Tuesday, January 3, 2017

Sidang Ahok Tak Hanya Hukum, Saksi Pelapor Juga Cacat

DUNIA HAWA - Tulisan saya sebelumnya memperlihatkan bahwa proses persidangan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok ini cacat secara hukum [baca_disini]. Yang mestinya harus memberi peringatan keras sebelum diarahkan ke persidangan, justru seolah melangkahi apa yang sudah tertuang jelas dalam Pasal 2 UU Nomor 1 PNPS Tahun 1956 tersebut.


Sungguh, proses persidangan Ahok ini membuat saya sedikit termangu. Belum juga usai ketermanguan saya soal dasar pengambilan keputusan Majelis Hakim atau tuntutan Jaksa Penuntut Umum, proses hukum ini lagi-lagi diperparah dengan diajukannya sejumlah saksi yang saya kira tidak layak memberi kesaksian.

Bagaimana mungkin seseorang disebut layak memberi kesaksian di depan hukum jika dirinya sendiri punya pengalaman kurang elok di mata hukum?

Coba kita tengok masing-masing latar belakang para saksi yang diajukan oleh JPU. Novel Chaidir Hasan misalnya, Sekertaris Jenderal DPD FPI ini pernah terjerat kasus hukum sebagai buron tersangka. Ketika itu dirinya terlibat dalam kasus unjuk rasa menolak yang akhirnya berujung pada kericuhan di tahun 2014. Novel pun dijerat pasal penghasutan, pengrusakan barang-barang publik secara bersama-sama, serta pasal hukum yang melawan petugas.

Lagipula, saksi pelapor ini juga dikenal sebagai pembenci Ahok. Novel pernah melaporkan Ahok dan menggugatnya secara perdata dengan tuntutan ganti rugi sebesar Rp. 204 juta. Latar belakang Novel ini membuat saya tidak yakin sama sekali bahwa kesaksian yang diberikannya adalah murni kesaksian penistaan agama.

Justru saya yakin bahwa inilah momentum tepat bagi Novel untuk kembali mengadakan perlawanan atas diri Ahok. Hematnya, kesaksiannya adalah kesaksian yang berdasar pada ketidaksukaan. Tidak objektif.

Saksi pelapor lainnya adalah Gus Joy Setiawan. Sebagai Ketua Umum Koalisi Advokasi Rakyat yang pernah menyatakan dukungan rill bagi pasangan Agus Yudhoyono Harimurti-Sylviana Murni, membuat saya harus menampilkan sikap curiga.

Pada momentum menjelang Pilkada 2017 ini, bukankah yang rill adalah berusaha memenangkan pertarungan dan menjadi sang juara? Dan tentu, kesaksian Gus Joy patut saya curigai sebagai kesaksian penistaan agama sekaligus sebagai senjata menjegal lawan politiknya.

Yang terparah dari para saksi tersebut adalah Muchsin, Ketua Umum atau Imam Besar FPI. Dari rekam jejaknya yang bisa saya telaah, terungkap bahwa dirinya pernah terlibat membela terpidana kasus korupsi Mayjen TNI (Purn) Moerwanto Seoprapto.

Fakta ini tak ubahnya dengan fakta saksi lainnya, yakni Muh. Burhanuddin yang juga dikenal sebagai advokat yang pernah membela Putu Sudiartana, salah seorang anggota DPR dari fraksi Partai Demokrat yang terkena Operasi Tangkap Tangan KPK untuk kasus suap. Pembela koruptor kok mau didengar?

Untuk saksi pelapor terakhir, yakni Samsu Hilal, dia adalah Ketua Umum Forum Anti Penistaan Agama. Dari ormas yang dipimpinnya, mungkin agak tepat jika dirinya menjadi saksi dalam kasus penistaan agama.

Tetapi sayang, sebagaimana saksi-saksi pelapor lainnya, dia sama sekali tidak menyaksikan langsung ucapan Ahok di tempat kejadian perkara itu. Saksi yang gak lihat perkara kok bisa jadi saksi? Haruskah kita sudi mendengar kesaksian dari orang yang sok tahu? Aneh.

@maman suratman

Video Aliran "Dana Bantuan untuk Suriah" :


Akibat Mengagumi Rizieq Shihab Secara Berlebihan

DUNIA HAWA - Sering kita melihat gambar Habib Rizieq bertulisankan “Umar Bin Khatab Masa Kini” bertebaran di sosial media. Ada juga empat foto Ustad, selain Habib Rizieq, yang masing-masing disamakan dengan Abu Bakar, Ustman Bin Affan, dan Ali Bin Abi Thalib.


Entah siapa yang membuatnya, apakah dari pihak internal FPI atau pendukungnya sendiri, atau pihak lain yang sekadar memanfaatkan momen. Tapi banyak yang membenarkan, dan kemudian share ke sosmednya masing-masing. Padahal, penyamaan tersebut justru bisa menjadi bomerang tersendiri bagi beliau.

Umar Bin Khatab adalah salah satu pemimpin besar yang dimiliki Islam, yang memang terkenal pemberani, sampai mendapatkan julukan “singa padang pasir”. Umar disebut Amirul Mukminin, pemimpin orang Mukmin. Namun ia juga pemimpin bagi masyarakat Arab yang lebih luas kala itu, yang di dalamnya ada Nasrani dan Yahudi.

Yang terkenal juga dari figur Umar adalah kesederhanaannya. Umar sangat merakyat. Tidak hidup mewah ala kerajaan. Peduli dengan nasib rakyatnya. Memastikan apakah seluruh rakyat yang dipimpinnya sejahtera, sampai pernah mengirimkan sembako ke rumah-rumah, menyamar sebagai rakyat jelata untuk melihat lebih teliti kondisi masyarakat yang dipimpinnya.

Spektrum kepemimpinan Umar Bin Khatab sangat luas. Terlalu jauh jika dibandingkan Habib Rizieq, yang hanya menjadi ketua ormas. Bahkan soal gaya hidup sekalipun. Kita bahkan secara vulgar sering melihat Habib Rizieq menggunakan fasilitas mewah, mobil SUV legendaris asal Amerika Serikat dengan platform B 1 FPI.

Bahkan casing handphone-nya saja merk Bottega Venetta yang sangat mahal itu. Kalau pun yang disamakan dengan Umar adalah perihal gaya pidatonya, kita bahkan tidak tahu secara persis apakah gaya pidato Umar Bin Khatab semacam itu.

Segala hal tidak akan selesai hanya dengan pidato. Bahkan dalam gambar yang berbeda, dituliskan:  "Karena Habib Rizieqlah, negara Indonesia tidak diinjak-injak oleh kepentingan asing dan komunis."

Padahal, apa yang telah dilakukan Habib Rizieq dalam hal ini? Mengingat tidak ada jabatan strategis yang disandangnya, termasuk dalam menghalau masuknya kepentingan asing. Lalu, bagaimana dengan korporasi asing yang sudah menguasai pertambangan kita, atau gempuran produk-produk asing?

Itu sangat bertentangan dengan logika kita. Semoga tulisan-tulisan dalam gambar tersebut bukan dibuat oleh “orang dalam”-nya Habib Rizieq sendiri. Umat Islam harus keluar dari sifat melodramatik. Tokoh-tokoh besar seperti Umar Bin Khatab adalah tokoh pilihan di masanya, jangan sampai mempolitisir kebesaran nama Amirul Mukminin tersebut untuk kepentingan tertentu.

Munculnya gagasan khilafah yang menyatakan sistem demokrasi sebagai sistem kafir yang tidak solutif, juga bagian dari berpikir melodramatik; berharap sejarah terdahulu akan kembali. Sulit menemukan tokoh sekaliber Umar Bin Khatab atau Khalifah era Umayyah dan Abbasiyah. Bahkan untuk mencari pemimpin sekaliber Soekarno pun sudah langka.

Mengagumi tokoh memang hal yang wajar, namun jika terlalu berlebihan justru membuat kita tidak bisa berpikir jernih.


 @a fahrizal aziz



Anies Main Mata dengan FPI

DUNIA HAWA - Kedatangan Anies Baswedan ke markas Syariah FPI dalam pengajian rutin bulanan di Petamburan Jakarta Pusat (1/1/2017), telah menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat. Di depan ribuan jamaah, Anies mengklarifikasi berbagai macam tuduhan yang kerap ditujukan kepadanya bahwa dia bukan Syiah, Liberal, dan Wahabi.


Tulisan ini akan membuktikan bahwa ada motivasi lain Anis, di samping hanya untuk mengklarifikasi tuduhan-tuduhan yang ditujukkan kepadanya.

Sangat disayangkan


Pasca kedatangan Anies ke markas FPI, banyak pihak yang menyayangkan sikapnya. Bahkan seorang akademisi Universitas Indonesia, Ade Armando, mengomentari sikap Anies dengan mengatakan:

Anies dulunya dikenal sebagai aktivis pro prularisme dan pengecam kekerasan Islam radikal. Tapi kini, harus sowan menghadap Rizieq untuk memperoleh restu sang habib semata-mata karena Anies membutuhkan suara agar bisa bertahan dalam pertarungan.

Jika apa yang dikatakan Ade Armando benar adanya, maka sungguh sangat disayangkan. Padahal tahun 2010 lalu, dalam Majalah Jepang, Foresight, Anies masuk ke dalam daftar 20 orang yang berpengaruh di dunia. Menurut majalah tersebut, Anies masuk dalam daftar orang berpengaruh karena citranya yang netral, adil, dan memiliki pandangan yang berimbang.

Namanya tercantum bersama dengan Perdana Menteri Rusia Vladimir Putin, Presiden Venezuela Hugo Chavez, Menlu Inggris David Milliband, Anggota Parlemen dan Sekjen Indian National Congress India Rahul Ghandi, dan politisi muda Partai Republik dan Anggota House Representative AS Paul Ryan.  

Menurut Syafiq Basri Assegaf, Direktur Marketing And Public Relations Universitas Paramadina, penghargaan itu bukan saja menjadi tantangan bagi Anies secara pribadi, tapi juga amanah yang mesti dipegang teguh oleh seluruh staf di Universitas Paramadina, karena Anis ketika itu merupakan pucuk pimpinan universitas tersebut.

Tentu, langkah Anies yang telah mendatangi markas FPI sangat disayangkan karena menghancurkan reputasinya sebagai seorang cendekiawan sekaligus akademisi Indonesia yang diakui dunia.

Sebagaimana kita tahu, FPI merupakan organisasi yang kerap melakukan tindakan kekerasan atas nama agama tanpa berpegang teguh pada prinsip-prinsip toleransi di antara masyarakat. Kedatangan Anies ke tempat tersebut, otomatis mendelegitimasi integritas dan reputasinya yang selama ini diakui prestisius oleh publik.

Sikap Anies yang ingin memperoleh suara menunjukan inkonsistensinya dalam memperjuangkan nilai-nilai toleransi. Sebagai cendekiawan dan akademisi yang menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi, tidak semestinya ia mendatangi markas FPI hanya karena ingin memperoleh suara dan legitimasi dari ribuan jamaah FPI.

Pidato Politis


Dalam pidatonya di depan ribuan jamaah FPI, Anis mengawali dengan kalimat retorika, namun sebenarnya politis. Hal itu terlihat dari perkataannya yang menyebut bahwa ia menolak reklamasi Jakarta. Ia juga mengatakan bahwa dulu di Universitas Al-Azhar Mesir tidak ada mahasiswa perempuan. Tetapi kemudian orang Indonesia yang membuka kesempatan itu. Karena itu ia mengatakan bahwa Islam Indonesia menjadi sumber inspirasi umat Islam di dunia.

Kemudian Anies menyanjung FPI dengan mengatakan bahwa Indonesia merupakan sumber inspirasi umat Islam di dunia dan sumber terbaru itu adalah aksi bela Islam pada tanggal 2 Desember 2016 atau 212.

Anies juga mengatakan, meskipun aksi tersebut dihadiri jutaan umat Islam dengan keadaan yang marah, namun aksi tersebut tetap berjalan dengan damai. Hal ini ia sampaikan untuk memperoleh empati dan dukungan FPI.

Lebih lanjut Anies mengatakan,


Dunia terkejut pada aksi 212, kok bisa 7,8 juta orang berkumpul dan marah. Iya, mereka semua dalam keadaan marah, tapi tidak meninggalkan kekerasan, apalagi meninggalkan sampah. Di Indonesia 7,8 juta orang hadir dalam aksi yang berujung salat Jum’at dan dzikir bersama. Dunia sudah dibikin terkaget-kaget oleh Indonesia. Saya pun hari ini kaget, FPI gambaranya beda dengan yang diberitakan media. Bahkan di sini saya lihat materi belajarnya berat betul. Membahas materi yang seharusnya dibahas mahasiswa S2. Karena materi yang diberikan oleh Dr. Abdul Chair tadi 12 halaman catatan kakinya sampai mencapai 6 halaman, jadi tentu isi papernya itu sangat kuat dan sulit dibantah.  

Pidato tersebut membuktikan bahwa motivasi utama Anies adalah ingin mengajak FPI dan jamaah yang hadir untuk mendukung dirinya dalam pencalonan Pilkada DKI Jakarta. Klarifikasinya tentang tuduhan Syiah, Wahabi, dan Liberal yang ditujukan kepadanya, serta pidato perihal Islam Indonesia dan aksi 212 yang seolah-oleh dikaguminya, hanyalah kedok untuk menutupi motivasi politik yang menjadi tujuan utamanya.

Sungguh Anis bermain mata dengan menggadaikan integritas keilmuannya kepada FPI hanya untuk kepentingan politik semata. 


@ali razak mustafa



Ibnu Said ; Kenapa Publik Menolak FPI?

DUNIA HAWA - FPI merupakan ormas keagamaan yang kerap melakukan tindakan kekerasan. Ormas ini acap kali membuat onar, teror, kerusakan, penyerangan dan tindakan kriminal. Bahkan ketua FPI, Rizieq Shihab, pernah dipenjara 1,5 tahun karena aksi penyerangan terhadap massa Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan dan Berkeyakinan (AKKBB) di Monas, Jakarta Pusat.


Sejak pertama kali berdirinya, FPI telah menjadi noda dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang rukun, damai, tentram dan toleran. Karena itu, publik menolak keras ormas ini.

Berbagai tindakan kekerasan FPI bisa dilihat karena berbagai faktor. Pertama, FPI merupakan ormas Islam yang radikal, baik tindakan maupun pemikirannya. Dari tindakannya, FPI kerap membuat keonaran dan kekerasan yang jelas-jelas meresahkan masyarakat.

FPI telah berulang kali melakukan aksi kekerasan yang mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat. FPI juga menyebarluaskan rasa permusuhan dan kebencian, baik antar suku, agama, ras dan antar golongan, bahkan acapkali menyerang kelompok masyarakat tertentu.

Dari pemikirannya, ormas ini memahami ajaran Islam secara tekstual. Misalnya dalam kepemimpinan, FPI menggunakan dalil agama untuk melarang non-Muslim menjadi pemimpin. Hal ini terbukti dengan sikapnya menolak Ahok sebagai Gubernur karena tidak beragama Islam.

Bahkan FPI berfatwa haram hukumnya memilih Ahok sebagai Gubernur. Padahal Indonesia merupakan negara yang berasas Pancasila, bukan atas dasar hukum Islam. Semua warga negara berhak menduduki jabatan apa pun tanpa mewajibkan memeluk agama tertentu. Hal ini mencerminkan bahwa gerakan dan pemikiran FPI sangat jauh dari nilai-nilai toleransi.

Kedua, FPI menyampaikan dakwahnya dengan jalan kekerasan. Ormas ini menggunakan cara-cara yang keras dalam menyampaikan dakwahnya. Padahal Islam menganjurkan umatnya berdakwah dengan cara-cara santun (al-mau’idzah al-hasanah), bijaksana (al-hikmah), dan argumentasi yang rasional (mujadalah bi al-lati hiya ahsan).

Cara dakwah seperti itu telah dipraktikkan oleh Wali Songo (Sembilan tokoh wali). Mereka menggunakan cara penyadaran daripada pemaksaan, apalagi kekerasan.

Menurut The Wahid Institut, dalam Laporan Kebebasan Beragama, Berkeyakinan dan Toleransi 2010, FPI adalah pelaku tindakan intoleransi beragama tertinggi di Indonesia. Sepanjang 2010, semua perilaku tindakan kekerasan di tanah Air, 30 persen dilakukan oleh FPI.

Begitu juga dengan laporan Setara Institut yang menyebut bahwa FPI merupakan pelaku pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan tertinggi di Indonesia. Bahkan sepanjang tahun 2007-2010 FPI adalah pelaku tindakan kekerasan terbanyak di Indonesia dengan 107 tindakan kekerasan.

Ketiga, FPI tidak mencerminkan sebagai ormas Islam yang memahami substansi ajaran Islam. FPI mengatasnamakan ayat suci agama untuk membuat teror dan perusakan dengan jalan kekerasan.

Tindakan atas nama agama yang dilakukan FPI ini tidak mencerminkan substansi ajaran agama itu sendiri. Hal ini karena hakikat beragama adalah menjaga nilai-nilai universal seperti kedamaian dan persaudaraan.

Islam bukan agama yang membawa kobaran api kekacauan dan kerusakan. Islam juga bukan agama yang menganjurkan umatnya untuk melakukan kekerasan dan perusakan terhadap penganut agama lain.

Keempat, asas, ciri dan tujuan FPI sangat jelas bertentangan dengan ketentuan UU No 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan maupun UUD 1945. FPI tidak mampu menjaga persatuan dan keutuhan NKRI serta kedamaian dalam masyarakat.

Gerakan yang dilakukan FPI selama ini hanyalah merusak kerukunan bangsa. Mereka menimbulkan kerugian, melakukan aksi demonstrasi secara anarkis dan berujung bentrok, main hakim sendiri, melawan polisi bahkan sering kedapatan membawa senjata tajam.

Oleh Karena itu, FPI tidak layak berada di tanah Indonesia, keberadaannya sudah tidak bisa lagi ditolerir demi terciptanya kehidupan yang damai. Pemerintah harus campur tangan dalam penanganan ideologi-ideologi kekerasan yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.

Sebelum nasi menjadi bubur, pemerintah, polisi dan tentara mesti bertindak tegas dengan FPI, dan segera membubarkan organisasi yang brutal ini. 

Karena ulah FPI ini, jangan sampai Islam disimpulkan sebagai agama yang tidak mengedepankan prinsip perdamaian, kasih sayang, dan ajaran luhur. Karena tindakan FPI pula jangan sampai umat Islam diidentikkan dengan kekerasan, pemaksaan dan tindakan negatif. Nilai-nilai Islam damai harus hadir dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dalam konteks Pilkada, siapa pun calon yang mencari dukungan atau didukung FPI, jangan harap publik akan memilihnya. Publik masih mempunyai ingatan segar perihal langkah-langkah anarkis dan intoleran yang dilakukan oleh FPI selama ini. Buktinya, AHY dan Anies yang ingin mendapatkan dukungan FPI tidak lepas dari bulan-bulanan publik di media sosial.

@ibnu said


4 Fakta AHY Tidak Realistis dan Tidak Jelas

DUNIA HAWA - Program merupakan kunci dari para calon untuk menarik para pemilih. Dari program yang sudah diajukan, nantinya menjadi bahan pertimbangan seseorang untuk memilih. Apakah ia pantas atau tidak menjadi seorang pemimpin. Berdasarkan fakta yang ada, AHY tidak realistis dan tidak jelas menjadi gubernur.


AHY sebagai calon Gubernur DKI, telah menarik perhatian. Bukan hanya ia mendapatkan tiket express untuk menjadi calon gubernur dari partai ayahnya, yang menjadi pengusung utama. Melainkan umur dan pengalamannya yang sangat minim di dunia pemerintahan dan perpolitikan tanah air. Sehingga, AHY belum pantas menjadi gubernur.

Hal ini  terlihat dari beberapa program yang diusung, baik yang ada di dalam visi misi yang sudah di upload oleh KPUD DKI Jakarta maupun dari pernyataan AHY di berbagai kesempatan. Ada beberapa program AHY yang tidak realistis, sehingga membuat kita sebagai pemilih merasa ragu akan kapasitasnya dalam memperbaiki berbagai permasalahan yang ada di Jakarta.

Fakta


Pertama, Program reformasi birokrasi yang tidak jelas. Untuk menuju pemerintahan yang lebih baik, AHY-Sylvi di dalam visi misinya menyadari bahwa lemahnya kinerja pemerintah daerah dalam pengumpulan, alokasi dan pemanfaatan APBD. Hal lain, yang menurutnya masih memprihatinkan dalam birokrasi adalah sistem perijinan yang tidak efisien, berbelit, mahal dan tidak adil.

Namun, AHY-Sylvi di dalam visi misinya tidak membicarakan langkah-langkah konkret menuju good governance dengan birokrasi yang simple, efisien, terjangkau dan adil. AHY-Sylvi hanya membicarakan peningkatan-peningkatan diberbagai sektor yang terangkum dalam BAB 4 Program Aksi dalam visi misinya. Sehingga, program birokrasi dari AHY-Sylvi terasa absurd.

Kedua, program mengatasi banjir tidak realistis. Beberapa waktu lalu, AHY bersama rombongan mengunjungi Gedung Kompas yang berada di Palmerah, Jakarta Barat. Dalam kunjungannya tersebut, AHY memberikan solusi dari permasalahan banjir yang ada di Jakarta.

Dalam pernyataannya kepada para wartawan, AHY sempat menyindir Ahok dengan program penggusuran untuk mengatasi banjir di Jakarta. Setelah itu, ia memberikan solusi kota mengapung untuk mengatasi banjir di Jakarta.

Program kota mengapung AHY ini terkesan hanya fantasi dan tidak realistis. Bayangkan saja, perusahaan Blueeseed dalam situs resminya, membutuhkan dana sekitar 15 sampai 30 juta dollar untuk membangun kota mengapung. Penduduk yang tinggal di dalamnya hanya 1.000 pengusaha kaya. Jika, program kota mengapung ini dijalankan, berapa banyak uang yang harus dikeluarkan pemerintah dan dari mana dana tersebut berasal.

Pastinya, program kota mengapung ini akan menimbulkan problematika lainnya. Seperti, inflasi di sekitar kota yang tak terkontrol dan akses yang begitu mahal terhadap fasilitas kota. Sebab ini, imbas dari pembiayaan kota mengapung yang relatif besar. Padahal, Menurut BPS DKI Jakarta masih ada sekitar 384.300 warga miskin yang tinggal di Jakarta. Maka, sangat tidak realistis program kota mengapung dari AHY ini.

Ketiga, AHY tidak mempunyai pengalaman di dunia pemerintahan. Mengutip dari sebuah hadist riwayat Bukhari, yang mengatakan “Jika amanat telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi.” Ada seorang sahabat bertanya; ‘bagaimana maksud amanat disia-siakan? ‘ Nabi menjawab; “Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu.”

Selama 16 tahun, AHY berkarir di dunia militer, tidak pernah sama sekali di dunia pemerintahan. ketika dipanggil ayahnya, dia masih menjabat Danyonif Mekanis 203 / Arya Kemuning di bawah jajaran Kodam Jaya. Sehingga, AHY harus memulai karir politiknya sekaligus belajar di Pilkada DKI. Sedangkan, DKI bukanlah tempat untuk tempat belajar, melainkan untuk bagaimana bisa bersaing dengan kota-kota besar lain di dunia. Dan AHY belum memiliki pengalaman tentang semua itu dan bukan ahlinya.

Keempat, transportasi sungai sebagai solusi kemacetan. Dalam acara silaturahmi dengan kelompok sukarelawan di Blok M, AHY memberikan solusi kemacetan. Dari solusi yang diberikan AHY semunya sudah dilakukan oleh Ahok. Seperti, meneruskan pembangunan transportasi massal yang dianggap relevan seperti Transjakarta dan monorail, membatasi jumlah kendaraan pribadi dengan cara meningkatkan biaya parkir dan jalan tol. Program lainnya yang diberikan AHY adalah ia akan membuat transportasi lintas sungai dan  memberi perhatian besar para pejalan kaki.

Dari beberapa program tersebut hanya satu yang belum terlaksana oleh Ahok, yaitu transportasi sungai. Namun, program ini sangatlah tidak realistis. Kalau kita perhatikan, transportasi sungai terlalu rumit  untuk diimplementasikan. Sehingga, hanya sia-sia saja dan membuang sumber daya. Ada baiknya, sumber daya yang dihabiskan nanti dialihkan ke sector pendidikan dan kesehatan. Dua sektor juga tidak kalah pentingnya dengan masalah transportasi.

Belum lagi, menurut Agus Maryono, Peneliti Ekohidrolik, Sungai, Banjir dan Lingkungan dari Fakultas Teknik UGM, membutuhkan banyak  perubahan dimana-mana, seperti harus menetapkan skala prioritas sungai-sungai yang akan dikembangkan. Jembatan rendah dengan pilar di tengah sungai secara bertahap diubah menjadi jembatan tinggi. Kemudian penyempitan sungai dilebarkan kembali dengan relokasi dan pendangkalan, serta masalah sampah dilakukan dengan manajemen sedimen yang sistemik.

Jakarta tidak hanya membutuhkan perencanaan dan program semata. Melainkan, implementasi dari program tersebut sehingga mampu menuntaskan berbagai masalah yang ada. Bukan hanya itu saja, kejelasan arah dan keseimbangan sumber daya yang kita milki menjadi acuan kita untuk melangkah. Berdasarkan fakta di atas AHY, tidak pantas menjadi gubernur DKI Jakarta.

@muhammad ari setiawan