Friday, January 6, 2017

Si Anu Makin Menggila

DUNIA HAWA - Ada yang berjanji akan menghentikan pulau reklamasi jika terpilih menjadi Gubernur DKI, entah bagaimana caranya mas Anis akan menghentikan reklamasi Jakarta dengan jabatan setingkat Gubernur. Tong,..menghentikan reklamasi Jakarta otamatis sampean harus membatalkan Keputusan Presiden sebagai atasan sampean. Presiden sekarang Presiden yang kemaren mem PHK sampean jadi Mendikbud, emang ada aturan di dunia ini Pergub membatalkan Keppres,..temanmu robot tong


Ada yang 3 tahun berkerja di Pizza Hut, dalam kurun 3 tahun itu dia menikmati upah dari hasil kerjanya, mungkin untuk menghidupi anak bininya, setelah mendapat hidayah dari "kanjeng pangeran petamburan" manusia satu ini disadarkan bahwa masa lalunya penuh dosa berkerja dengan kafir, anak bininya selama 3 tahun dihidupi oleh kafir, supaya menjadi halal maka Pizza Hut di-syahadat-kan saja dan jreng,..sekarang nama Islam nya menjadi FITSA HATS

Ada yang melacurkan jabatan, di negeri ini orang amanah akan disebut sebagai orang gila, kasar, dan tukang gusur, kemudian akan dicari cari kesalahannya dan berakhir dengan 7 juta manusia berkumpul dengan nama Tuhan mendo'akan kehancurannya, tapi mereka bisu untuk Bu pati Klaten yang melacurkan jabatannya, bahkan selama 20 Tahun pasangan suami istri bergantian menjadi penguasa disana, alih alih membangun daerahnya malah sang Bu pati seperti germo kalijodoh yang menjajakan kedudukan strategis kepada bawahannya

Ada calon yang ingin tampak seperti Islam beneran, islam kaffah bahasa surganya, supaya tampak beneran maka didepan kelompok ormas FPI mas Anis menolak semua tuduhan akan dirinya berpaham Islam liberal, menganut paham Syiah dan Wahabi. Lalu apa yang salah dengan semua tuduhan itu?, apa yang salah dengan Liberal sepertinya mas Anis lupa akan asal usulnya dari Paramadina

Menurut Nurcholis Madjid sebagai pendiri Paramadina, makna asli liberal itu sendiri yaitu adanya kebebasan berpikir dan berpendapat dalam lingkup akademis, saya kira betul Paramadina adalah kampus liberal. Semua paham dari ekstrem kiri sampai ekstrem kanan ada dan dilindungi kebebasannya di Paramadina, lalu apa mas Anies yakin di dalam GNPF-MUI tidak ada yang Wahabi?

Quotes Om Anu : Berhenti menyalahkan nasib burukmu, mulailah memantik cahaya demi terangnya masa depanmu

Tafsirnya : Lupakan saja gagal konvensi partai demokrat untuk menjadi Presiden, Lupakan juga dipecat Jokowi menjadi Mendikbud, mulailah memantik Api untuk menjatuhkan musuhmu demi Gubernur DKI demi terangnya Pilpres 2019, tapi jika masih gagal juga maka sudah bakal kelar karir loo,.

@de fatah


Saya Muslim, Saya Memaafkan Ahok

DUNIA HAWA - Berulang kali saya dengar jerit ketulusan seorang Ahok, dalam suara dan ekspresi keseriusan. Dalam berbagai kesempatan Ahok meminta maaf atas ucapanya yang menyinggung umat Islam. Hampir setiap momentum proses pilkada ia gunakan sebagai wujud ketulusan atas kesalahan yang telah diperbuat.


Atas kasus penistaan agama yang menimpanya, Ahok kemudian belajar banyak hal. Pertama, ia pejabat publik yang setiap kata-kata, sikapnya diperhatikan semua orang. Kedua, ia menyadari gaya ceplas-ceplosnya banyak menuai kritik. Ketiga, ia sebagai pejabat publik mesti mencontohkan kebijaksanaan, dari itu Ahok telah bercermin diri.

Melalui kasus yang ia jalani sekarang, Ahok benar-benar melakukan reformasi diri. Cara ujaran, gaya kebijakan, ia berjanji akan berubah. Pelajaran bagi dirinya bahwa publik tetap simpatik atas kerja kerasnya, namun kepublikan pribadinya mesti menjadi perhatian khusus untuk konsumsi publik.

Saya sering mendengar melalui media televisi. Dalam berbagai kesempatan kampanye, debat, ia meminta maaf dengan ketulusan dan ketundukan. Permintaan maaf Ahok ini bukan modal kampanye. Benar-benar sebuah ketulusan. Mendengar ketulusan dari kelembutan suara jelas Ahok merasa telah membuat suasana menjadi gaduh, meski tanpa ada niat sedikitpun.

Sayangnya sampai sekarang saya belum mendengar langsung jika permintaan maaf Ahok diterima. Terutama dari mereka (muslim) yang mengatasnamakan diri sebagai pengawal fatwa maupun dari pembuat fatwa.

Melalui tulisan singkat ini saya mengajak mengetuk pintu hati kita untuk mengatakan, “saya muslim, saya memaafkan Ahok”. Saya meyakini ketulusan diri seorang Ahok. Beberapa kali ia meminta maaf, belum ada penerimaan maaf untuknya.

Saya meyakini jika muslim itu pemaaf. Nabi Muhammad itu pemaaf. Kepada kaum yahudi dan nasrani Nabi bersikap ramah. Nabi dicaci, diludahi, Nabi membalasnya dengan kesantunan. Nabi dengan mudah memaafkan.

Cara Nabi bersikap santun dan bijaksana demikian adalah proses dakwah yang hakikat. Bukan menghukumi, tapi saling memaafkan. Cara santun inilah yang meluluhkan hati sehingga banyak orang yang bersyahadat menjadi muslim.

Jika Nabi tidak pemaaf tidak akan Islam bisa berkembang. Jika Nabi mengkafirkan, itu sesat, sana kafir, maka hanya Nabi yang Islam. Karena misi nabi itu mengajak maka Nabi mencontohkan tatakrama santun dalam ber-Islam. Dan itulah daya tarik Islam yang mampu mencairkan batu ketundukan kepada berhala-berhala duniawi.

Bila bicara soal sunnah Nabi yang wajib diikuti, maka “memaafkan” adalah sunnah Nabi. Memaafkan adalah ajaran, pelajarannya dengan memaafkan banyak orang yang berkiblat kepada Nabi. Begitu saya kira menyikapi Ahok, maafkan Ahok, pelajaran baik akan kita petik bersama dengan buah kebaikan untuk Indonesia yang bhineka.

Memaafkan adalah tindakan yang mulia. Saya percaya umat Islam menjunjung budaya saling memaafkan. Apalagi kepada sesama. Sebagaimana kata “Islam” yang damai. Begitu pula memaafkan adalah jalan damai menuju kehidupan harmoni kebersamaan.

Al-Qur’an menegaskan bahwa salah satu tanda taqwa seseorang karena ia pemberi maaf kepada orang lain. “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”  (QS. Al-Imran: 133-134)

Melalui ayat yang lain, “Jadilah engkau pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.”  (QS. Al-A'raf : 199)

Bahkan memaafkan dijelaskan lebih baik dari sedekah,  “Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun.” (QS. Al-Baqarah : 263)

Allah Sang Pemaaf, itu yang dikenal muslim seluruh dunia. Siapa yang hendak mendustakan ayat-ayat al-Qur’an, jika ternyata memaafkan adalah hal yang diutamakan. Memaafkan adalah salah satu bentuk ibadah ketulusan, yang turun langsung dari ajaran al-Qur’an sekaligus dicontohkan oleh Nabi Muhammad.

“Jika kamu melahirkan sesuatu kebaikan atau menyembunyikan atau memaafkan sesuatu kesalahan (orang lain), maka sesungguhnya Allah Maha Pema’af lagi Maha Kuasa.” (QS. An-Nisa : 149)

Sebagai refleksi akhir tahun, menjelang momentum pergantian tahun. Jadikan saling memaafkan sebagai resolusi untuk kehidupan bersaudara yang baik. Apalagi bangsa Indonesia adalah bangsa dengan keragaman agama, budaya dan suku. Menjadikan persaudaraan dengan saling memaafkan adalah keniscayaan sikap.

Saya mengajak mengawali tahun 2017 dengan membuka lembaran baru. Mari saling memaafkan. Maafkan saya jika ada ujaran makna yang melecehkan. Semoga tahun 2017 kita hidup dalam titik harmoni, berupa keadilan, toleransi, dan kerukunan.

Semoga Indonesia menjadi bangsa kuat, maju, berkeadaban. Visi pancasila benar-benar terwujud dalam cita-citanya dalam berketuhanan yang berkebudayaan, membangun kemanusiaan yang adil dan beradab. Kebangsaan Indonesia. Demokrasi permusyawaratan. Dan keadilan sosial yang merata.

@febri hijroh mukhlis


Adakah Ilmuan dari Arab Saudi?

DUNIA HAWA - Islamic Golden Age atau Abad Kejayaan dianggap sebagai masa puncak kejayaan Islam. Periode ini dipimpin oleh dua dinasti besar, Abbasiyah di Baghdad dan Umawiyah 2 di Andalusia. Ironisnya, tidak sedikit orang yang menganggap bahwa Ilmuan muslim abad pertengahan berasal dari negeri Arab, khususnya Saudi Arabia, padahal mayoritas mereka adalah non Arab atau Ajam.


Dalam banyak literatur pun penyebutan cendekiawan muslim disebut Arab Scientist atau Arab Scholar, dan hasil pemikiran mereka sering disebut Arabic science. Mungkin ini disebabkan karya-karya monumental Ilmuan tersebut ditulis dalam bahasa Arab, dan bukan bahasa Persia, meskipun mereka mayoritas berasal dari wilayah Persia.

(Wilayah Persia masa Dinasti Savawi  mencakup Iran, Azerbaijan dan Armenia, sebagian besar wilayah Georgia, Kaukakus Utara, Irak, Kuwait, dan Afganistan, serta beberapa daerah di Turki, suriah, Pakistan, Turkmenistan, dan Uzbekistan, namun wilayah terbesarnya di Iran).

Ya, Islam memang lahir di negara  Arab, tepatnya di Makkah, Saudi Arabia. Setelah berkembang, banyak orang Ajam (non Arab), khususnya Persia berbondong-bondong mempelajari Al Quran dan bahasa Arab. Mereka inilah yang kemudian menjadi cendekiawan muslim kenamaan lalu menelurkan karya yang sangat fenomenal di bidang agama, sains, dan ilmu pengetahuan lain.

Dengan karya-karya mereka Islam dikenal luas hingga mencapai puncak kejayaan. Oleh karena itu sangat salah besar, jika ada anggapan Islam hanya identik dengan dengan Arab khusunya Saudi Arabia. Sebab, orang Persia lah yang paling memiliki andil besar atas kemajuan Islam.

Ibn Khaldun dalam kitabnya Muqaddimah (versi bahasa Inggris) menjelaskan hal ini:

It is a remarkable fact that, with few exceptions, most Muslim scholars both in the religious and in the intellectual sciences have been non-Arabs [ajams/Persians]. Even if a scholar is of Arab origin, he is Persian in language and upbringing and has Persian teachers […]

Fakta yang luar biasa, dengan beberapa pengecualian, bahwa mayoritas cendekiawan Muslim, baik yang ahli di bidang agama dan sains adalah orang non-Arab [ajam/Persia]. Bahkan jika ia orang Arab, ia menggunakan bahasa Persia sebagai bahasa ibu dan guru nya pun adalah orang Persia.

[…]  the founders of grammar were Sibawayh [Persian from Shiraz] and, after him, al-Farsi and az-Zajjaj. All of them were of ajam (Persian) descent. They were brought up in the Arabic language and acquired the knowledge of it through their upbringing and through contact with Arabs. They invented the rules of (grammar) and made (grammar) into a discipline (in its own right) for later (generations to use).

Penemu ilmu  tata bahasa yaitu Sibawaih adalah orang [Persia, yaitu dari kota Shiraz] dan setelah beliau ada dua tokoh lainnya, yaitu al-Farsi dan az-Zajjaj. Mereka semua adalah Ajam (keturunan Persia). Mereka belajar bahasa Arab dan memperoleh pengetahuan melalui pendidikan dan interaksi dengan orang-orang Arab. Lalu mereka pun menemukan aturan (tata bahasa) dan membuat (tata bahasa) menjadi disiplin ilmu pengetahuan untuk (generasi selanjutnya).

Most of the hadith scholars who preserved traditions for the Muslims also were ajams (Persians), or Persian in language and upbringing, because the discipline was widely cultivated in the ‘Iraq and the regions beyond. (Furthermore,) all the scholars who worked in the science of the principles of jurisprudence were ajams (Persians), as is well known. The same applies to speculative theologians and to most Qur’an commentators. 

Only the ajams (Persians) engaged in the task of preserving knowledge and writing systematic scholarly works. Thus, the truth of the following statement by the Prophet [in Sahih Muslim] becomes apparent: “If scholarship hung suspended at the highest parts of heaven, the Persians would (reach it and) take it.”

Mayoritas Ilmuan  hadits yang mengumpulkan hadist (sebagai landasan umat Islam) adalah orang ajam Persia, atau penutur bahasa Persia sebab ilmu-ilmu tersebut banyak diajarkan disebarluaskan di daerah Irak dan sekitarnya. Begitu pula Ilmuan atau cendekiawan yang berkecimpung di bidang sains dan hukum juga orang non-Arab (berasal dari Persia)-seperti yang kita ketahui bersama-. Begitupun  para Ilmuan ilmu kalam dan tafsir.

Hanya  orang Ajam (Persia) yang terlibat melestarikan pengetahuan dan menulis nya secara sistematis. Oleh karena itu kebenaran hadist Nabi [dalam kitab Sahih Muslim] menjadi jelas: "Jika pengetahuan menggantung diam di bagian tertinggi dari surga, Persia akan (mencapai itu dan) mengambilnya."

Suatu kali dosen saya bahkan pernah berseloroh, “Orang Arab itu cenderung gengsi untuk belajar dari orang ajam (non Arab). Saat Islam sudah dikenal, orang-orang Persia jauh-jauh datang untuk mempelajari Al Quran  dan bahasa Arab dari para sahabat dan tabi’in, sampai kemudian mereka mahir dan bisa menjadi guru.

Karena watak orang Arab yang gengsi untuk belajar dari para Ajam (non-Arab), maka akhirnya orang Arab kalah dari orang Persia. Oleh sebab itu di abad pertengahan kita bisa melihat mayoritas Ilmuan berasal dari Persia. Beberapa Ilmuan memang ada yang dari bangsa Arab, tetapi hanya sedikit..

Dari sini kita bisa melihat bahwa Persia punya andil besar dalam membentuk sebuah peradaban besar pada abad pertengahan. Dan Iran, salah satu negara dalam wilayah Persia saat itu melahirkan banyak Ilmuan kenamaan, seperti Al Razi yang lahir di Teheran, Al Ghazali yang lahir di Thus, bahkan sahabat Rasul Salman Al Farisi, sang arsitek perang Khandaq lahir di Isfahan, Iran (sumber lain menyebutkan lahir di Kazerun, Iran), dan banyak Ilmuan lain yang berasal dari negeri Mullah ini.

Lalu bagaimana dengan Arab Saudi sendiri? Berapa jumlah Ilmuan Saintis abad pertengahan yang lahir dari negara ini? Di banyak literatur, Ilmuan abad pertengahan memang banyak dari bangsa Arab, tapi saya belum menemukan Saintist yang dari negara Saudi Arabia. Mayoritas mereka lahir di Iraq, Yaman, Suriah, dan sebagainya.

Oleh karena itu, menjadi sangat ironi ketika ada kelompok ekstrim yang berafiliasi dengan Wahabi (Ikhwanul Muslimin, Salafy, dan Hizbut Tahrir, dan Tarbiyah) yang disatu sisi menginginkan khilafah Islamiyah, kebangkitan peradaban Islam dan mengagung-agung kan negara Saudi Arabia. Sedangkan di sisi lain sangat membenci bahkan memusuhi negara Iran yang nota bene adalah adalah salah satu negara yang banyak melahirkan para Ilmuan terkemuka. Bukankah dari karya-karya mereka lah lahir  peradaban Islam itu sendiri?

Ya, kelompok inilah yang paling gencar menulis dan menyebarkan bahwa Iran adalah negeri yang bermazhab Syiah –pembantai muslim Sunni, dan  menggembar – gemborkan bahwa Syiah sesat dan sebagainya. Padahal dalam Konferensi Internasional di Amman, Yordania 4-6 Juli 2005 lalu ditegaskan kembali pada Organisasi Konferensi Islam 24-26 Juli 2006, yang menyatakan bahwa Syiah (Ja’fari, zaidiyah) adalah muslim yang tidak boleh dikafirkan.

Kebencian sangat akut ini juga seolah menutup mata bahwa Islam adalah sebuah peradaban besar yang dibangun oleh berbagai bangsa. Mereka yang membenci bahkan seringkali memfitnah dan sangat menyerang Ilmuan negeri sendiri, terlebih Ilmuan NU, karena di Indonesia NU merupakan organisasi terbesar dan menjunjung tinggi sikap nasionalisme.

Tak hanya merusak NU, mereka bahkan masuk ke organisasi kampus dan sekolah lalu mendoktrin pemuda-pemudanya untuk ikut dalam ideologi mereka, dan beberapa literatur menyebutkan mereka juga masuk ke lembaga MUI. Di media massa kelompok ini sangat aktif membuat akun akun palsu, membuat website dan menyebar berita hoax.

Saya sangat berharap pemerintah mengambil sikap tegas terhadap kelompok ekstrim ini. Sebagaimana di negera Arab lain, kelompok ini dilarang, sebab gerakan dan ideologi nya bisa membuat perpecahan di negeri tercinta ini, seperti yang telah terjadi di beberapa negara-negara Arab

@anisatul fadhila


Denny Siregar ; Kapal yang Dulu Bocor

DUNIA HAWA - Pada waktu debat pilpres di tahun 2014, terjadi dialog yang sangat familiar. 


Prabowo : "Bikin kartu ini, bikin kartu itu... Itu bisa saja Pak Jokowi. Tapi dananya dari mana? Emang uang bisa turun dari langit! ? Anggaran kita bocor Pak Jokowi, Bocorrr..!!"

Jokowi : "Anggarannya ada, dananya ada. Tinggal kita mau kerja atau tidak. Hanya itu, mau kerja atau tidak ?"

Dari sini kita bisa membandingkan mana pemimpin yang pesimis dan mana yang optimis. Dan ternyata sifat pesimis itu menular dan menjamur sampai sekarang. Para pengikut Prabowo selalu berteriak hal yang sama, "Katanya dananya ada. Mana ? Ternyata dari hutang.."
Saya sampai sekarang tidak mengerti jalan pikiran mereka. 

Sungguh...

Dalam hidup, saya selalu optimis dalam melihat sesuatu dan paham bahwa tidak ada hasil yang diperoleh dengan instan. Semua harus dilakukan dengan tekad dan kemampuan melihat peluang juga mampu memperhatikan potensi yang ada di diri kita.

Mungkin mereka yang masih pesimis, klimis dan sedikit berkumis itu tidak tahu atau tidak mau tahu, bahwa pada masa Jokowi ini kita berhasil merebut trilyunan rupiah dari hasil laut yang selama ini dicuri pihak asing.

Jokowi juga berhasil memotong jalur pembelian migas yang selama ini dikuasai mafia dan menghemat ratusan trilyun rupiah.

Bukan itu saja, ia berhasil mengembalikan ribuan trilyun rupiah ke Indonesia dalam program tax amnesty.

Jadi Jokowi tidak salah, bahwa dananya ada. Kita punya uang. Cuman, bagaimana cara mengembalikan uang itu ke kita? Dan Jokowi bukan hanya berjanji, ia benar benar mewujudkannya.
Hasilnya? Pembangunan infrastruktur dimana-mana dan terbesar ada di wilayah Timur Indonesia. Jalan, rel kereta, listrik sampai bendungan baru dibangun sebesar-besarnya. Kita sudah ketinggalan puluhan tahun bahkan dari negeri tetangga. Karena itu untuk mengejarnya kita tidak bisa hanya berjalan santai, kita harus lari sekuat tenaga...

Dengan terbangunnya infrastruktur, maka Jokowi juga berarti membuka lapangan kerja baru. Karena jika infrastruktur siap, maka investor pun masuk. Ah, tidak perlulah saya jejalkan data2 disini yang membuat anda pusing dengan angka. Selain bukan itu poinnya, toh kalau sudah benci apapun yang dikatakan anda tidak akan percaya.

Belum lagi kita sekarang sudah menikmati pengobatan yang murah meriah. Pemerintah sudah mulai menerapkan konsep sosialis bukan lagi kapitalis penuh seperti waktu lalu.

Ingat cerita lama seorang ayah yang membawa anaknya dalam keadaan meninggal karena dibuang pihak RS sebab tidak mampu membayar? Apa masih ada berita seperti itu? Jujur sajalah, tidak ada lagi kan?

Lalu kenapa kita masih hutang?
Ya eyalah.. Hutang lama yang kemaren besar itu kan banyak yang jangka pendek dan harus segera dibayar. Kalau tidak dibayar, kita tidak akan dipercaya lagi. Kan gak mungkin nunggu duit dari hasil pembangunan infrastruktur, masih lama. Caranya, hutang dulu untuk menahan pembayaran yang paling dekat. Itulah kenapa kita masih berhutang sampai sekarang...

Jokowi bukan tipikal pemimpin yang sibuk mengeluhkan keadaan, "Sini bocor, sana bocor..". Kalau bocor, ya tambal. Kalau sudah ditambal masih bocor, amputasi biangnya. Biar kita bisa mikir ke depan, gak sibuk mikirin kebocoran..

Ah sudahlah...
Membicarakan hal besar kepada mereka yang masih ribut dengan kenaikan STNK 100.000 rupiah 5 tahun sekali, memang susah.
Miskin itu memang musibah, tapi mental miskin itu sifat. Karena selalu iri dan dengki, sulit melihat hal-hal yang besar sebab pikirannya sudah terkurung dalam kotak sempit.

Jadi, lebih baik saya sampaikan ini saja kepada mereka yang bisa mengerti dan membuka cakrawala pandang seluas2nya sambil minum kopi dan makan tahu isi..
"Bu, kopinya kok sekarang jadi 3.500 ???"
"MasyaAllah, nak... Kopi naik 5 tahun sekali kok ya ribut amat. Ibu aja gak ribut kalo kamu bayar utang 3 tahun sekali... Mana sapu. mana sapuuu !!" Kabur

@denny siregar


Alasan Mereka Menuntut Papua Merdeka

DUNIA HAWA - Setiap kali ada kalimat “Papua merdeka” responsnya sangat reaksioner, menyerang balik? Beberapa respons yang pernah didengar sebagian besar terdapat dua hal. Komentar pertama, orang yang mendukung Papua merdeka dianggap tidak nasionalis, tidak cinta NKRI. Kedua, dianggap antek asing dan HAM.


Beberapa temanku yang sangat reaksioner terhadap pernyataan tersebut, ternyata tidak pernah ke Papua. Tidak paham benar, keadaan yang sebenarnya, sumber yang dipakai hanya dari media, atau orang yang hanya sekali, dua kali ke Papua. Ada satu teman yang tidak bersuara, hanya mimik muka yang diangkat sedikit memberi kesan, no comment.

Penulis masuk ke Papua tahun 2001 melalui program HIV- AIDS, lebih dari 10 kali ke Papua, ketemu saudara-saudara asli Papua.

Pertama kali ke Papua di kota Sorong. Pesawat yang membawa kami terbang, hanya ada 4 orang Papua, sisanya sama sepertiku. Di bandara, mulai dari petugas sampai ke jasa angkut barang, di jalan menuju hotel Meriat Sorong, pengendara mobil dan sepeda motor, wajah-wajah yang kulihat, hampir lebih 80% bukan saudaraku yang kenal. Ini kekagetan yang pertama buat penulis.

Di sebelah hotel Mariat tempat kami menginap, ada swalayan, bersama teman-teman masuk untuk membeli makanan kecil. Kekagetan yang kedua, sebagain besar yang belanja dan yang jual adalah pendatang seperti kami, bukan saudaraku dari Papua. Mereka justru berada di sekitar pagar, terlihat menongkrong.

Ketika penulis mencoba mendekati sekadar untuk bersapa, mereka menyambut baik, sambil menawarkan minum, termasuk bila berkenan bisa memberikan sedikit uang untuk beli minum. Perlu saya tegaskan bahwa ini bukan watak dan kebudayaannya mereka di Papua tetapi kondisi yang menyebabkan mereka berperilaku seperti itu.

Pengalaman yang hampir sama juga terjadi di Manokwari, Jayapura, Mimika, Merauke, Biak, dan Fakfak daerah terpencil di balik kota Kaimana tempat mendarat pasukan Jepang pada perang dunia kedua. Kalau sekarang ada bebebarapa pejabat dan penguasa dari orang asli Papua, tetap tidak menggambarkan kemandirian sebagai pribumi.

Ketika mendengar kata Papua, top of mind yang langsung diingat adalah emas, gas, kayu, hutan dan primadona wisata Raja Ampat. Papua adalah intan yang belum terasah, memiliki pesona dan kekayaan yang berlimpah. Namun, kekayaan yang dimiliki ternyata tidak memberikan kesejahteraan buat pemiliknya, bahkan terkesan sebaliknya.

Kisah tentang rakyat yang sentosa sebab memiliki kekayaan yang berlimpah emas permata, ternyata hanya dalam mimpi, hanya cerita-cerita dalam televisi. Fakta yang terjadi berbalik, orang Papua menjadi orang yang tidak tahu, bagaimana bumi dan kekayaannya dikelola secara ekonomi. Orang Papua telah menjadi orang asing dan dimiskinkan  di tempat kelahirannya sendiri.

Kalau mereka sebagai pemilik tanah dan peradaban yang sah, tidak menikmati, justru sebaliknya menderita. Kemudian pemuda-pemudi asli Papua yang terpelajar mengikuti jejak Sukarno, Hatta, Syahrir, Tan Malaka dan Cipto untuk membangun nasionalisme Papua karena melihat kaumnya menderita apakah dianggap salah.

Bila kemudian para pemuda Papua berpikir tentang kemerdekaan sebagai jalan untuk menghentikan perampasan kekayaan dan pemiskinan yang dilakukan oleh kekuasaan di Jakarta dengan alasan sudah lama menderita apakah salah? Kita harus berani koreksi diri dalam melakukan pendekatan terhadap Papua?

Papua adalah intan permata yang belum terasah, tetapi keburaman itu justru sengaja dipelihara agar yang lain tidak melihatnya. Meskipun buram, intan tetaplah intan yang memiliki nilai yang sama, di mana pun berada. Memelihara “keburaman” agar intan tidak terlihat adalah kesalahan, justru di kegelapan itulah cahaya akan menampakkkan sebagai jalan.

Kenapa orang asli Papua tidak diberikan buku dan pena yang baik, kenapa tidak ditingkatkan SDM-nya supaya memiliki kemampuan dalam mengasah dan mengelola intan permatanya untuk kesejahteraannya? Tanpa memberikan pelibatan secara penuh pada mereka yang diwarisi kekayaan, sejatinya telah memperlihatkan adanya tangan-tangan keserakahan di sekitar kekuasaan.

Ketidakadilan di Papua terjadi akibat lingkaran elite kekuasaan Jakarta dan pemodal dalam mempertahankan kepentingannya untuk tetap menguasai kekayaan di Papua.

Ketidakadilan menyebabkan orang-orang Papua hidup dalam standar yang  tidak layak. Dalam teori kekerasan struktural (structural violence) yang dikemukan oleh Dom Helder Camara. Pada kondisi yang serba menderita, terjadinya kekerasan dan ketegangan terus-menerus akan mendorong munculnya pemberontakan.

Pemberontakan, menuntut kemerdekaan terjadi akibat perlakuan yang tidak adil diterimanya. Ketidakadilan tidak hanya musuh mereka yang mendapatkan perlakuannya tetapi juga mereka yang melalui kesadaran, pengetahuan dan peristiwa yang dilihatnya. Ketidakadilan adalah musuh utama kemanusian, di mana pun berada.

Di Amerika Latin ada sang pembebas Che Guevara dari Agentina, di Guinea-Bissau ada Amilcar Cabral untuk pembebasan masyarakat Afrika dan di Indonesia ada Tan Malaka untuk Asia. Mereka jiwanya ada di bangsa terjajah, tidak mengenal batas wilayah, seperti yang dikatakan oleh Benedict Andersoan bahwa nasionalisme adalah sebuah komunitas politik berbayang, sebagai kesatuan yang terbatas dan kekuasaan yang tertinggi.

Ketika melihat ketidakadilan dari matanya sendiri seorang Eduard Douwes Dekker harus berhadapan dengan bangsanya sendiri, malawan sistem tanam paksa di Lebak, Banten. Begitu juga setelah kemerdekaan Haji Johannes Cornelis (H.J.C.) Princen menanggalkan kewarganegaraannya pindah menjadi orang Indonesia untuk membantu masyarakat yang dilanggar hak-haknya.

Di mana ada ketidakadilan maka di situlah manusia-manusia berkesadaran melawannya, tanpa batas ruang dan tempat.

Ungkapan “merdeka” selalu kita dengar di mana pun. Ketika ada satu-dua orang mengatakan ingin lepas dari NKRI, suatu hal yang lumrah dalam alam demokrasi. Tetapi ketika pernyataan sudah bersifat komunitas dan banyaknya dukungan dari luar komunitas, maka pernyatan itu bukan sekadar kelumrahan tetapi sudah pertanda ketidakberesan, peringatan yang harus diperhatikan secara serius.

Apakah kita benar-benar mengetahui, memahami kenapa mereka kecewa dan ingin lepas dari NKRI. Sebagai orang yang cinta NKRI seharusnya berani mengingatkan, melawan bila kebijakan yang dibuat hanya menguntungkan kroni dan pemodal saja, jangan reaksioner dan menutup mata.

Kecintaan terhadap NKRI harusnya bersumber dari rasa solidaritas dan berempati pada saudara-saudara kita yang diperlakukan tidak adil. Jika tidak ingin mereka melawan dan melepaskan diri dari NKRI, kita harus berani untuk berkaca diri, mengatakan kebenaran berbangsa. Keberanian untuk memperbaiki diri serta melawan ketidakadilan yang diterima oleh saudara kita adalah kecintaan yang benar terhadap NKRI.

Kekagetan yang ketiga, mengikuti pertemuan membuat program, seorang teman dari Papua mempertanyakan transportasi yang sama nilainya Jakarta dan Papua. Di Jawa antarkabupaten dengan nilai 100 ribu sudah cukup, bisa ditempuh dengan motor atau naik bus. Di Papua, antarkabupaten harus naik pesawat, transportasinya dianggap sama. Ini adalah hal kecil, tentang Papua tapi berpikir dan bertindaknya sangat Jakarta centris.

Jangan disalahkan kalau teman yang tidak memberikan respons setuju atau menolak. Setelah beberapa kali ke Papua, kemudian memakai kaos dan tas dengan gambar simbol Papua dan berkata, "Merdeka!"

Kebisuannya karena menyadari ketidakpahaman masalahnya. Tetapi ketika ia berteriak dan barkata, "Aku mengetahui dan memahami secara utuh ketidakadilan itu, aku memilih bersama kawan-kawan yang tertindas," apakah itu salah? 

Pernyataan ketidakpuasaan dari saudara harus diterima sebagai masukan untuk memperbaiki diri, tidak reaksioner menganggap tidak cinta NKRI atau sebagai antek asing. Kita ini bangsa yang dibangun berangkat dari perasaan senasib sepenanggungan dengan motto satu maju, semua maju, termasuk rakyat Papua. Ketidakpuasan dari saudara kita bisa didialogkan secara baik, niscayalah hasilnya akan baik pula. Merdeka.

@moktor k