretasi Islam yang selama ini digunakan secara salah mengenai kesetaraan gender bagi perempuan. Meskipun gagasan ini mendapat banyak penolakan termasuk dari tokoh-tokoh Islam yang memegang erat prinsip konservatif, setidaknya gagasan ini memberikan penyegaran bagi kita dalam memandang konsep perempuan dan feminisme dalam Islam secara terbuka.

Perempuan sudah saatnya mendapatkan hak-haknya yang selama berabad-abad ini terbelenggu dalam nuansa budaya patriarki yang sangat kental dan melekat.


@amamur r.h.


Gagal Faham Kenaikan Pajak Kendaraan 2-3 Kali Lipat

DUNIA HAWA -Terbitnya Peraturan Pemerintah No 60 tahun 2016 tentang perubahan tarif PNBP di lingkungan kepolisian tak ayal menimbulkan keresahan. Parahnya perubahan tarif ini dipahami keliru oleh masyarakat, mereka mengira mereka harus bayar pajak dua sampai tiga kali dari yang biasa mereka bayar setiap tahunnya.  Misal yang biasa bayar 250 ribu dikira bakal harus bayar 500 – 700 ribu, padahal bukan demikian. 


Terbitnya PP ini tidak lantas membuat masyarakat membayar pajak sebesar dua sampai tiga kalinya dari yang mereka biasa bayarkan tiap tahun. Jika tidak bayar 2 sampai 3 kali lipat dari biasanya, lantas apa maksud kenaikan tarif dalam PP no 60 tahun 2016? Dari judul PP tersebut tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, sangat jelas bukan pajak kendaraan yang naik. 

Lalu apa yang naik? 


Sebenarnya infografik yang diterbitkan oleh kepolisian sudah sangat jelas menyebutkan apa saja tarif yang naik. Namun info itu masih membingungkan bagi sebagian orang. 

Untuk memudahkan memahami berapa kenaikan biaya yang harus kita bayar, mari kita buka STNK dan Surat Ketetapan Pajak Daerah yang kita miliki.

Dalam lembar surat ketetapan pajak daerah ada rincian apa saja yang harus kita bayar, antara lain : 


1. BBN-KB (Biaya Balik Nama Kendaran Bermotor)

2. PKB (Pajak Kendaraan Bermotor)

3. SWDKLLJ (Asuransi Jasa Raharja)

4. BIAYA ADM. STNK

5. BIAYA ADM. TNBK

Dari kelima point di atas, kita bandingkan dengan point yang ada dalam PP no 60 tahun, maka poin 2 Pajak Kendaraan Bermotor TIDAK ADA KENAIKAN. 

Yang naik adalah point berikut:


• BBN-KB (jika kita melakukan balik nama)


• BIAYA ADM. STNK : 


(1) Penerbitan STNK dibayar setiap 5 tahun sekali semula 50 ribu menjadi 100 ribu untuk roda 2 dan 3, sementara untuk roda 4 atau lebih naik dari 75 ribu menjadi 200 ribu. 

(2) Stempel Pengesahan STNK yang semula gratis menjadi 25 ribu untuk roda 2 dan tiga, sementara roda 4 atau lebih sebesar 50 ribu dibayar tiap tahun.

• BIAYA ADM TNBK :  


Biaya ganti plat nomor baru dibayar tiap 5 tahun sekali, naik dari 30 ribu menjadi 60 ribu untuk roda 2 dan 3, sementara roda 4 atau lebih naik dari 50 ribu menjadi 100 ribu.

Rincian diatas jelas menunjukkan bahwa kita Tisak Akan Membayar 2 – 3 kali lipat dari yang biasa kita bayar, tetapi kenaikan yang harus kita tanggung adalah bagian point Biaya Adm. STNK dan TNBK.

Demikian penjelasan tentang ”Gagal Faham Kenaikan Pajak Kendaraan 2-3 Kali Lipat, Padahal Pajak Tidak Naik”, semoga bisa membantu.

@redaksiindonesia

Di share yuk...  Buat pemahaman bagi yang lain.

FPI dan Demokrasi Barbar

DUNIA HAWA - Kejadian pengeroyokan pendukung Ahok-Djarot oleh massa FPI di Jelambar, Jakarta Barat, beberapa waktu lalu menjadi contoh buruk demokrasi Indonesia. Djarot sebagai Cawagub yang berpasangan dengan Ahok, menyebutnya sebagai demokrasi barbar.


Sebagai negara demokrasi, Indonesia menjunjung tinggi setiap hak warga negaranya. Bukan hanya dipilih saja, masyarakat juga bebas menentukan pilihan politiknya kepada siapa saja. Sikap politik masyarakat dijamin dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Pasal 43 ayat 1 tentang Hak Asasi Manusia.

“Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Tampaknya, undang-undang di atas tidak menjadi anutan FPI dalam menghadapi Pilkada DKI 2017. Sering kali, FPI melakukan tindakan untuk mengintimidasi sikap politik warga dalam memilih calon gubernur. Tidak hanya warga, FPI juga mengintimidasi salah satu cagub-cawagub, Ahok-Djarot setiap kali mereka melakukan kampanye terbuka yang secara resmi disahkan oleh KPUD Jakarta.

Anehnya, sikap yang sama tidak ditunjukkan FPI dalam setiap kampanye yang dilakukan AHY-Sylvi dan Anies-Sandi. FPI tidak pernah menghadang, anarkis atau membuat keributan ketika dua calon ini berkampanye. Dalam beberapa kesempatan, FPI  dan dua calon tersebut (AHY dan Anies) terlihat mesra, seperti dalam kunjungannya ke DPP FPI. Sehingga, masyarakat beranggapan bahwa FPI telah mendukung salah satu dari dua pasangan ini.

Berbeda dengan AHY-Sylvi dan Anies-Sandi yang mesra, Sikap FPI begitu garang terhadap Ahok-Djarot. Hal ini terbukti dari beberapa kampanye Ahok-Djarot yang dihadang, bahkan diusir oleh massa FPI. Bahkan, tidak jarang massa FPI melakukan perlawanan secara terang-terangan terhadap Ahok-Djarot.

Kejadian terakhir penghadangan oleh massa FPI terjadi pada tanggal 30 Desember. Kampanye Ahok di Jatipadang mendapatkan perlawanan sengit oleh orang yang mengaku Ketua FPI Pasar Minggu, Herianudin (Heri). Heri berdalih kampanye Ahok tanpa sepengetahuan RT dan RW setempat.

Padahal, dalam berkampanye tidak perlu izin ke RT dan RW. Karena, KPUD Jakarta sudah menentukan tanggal yang menyatakan semua pasangan calon bebas melakukan kampanye di tanggal yang sudah ditentukan.

Selain penghalangan kampanye, massa FPI juga mengintimidasi masyarakat melalui tindakan kekerasan. Tidak tanggung-tanggung, mereka mengeroyok Widodo sampai babak belur. Widodo yang diketahui sebagai pendukung Ahok-Djarot dan Pengurus Anak Ranting PDIP perjuangan mengalami penganiayaan yang dilakukan oleh 10 orang dari massa FPI di Jelambar, Jakarta Barat.

Hal ini terbukti dari pernyataan Sekjen Dewan Syuro DPP FPI Jakarta yang dikutip dari CNNIndonesia.com, bahwasanya tidak ada pengeroyokan, yang ada hanya satu lawan satu yang dilakukan oleh M. Irfan, Qoid LPI (Laskar Pembela Islam) di Kecamatan Gropet (Grogol Petamburan).

Perlu diketahui, Laskar Pembela Islam merupakan organisasi sayap FPI yang bertugas untuk  aksi-aksi penertiban (sweeping) terhadap kegiatan yang dianggap sesat atau maksiat oleh FPI. Sikap kekerasan FPI ini tidak dibenarkan sama sekali dalam hukum kita. Apalagi, kekerasan yang dilakukan M. Irfan penuh muatan politis.

Tirani atas Nama Mayoritas


Secara tidak langsung, FPI ingin menciptakan Tirani Mayoritas. Hal ini terbukti dari alasan utama mereka menolak Ahok sebagai pemimpin karena Ahok seorang kafir. FPI hanya menginginkan pemimpin dari kalangan Muslim saja. Padahal, Indonesia terdiri dari beberapa penganut agama dan mereka memiliki hak yang sama.

Menurut Arend Lijphart, tirani mayoritas adalah melakukan konsentrasi kekuasaan di tangan kelompok mayoritas. Kebijakan masyarakat diputuskan dalam mekanisme representasi kelompok mayoritas. Tindakan FPI selama ini sudah mengarah kepada tirani mayoritas.

Sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa Ahok dalam pencalonannya sebagai peserta Pilkada DKI 2017 adalah sah berdasarkan hukum yang berlaku di negara kita. Namun, FPI menolak dengan berbagai cara supaya Ahok tidak menjadi gubernur. FPI cenderung memaksakan ideologinya dengan mengintimidasi masyarakat agar tidak memilih Ahok karena kafir.

Setiap kali FPI melakukan tindakan, FPI selalu membawa atas nama Islam. Padahal, sebagian besar umat Islam Indonesia sangat tidak setuju tindakan FPI selama ini.

Mulai dari kekerasan dalam berdakwah, kata-kata kasar yang keluar dari mulut mereka, aksi main hakim sendiri padahal Indonesia sebagai tempat naung mereka mempunyai payung hukum yang sudah jelas, dan masih banyak tindakan kekerasan lainnya dalam berdakwah yang masyarakat, khususnya Muslim yang tidak suka.

FPI tidak sadar, Indonesia dibangun bukan berlandaskan Islam. Indonesia dibangun berdasarkan Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila sebagai ideologi negara. Yang berjuang dalam kemerdekaan Indonesia bukan Islam saja, agama yang lain, seperti Kristen, Hindu, Budha, dan Katholik,  juga ikut berjuang untuk kemerdekaan Indonesia.

Jadi, alasan FPI menolak Ahok hanya berdasarkan agama saja sangat tidak tepat. Mengingat Ahok adalah warga negara Indonesia yang mempunyai hak yang sama dengan warga lainnya. bukan persoalan pemimpin harus agama islam, tapi pemimpin yang mampu membuat perubahan ke arah yang lebih baik dan Ahok sudah membuktikan semua itu dalam beberapa tahun kepemimpinannya.

Di samping itu, sikap FPI yang mencederai demokrasi ini menjadi preseden buruk bagi demokrasi Indonesia. FPI mengabaikan hak-hak politik masyarakat. Mereka cenderung memaksakan bahkan sesekali mengintimidasi sikap politik masyarakat untuk memilih calon yang FPI inginkan. Jelas, ini bukan contoh demokrasi yang baik, melainkan demokrasi barbar ala FPI.

Contoh dari demokrasi barbar adalah mereka, tidak mempunyai aturan dan dalam bertindak pun mereka berdasarkan suka-suka hati, bukan pada hukum yang berlaku.

Indonesia adalah negara demokrasi dan mempunyai hukum untuk mengatur kehidupan masyarakat yang ada di dalamnya, termasuk dalam hal Pilkada. FPI dalam menghadapi Pilkada DKI tidak memberikan contoh demokrasi yang baik.

Yang dilakukan FPI selama ini, hanyalah contoh “demokrasi barbar” yang tidak mempunyai aturan dan bertindak sesuka hati saja. Oleh karena itu, FPI untuk segera ditindak dan diproses secara hukum, karena sudah melawan hukum secara nyata dan jelas.


@septa nuril fahmi



Apakah FPI Kumpulan Ulama?

DUNIA HAWA - Ulama di Indonesia dipahami sebagai sosok panutan bagi umat, khususnya umat Islam. Namun kini banyak umat muslim kebingungan dengan orang-orang yang disebut ulama atau mengaku ulama karena tingkahnya justru bertolak belakang dengan keulamaan seseorang. Hal ini bisa kita lihat dari tindakan-tindakan ormas yang mengklaim kumpulan ulama namun kerap melakukan tindakan kekerasan.


Misalnya, Front Pembela Islam (FPI) yang mengklaim sebagai organisasi pembela Islam. Ormas ini sering menggunakan simbol keulamaaan dan menggunakan dalil agama sebagai alasan untuk bertindak radikal. Faktanya, ormas ini kerap melakukan tindakan kriminal dan kekerasan di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang damai.

Tindakannya sangat bertolak belakang dengan hakikat ajaran Islam yang tidak sedikitpun menganjurkan dakwah dengan jalan kekerasan.

Makna Ulama


Pengertian ulama harus dilihat dari beberapa segi karena kata ulama merupakan kata serapan. Ulama menurut bahasa adalah orang orang yang mengetahui. Kata ulama adalah kalimat jamak dari kata alim. Namun ada yang berpendapat bukan dari kata alim, akan tetapi dari kata 'aliim.

'Aliim adalah isim fail mubalaghah yang mempunyai arti: sangat mengetahui. Ulama menurut istilah adalah orang yang memiliki ilmu pengetahuan yang mendalam mengenai Alquran dan Hadis dan Menerapkan Alquran dan Hadis dalam kehidupannya. Sehingga bisa dikatakan bahwa ulamaadalah orang-orang yang mengetahui Alquran (baik bacaannya maupun kandungannya) dan mengajarkannya.

Mereka tidak hanya orang pilihan namun yang jauh dari nafsu duniawi. Ulama adalah orang yang mendapat ilmu Rasulullah SAW dan setiap harinya hanya disibukkan dengan ilmunya. Mereka dalam kesehariannya berdakwah dengan jalan damai dan santun, mengajar dan mengarang Kitab, serta dakwah lainnya yang menebar rahmat bagi siapa pun.

Singkatnya, ulama adalah orang yang bukan hanya sangat memahami ilmu agama Islam namun juga mengamalkan ilmunya. Ulama adalah orang yang mendapatkan kedudukan sangat tinggi setelah para Nabi dan Rasul, sehingga kerap disebut sebagai pewaris para nabi. Tindakannya mencerminkan kandungan ajaran dalam Alquran sehingga tidak mungkin bertindak dengan aksi-aksi kekerasan.

Mengaku Ulama


Mutakhir ini banyak orang maupun kelompok yang mengaku ulama namun tingkah lakunya jauh dari makna ulama itu sendiri. Kita bisa simak rekaman video saat demonstrasi di Jakarta yang dilakukan oleh Front Pembela Islam (FPI), salah satunya Rizieq Shihab. Mereka berdiri di atas truk namun kata-kata yang diucapkan justru bertentangan dengan makna ulama. Berkali-kali mereka melontarkan kata "bego". Selain itu, Rizieq mengeluarkan ancaman pada simbol-simbol negara.

Kata-kata yang keluar justru kata-kata kotor. Yel-yel yang dinyanyikan penuh kata-kata yang jangankan diucapkan oleh ulama, diucapkan seorang muslim saja tidak baik. Termasuk mantan Ketua Umum PAN, Amien Rais yang turut berpidato dan mengungkapkan kata-kata yang justru malah merendahkan martabatnya.

Apa lagi jika dilihat dari berbagai tindakannya, FPI kerap membuat keonaran dan kekerasan dan telah berulang kali melakukan aksi kekerasan yang mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat. FPI juga menyebarluaskan rasa permusuhan dan kebencian, baik antarsuku, agama, ras dan antar golongan, bahkan sering menyerang kelompok masyarakat tertentu. Suatu tindakan yang sama sekali tidak mencerminkan perilaku ulama.

Demikian juga dengan perwakilan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang datang saat acara Indonesian Lawyer Club (ILC) yang bertajuk “Setelah Ahok Minta Maaf” pada 11 Oktober 2016. Saat itu, MUI diwakili oleh KH Tengku Zulkarnain dalam posisinya sebagai Wakil Sekjen MUI. Ketika diberi kesempatan mewakili MUI, Tengku Zulkarnain malah menyatakan, “Seharusnya Ahok itu dibunuh, disalibkan, dipotong kaki dan tangannya bersilangan atau diusir dari Indonesia.”

Jika dikembalikan pada terjemahan di atas, maka mereka tak sedikit pun bisa dikatakan sebagai seorangulama. Sebagaimana hadis Nabi yang sangat populer, bahwa Rasulullah Muhammad diutus ke bumi untuk menyempurnakan akhlak manusia.

Namun sayang seribu sayang, kini kian bertebaran ormas Islam yang mengaku ulama bahkan mengklaim habib, namun jauh dari  perilakuulama. Sudah puluhan tahun, sejak Indonesia merdeka, kelompok ini sembunyi-sembunyi dalam kelompok-kelompok ekslusif. Kini mereka muncul kembali dan bukan malah memberikan teladan keulamaan namun malah menuruti hawa nafsu.

@ibnu said