Sunday, January 1, 2017

Acin Muhdor ; Intoleransi Hindu Bali kepada “Bali Bershalawat”, Benarkah?

DUNIA HAWA - “Apakah aksi pencoretan ini termasuk bentuk Intoleransi atau Kearifan Lokal? Biasanya kalau pelakunya dari pihak Islam: disebut Intoleran. Kalau pelakunya selain pihak Islam: disebut Kearifan Lokal”.


Berikut kalimat penutup bersifat provokatif dalam portal berita yang saya temukan.

Kejadiannya, sekelompok pemuka adat Bali mencopot baliho serta menghapus kata dan logo “Bali” yang ditulis dengan kaligrafi arab. Pencopotan ini didukung oleh anggota Dewan Perwakilan Daerah (PDP) bernama Arya Wedakarna.

Intoleransi atau Kearifan lokal?


Jangan dijawab dulu. Kita harus paham apa itu intoleransi dan apa itu kearifan lokal. Karena untuk memahami sebuah istilah, perlu kematangan konsepnya. Tidak bisa segala hal diselesaikan dengan sentimen.

Intoleransi adalah ide menolak “perbedaan” sebagai keniscayaan hidup. Pelakunya terikat oleh fanatisme akut yang mengalir deras dalam nadi ideologinya.

Kearifan Lokal adalah kesadaran kultural untuk menjaga keharmonisan suatu komunitas atau penduduk suatu daerah. Dalam negara yang heterogen dan beragam kultur, hal ini sangat etis.

Lalu, umat Hindu yang melarang baliho dan kaligrafi arab di bali itu intoleran atau kearifan lokal?

Untuk menjawab ini, kita tidak bisa menggunakan ayat suci. Karena tidak fair. Ayat suci sudah pasti benar. Benar dalam konteks penalaran masing-masing individu yang meyakininya. Oleh sebab itu, permasalahan seputar budaya jangan diselesaikan dengan dalil agama.

Jangan ramaikan isu ini dengan dalil-dalil agama. Dalil agama silahkan Anda simpan dalam mihrab atau rumah ibadah terdekat.

Sesuai izin konstitusi, Bali yang mayoritas penduduknya beragama Hindu dan sangat menjunjung tinggi budaya leluhur. Mereka diberikan hak untuk mensosialisasikan kepentingan masyarakat mayoritas.

Apakah mereka menghentikan acara shalawatan?

Apakah mereka menghina Nabi Muhammad?

Apakah mereka melakukan sweping atribut maulid?

Apakah mereka menghina Tuhannya kaum Muslimin?

Yang dihimbau oleh Dr. Arya Wedakarna hanya sebuah nilai-nilai yang dianggap merupakan keluhuran. Dan yang diminta untuk dihapus hanya kata “Bali” dan logo dalam bahasa Arab. Bukan yang lain.


Dan satu hal lagi, Pak Arya terlebih dahulu melakukan konsolidasi dengan kepolisian setempat, sehingga sikap mencopot baliho dan menghapus logo itu legal di mata konstitusi.

Ini tidak ada unsur penistaan agama. Jadi sebaiknya bagi yang merasa agamanya belum ternista, jangan mudah dipancing dengan berita provokatif ala takfiri.

Hal ini dilakukan karena Pak Arya meninjau dari sisi kemaslahatan umat Hindu. Jelas berbeda dengan kejadian yang di Bandung. Organisasi abal-abal, tanpa legalitas membubarkan acara natal. Dan jelas bertentangan dengan konstitusi. Berbeda dengan penduduk bali yang dikenal sangat ramah tamah, itu lah yang menjadi salah satu alasan pulau Bali sangat diminati oleh wisatawan asing.

Melecehkan konstitusi menjadi budaya mayoritas


Kaum muslimin di Indonesia masih sangat banyak yang buta orientasi. Sehingga dengan mudah diperdaya untuk tunduk pada tokoh. Serta dengan mudah digiring untuk mengkultuskan tokoh. Padahal mayoritas mereka asli Indonesia, kebanyakan dari pulau jawa. Karena buta orientasi, pemahaman agama yang minim, ditambah lagi software radikalisme diinstall dalam kepala mereka. Dengan serempak, menjadi muslimin yang terang-terangan menentang konstitusi.

Jangan sok suci menyepelekan konstitusi, karena kita tidak hidup dalam kepemimpinan para Nabi. Pilihan logis untuk menyelesaikan problem intoleransi adalah akal sehat dalam konstitusi. Dan ukuran sehat atau tidaknya suatu akal konstitusi bukan dari dalil agama. Tapi akal publik. Akal publik bukan akal “mayoritas”, tapi akal yang diuji secara dialektis dalam ranah sosial dan terbukti valid untuk menjadi solusi terhadap masalah-masalah kewarganegaraan.

Respon yang bijak terhadap kasus Bali


So, soal Bali, jangan belepotan mikir ngalor-ngidul, fitnah sana-sini. Toh kalo memang benar itu intoleransi, Saya pahami itu sebatas reaksi karena sudah muak melihat kelakuan muslimin mayoritas. Seharusnya ini menjadi bahan renungan kaum muslimin sekalian agar lebih hati-hati dalam menerapkan praktik keislaman di tengah-tengah masyarakat.

Jangan hanya karena kebodohan manusianya, Islam secara umum dinilai tak mampu mencerdaskan. Jangan karena kebengisan manusianya, Islam secara umum dinilai tak mampu mendidik moral. Dan jangan karena fitnah manusianya, Islam secara umum dinilai tak mengajarkan metode menerima data.

Untuk kaum muslimin, sebelum terlambat. Mari sama-sama aktifkan kembali akal publik dalam menyikapi suatu permasalahan. Mari kita jaga dalil-dalil suci dalam mihrab dan tempat ibadah masing-masing.

Kita bertanggung jawab untuk menjaga citra agama ini agar tidak terlihat murah dan seolah-olah ingin jadi superior sementara  keahlian para pengawalnya hanya sebatas menjerit “kafir!!. bunuh!!, kita difitnah!!, muslimin dihina!!, kita sedang dizolimi!! rapatkan barisan!!”

Mayoritas mental minoritas


Karena ulah pengawal agama yang modelnya seperti itu, jangan heran bila mental mayoritas kita:
Mayoritas tapi suka merasa dihina. 

Mayoritas tapi suka merasa disakiti. Suka merasa dikriminalisasi. Suka merasa dimata-matai. Merasa dikhianati, merasa ditipu, dizolimi, dinatalisasi, dihinduisasi, dikristenisasi, dikomunisasi. Dan seluruh sasi-sasi yang lain.

Sejatinya, perasaan-perasaan itu muncul karena keminderan akan sesuatu yang diimaninya. Dan juga sudah terlanjur pamer klaim “mayoritas”, padahal mentalnya sangat ultra minoritas. Sehingga kita akan sangat sulit menyadarkan mereka tentang perlunya sikap yang proporsional untuk keberlangsungan ukhuwah lintas agama di Indonesia.

Beginilah “mayoritas” bila lahir tanpa bidan.


Seharusnya kita belajar dari warga Hindu Bali yang tetap menjunjung tinggi konstitusi dalam penerapan nilai-nilai yang berkaitan dengan kultur setempat. Budayakan disiplin konstituen, karena itulah cara untuk mengebiri konflik. Bila mayoritas Hindu di Bali dapat memberikan kenyamanan bagi muslimin di Bali, kaum muslimin harus malu bila ada warga Muslim yang menciptakan ketidaknyamanan bagi non Muslim.

Jangan selamanya pembelaan kepada non Muslim diartikan toleransi kebablasan, karena seharusnya yang menjadi pelopor toleransi adalah kita Muslimin, bukan mereka. Mengapa? Karena muslimin semuanya meyakini bahwa ide “Tauhid”nya paling sempurna, dan selain Tuhan pasti tidak Esa. Toleransi adalah refleksi dari pengesaan kepada Dzat yang maha tunggal. Sekaligus pembuktian bahwa semua yang dari Tuhan akan kembali ke Tuhan. Bukan dipaksa kembali!

Begitulah kura-kura.

@habib acin muhdor


Denny Siregar ; Pemimpin yang Bercerita

DUNIA HAWA - Pintunya digedor keras dari luar pada tengah malam. Saefudin sontak kaget. Dia membuka pintu rumahnya yang reot dan terbelalak melihat beberapa anggota brimob di depan pintunya sambil berkata keras, "Kami menduga rumah bapak jadi tempat persembunyian teroris.."


Anggota brimob langsung masuk ke dalam rumah dan menggeledah seisi rumah. Saefudin jelas ketakutan dan terus menyangkal dengan suara gemetar kalau dia menyembunyikan teroris.

Tiba tiba masuklah seseorang yang dia kenal. Kang Dedi Mulyadi Bupati Purwakarta dengan ketawa khasnya membopong beras sekantung. Langsung saja suasana mendadak ceria dan semua saling berteriak, "Selamat tahun baru !!"

Saefudin lega bukan kepalang. Apalagi Kang Dedi memberinya uang 10 juta rupiah untuk modal kerja.

Sudah bukan masanya lagi model pendekatan kepada warga menggunakan spanduk dan billboard besar di jalan-jalan. Apalagi dengan posisi yang itu-itu saja, menangkupkan kedua tangan di dada seolah berpesan "semua datang dari hatinya" dan biasanya bajunya putih bersih menunjukkan kesucian.

Itu IKLAN. Dan iklan biasanya hanya menampilkan yang baik-baik saja, tidak ada cacatnya..

Yang lagi trend sekarang, para pemimpin dan calon pemimpin melakukan marketing komunikasi atau relasi publik. Mereka langsung bersentuhan dengan masyarakat, berbicara dengannya dan menyentuh emosinya. Persis seperti yang ditulis Al dan Laura Rise dalam bukunya "The Death of advertising and the rise of PR"

Beberapa pemimpin yang berhasil melakukan ini seperti Jokowi dan Ahok tidak saja menggunakan media sosial seperti sebagai media komunikasinya, tapi langsung menyentuh ke lapisan masyarakat dengan berkunjung ke tempat mereka.

Perhatikan saja, mereka sangat jarang sekali memainkan media luar ruang seperti billboard dan spanduk yang menampakkan wajahnya.

Jadi apa yang dilakukan Kang Dedi ini menarik. Ia mengambil momen penggerebekan teroris dan tahun baru untuk menyentuh sisi emosi masyarakatnya. Harus kreatif memang dalam menampilkan diri, karena standar mereka juga mulai meninggi. Kerja saja tanpa ada sisi humanis yang ditampilkan seperti makan sayur tanpa celana dalam.. eh, tanpa garam.

Selamat datang di era baru "pemimpin yang bercerita", bukan pemimpin yang menangis dan prihatin saja. Mereka yang tidak mau berubah dan tetap menggunakan gaya orde baru, pasti akan tergilas masa.

Tok tok tok...

"Eh Kang Dedi, kok tiba tiba mampir ke rumah saya yang reot? Apakah mau ngasih uang 10 juta juga???"

"Ngga, cuman mau nanya... situ dulu lahiran bidannya siapa?"

Cemberut...

@denny siregar


Muhammad Zazuli ; Strategi Cerdas Jokowi

DUNIA HAWA - Sebagai orang jawa Jokowi tentunya sangat paham dengan prinsip kepemimpinan “perang tanpa gaman, ngluruk tanpa bala, menang tanpa ngasorake” (perang tanpa senjata, menyerbu tanpa pasukan dan menang tanpa merendahkan). Konsep ini bahkan lebih brilian dari ilmu perang Sun Tzu yang menunjukkan bahwa filosofi Jawa sudah sangat maju dan berbudaya spiritual yang sangat tinggi. 


Sejak maju di Pilkada DKI 2012 berbagai terpaan fitnah sudah dilancarkan padanya tapi dengan ketulusan dan kerendahan hati, dia tetap berhasil memenangkan hati rakyat Jakarta. Pada Pilpres 2014 terpaan fitnah yang lebih dahsyat dan kejam kembali menerpanya mulai dari isu PKI, kafir, antek asing, antek aseng dan sebagainya. Tapi kembali dia berhasil memenangkan hati rakyat Indonesia. 

Begitu terpilih menjadi Presiden hambatan bertubi-tubi datang kepadanya mulai dari koalisi parlemen yang selalu saja merecokinya, tekanan dan tuntutan dari Ibu Suri hingga fitnah, hinaan dan caci maki dari barisan sakit hati yang gagal move on yang masih berlanjut hingga hari ini.

Tapi itu semua berhasil dilaluinya dengan tetap menjaga sikap rendah hati, low profile dan “alon-alon asal kelakon”. Koalisi KMPret yang katanya permanen sekarang sudah membubarkan diri. Partai-partai yang semula sangat keras melawannya kini justru berbalik mendukungnya. Lawan-lawan politiknya kini mulai bungkam seribu bahasa (Fadli Zon, Fahri Hamzah dll), Ibu Suri tidak berani ngrecoki kebijakan Jokowi lagi dan sebagainya.

Tinggal golongan sakit hati yang masih suka menghina dan memakinya di medsos. Tapi pelan-pelan kelompok ini pasti juga akan berhasil diatasi oleh Jokowi sebagaimana yang sudah-sudah. Instruksi terakhir Jokowi agar aparat menindak tegas para provokator dan pemecah belah bangsa kini mulai menunjukkan buktinya. 

Kelompok makar (Ratna Sarumpaet, Sri Bintang, Kivlan Zen dkk) kini sudah ditindak, begitu pula Buni Yani dan Ahmad Dhani, Baginda Brizik juga sudah mulai dilaporkan polisi, dedengkot GNPF MUI juga lagi diselidiki hubungannya dengan teroris Suriah, Bambang Tri juga sudah diperiksa polisi. Saya yakin pelan tapi pasti aparat akan mulai bersikap tegas tanpa harus represif untuk mengatasi kerikil-kerikil bagi kesatuan NKRI ini.

Semoga di tahun 2017 nanti barisan sakit hati gagal move on yang gemar tebar fitnah, hoax dan kebencian akan bisa segera dibereskan. Mari kita fokus pada persatuan, perdamaian, pembangunan dan kemajuan bangsa. Sudah terlalu banyak energi yang dibuang percuma hanya demi konflik antar sesama anak bangsa yang sungguh tak perlu ini. 

Bravo Presiden, KPK dan Polri.....

@muhammad zazuli


Sumanto Al-qurtuby ; Menjaga Indonesia sebagai "Rumah Bersama"

DUNIA HAWA - Di awal tahun baru ini, ijinkan saya menulis sebuah refleksi singkat mengenai "rumah" yang bernama "Indonesia". Saya tegaskan sekali lagi, Indonesia itu adalah "rumah bersama". Sejak awal, penghuni rumah ini sudah warna-warni, baik dari sisi etnis maupun agama. Sejak awal pula, bukan hanya kaum Muslim saja yang berkeringat memperjuangkan dan mempertaruhkan harta-jiwa-raga demi rumah Indonesia ini. Berbagai macam agama, ras, dan etnis turut memberi kontribusi pagi pendirian rumah ini.  


Penegasan ini penting saya lakukan untuk mengingatkan kita semua karena belakangan ini, lantaran didorong oleh kepentingan dan motivasi politik-ekonomi-ideologi tertentu, sejumlah tokoh, ormas/lembaga, dan kelompok agama, khususnya Islam, berusaha mengklaim dan membajak "rumah" ini dengan mengatakan bahwa kaum Muslim-lah yang memperjuangkan dan membangun Indonesia ini dan karena itu wajib atau harus "dinomorsatukan". Tanpa deklarasi kewajiban menomorsatukan umat Islam-pun sebetulnya kaum Muslim sudah dinomorsatukan selama ini.  

Bacalah (kembali) secara pelan-pelan sejarah rumah Indonesia tercinta ini. Para tokoh bangsa yang terlibat persiapan kemerdekaan negara ini bukan hanya tokoh-tokoh Muslim seperti Bung Karno, Hatta, Natsir, Sjajrir, Yamin, Agus Salim, Kiai Wahid Hasyim, Kiai Abdul Wahab Chasbulah, dlsb. Tetapi juga para tokoh non-Muslim seperti Johannes Leimena, A.A. Maramis, Johannes Latuharhary, I Gusti Ketut Puja, dlsb. Pula, bukan hanya tokoh berdarah Arab seperti Abdurrahman Baswedan atau Hamid Algadri saja yang memperjuangkan kemerdekaan tetapi juga para tokoh Tionghoa seperti Oey Tiang Tjoe, Oey Tjong Hauw, atau Laksamana John Lie Tjeng Tjoan.

Ingat juga bahwa para pahlawan bangsa yang mengobarkan semangat perang, perjuangan, dan perlawanan terhadap Belanda bukan hanya para tokoh Muslim saja tetapi juga non-Muslim. Bukan hanya tokoh-tokoh Muslim saja yang ditangkap, disel, atau dibuang oleh Belanda tetapi juga non-Muslim. Simaklah sejarah heroik Ignatius Joseph Kasimo, I Gusti Ketut Jelantik, Martha Christina Tiahahu, I Gusti Ngurah Rai, Agustinus Adisucipto, Arie Frederik Lasut, Bernard Lapian, Herman Johannes, dan masih banyak lagi.

Para tokoh Muslim dan non-Muslim dari berbagai suku dan daerah bahu-membahu memperjuangkan negara kita tercinta, baik dengan cara perlawanan bersenjata maupun politik diplomasi. Tanpa mereka semua, Indonesia tak pernah ada. Oleh karena itu sungguh tidak pantas dan menyakitkan jika ada sebagian dari para tokoh agama dewasa ini yang mengklaim Indonesia adalah "produk umat Islam" saja. 

Karena rumah Indonesia ini dibangun oleh dan hasil jerih payah dari berbagai tokoh agama dan etnis, maka sudah seharusnyalah jika mereka semua mendapatkan hak-hak politik-ekonomi-budaya dan kewajiban yang sama sebagai sesama keluarga dan penghuni rumah Indonesia ini. Mari kita jaga dan rawat Indonesia sebagai "rumah bersama". Jangan sampai rumah indah ini "dibajak" oleh orang-orang dan kelompok arogan, intoleran, dan tidak bertanggung jawab. Kasihan anak-cucu kita kelak di kemudian hari...       

Jabal Dhahran, Arabia

@Prof.Dr.Sumanto al Qurtuby, MSi, MA


Staf Pengajar Antropologi Budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi