Wednesday, January 4, 2017

Denny Siregar ; Membongkar Kedok si Fitsa Hats

DUNIA HAWA - Organisasi pencatat keturunan Nabi Muhammad SAW di Indonesia, Rabithah Alawiyah, menegaskan bahwa Novel Bamukmin bukan merupakan keturunan Rasulullah (sayyid). Artinya, Novel bukan habib yang secara bahasa artinya keturunan Rasul yang dicintai.


Ketua Umum DPP Rabithah Alawiyah, Sayyid Zen Umar bin Smith, mengatakan, Bamukmin merupakan salah satu suku yang memang berasal dari Yaman atau Hadramaut. Tetapi tidak mempunyai silsilah atau garis keturunan dari Rasulullah.

“Novel Bamukmin itu bukan sayyid apalagi habib,” katanya saat ditemui Republika di kantornya, Sabtu (11/10). Novel adalah dalang demo Front Pembela Islam (FPI) yang berakhir rusuh. Setelah diburu aparat, kini ia sudah menyerahkan diri ke Polda Metro Jaya.

Menurut Sayyid Zen, gelar habib tidak bisa disematkan kepada setiap sayyid. Setiap habib harus sayyid, tetapi sayyid belum tentu habib. Dia mengatakan, saat ini banyak orang yang mengaku sebagai seorang habib, padahal bukan.

Perilaku sebagian oknum yang kerap melakukan kekerasan dalam klaim perjuangannya inilah justru merusak citra dari keturunan Rasulullah sendiri. Dia menjelaskan, seorang sayyid tidak bisa mengatakan bahwa dirinya sendiri adalah habib.

Pengakuan habib harus melalui komunitas dengan berbagai persyaratan yang sudah disepakati. Di antaranya cukup matang dalam hal umur, harus memiliki ilmu yang luas, mengamalkan ilmu yang dimiliki, ikhlas terhadap apapun, wara atau berhati-hati serta bertaqwa kepada Allah.

Dan yang paling penting, lanjutnya, adalah akhlak yang baik. Sebab, bagaimanapun keteladanan akan dilihat orang lain. Seseorang akan menjadi habib atau dicintai orang kalau mempunyai keteladanan yang baik dalam tingkah lakunya. Maka, kata dia, menjadi aneh jika seseorang mengaku-ngaku dirinya adalah seorang habib.

Sayyid Zen mengaku miris melihat fenomena adanya habib yang perilakunya tidak sesuai dengan pilar-pilar yang ada tadi. Padahal, kata dia, dakwah bisa dilakukan di bidang apapun. Dia menekankan kepada sayyid-sayyid tentang pentingnya menjunjung aturan-aturan yang berlaku dalam sebuah negara yang ditempati. Menurutnya, hal itu adalah kewajiban sebagai warga negara.

Dia menambahkan, dimanapun kita atau sayyid dan habib itu berada, maka mereka harus menjadi warga negara yang baik dan mengikuti semua aturan yang ada di tempat tersebut. “Dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung,” ujarnya.

#Rabithah Alawiyah adalah suatu organisasi massa Islam yang bergerak di bidang sosial kemasyarakatan. Pada umumnya organisasi ini menghimpun WNI keturunan Arab, khususnya yang memiliki keturunan langsung dari Nabi Muhammad SAW.

@denny siregar


Video Aliran "Dana Bantuan untuk  Suriah".



BAP Saksi Ahok ; Asal Usul Fitsa Hats

DUNIA HAWA - Dalam sekejap Fitsa Hats yang mengadaptasi nama sebuah gerai Italian Food menjadi viral. Netizen memang luar biasa, sedikit saja topik yang aneh dalam sekejap mata jadi trending di media sosial. Belum lama berselang om telolet om malah jadi trending world wide, gila.


Adalah tulisan di BAP pemeriksaan salah seorang saksi yang memberatkan Basuki Tjahaja Purnama pada persidangan kasus penistaan agama yang menerangkan bahwa saksi pernah bekerja di gerai Pizza Hut (mungkin maksudnya seperti itu).

Namun penulisan di BAP ditulis dengan "fitsa hats," entah kesalahan dari penulis BAP yang tidak tahu cara menulisnya atau memang permintaan dari saksi yang notabene adalah orang yang anti terhadap produk asing yang dianggapnya kafir, sehingga ejaannya sengaja diubah. Atau memang keduanya memang tidak tahu ya, karena sebelum ditandatangani mestinya saksi memeriksa kebenaran tulisan tersebut.

Ah sudahlah, terlepas dari siapa yang salah dalam penulisan itu yang jelas kejadian ini tentu saja sangat memalukan. Ketakar betapa rendahnya kualitas SDM di Indonesia, sehingga menulis ejaan asing yang sebetulnya cukup familiar saja bisa salah, dan ini bukan sekedar typo, tapi lebih ke bodoh.

Jadi ingat beberapa tahun lalu saat di-hire untuk melakukan seleksi untuk rekruitmen penyiar di sebuah stasiun radio swasta. Ada beberapa pelamar yang kebanyakan dari kalangan mahasiswa yang notabene well educated ternyata tidak bisa mengeja kata dalam bahasa Inggris.

Ketika saya suruh mengeja tulisan STYX yang semestinya dieja es ti way ex beberapa di antaranya mengucapkan es ti ye ix, ada malah yg mengucapkan stik. Belum lagi ketika disuruh mengucapkan CHOIR, yang harusnya dibaca quaier dibacanya khoir, emang bahasa arab?

Bukan bermaksud merendahkan atau bahkan sok tahu, tapi kualitas SDM yang seperti ini memang harus dibenahi. Jangan salah, mereka bekerja di instansi pemerintah. Sebuah pekerjaan yang banyak diidamkan tapi tidak mudah untuk bisa dicapai, bukan karena faktor ketidakpandaian tapi lebih banyak karena faktor X.

Ada ungkapan yang mengatakan bahwa mereka yang tidak menguasai bahasa Inggris, minimal secara pasif, adalah warga negara kelas dua. Ungkapan satire tentu saja, mengingat begitu pentingnya penguasaan bahasa Inggris di semua lini, terlebih di instansi pemerintah.

Jangan kaitkan dengan nasionalisme karena ini adalah dua sisi yang jelas berbeda, menguasai bahasa Inggris secara baik tidak berarti tidak nasionalis. Kurang nasionalis apa orang sekelas Soekarno yang menguasai banyak bahasa.

Kalau Malaysia yang didominasi etnis melayu saja kemampuan bahasa Inggrisnya bagus, mestinya Indonesia juga demikian. Sebenarnya bukan masalah Malaysia yang pernah di bawah penguasaan Inggris, toh Indonesia yang lama dijajah Belanda pun, penduduknya yang saat ini menguasai bahasa Belanda bisa dihitung dengan jari.

Kembali lagi ke Fitsa Hats, ini adalah contoh kecil betapa orang Indonesia tidak terdidik dengan baik. Saya jadi bingung, apa yang ada di benak orang yang menuliskan ini. Kalau dibilang dia tidak pernah melihat bagaimana bentuk tulisan yang sebenarnya, rasanya mustahil. Karena gerai ini tersebar di setiap sudut kota Jakarta.

Kalau dia menulis fitsa hats sebagai rujukan di mana saksi pernah bekerja, kira-kira tempat bekerja seperti apa yang ada di benak penulis fitsa hats ini? Barangkali sejenis bank atau mungkin tempat pencucian mobil.

Tidak bermaksud menyalahkan siapa pun, juga bukan membela saksi dari FPI, tapi ketika tulisan seperti ini dikonsumsi oleh publik ini memalukan sekali. Apalagi tertuang dalam BAP yang notabene adalah bahasa hukum.

Tentu akan ada konsekuensi-konsekuensi hukum di balik kesalahan penulisan seperti ini, bisa jadi BAP-nya dianggap tidak sah kan? Mungkin saja, saya tidak tahu bagaimana konsekuensi hukum untuk kesalahan tolol seperti ini, gugur sebagai saksi? Who knows? Kesimpulannya, baik penyidik maupun saksi sama-sama tidak menguasai bahasa dengan baik. Fatal.

Saya juga tidak menyalahkan teman-teman netizen yang membuat ini jadi viral, mereka merasa excited sekali ketika ada sebuah kesalahan yang dilakukan oleh orang yang berseberangan pendapat. Seperti kita tahu, Ahok yang pertama kali mengangkat hal ini di media online saat diwawancara, maka berpestalah para pendukungnya.

Saat demam pilkada seperti sekarang ini, semua bisa dijadikan bahan bully, media sosial memang kejam. Apalagi yang terjadi adalah fakta, tidak ada fakta saja para pendukung cagub berani bikin dan sebar hoax. Dampak sih dipikir belakangan, yang penting ngetren, syukur bisa nambah follower.

Sudah seharusnya institusi yang berkaitan, dalam hal ini Polri mestinya mawas diri. Ini bukan masalah sepele. Ini menyangkut wibawa instansi sebagai penegak hukum. Mungkin saya salah, tapi hendaknya kejadian seperti ini tidak terulang lagi.

Apalagi Polri sedang jadi sorotan dari masyarakat terkait pembiaran terhadap tindakan intoleran dan kesan seolah terintimidasi oleh massa anti Ahok. Walaupun di sisi lain mendapat pujian karena detasemen anti terornya berhasil membekuk pelaku rencana teror.

Polri mestinya malu saat Ahok menertawakan tulisan di BAP, walaupun saat itu terkesan Ahok menertawakan saksi. Tapi fakta bahwa tulisan tersebut tertuang di BAP itu riil, dan siapa pun pasti mahfum bahwa yang membuat BAP adalah petugas di kepolisian.

Kita berharap semua institusi penegak hukum bisa lebih profesional lagi. Kalau masalah bahasa saja dianggap sepele bahkan sampai tidak menguasai, bagaimana kita yakin bahwa mereka bisa bersikap independen dalam menegakkan hukum di negeri ini?

Dikerubungi massa takut, diintimidasi plonga-plongo, disuruh mengamankan malah mengawal. Cukupkan kebodohan ini, sudah 2017 masa iya masih gitu-gitu aja kinerjanya. Jangan sampai ada lagi sarkas yang mengatakan hanya ada 3 polisi baik di negara ini Pak Hoegeng, Polisi Tidur, dan Patung Polisi.

Salam Tri Brata!!

@iwan al fauzan


Video  Aliran "Dana Bantuan untk Suriah" :





Anies Baswedan dan Otak Politik Mendulang Suara

DUNIA HAWA - Belakangan gambar dan konten pidato calon gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan di markas Front Pembela Islam (FPI) menjadi perbincangan publik, termasuk dan terutama di media sosial. Banyak yang mengekspresikan rasa tidak percaya dan kaget melihat Anies “mengemis” ke markas FPI untuk mengangkat elektabilitasnya yang sejauh ini berada di bawah dua calon gubernur lain.


Saya bisa memahami kekecewaan banyak teman yang mengenal Anies, kendati apa yang dilakukannya bukan sesuatu yang aneh. Kita perlu menampatkan Anies sekarang dan seterusnya sebagai seorang politisi yang sedang bermanuver mencari dukungan untuk mendulang suara. Otak politik (political mind) menuntunnya ke FPI karena memang tidak banyak pilihan lain yang tersedia baginya.

Setelah elektabilitas calon gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menurun akibat tuduhan penistaan agama yang menjeratnya hingga ke pengadilan, rupanya dukungan calon pemilih tidak beralih ke Anies. Dari berbagai survei terlihat dukungan terhadap Anies stagnan dan tak ada limpahan rahmat dari penurunan elektabilitas Ahok.

Alih-alih mendekati dan menarik simpati masyarakat yang semula mendukung Ahok, Anies mengambil jalan pintas menyambangi markas FPI. Dia mengira, dengan mendekati FPI dia akan dapat memperluas basis dukungan. Kalkulasi politik ini tampak prematur dan ongkos yang harus dibayar Anies terlalu mahal.

Dukungan Fatamorgana


Dalam pidatonya di markas FPI di Petamburan (1 Januari 2017), Anies tampak membesar-besarkan aksi 212 di Monas, yang dikenal dengan “Bela Islam” itu. Bukan hanya angka yang disebutnya ialah 7,8 juta peserta, tapi juga “Dunia sudah dibikin terkaget-kaget oleh Indonesia.” Lebih lanjut dia mengatakan, “Saya pun hari ini kaget, FPI gambarannya beda dengan yang diberitakan media.”

Tak sulit menebak apa yang diinginkan Anies dari puja-puji atas aksi 212 dan peran FPI. Dia mengharapkan dukungan FPI yang dianggapnya berhasil memobilisasi massa besar hingga mencapai, kata Anies, 7,8 juta umat Muslim.

Yang sulit ditebak ialah bagaimana Anies yang sangat terdidik mempercayai angka 7,8 juta itu. Apakah dia akan mengatakan angka yang sama ketika berbicara dengan audiens non-FPI? Yang juga sulit dipahami ialah bagaimana ia mengkalkulasi dukungan FPI akan punya efek dukungan besar karena keberhasilannya memobilisasi massa dalam aksi bela Islam.

Banyak alasan kenapa kalkulasi tersebut bersifat prematur. Pertama, keberhasilan FPI menjadi aktor utama penggalangan massa besar dalam aksi bela Islam di Monas tak lepas dari isu penistaan agama yang dituduhkan kepada Ahok. Tanpa memanfaatkan dan memanipulasi isu sensitif seperti ini mustahil FPI akan dapat menghimpun banyak massa.

Umat Muslim, tidak hanya di Indonesia, terbukti sangat mudah tersinggung, terprovokasi, dan tergerak turun ke jalan bila agama Islam (al-Qur’an atau figur Nabi Muhammad) dipersepsikan telah dinistakan. Dari soal pembakaran al-Qur’an hingga kontroversi video dan kartun Nabi kita tahu bahwa isu penistaan agama selalu memantik respons emosional.

Kedua, terkait penistaan agama, Majelis Ulama Indonesia (MUI) terlebih dahulu mengeluarkan sikap menyatakan Ahok sebagai penista Islam. Lebih jauh, MUI berpegang pada pendapat yang melarang kepemimpinan non-Muslim. Memang, MUI bukan satu-satunya otoritas dalam Islam Indonesia, namun belakangan pengaruhnya semakin kuat. Dan FPI memanfaatkan fatwa dan pengaruh MUI untuk memobilisasi massa. Sejujurnya, saya berpikir, tanpa isu-isu simbolik seperti penistaan agama baik FPI maupun MUI tak akan mampu memobilisasi umat Muslim.

Ketiga, FPI sendiri sebenarnya menyadari tidak punya dukungan riil di masyarakat. Keberadaan dan visibilitasnya tergantung pada isu. Itu sebabnya kaum berjubah ini tak akan pernah mau menjelma menjadi partai politik dalam menyalurkan aspirasinya. Mereka menyadari, jika menjadi partai politik, mereka tak akan mendapat suara dalam pemilihan umum. Sesederhana itu!

Karena itu, Anies sebenarnya berharap dukungan fatamorgana dari FPI. Kelompok garis keras pimpinan Muhammad Rizieq Shihab ini hanya “besar” di media terutama karena porsi pemberitaan atas tindakan dan aksi yang mereka lakukan. Dengan pemerintah dan aparatnya yang tidak tegas, mereka dapat memainkan pengaruh jauh lebih besar daripada jumlahnya dalam masyarakat. Dan Anies Baswedan memberi mereka “panggung” untuk memainkan peran seolah-olah mereka dapat mengarahkan massa pemilih dalam Pilkada DKI Jakarta.

Moralitas Politik


Tentu saja, calon gubernur nomer urut ke-3 itu harus membayar ongkos politiknya. Harapan baginya untuk memperagakan moralitas politik yang tinggi dan bermartabat telah kandas. Kredibilitasnya sebagai calon alternatif di antara Ahok yang didera masalah dan Agus Harimurti Yudhoyono yang miskin pengalaman dalam tata-kelola pemerintahan telah terkikis habis. Bahkan, citra dirinya sebagai intelektual dan tokoh masyarakat yang dibangunnya sejak menjabat Rektor Universitas Paramadina ikut porak-poranda dan tergadaikan.

Kita tak perlu jauh-jauh menanti hasil Pilkada DKI tanggal 15 Februari 2017 untuk melihat bagaimana Anies telah menderita “kekalahan” sebagai politikus dan intelektual. Isi pidatonya di markas FPI menceritakan semuanya.

Dalam menawarkan dirinya sebagai calon yang dapat diterima FPI, Anies mengklarifikasi berbagai “tuduhan” yang diarahkan kepadanya. Dia bukan hanya menepis tuduhan sebagai Syi’ah, tapi juga menolak dikaitkan dengan pemikiran “liberal” dan mengaku berhasil memadamkan api kontroversi di Paramadina. Termasuk yang terakhir ini ialah kontroversi seputar penerbitan buku Fiqih Lintas Agama (2003) yang saya gagas bersama sejumlah kawan.

Tiga isu tersebut memang menjadi musuh FPI. Hak Anies untuk membersihkan dirinya dari segala tuduhan. Tapi sebagai intelektual yang mengerti duduk persoalan ketiga isu tersebut (Syi’ah, liberalisme, dan gagasan kontroversial), semestinya dia memberikan pengertian kepada orang-orang FPI bahwa mereka memusuhi sesuatu yang sesungguhnya mereka tidak ketahui.

Dengan pernyataannya “Saya bukan Syi’ah, saya Ahlus Sunnah wal Jama’ah”, itu justru menjustifikasi sikap FPI yang anti-Syi’ah dan kerap melakukan tindak kekerasan terhadap kelompok minoritas.

Anies memulai pidatonya dengan menyebut Universitas Al-Azhar di Mesir yang mulai menerima mahasiswa perempuan karena “orang Indonesialah yang membuka kesempatan itu”. Saya tidak tahu sejauhmana kontensinya ini akurat. Mestinya dia juga mengatakan bahwa Al-Azhar sejak dahulu merintis pemulihan hubungan antara kaum Sunni dan Syi’ah.

Saya kira Anies tahu bahwa mazhab Syi’ah diajarkan secara resmi di salah satu lembaga pendidikan Islam tertua itu, bersanding dengan mazhab-mazhab Sunni lain. Ketika masih berafiliasi dengan Al-Azhar, Yusuf al-Qaradawi pernah berkata bahwa perbedaan antara Sunni dan Syi’ah tidak lebih besar daripada perbedaan antar mazhab Sunni sendiri.

Demikian juga klarifikasi Anies soal liberalisme dan gagasan-gagasan baru dan tidak umum yang dulu diperkenalkan dan dilansir oleh almarhum Nurcholish Madjid (Cak Nur) dan kemudian dikembangkan oleh generasi berikutnya. Tampak sekali Anies menjadi ikut-ikutan simplistik seperti cara pandang orang-orang FPI.

Kata Anies, “Ada buku 50 Tokoh Liberal dan siapa saja mereka. Dan di sana tak ada nama Anies. Jadi, liberal pun tak menganggap saya sebagai liberal.” 

Klaim ini aneh bin ajaib! Pertama, penulis buku itu (Budi Handrianto) bukan aktivis Islam liberal tapi justru penolaknya. Kedua, dengan standar apa pun, tulisan-tulisan Anies sebelum menjadi cagub DKI jelas lebih “liberal” dibanding sebagian orang yang masuk dalam daftar buku 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia itu.

@mun'im sirry


Video Aliran "Dana Bantuan untuk Suriah" :