Saturday, January 7, 2017

14 Program Reformasi Birokrasi Ahok


Ahok dengan Duta Besar Australia

DUNIA HAWA - Sebagai gubernur petahana Basuki Thahaja Purnama (Ahok) memiliki sejumlah program yang jelas dan inovatif. Meskipun dirinya ditersangkakan sebagai penista agama, hal itu tidak mengurungkan niatnya untuk tetap memperbaiki birokrasi di pemerintahan. Program visi dan misinya menjadi gubernur DKI Jakarta dinilai cukup signifikan di berbagai sector terutama untuk mereformasi birokrasi di pemerintah daerah.

Sejak era reformasi kondisi birokrasi di pemerintahan daerah belum menunjukan perkembangan yang baik. Para birokrat masih menganggap dirinya seorang yang berkuasa dan rakyatlah yang membutuhkan dirinya.

Selain itu, praktek Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang masih marak dan bukan hal yang baru dalam pemerintahan. mengingat reformasi birokrasi merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mencapai Good governance.

Basuki Thahaja Purnama (Ahok) memiliki sejumlah program untuk memperbaiki birokrasi di pemerintahan. dalam situs resminya KPUD Jakarta, Ahok menggagas sejumlah program tersebut dalam pencalonan dirinya sebagai gubernur DKI Jakarta. di antaranya :

Pertama, menyederhanakan proses pengurusan perizinan dan dokumen kependudukan. Program semacam ini merupakan pekerjaan rutinitas bagi birokrasi di pemerintahan, mengurus segala masalah perizinan dan kependudukan ialah hal yang gampang-gampang susah di pemerintahan.

Dengan ini Ahok membagi point-pointnya, (1). Mengurangi persyaratan yang memberatkan rakyat (2). Meminimalisir kesulitan warga dengan cara birokrasi yang menyampaikan dengan cara : Izin keliling, AJIB (Antar Jemput Izin Bermotor), dan Perizinan online. (3). Pembuatan akte kelahiran dapat langsung dibuatkan di rumah sakit tempat kelahiran.

Kedua, membangun database perizinan terbuka untuk warga agar menghindari sengketa perizinan. Kita tahu, bahwa untuk mendapatkan izin dari pemerintah selama ini sangat sulit. Apalagi dengan maraknya sejumlah calo yang menawarkan jasa perizinan melalui orang dalam. Program membangun database ini merupakan gagasan yang baik demi terciptanya keterbukaan birokrasi untuk rakyat.

Ketiga, meningkatkan kinerja birokrasi dengan mengaplikasikan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) untuk membuka sistem pegawai nonPNS. Dalam meningkatkan mutu perundang-undangan Aparatur Sipil Negara, pemerintah daerah dinilai masih belum maksimal. Oleh karena itu, peningkatan mutu untuk membuka pegawai noPNS harus senantiasa dikedepankan.

Keempat, menyempurnakan penggunaan indikator kinerja (KPI) untuk mengevaluasi kinerja birokrasi secara terukur sebagai dasar dalam melakukan lelang jabatan, rotasi, mutasi, demosi serta penentuan besaran Tunjangan Kinerja Daerah (TKD). Dalam hal penyempurnaan KPI memang sangat dibutuhkan untuk menjadikan standar kinerja bagi birokrat. Sebagai acuan dasar maksimal atau tidaknya kinerja perorangan seorang birokrat.

Kelima, mentransparansi rotasi, mutasi, dan demosi dengan melelang jabatan yang kosong demi terciptanya keterbukaan bagi para pejabat daerah. Hal ini karena maraknya proses suap-menyuap untuk menduduki kursi yang sedang kosong. Maka dari itu, dibutuhkan keterbukaan dalam mengisi ruang kosong tersebut.

Keenam, meningkatkan efektifitas dan efisiensi kinerja birokrasi dengan merasionalisasi jumlah pegawai dengan seleksi penerimaan yang lebih ketat, objektif dan terbuka, serta meningkatkan kedisiplinan yang tinggi. Program ini digagas untuk menghindari sejumlah pejabat daerah yang kinerjanya kurang maksimal. Sebab, untuk menjalankan visi dan misi membutuhkan satu ritme yang terukur dengan memaksimalkan kinerja.

Ketujuh, menyegerakan respon atas dasar pengaduan dari rakyat yang mengadu tentang kualitas kinerja birokrasi untuk menghindari praktek KKN.

Pasang-surut dalam birokrasi memang hal yang biasa. Namun, untuk menjaga kinerja dan praktek KKN membutuhkan peran masyarakat untuk menopang hal tersbut. Oleh karena itu, penyegeraan atas pengaduan hal-hal tersebut menjadi hal yang harus direspon cepat dan tanggap. Dalm hal ini program tersbut menjadi gagasan bagi Ahok.

Kedelapan, mewajibkan setiap pejabat Pemda untuk melaporkan harta kekayaanya dan membuat Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) setiap tahunya.

Program ini digagas Ahok untuk menghindari praktek Korupsi yang seringkali melibatkan pejabat daerah. Oleh karena itu, maraknya hal tersebut membuat gagasan ini menjadi sangat inovatif.  

Kesembilan, menjalin kerjasama yang lebih erat kepada pihak Kepolisian, KPK, Kejaksaan, PPATK, BPK, dan BPKP untuk memberantas korupsi. Oleh karena itu, program ini digagas untuk menghindari praktek korupsi yang kerap mencoreng nama baik birokrasi Pemerintahan Daerah.

Kesepuluh, meningkatkan transparansi anggaran melalui sistem IT yang mudah diakses publik dengan membuka seluruh kegiatan yang akan terlaksana dan membuka anggaran serta barang-barang apa saja yang akan dibutuhkan.

Dalam program ini, Ahok berupaya membuka seluruh anggaran yang dibutuhkan daerah, dan kegiatan-kegiatan yang akan terlaksana dalam setahun ke depan. Maka dari itu, transparansi birokrasi sangat dibutuhkan demi menghindari penyalahgunaan anggaran dan lain sebagainya.

Kesebelas, melanjutkan keterlibatan auditor profesional dalam proses penyisiran anggaran untuk meminimalisir terjadinya penyelewengan anggaran dan pemborosan anggaran. Demi menghindari penyalahgunaan anggaran dan pemborosan Ahok menjalin kerjasama dengan auditor untuk mengawasi aliran dana daerah.

Keduabelas, meningkatkan pendapatan daerah dengan cara memudahkan membayar pajak secara online dan memberi sikap tegas bagi wajib pajak yang tidak patuh.

Program ini seiring dengan gagasan pemerintah yang mewajibkan bayar pajak. Apalagi dengan adanya program tax amnesty yang digagas pemerintah pusat untuk menambah kas negara. begitu juga Ahok menggagas program wajib pajak untuk menambah kas daerah.

Ketigabelas, menyempurnakan sistem perencanaan (e-musrenbang sampai dengan e-budgeting) sehingga proses perencanaan semakin terkendali. Program ini digagas Ahok untuk menghindari sejumlah dana yang belum terpakai dan untuk memberantas dana siluman. Oleh karena itu, program ini belakangan cukup ampuh untuk memberantas hal seperti itu.

Keempatbelas, menerapkan biaya pemanfaatan aset milik Pemda dengan harga yang kompetitif di pasaran dan memperbaiki sistem pencatatan aset agar seluruh aset terinventarisasi dan terkelola dengan baik.

Program semacam ini sangat diperlukan untuk menghindari penyalahgunaan aset yang sering digunakan untuk hal-hal yang tidak bermanfaat. Belum lagi dengan sejumlah aset yang sering disewakan oleh sejumlah oknum birokrat yang tidak bertanggung jawab. Oleh karena itu, menginventarisir aset yang ada sangat dibutuhkan.

Dengan demikian, program reformasi birokrasi Ahok menjadi gagasan baru untuk mencapai good governance di pemerintahan daerah. Keempatbelas program tersebut sudah ada sebagian yang dijalankan Ahok sebelumnya ketika masih menjadi gubernur DKI Jakarta. Oleh karena itu, tentu masyarakat menginginkan pemerintahan yang bersih dan transparan untuk terselenggaranya pemerintahan yang baik.


@syafiqul kholqi




Kekalapan Imperium Pasca Bebasnya Aleppo

DUNIA HAWA - Seiring dengan kembalinya kontrol Aleppo ke tangan pemerintah Suriah, setelah lima tahun dikuasai oleh kelompok-kelompok teroris, mesin-mesin propaganda Imperium bereaksi dengan kalap. Secara serempak mereka memproduksi dan menyebarkan berita yang menggambarkan bahwa tentara Suriah melakukan pembantaian massal di kota itu. Beberapa aktivis media sosial yang selama ini memang sudah punya rekam jejak menjadi provokator konflik Suriah, menjadi pelaku utamanya, dan kemudian disiarkan ulang oleh media-media mainstream.


Misalnya Lina Shamy dan Mr. Alhamdo, tampil dalam rekaman yang disiarkan ulang oleh BBC. Dalam video itu, Lina dalam bahasa Inggris mengatakan, “To everyone who can hear me, we are here exposed to a genocide” (kepada siapapun yang mendengar kami, di sini kami terancam pembunuhan massal). Hanya dengan sedikit melakukan pelacakan di akun facebooknya, kita akan menemukan bahwa Lina adalah seseorang yang memiliki rekam jejak pertemanan akrab dengan “jihadis”. Mr. Alhamdo yang sering dikutip sebagai narasumber oleh media Barat dalam melaporkan “pembunuhan massal oleh Assad” saat dicek rekam jejaknya, juga sangat terkait dengan kelompok-kelompok “jihad”. Alhamdo juga orang di balik akun twitter “Bana of Aleppo” yang menulis “Lebih baik Perang Dunia III meletus, daripada membiarkan Assad dan Rusia melakukan Holocaust di Aleppo”.

Uniknya, semua buzzer itu tidak pernah mampu memberikan satu foto atau video pun untuk membuktikan tuduhan-tuduhan mereka terkait “kekejaman Assad”. Semua foto dan video yang mereka sebarkan, selalu terbukti palsu atau direkayasa (video dibuat dengan sengaja). Salah satu lembaga yang aktif membuat video rekayasa itu adalah White Helmets, lembaga “relawan” yang didirikan oleh mantan agen intel Inggris James Le Mesurier dengan gelontoran dana 3,5 juta pound dari Inggris dan 16 juta dollar dari USAID. Akun Salman (dari Saudi) yang punya 28 ribu follower menggunakan foto capture dari sebuah video klip musik, yang disebutnya sebagai korban Aleppo.  Foto korban Israel di Gaza disebut sebagai korban Aleppo oleh akun Reem Medhhat yang memiliki 133ribu follower. Akun Dima Sadek yang memiliki 123rb follower menggunakan foto pengeboman di Pakistan yang disebutnya kejadian di Aleppo.

Di era media sosial, orang-orang dengan mudah menyebarkan kebohongan, namun dengan mudah pula terlacak. Pertanyaannya, seberapa orang yang melacak, dan seberapa banyak yang sudah menerima informasi bohong itu tanpa mengetahui sanggahannya? Di sinilah kekuatan media Imperium membuktikan kedigdayaan mereka. Dengan jaringan yang sangat luas dan dana yang besar, terasa amat sulit dilawan.

Pemerintah Suriah secara resmi telah berusaha memberikan klarifikasi mengenai apa yang sebenarnya terjadi di Aleppo, dengan mengadakan konferensi pers pada 9 Desember 2016 di PBB. Misi tetap Suriah untuk PBB menghadirkan 4 pembicara yang menjelaskan dengan detil kondisi di Aleppo dan bagaimana media mainstream telah mendistorsi berita selama 5 tahun terakhir. Namun, paparan Dr. Bahman Azad (anggota Hands Off Syria and Organization Secretary of US Peace Council), Eva Bartlett (jurnalis independen Kanada), Donna Nassor (professor dan pengacara, anggota US Peace Council) dan Sara Flounders (pendiri International Action Center) ini hanya dihadiri oleh tak lebih 10 orang di ruangan yang berkapasitas ratusan orang itu. Suara mereka sayup di tengah riuhnya pemberitaan media mainstream dan para buzzer-nya.

Lalu, apa yang bisa dilakukan oleh masyarakat yang ingin mencari kebenaran? Tentu saja, tabayun (cek dan ricek) dengan berbasis logika adalah langkah terpenting. Bila belum melakukan tabayun, kita perlu menahan diri dari membagi (share) berita.

Dengan hanya mengandalkan logika pun, kita seharusnya mampu mendeteksi kebohongan sebuah berita. Misalnya judul berita “Aleppo Akhirnya Jatuh ke Tangan Rezim Assad”. Bukankah Aleppo adalah salah satu kota di Suriah? Bukankah para milisi jaringan Al Qaida yang berdatangan dari luar negeri untuk menduduki Aleppo? Seharusnya, secara logis, berita itu berjudul “Pemerintah Suriah Berhasil Merebut Kembali Aleppo”.

Untuk tingkat yang lebih rumit, kita bisa melakukan pembandingan 2 berita. Misalnya, RT (milik Rusia) memberitakan bahwa tentara Suriah sudah membuat koridor evakuasi warga sipil, sehingga warga sipil bisa keluar dari Aleppo Timur, sehingga dalam serangan ke Aleppo, tentara Suriah hanya berhadapan dengan “jihadis”. Namun, selama tiga hari koridor itu dibuka, tidak ada warga sipil yang keluar sementara para teroris terus menerus menembaki jalur koridor, dimana ambulans dan bus-bus sudah menanti warga yang keluar. Berita ini bisa kita bandingkan dengan berita dari media Imperium, New York Times, yang menyelipkan satu informasi singkat dari perwakilan PBB, Rupert Corville, yang melaporkan ada 82 pembunuhan yang menimpa warga sipil saat mereka akan melarikan diri keluar dari Aleppo timur. NYT  tidak menyebutkan siapa yang menembak, namun dengan membandingkan berita dari RT, secara logis bisa diambil kesimpulan kelompok mana yang sebenarnya gemar melakukan pembunuhan terhadap warga sipil.

Namun demikian, betapapun kalapnya media mainstream dan jaringannya menebar dusta, kebenaran pasti akan terungkap. Seperti perang Irak tahun 2001 yang diiringi penyebaran berita-berita bohong secara masif,  akhirnya terungkap pada 2011 ketika para pejabat AS mengakui bahwa tidak ada senjata pembunuh massal di negeri 1001 Malam itu.


@dina y sulaeman


Denny Siregar ; CEO Asing di BUMN, Kenapa Emangnya?

DUNIA HAWA - "Lihat tuh, Presiden lu mau BUMN dipimpin oleh orang asing. Kayak gada orang kita yang pinter aja..". Selintas tulisan ini mampir di inbox yang gak bs saya jawab karena diblokir fesbuk. Ah, pertanyaan ginian bikin saya pengen ngopi lagi.


Sebenarnya, emang kenapa kalo BUMN dipimpin orang asing? Toh mereka cuman CEO -semoga dia ngarti apa arti CEO- sedangkan posisi kita tetap Owner. Jadi, apa salahnya Owner menggaji seorang CEO entah itu dari asing, aseng ataupun asem?

Kebanggaan diri yang ketinggian membuat kita malah banyak kalah di kancah pertarungan bisnis internasional. Penempatan konsep nasionalisme yang kurang tepat, membuat kita jadi tidak banyak bergerak.

Emang ada berapa banyak model Sri Mulyani di Indonesia? Atau berapa banyak yang seperti Thomas Lembong? Tentu bisa dihitung jari, meskipun jari kita juga sulit menghitung berapa banyak orang kita yang menjadi CEO di luar negeri. Dan mereka disana tidak ada masalah dengan itu. Jokowi sudah tepat membandingkan dengan Uni Emirat Arab yang dulu mempekerjakan orang bule untuk memimpin BUMN mereka. Untuk selamanya? Jelas tidak, toh mereka juga pekerja kontrak. Perlahan-lahan terjadi transformasi ilmu sehingga yang lokal bisa belajar dan mengambil alih pimpinan.

Ini hal yang biasa di dunia manapun juga. Jadi kalo masih kaget perlu piknik kayaknya.. dodol aja piknik, masak ente kagak?

Ingat Petronas, perusahaan minyak milik pemerintah Malaysia? Tahun 2014 aja, pendapatan Petronas mengalahkan pendapatan 141 BUMN Indonesia. Bikin malu, kan? Padahal dulu Petronas belajar dari Pertamina. Mereka tidak malu untuk menggaji orang-orang pintar dari negeri kita, untuk mengambil ilmunya.

Jadi, apa sih yang dikhawatirkan? Wong pelatih Timnas sepakbola kita juga orang asing -Alfred Riedl yang dari Austria. Indonesia pernah melarang pemain asing merumput di sini, dan -perhatikan - apakah sepakbola kita menjadi lebih baik karenanya? Tidak juga, kan? Jadi tidak perlu-lah alergi dengan yang asing-asing selama masih dalam kontrol kita. Mereka kita gaji dan kita manfaatkan ilmunya dengan baik.

Adanya CEO asing di BUMN bukan saja akan membuat kita tambah pengalaman dalam kancah internasional, juga akan membangun kompetisi sehat buat orang kita supaya jangan kalah dengan mereka.

Tapi, wajarlah... Wong kenaikan STNK 100 rebu untuk 5 tahun aja masih kagetan, apalagi membahas CEO asing, bisa jantungan. Bahas aja yang sesuai kapasitas, misalnya kancing jas Jokowi. Mungkin disana bakat terpendam anda, berfikir hal yang kecil-kecil ajah.

Kebetulan saya lagi nongkrong di warung padang. Mau pesan otak atau tunjang? "Tunjang aja deh, bang.. hehehe". Sini ku tunjang..

@denny siregar


Nalar Beragama Muslim Indonesia

DUNIA HAWA - Apakah Anda melihat pos atau meme tentang penolakan perayaan Tahun Baru 1 Januari 2017 ini? Saya ingin sedikit mendiskusikan fenomena tersebut dalam kerangka nalar beragama Muslim Indonesia. Bagi saya, fenomena itu merupakan salah satu fragmen yang memperlihatkan krisis epistemologis yang dialami oleh Muslim Indonesia.


Paling tidak ada dua argumen yang muncul menjelang dan pada saat tahun baru kemarin. Argumen pertama berkaitan dengan bentuk, sementara yang kedua dengan identitas. Yang pertama menyasar praktik, tingkah, atau perilaku. Argumen ini menyerang agenda-agenda tahun baruan yang dianggap mencederai moralitas agama.

Adapun argumen kedua menekankan tentang who we are and are not; tentang self dan others. Argumen ini menyebutkan bahwa tahun baru Masehi bukanlah tahun baru Islam, dan elemen-elemen yang digunakan dalam perayaannya tidak berasal dari budaya Islam. Oleh sebab itu, tinggalkan!

Tidak sedikit pula yang membawanya kepada logika khas pengusung khilāfah. “Bagaimana Anda sebagai seorang Muslim tapi tidak menerapkan hukum Tuhan secara kaffah, malah mengikuti tradisi dari luar?!” Muslim yang merayakan tahun baru kemudian diklaim telah terjerumus ke dalam tasyabbuh dan oleh karenanya termasuk kepada minhum/others dan kafir.

Saya tidak ingin berdalam-dalam membicarakan penolakan ini. Boleh atau tidak-bolehkan perayaan tahun baru Masehi bukanlah hal yang akan dibicarakan dalam tulisan ini. Saya hanya ingin melihat salah satu bentuk argumen yang dikemukakan untuk memperlihatkan krisis epistemologis yang dialami oleh Muslim Indonesia saat ini.

Setiap 1 Januari, muncul penolakan terhadap tahun baru. Mereka menekankan bahwa tidak ada tahun baru Masehi. Satu-satunya tahun baru yang diakui dalam Islam adalah tahun baru Hijriah. Akan tetapi di luar itu segala aktivitas yang dilakukan selalu merujuk kepada penanggalan luar ini. Organisasi dan instansi mengagendakan tutup buku setiap Desember, penerimaan gaji setiap awal bulan, penomoran surat, dan sebagainya.

Penanggalan Hijriah bukan sama sekali ditinggalkan. Ia tetap digunakan, namun di posisi sekunder. Bahkan dalam kolom waktu dan tempat di poster, undangan, atau selebaran tentang perayaan hari besar Islam tetap saja yang digunakan pertama kali adalah penanggalan Masehi yang biasanya diikuti penanggalan hijriahnya.

Nampaknya hanya di Idul Fitri saja (1 Syawal) mengungguli posisi penanggalan Masehinya. Penolakan terhadap penanggalan Masehi pada momen-momen 1 Januari mencerminkan semangat pengusungan identitas yang kehilangan tempat berpijak.

Penolakan terhadap penanggalan Masehi juga dikaitkan dengan argumen kesucian, dalam arti bahwa kesucian Islam sebagai agama dilekatkan kepada penanggalan Hijriah, dan karenanya, yang selain itu dianggap tidak suci. Ironinya, pada sisi lain sering kali kita melihat sakralitas al-Qur’an dan Islam justru dikaitkan dengan penanggalan Masehi ini.

Kita tidak asing dengan pos di sosial media atau broadcast whatsapp yang seperti ini: “Tsunami Aceh terjadi tanggal 26 Desember, gempa Tasikmalaya terjadi tanggal 26 Mei, bencana ini-itu terjadi pada tanggal 26, mari buka surat ini dan itu ayat 26, perhatikan terjemahannya!” Tidak lupa pos ini dibumbui dengan “like and share” jika di media sosial dan “sebarkan” jika di aplikasi pesan. Pos dan pesan semacam ini mendapatkan banyak sekali apresiasi, sebagaimana banyak pula pengaminan terhadap penolakan penanggalan Masehi di setiap akhir tahun.


Hal serupa juga terjadi dalam rangkaian Aksi Bela Islam beberapa saat lalu. Angka 411 sebagai representasi dari penanggalan Masehi 4 November disucikan dengan menghubungkannya kepada tulisan lafaz nama Allah.

Sebuah foto yang disebar akun Instagram Habib Rizieq mengaitkan angka-angka penanggalan Masehi pidato Ahok di Kepulauan Seribu (27 September), penetapan dirinya sebagai tersangka (16 November), dengan mekanisme penjumlahan tertentu, bertemu di angka 51, nomor ayat yang ia kutip dalam pidato tersebut.

Di sini kita melihat posisi ganda penanggalan Masehi dalam dunia Islam Indonesia. Uniknya, peran ganda tersebut bukanlah peran yang saling melengkapi, tetapi saling bertentangan. Di satu waktu ia dipuja-puja karena dianggap menggambarkan kebesaran Tuhan, akan tetapi di sisi lain ia ditolak dan dianggap sebagai bentuk kerusakan manusia dalam beragama.

Cocokologi, begitulah nalar ini sering disebut. Ia merupakan istilah plesetan, gabungan antara cocok dan logos. Ibarat theos, philos, atau bios, yang masing-masingnya menyatu dengan logos, bergabung menjadi sebuah disiplin ilmu, theology, philology, dan biology. Menyatunya cocok dan logos memimpikan sebuah aktivitas keilmuan dalam mengait-ngaitkan sesuatu yang sebenarnya tidak berhubungan. Ia adalah satir.

Cocokologi merupakan sindiran atas gaya pseudo-scientific yang mengait-kaitkan atau mencocok-cocokkan sesuatu dengan gaya yang seolah akademis. Padahal, tidak ada hukum akal yang bisa menjustifikasinya. Angka-angka penanggalan Masehi dikaitkan dengan angka-angka dalam al-Qur’an. Goresan-goresan abstrak awan, air terjun, kulit jeruk, dan sebagainya dikait-kaitkan dengan penulisan nama Allah. Seolah dengan itu terbangun sebuah argumen betapa maha kuasanya Allah.

Dalam sejarah intelektual Islam, perdebatan epistemologis tentang sumber ilmu berkenaan dengan dua hal: akal dan wahyu. Mu’tazilah berkeyakinan bahwa manusia bisa mengetahui sesuatu bermodalkan akal, sementara Asy’ariyyah memutlakkan peran wahyu. Perdebatan tersebut relevan pada zamannya karena ia berkenaan dengan diskursus kalam dan hukum. Ia belum menyentuh fenomena sains yang rumit misalnya.

Mu’tazilah berkeyakinan bahwa akal manusia mampu menilai sesuatu baik atau buruk. Perbuatan baik dijadikan sebagai premis pertama, dan mengerjakan sesuatu yang baik akan bermanfaat menempati premis kedua. Kesimpulannya, manusia dianjurkan untuk melakukan kebaikan. Adapun Asy’ariyah berargumen bahwa akal tidak bisa berbicara melakukan sesuatu akan mendapat pahala. Dari penjelasan wahyulah manusia bisa mengetahuinya.

Saat ini, cocokologi tidak hanya berkenaan dengan kalām dan hukum. Ia juga berkaitan dengan fenomena awan, pigmen hewan, dan sebagainya. Dengan demikian, idealnya, sumber ilmu yang digunakan harus melampai perdebatan antara akal dan wahyu. Akan tetapi, sayangnya, bukannya melampaui, nalar cocokologi malah mengangkangi keduanya.
Tidak ada hukum akal yang bisa menjustifikasi premis garisan yang membentuk lafaz nama Tuhan di kulit ikan bermuara kepada kesimpulan bahwa “ketik Allāhu akbar, like dan share” adalah wajib sebagaimana Anda suka like dan share foto gadis bening.

Juga tidak ada wahyu eksplisit dan implisit yang berbicara tentang hal itu. Betapapun tradisionalnya perdebatan antara akal dan wahyu, fenomena cocokologi memperlihatkan fenomena epistemologis yang lebih primitif. Ia sama sekali tidak masuk akal, dan juga tidak berkaitan dengan wahyu. Ia hanya resepsi serampangan manusia atas wahyu dengan menanggalkan peran akal.

Begitulah nalar beragama sebagian kita saat ini; sangat gampang tergoda dengan simbol-simbol yang tidak bernilai. Simbol-simbol tersebut dikait-kaitkan sedemikian rupa dengan proyeksi ia menjadi ilmiah, namun justru sebaliknya menjadi menggelikan.

Ada dua hal yang bisa menjelaskan cocokologi ini. Yang pertama adalah pragmatisme dakwah. Dalam kasus tahun baru, tentu sah-sah saja menolak agenda-agenda perayaan tahun baru yang tidak bermanfaat, menabrak moralitas agama dan budaya, dan sangat kental dengan balutan agresivitas kapitalisasi. Akan tetapi, penolakan dengan nalar-nalar yang krisis epistemologis hanya akan membuat basis keilmuan Islam semakin dangkal dan tidak relevan dengan tuntutan dan perkembangan zaman. Hal ini terbukti juga telah menyentuh dunia pragmatisme politik, ketika nalar cocokologi juga digunakan untuk menggerakkan massa dalam peristiwa politik yang baru-baru ini kita saksikan.

Hal kedua berkenaan dengan apa yang disebut oleh Yudian Wahyudi Ph.D, rektor UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, sebagai respons reaktif orang-orang yang kalah. Saat ini, tidak bisa dipungkiri, peradaban dunia Islam kalah dalam banyak hal dari peradaban Barat, baik ekonomi, politik, teknologi, bahkan nilai. Kekalahan peran penanggalan Hijriah ditanggapi dengan penolakan yang tidak konsisten terhadap penanggalan Masehi.

Dalam pola reaktif yang sama, kemajuan Barat dalam dunia sains dibalas dengan dagelan bumi datar atau analisis pigmen ikan bertulis lafaz Allah. Aktivitas antariksa Barat dibalas dengan analisis garisan-garisan abstrak awan. Lalu semua didaku seolah-olah bukti logis kebesaran Tuhan.

@fadhli lukman


Narasi Politik Konflik Suriah

DUNIA HAWA - Republik Arab Suriah atau Syiria adalah sebuah negara di Asia Barat. Di sebelah Barat berbatasan dengan Lebanon dan Laut Mediterania. Utara berbatasan dengan Turki. Timur berbatasan dengan Irak. Barat daya berbatasan dengan Yordania selatan, dan Israel. Ibu Kota negara ini adalah kota Damaskus.


Kota Damaskus sudah lama dikenal sebagai kota pelajar. Dalam sejarah kekhalifahan Islam, Damaskus telah banyak melahirkan ulama besar seperti; Hafiz Abdul Aziz At-Timiy, Hafiz Abu Zar`ah tokoh hadis terkemuka Syekhul Islam Ibn Taymiah, Ibn `Asakir, Abu Syamah, Ibn Katsir, Ibn Malik, Ibn Syathir, Rashid, Ibnu Baythar dan Ibnu Nafis.

Penduduk Suriah terdiri dari berbagai etnis dan agama. Keseluruhan penduduknya berjumlah sekitar 22.500.000 Jiwa. Muslim Sunni di Suriah merupakan mayoritas. Jumlah mereka sekitar (lebih dari 70 %) atau sekitar 16,2 juta / 16.200.000 Jiwa, terdiri dari : Sekitar 59-60 % atau 13.500.000 Jiwa adalah Sunni etnis Arab, sekitar 9 % atau 2.025.000 adalah Sunni etnis Kurdi, sekitar 3 % atau 675.000 adalah Sunni etnis Turkomen.

Adapun Syi'ah di Suriah hanya sekitar 13 % atau 2,9 juta (2.925.000 Jiwa), yang terdiri dari berbagai aliran Syi'ah, antara lain Alawit, Syi'ah Itsna Asyariyah, Ismailiyah dan lainnya. Penganut agama Kristen terdapat sekitar 10 % atau 2.250.000 Jiwa, di mana mayoritas adalah Antiokhia Ortodoks, sisanya termasuk Katolik Yunani, Assyria Gereja Timur, Armenia Ortodoks, Protestan dan lainnya.

Dan terakhir adalah penganut Druze, yaitu sekitar 3 % atau 500.000 jiwa terutama di daerah selatan Jabal al-Druze. Al-Dzarazi, sebuah komunitas keagamaan di Timur Tengah.

Kini, penduduk Suriah juga merasakan beratnya hidup di bawah dua rezim diktator yang kekejamannya menyamai Namrudz dan Fir’aun. Selama lebih dari 40 Tahun, penduduk Suriah di bawah rezim Asadain (dua Asad), Hafidz Asad dan Basar Asad. Selama masa itu, berbagai penderitaan melanda mereka.

Hingga kini tidak kurang dari 4 juta warga Suriah mengungsi ke negeri Tetangga. Libanon, Yordania, Turki hingga ke Eropa, seperti Islandia dan Yunani. Puncaknya, masyarakat dunia ditarik perhatiannya pada Alain Kurdi. Sosok balita yang ditemukan di pinggiran Pantai Turki dalam keadaan tidak bernyawa.

Konflik Suriah tumbuh semenjak protes kebangkitan dunia Arab (pemberontakan Arab) tahun 2011, dan meningkat ke konflik bersenjata untuk memprotes dan menekan pengunduran diri Bashar al-Assad dari bangku pemerintahan Suriah.

Konflik yang terjadi di Suriah merupakan Propaganda yang dibuat oleh AS dan Israel. Sudah bukan rahasia lagi, rezim Assad Suriah adalah sekutu kuat Rusia selain Iran di Timur tengah, dan dalam upaya melemahkan Suriah, Amerika Serikat tidak segan-segan memberikan pendanaan yang besar dan persenjataan kepada Teroris Al-Qaeda yang dikemas menjadi “Pemberontak Suriah Penjuang Demokrasi”.

Dunia juga telah mengetahui bahwa pemberontak Suriah tidak lain adalah teroris Al-Qaeda sejak tahun 2012. Al-Qaeda membentuk Al-Nusra Front, sayap militer khusus untuk memerangi rezim Assad sejak 23 Januari 2012.

Menurut Prof. Dr. Seyyed Mofid Hoseini dalam kuliah umum di Auditorium SPS UIN Jakarta, pada hari Selasa (18/10), Konflik Suriah adalah propaganda yang dibuat oleh Israel dengan bantuan Amerika Serikat. Bentuk propaganda yang dilakukan oleh Israel dan As mengatakan bahwasannya konflik Suriah adalah konflik Sunni dan Syi’ah.

Media-media Baratlah yang menyebarkan propaganda. Mereka menggiring opini masyarakat dunia bahwa pertikaian yang terjadi di Suriah adalah konflik Sunni- Syi’ah. Kenyataannya di Suriah, di bawah kepemimpinan Bashar al-Assad, pemeluk berbagai aliran agama di Suriah dapat hidup rukun dan saling menghormati satu sama lain.

Menteri Penerangan Suriah, Omran Ahed al-Zouabi menegaskan di Suriah tidak terjadi konflik Sektarian (konflik Agama karena perbedaan kelompok dan Politik). Suriah terkena serangan teroris dan itu dipimpin oleh ISIS, Nusra, Jaiz Islam dan banyak lagi nama yang masih bersangkutan dengan al-Qaeda. Selain hal itu, Suriah juga mendapatkan tekanan politik dan ekonomi. Suriah di embargo oleh Amerika, negara-negara Eropa maupun Arab.

Sementara itu, ketua Ikatan Ulama Suriah, Dr Taufiq Ramadhan al-Buthi mengatakan media-media Barat memfitnah Suriah dengan melaporkan pemberitaan yang tidak sesuai dengan keadaan Suriah. Beliau mengatakan “Mereka melakukan propaganda karena mereka ingin menghancurkan Suriah. Al-Jazeera dan TV Arabiya berhasil memberitakan kondisi Suriah yang tidak sebenarnya. Kedua Stasiun TV tersebut masing-masing dimiliki oleh Qatar dan Saudi Arabia”.

Lebih lanjut beliau menbuktikan “Contoh pemberitaan Al-Jazeera yang tidak seimbang. Waktu itu saya mengajar di Universitas Damaskus. Saat pulang saya ditanya putra saya mengenai apa yang terjadi di kampus katanya ada demo besar. Saya jawab tidak ada demo besar hanya ada 35 siswa yang demo. Sedangkan semua mahasiswa ada 30 ribu orang”.

Semua tragedi yang terjadi di Suriah adalah propaganda Barat untuk mendukung cita-cita berdirinya negara Israel yaitu mewujudkan Israel Raya di Timur Tengah. Sesungguhnya proyek Israel raya ini sudah terbentuk jauh sebelum negara Israel terbentuk, dan proyek Israel Raya ini benar-benar dilaksanakan semenjak Israel meminta tanah di Palestina dan PBB meng-amininya pada tahun 1948.

Propaganda Barat (AS) dan Israel ini telah melahirkan penderitaan bagi bangsa Suriah. Ratusan ribu jiwa rakyat sipil melayang terjepit ditengah penanganan dingin dan kejamnya rezim Assad dan kebiadaban teroris pemberontak yang melakukan pembersihan etnis dan genosida, sebuah tragedi kemanusiaan yang belu terlihat tanda-tanda akan usai.

Oleh karena itu, Konflik yang terjadi di Suriah dan Timur Tengah tidak pernah benar-benar karena Agama. Mungkin bisa disimpulkan, Agama dijadikan kedok, menimbang begitu banyaknya aspek dan kepentingan yang memutar “roda darah” konflik Timur Tengah.

Bagi kita penikmat media massa, mulailah kritis menyerap setiap berita yang kita terima. Bagi kita sebagai seorang muslim, jika perang sudah terjadi di bumi Syam (Syiria, Yordania, Palestiana dan Libanon), suatu bukti nyata bahwa dunia sudah diujung kehancuran, akhir zaman hanya menunggu waktu.

@rahmiwati


Dari Cacat Hukum sampai Ketidakjelasan Saksi Pelapor


Pengunjuk rasa membentang poster saat berlangsung sidang lanjutan kasus dugaan penisataan agama dengan terdakwa Gubernur nonaktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di depan Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa (3/1). Massa menuntut agar Ahok dibebaskan.


DUNIA HAWA - Sidang kasus dugaan penistaan agama yang menyeret Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai terdakwa benar-benar membuat saya termangu. Bagaimana tidak, dari sejak dilaporkannya Calon Gubernur DKI Jakarta Nomor Urut 2 ini, tak nampak sama sekali dasar yang jelas soal bukti bahwa si terlapor menistakan agama Islam ataupun menghina para ulama.

Meski ada bukti berupa rekaman video, isinya tidak membuktikan secara eksplisit akan tuduhan penistaan dan penghinaan tersebut. Yang ada adalah pidato soal program pemberdayaan budi daya kerapu di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Bahwa program pemberdayaan ini harus terus dilanjutkan, meski dirinya (Ahok) tak terpilih lagi menjadi gubernur di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jakarta Februari mendatang.

Tak hanya itu, tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) sama tidak berdasar dalam mengambil prosedur hukum yang berlaku. Ada sejumlah pasal yang tidak dipenuhi, seperti pasal tentang prosedur pemberian peringatan keras sebelum akhirnya Ahok ditetapkan sebagai tersangka. Pasal tersebut termaktub dalam UU Nomor 1 PNPS Tahun 1965 yang sampai hari masih berlaku sebagai rangkaian dari hukum positif di Indonesia.

Kenyataan para pengambil hukum semacam ini justru diperparah dengan diaminkannya penolakan nota pembelaan (eksepsi) Ahok oleh majelis hakim. Seperti JPU, majelis hakim juga terang melangkahi aturan yang semestinya menjadi pertimbangan kuat. Tak salah ketika banyak pihak memberi penegasan bahwa Ahok adalah korban kriminalisasi politik SARA.

Ya, begitulah realitas prosedur hukum yang berjalan dalam persidangan Ahok dari hari ke hari. Mungkin memang begitulah konsekuensi kita yang hidup dalam naungan negara hukum. Sehingga segala keputusan hukum yang ada, timpang atau tidaknya, taat hukum adalah sikap yang diniscayakan keberadaannya.

Tapi belum juga usai kemuakan saya atas prosedur hukum yang berjalan, lagi-lagi ketermanguan saya itu muncul dalam sedang keempat yang berlangsung di Auditorium Kementerian Pertanian, kemarin (Selasa, 3/1/2017). Sejumlah saksi pelapor dari JPU, dilihat dari sisi latar belakang, tak satu pun di antaranya yang bisa saya nilai sebagai saksi yang patut mendapat perhatian.

Bagaimana mungkin kita bisa percaya pada orang yang memberi kesaksian hukum padahal dirinya sendiri punya pengalaman yang tidak elok dalam sejarah hidupnya? Sebut, misalnya, Novel Chaidir Hasan. Sekretaris Jenderal DPD Front Pembela Islam (FPI) DKI Jakarta ini pernah menjadi buron tersangka atas kasus unjuk rasa menolak Ahok yang berujung ricuh di tahun 2014. Ia dijerat pasal penghasutan, pengrusakan barang publik, dan melawan petugas.

Ketidaksukaan pada Ahok ini berlanjut ketika Novel melaporkan Ahok atas nama pribadinya. Ia menggugat Ahok secara perdata dengan tuntutan ganti rugi sebesar Rp 204 juta. Ini tentu bisa jadi bukti bahwa saksi pelapor sama sekali tidak berdasar pada kasus penistaan agama, melainkan karena ketidaksukaan secara pribadi. Artinya, kasus dugaan penistaan agama ini menjadi momentum bagi Novel untuk kembali melayangkan perlawanan berdasar ketidaksukaannya pada Ahok.


Sekjen DPD FPI Jakarta Novel Chaidir Hasan Bamukmin.

Selain Novel, ada juga saksi pelapor bernama Gus Joy Setiawan. Kedudukannya sebagai Ketua Umum Koalisi Adovaksi Rakyat, yang pernah menyatakan dukungannya pada pasangan Agus-Sylvi, membuat perannya sebagai saksi patut dicurigai. Sebagai lawan politik, tentu Gus Joy memberi kesaksian semata hanya untuk menjegal Ahok sebagai peserta pilkada.

Muh. Burhanuddin juga menjadi salah satu dari gerombolan saksi pelapor itu. Dari pengalamannya sebagai advokat yang pernah membela Putu Sudiartana, salah seorang anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat yang terkena operasi tangkap tangan KPK untuk kasus suap, membuat eksistensinya pun rapuh. Pembela koruptor, kok, mau didengar?

Adapun saksi-saksi pelapor lainnya, seperti Muchsin dan Samsu Hilal, adalah ketua umum ormas yang banyak diyakini sebagai ormas intoleran, yakni FPI dan Forum Anti Penistaan Agama (FAPA). Mana mungkin mereka mampu memberi kesaksian jeli kalau pada dasarnya saja mereka adalah pemimpin ormas intoleran?

Begitulah fakta-fakta di persidangan yang harus menjadi pertimbangan tim majelis hakim. Apalagi, dari kelima saksi pelapor di atas, tak satu pun di antaranya adalah saksi yang menyaksikan langsung ucapan Ahok di tempat kejadian perkara itu. Bagaimana mungkin saksi yang tidak melihat kejadian persisnya, kok, bisa jadi saksi? Sudikah kita mendengar kesaksian dari orang-orang semacam ini?

@maman suratman


Perilaku Korupsi dan Politik Kebajikan


Bupati Klaten Sri Hartini masuk ke mobil dengan menggunakan rompi tahanan usai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Sabtu (31/12).

DUNIA HAWA - Di luar kehebohan soal “Fitsa Hats” yang mewarnai sidang penodaan agama yang disangkakan pada Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, ada berita yang kurang mendapat perhatian publik tapi sangat menyedihkan bagi siapa pun yang masih memiliki akal sehat.

Berita yang saya maksud adalah operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Deputi Informasi, Hukum, dan Kerja Sama Badan Keamanan Laut (Bakamla), Eko Susilo Hadi pada Rabu (14/12/2016), dan Bupati Klaten, Jawa Tengah, Sri Hartini pada Sabtu (31/12/2016). Ini benar-benar terjadi, bukan modus untuk mengalihkan perhatian publik dari kasus Ahok.

Selain OTT KPK, Satuan Tugas Operasi Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli) juga telah menangkap banyak oknum pejabat. Sejak Peraturan Presiden Nomor 87 tahun 2016, tentang Satgas Saber Pungli diterbitkan, sudah ada 41 kasus OTT terutama terhadap oknum pejabat yang menangani pelayanan publik.

Beragam undang-undang telah dibuat untuk menjadi landasan pemberantasan korupsi. Bahkan korupsi dijadikan sebagai salah satu bentuk kejahatan luar biasa. Meskipun begitu, korupsi masih tetap marak dilakukan. Nawacita yang menjadi program pemerintah, yang antara lain menegaskan penolakan terhadap negara lemah dengan melakukan reformasi sistem penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya, seolah hanya sebatas jargon.

Perilaku korupsi telah memasuki berbagai lini, terutama di lembaga-lembaga pemerintahan yang justru di dinding-dinding kantornya terpampang program Nawacita. Lantas, mau memakai instrumen hukum apalagi agar perilaku korupsi bisa hilang, atau setidaknya bisa dikurangi di negeri ini?

Sebagai warga Muhammadiyah, saya tertarik dengan salah satu pesan Tuhan yang melekat dengan organisasi yang didirikan KH Ahmad Dahlan pada tahun 1912 ini, yakni “amar ma’ruf nahy munkar”. Saya kira, pesan Tuhan ini penting untuk diejawantahkan dalam perilaku politik yang menyuruh pada kebajikan dan mencegah terhadap kemunkaran.

Jika kita menghayati maknanya secara mendalam, maka ada pengawasan melekat dari Tuhan, yang tidak bisa dihindari dan ditipu oleh siapa pun, termasuk diri kita sendiri. Mau korupsi, misalnya, barangkali kita, terutama pejabat dan politisi, masih bisa berkelit dan menipu di tengah kekacauan sistem dan pengawasan publik luas. Tapi, apakah Tuhan dan diri kita sendiri bisa ditipu? Maka, hadirlah makna positif dalam menghadirkan spirit dan pesan Tuhan dalam kehidupan politik kita.

Ada konsekuensi lanjutan, tentu saja, yang dapat menjelma dalam kesadaran etis dan moral perilaku politik kita, untuk selalu berperilaku jujur, baik dan amanah, terutama dalam etika dan perilaku politiknya. Karena, manusia semestinya semakin menyadari bahwa moral dan etika merupakan inti dan pesan suci dari firman Tuhan dalam kehidupan ini.

Namun, apa yang terjadi akhir-akhir ini justru semakin menjauhkan kehidupan kita dari spirit dan pesan ketuhanan dalam kehidupan politik kita. Mentalitas korup dan hipokrit semakin merajalela di sana-sini. Coba kita perhatikan, di sana-sini orang selalu ramai-ramai bersuara lantang untuk pemberantasan korupsi. Tapi apa yang terjadi? Praktik korupsi bukan semakin menurun, malah justru semakin meningkat dan makin canggih modusnya. Apa yang dilantunkan dalam kata dan ucapan, tidak dipraktikkan dalam tindakan dan perilaku sehari-hari.

Mungkin karena pada umumnya kita sudah telanju melihat politik sebagai medan untuk berbuat semaunya, tanpa mengindahkan lagi-lagi etika sopan santun. Dan bahkan pesan agama pun sebatas dijadikan “alat politik”, bukan sebagai piranti untuk menata perilaku diri sendiri, malah untuk men-judge kesalahan orang lain yang belum jelas benar kesalahannya.

Lebih dari itu, kekhawatiran saya sebenarnya lebih terletak pada apa yang disebut dengan “kesenjangan dalam ukuran nilai” (value judgment). Kita, misalnya, seringkali menemukan anomali dan penyimpangan moral seperti kebohongan, inkonsistensi, hipokrit, dan korupsi yang jelas-jelas melawan pesan Tuhan dan hukum positif kita, tapi justru tidak disadari lagi oleh yang bersangkutan. Karena, sesuatu yang dalam pesan Tuhan dan hukum positif kita adalah pelanggaran etika dan moral, namun menurut persepsi orang bersangkutan adalah suatu hal yang dianggap wajar belaka. Berbohong dan hipokrit dalam politik dinilai sebagai sesuatu hal yang lumrah dan biasa saja.

Dalam perkembangan selanjutnya, praktik-praktik tak bermoral dan anomali yang berbahaya itu, dapat menjadi kebiasaan (habit) dan dianggap wajar sehingga berubah hakikat menjadi watak, seperti dalam ungkapan pepatah Inggris, habit is the second nature. Jelas, perkembangan ini sudah sangat membahayakan dan mencapai titik yang sangat mencemaskan, karena nantinya orang berkorupsi akan dianggap wajar belaka, as second nature, part of the soft culture.

Karena itu, kondisi kita akhir-akhir ini tidak saja mencemaskan dan memprihatinkan, tetapi sudah pada tingkat membahayakan, karena korupsi sudah menjadi watak dan kebiasaan, sebagai a way of life, sehingga dianggap biasa dan wajar belaka.

Mengakhiri tulisan ini, saya akan sedikit mengadopsi sumpah Presiden Amerika Thomas Jefferson yang bersumpah untuk secara abadi melawan semua bentuk tirani terhadap jiwa manusia (“I have sworn… eternal hostility against every form of tyranny over the mind of man”). Mengingat keadaan korupsi, hipokrisi, dan kebohongan yang menjadi modus politik Indonesia, kita pun saatnya untuk mendeklarasikan permusuhan abadi terhadap segala bentuk korupsi dan hipokrisi (“We all swear…eternal hostility againts every form of corruption and hipocricy”). Inilah yang seharusnya menjadi sumpah kita bersama.

Politik kebajikan harus kita tegakkan. Politik bukanlah tujuan akhir dari proses kehidupan kita, melainkan sekadar alat dan mekanisme untuk mewujudkan kebajikan dan kemaslahatan kita bersama. Bermula dari diri kita sendiri, kita harus bersumpah untuk tidak hanyut dalam kultur korupsi, the culture of corruption, dan kultur hipokrisi, yang sudah menjangkiti jalan kehidupan sebagaian di antara kita.

Sebaliknya, kita memulai dari yang sangat sederhana: bersumpah untuk tidak ikut korupsi, justru dimulai dari diri kita sendiri. Politik kebajikan dimulai dari keteladanan moral, yang bermula dari diri kita sendiri dan orang-orang di sekitar kita.

@jeffrie geovanie