Sunday, April 30, 2017

Agama adalah Akal


DUNIA HAWA 

"Analogikan begini..."

Kataku sambil mengambil secangkir kopi yang terhidang. Aku dan temanku berbincang tentang banyak hal dan kali ini masuk pada bab kesempurnaan.

"Ketika seseorang itu kaya setengah-setengah, maka ia akan condong memamerkan kekayaannya kepada orang lain. Bahkan ketika ia bergaul dengan orang yang kekayaannya ada di atasnya, orang itu tidak segan untuk membungkus dirinya dengan materi yang sebenarnya diatas kemampuannya.."

"Contohnya?" Kata temanku menyimak dengan serius..

"Contohnya, ia sebenarnya hanya mampu beli mobil kijang. Tetapi karena sekelilingnya memakai mobil alphard, ia memaksa dirinya untuk membeli mobil itu yang harga bahkan cicilannya diatas kemampuan pendapatannya.

Akhirnya ia terbeban hutang besar dan untuk membayar hutangnya, ia berhutang lagi. Begitu terus sampai ia akhirnya jatuh bangkrut..

Disini kita belajar bahwa orang yang kayanya setengah-setengah, kekayaannya belum sempurna. Karena belum sempurna, ia menjadi labil dan selalu ingin menumpuk harta supaya dipuji dan diakui..

Beda dengan orang yang kekayaannya sempurna, baik secara materi maupun secara jiwa. Ia tetap stabil karena ia mengerti, tidak ada kekayaan yang lebih besar dari rasa cukup. Orang seperti ini merdeka dalam hidupnya dan tidak terbeban apapun.."

Temanku mengangguk tanda mengerti. Dan akhirnya kami sampai pada titik akhir.

"Begitu juga dengan beragama..

Orang yang beragama setengah, merasa perlu menunjukkan dirinya kepada orang lain. Ia terlalu cepat membungkus dirinya dengan aksesoris keagamaan, padahal kesadarannya belumlah sempurna.

Karena itu wajar kita melihat bahwa banyak orang yang sibuk dengan aksesoris agama, berperilaku berlawanan dengan nilai agamanya. Ia pakai gamis, tapi berwajah bengis. Ia kemana-mana berpeci, tapi mencuri. Ia berjilbab, tapi sombongnya menguat.

Ia belum sampai pada kesadaran sempurna, hingga dia menjadi labil. Mencari pengakuan atas keimanannya tapi menunjukkan perilaku sebaliknya..

Padahal, ketika orang itu sudah berani menggunakan aksesoris keagamaan -contoh aksesoris wanita yang diakui dalam Islam seperti jilbab- tanggung-jawabnya sangat besar pada agamanya. Karena ia harus menjaga agamanya dari fitnah. Jangan sampai agamanya sendiri tercoreng karena perbuatannya yang buruk".

Temanku yang memakai jilbab langsung mengkerut, merasa tersindir. Padahal aku tidak menyindir siapapun, hanya bicara tentang sebuah konsep tanpa menghakimi. Aku ketawa melihat wajahnya berubah.

"Memangnya kesadaran sempurna dalam beragama itu apa ?" Tanyanya cemberut.

Kali ini aku tersenyum. Teringat pesan ayahku sewaktu ia masih hidup, "Tugasmu di dunia ini adalah berfungsi kepada manusia lain. Tanpa itu, hidupmu tidak ada gunanya. Kamu jadi manusia yang merugi".

Kucoretkan pulpenku di atas selembar tisu. Kuserahkan kepadanya dan ku seruput kopiku dengan nikmatnya.

Temanku membaca tulisanku. "Puncak dari ibadah adalah akhlak.."

Sore itu mendung tebal, tampaknya akan turun hujan..


"Agama adalah akal. Tidak beragama orang yang tidak berakal.." Imam Ali as.

@denny siregar


Ribuan Karangan Bunga Itu Perlahan Menghancurkan Kebencian


Perlawanan Silent Majority Terhadap Sentimen Primordial


DUNIA HAWA - Masih ingat dengan puisi Bunga dan Tembok karya Wiji Thukul, puisi yang mengobarkan semangat perlawanan dan membuat bergidik bulu kuduk penguasa? Tergambar secara jelas bahwa Wiji Thukul menggunakan bunga sebagai simbol perlawanan yang elegan terhadap rezim Orba.

Jika dibawa ke konteks sekarang, rasanya bait terakhir dari puisi itu menggambarkan situasi terkini di Ibu Kota. Yakni hadirnya ribuan karangan bunga bertebaran di Balai Kota Jakarta hingga meluber ke luar dan direncanakan akan diletakkan di sekeliling Monumen Nasional.

Sebuah fenomena yang menimbulkan keheranan di mata media asing seperti ABC News yang melontarkan pertanyaan, "Apakah politisi Australia bisa mengalami hal seperti ini? Politisi Indonesia saja tidak (kecuali Basuki-Djarot)". Karangan bunga yang datang dari berbagai kalangan ini menjadi bahasa universal untuk melawan segala macam bentuk kebencian, kedengkian, amarah, permusuhan yang telah ditimbulkan akibat Pilkada DKI Jakarta.

Namun, sangat disayangkan aksi seperti ini dicap sebagai "pencitraan murahan", sebuah ucapan yang keluar dari seorang politisi bermulut hina yang berada pada puncak pimpinan parlemen.

Peranan bunga sebagai peredam konflik ataupun simbol perlawanan memiliki beberapa bukti sejarah, salah satunya terlihat dari Revolusi Bunga yang terjadi di Portugal tahun 1974. Revolusi ini menjadi aksi "kudeta tak berdarah" rezim pemerintahan diktator yang telah berkuasa selama 50 tahun lebih. Pada waktu itu bunga anyelir (carnation) begitu melimpah di pasar bunga kota Lisbon.

Bunga-bunga itu diberikan oleh warga sipil kepada pasukan militer dengan menyelipkannya di setiap selaras senapan. Rezim yang bersangkutan pun menjadi tersadar bahwa revolusi bunga tidak bisa dihindari lagi sehingga kekuasaan pun dialihkan secara damai tanpa konflik berdarah.

Di sisi lain lahirnya gerakan The Hippies di Amerika Serikat pada pertengahan 1960-an juga melakukan "perlawanan" dengan menggunakan bunga. Istilah "Fight with Flower" menggema pada waktu itu, dikarenaka bunga melambangkan rasa kasih, lembut serta simbol anti-kekerasan. Walhasil, gerakan mereka menjadi budaya alternatif tersendiri di Amerika.

Ribuan karangan bunga yang berjejer baik di dalam Balai Kota hingga Monas merupakan "ucapan" terima kasih yang tulus atas peranan pasangan petahana Basuki Tjahaja Purnama-Saiful Djarot yang telah membawa perubahan nyata di Ibu Kota meskipun kalah dukungan pada putaran ke-2.

Sebuah aksi yang juga mencerminkan ironi ketika yang kalah mendapat begitu banyak "ucapan" rasa suka cita sekaligus rasa sedih karena masih belum siap kehilangan pasangan petahana yang mampu bekerja nyata merubah Jakarta menjadi kota yang lebih baik.

Karangan bunga yang ada juga menjadi suara silent majority yang selama ini muak dan jijik dengan berbagai aksi kebencian dan permusuhan yang diakibatkan "permainan" simbol-simbol keagamaan.

Mulai dari minuman Equil yang dinyatakan kafir karena diminum Basuki, Hotel Alex*s yang dianggap berornamen PKI, uang baru yang dianggap bermuatan palu arit, Sari Roti yang tidak mendukung aksi berjilid-jilid, Jenazah yang terancam tidak disalatkan jika memilih pasangan petahana, labelisasi pendukung petahana dengan cap kafir, munafik, komunis, antek asing, antek PKI membuat pilkada DKI menjadi sangat kotor.

Terlebih lagi ketika beberapa masjid diselipkan dengan pesan-pesan bermuatan politis yang menyudutkan pasangan petahana dan menguntungkan pasangan lain.

Kehadiran silent majority beserta tindak tanduknya memang tidak bisa diperkirakan secara jelas. Kehadiran mereka diibaratkan layaknya hantu yang secara tiba-tiba muncul dengan aksi yang mengejutkan. Meskipun di satu sisi, masyarakat ibu kota maupun di luar yang mencintai kinerja petahana dicap "gagal move on" tidak bisa terbantahkan dikarenakan mereka sadar betul Jakarta mulai bangun.

Birokrasi yang ruwet layaknya benang kusut diurai sedemikian rupa lewat birokrasi satu pintu. Anggaran yang kerapkali dikorup oleh tikus-tikus kerah putih, disegel dengan e-budgeting yang terintegrasi dengan pengawasan KPK dan BPK. Transportasi yang kacau balau diperbaiki dengan meningkatkan jumlah armada dan koridor Transjakarta, pembangunan MRT dan LRT.

Keluarga dan anak-anak yang tidak mampu memperoleh fasilitas pendidikan dan kesehatan yang baik diberikan Kartu Jakarta Pintar dan Kartu Jakarta Sehat. Minimnya ruang terbuka bagi publik ditambah dengan keberadaan berbagai RPTRA yang dipoles serta dilengkapi fasilitas lengkap mulai fasilitas bermain bagi anak, tempat ibadah, hingga ruang bacaan. Cukup banyak sebenarnya program-program petahana yang bisa dirasakan dampaknya oleh masyarakat Jakarta.

Riset yang dikeluarkan oleh Harian Kompaspaska pilkada menunjukkan sebuah hasil yang mencengangkan, mayoritas peserta pilkada memilih dikarenakan alasan kesamaan identitas sosial dalam hal ini keagamaan. Temuan itu terkesan kontras dikarenakan selama ini Jakarta lebih dikenal dengan masyarakatnya yang memiliki rasionalitas cukup tinggi dalam persoalan politik, khususnya menyangkut pemilihan umum.

Di sisi lain heterogenitas dan penghargaan atas keberagaman merupakan nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat DKI sebagai miniatur Indonesia itu.

Di sisi lain faktor ujaran kebencian begitu marak tersebar di linimasa, terutama dari mereka yang tidak suka dengan petahana yang menjadi "penista agama". Validitas tersebut terbukti melalui riset Wahid Foundation yang menyebutkan 60 persen membenci kelompok tertentu bergaris latar keturunan Tionghoa, non-Muslim, komunis dan lain-lain. Lebih dari 80 persen juga tidak suka bertetangga dengan kelompok yang dibenci.

Menjadi pertanyaan bersama yang patut direnungkan, mengapa warga DKI Jakarta yang hidup kosmopolit begitu mudahnya takut dan terhasut oleh isu politik sektarian semacam itu? Menyuburkan isu sektarianisme dan ekstrimisme di Jakarta kali ini sepertinya berhasil, layaknya menumpahkan bensin pada api kecil yang telah menyala. 

Aksi primordialistik ini menjadi momok menakutkan yang bisa mengancam keamanan dan kebhinnekaan negeri ini. Hal itu dikarenakan kemajemukan Indonesia sebagai sebuah negeri membuat bangunan kekuasaan politis harusnya tidak dibangun pada garis primordial tunggal. Langkah menajamkan sentimen primordial via media sosial selama pilgub Jakarta terbilang ampuh.

Menurut Antropolog, Geger Riyanto, penajaman primordial membuat kelompok terpecah menjadi dua kubu, kubu pelaku akan membuat kubu lain menjadi tidak dihargai dan hidup di bawah ketakutan.

Di sisi lain pihak penebar kebencian baik yang berasal dari individu maupun kelompok seperti ormas-ormas vigilante ala FPI merupakan gerombolan yang dipenuhi rasa dengki itu ikut menajamkan aksi itu di lapangan. Seperti yang dikutip oleh James Kristiadi, pimpinan gerombolan domba itu bergerak membangun ideologi kebenaran semu yang disuarakan secara kontinu sehingga membuatnya seolah menjadi "kebenaran universal" yang diyakini bersama.

Hal itu terbukti dengan adanya ancaman dari oknum tertentu lewat berbagai medium.

"Bayangkan usai mencoblos pasangan penista agama, nyawa kamu dicabut dan masuk neraka!" begitulah sebuah ancaman konyol yang sempat muncul. Ancaman itu terkadang membuat orang merasa takut. Hal-hal seperti itu membuat gerombolan ekstrem ini bisa menghalalkan segala cara untuk menghancurkan tatanan keindonesiaan.

Terlepas dari itu semua, suara-suara ribuan karangan bunga tadi melawan berbagai teriakan "bunuh, gantung, gorok, revolusi" kelompok ekstrimis yang menyalahgunakan agama demi tujuan politis. Simbol perlawanan terhadap pihak pihak berkepentingan yang mengangkangi kemurnian pilkada DKI dan penyelesaian kasus hukum yang sedang dilakukan.

Bunga menjadi suara-suara dari mereka yang berhati lembut dan cinta damai melawan mereka-mereka yang getol menimbulkan onar bahkan mengancam merontokkan NKRI dengan memanfaatkan momentum proses hukum petahana.

Bunga juga menjadi bentuk harapan kepada pemimpin berikutnya untuk setidaknya mempertahankan atau meningkatkan kualitas ibu kota menjadi lebih baik. Mengingat sebagian masyarakat Jakarta khususnya menengah ke bawah merasa terpinggirkan oleh kebijakan petahana tanpa mengedepankan proses dialog yang demokratis.

Cita-cita pemimpin baru dalam hal ini, Anies-Sandi yang mengutamakan jalan dialog dalam penyusunan kebijakan patut diharapkan untuk terwujud selama lima tahun ke depan.

Rasanya bodoh ketika bunga-bunga yang dikirimkan atas niat tulus penuh rasa sayang harus dipandang sebagai rencana pencitraan yang penuh rekayasa. Padahal bunga-bunga yang dikirimkan menjadi pengingat bahwa ujaran kebencian bukanlah karakter bangsa Indonesia yang plural dan menjunjung tinggi kebhinnekaan.

@dylan Aprialdi


White Helmet, Organisasi "Pura Pura" Kemanusiaan


DUNIA HAWA - Beredar viral foto seorang anak kecil dengan tubuh berdarah akibat rumahnya hancur dibom dan duduk diam di kursi oranye.

Foto itu diklaim sebagai korban pengeboman pasukan Bashar Assad Suriah. Dengan mudahnya gambar dan video itu beredar dimana2 dengan tujuan akhir mengutuk kekejaman Bashar Assad.

Perang propaganda untuk membentuk stigma kekejaman Bashar semakin kencang. Salah satunya dilakukan oleh organisasi hak asasi manusia yang diberi nama White Helmets atau Helm Putih.

White Helmets ini selalu ada saat kejadian sebagai yang paling cepat. Bahkan ketika terjadi pemenggalan oleh ISIS kepada warga Suriah setempat, mereka sudah ada disana dan bertindak sebagai tim rescue dengan membungkus jasad.

Mereka tampak sebagai pahlawan hak asasi manusia. Tapi sebenarnya mereka adalah teroris berbaju LSM. Tugas mereka adalah melakukan propaganda untuk membangun stigma, menanamkan kebencian setahap demi setahap dan akhirnya menghembuskan isu sektarian.

WH didirikan pada Maret 2013 di Turki dan dipimpin oleh James Le Mesurier, mantan agen intel Inggris dengan rekam jejak di berbagai kawasan konflik (Bosnia, Kosovo, Irak, Lebanon, Palestina). Dana awal pendirian WH adalah 300 ribu dollar dan selanjutnya menerima donasi jutaan dollar (suplai logistik disediakan oleh Turki).

Telegraph menyebut Inggris telah menggelontorkan 3,5 juta pound. USAID memberi 16 juta dollar. Mesurier juga pernah menjadi staf di perusahaan keamanan swasta yg beroperasi di Irak, Olive and Good Harbour, yang terlink dengan BlackWater.

Model propaganda seperti ini, LSM berbaju HAM dengan rasa teroris, ciri khas perang media untuk membunuh karakter lawan yang ingin mereka kuasai. Mereka sudah menghajar Libya, menguasai Irak dan sekarang bermain di Suriah.

Perhatikan saja cara media internasional seperti BBC, CNN dan lainnya seirama dengan model pemberitaan media radikalis dalam menentukan siapa musuh.

Jaringan mereka kuat, berdana besar dan terprogram. Bahkan rencananya, White Helmets akan diberikan hadiah Nobel Perdamaian untuk menguatkan posisi mereka di mata dunia internasional.

Kenapa saya harus mengangkat ini ? Karena beginilah yang sedang dan akan mereka lakukan di Indonesia.

Ingat kasus Freddy Budiman yang tiba2 menjadi malaikat, Santoso yang mendadak menjadi pahlawan dan pembakaran Vihara di Tanjung Balai ?

Model pemberitaan propaganda yang ujung2nya mengangkat isu sektarian dan menjatuhkan kewibawaan aparat juga pemerintah ini adalah pola yang mudah dikenal sebagai lapisan awal untuk membentuk benturan.

Diangkat dulu kebanggaan agama sebagai mayoritas, dimunculkanlah tokoh sebagai pahlawan dan berujung pada benturan2 konflik sesuai peta di masing2 wilayah.

Ketika itu terjadi, akan datang LSM2 yang mengatas-namakan HAM dengan tujuan meningkatkan kebencian kepada pemerintah melalui propaganda mereka di media, baik mainstream maupun sosial.

Jadi, kenali pola mereka, modus mereka dan jangan terpancing oleh aksi mereka dalam menguras emosi melalui media. Hilangkan sekat2 dan kebanggaan suku, ras juga agama sehingga tidak mudah mereka membenturkan kita. Dan terakhir, lawan propaganda mereka dengan propaganda juga.

Tulisan ini saya angkat kembali karena beredar kabar sudah dibentuknya organisasi White Helmets di Indonesia.

Adanya mereka disini adalah indikasi bahwa negara kita di perhitungkan akan rusuh sebentar lagi dan LSM2 Internasional akan masuk melalui bantuan kemanusiaan sekaligus memperbesar kerusuhan..

Seperti yang dilakukan White Helmets di Suriah.

@denny siregar


Friday, April 28, 2017

Negara Tidak Boleh Keok Dengan Ormas Radikal HTI, FPI, GNPF-MUI, FUI, FSI


DUNIA HAWA - Ada dua jenis muslim di dunia ini, muslim radikal dan muslim moderat. Saya tidak membahas muslim moderat dalam tulisan ini, yang saya bahas muslim radikal garis keras yang fanatik dan mengharamkan pihak lain yang tidak sejalan dengan pemikiran mereka. Contohnya Rizieq Shihab, Novel Bamukmin , Al Khathath, Usamah Hisyam, dan masih banyak lagi.

Upaya-upaya pergerakan mereka selama ini yang melakukan perlawanan terhadap negara telah menyumbat lorong-lorong demokrasi dan cita-cita pendiri bangsa. Mereka secara terang-terangan tanpa takut lagi menunjukan perlawanan yang radikal dan intoleransi untuk menjadikan NKRI negara khilafah yang berdasarkan syariat Islam.

Tujuan pergerakan-pergerakan mereka selama ini yaitu berupaya meracuni alam bawah sadar rakyat jelata dan pemerintahan dengan dalih perjuangan nafas Islami. Kerusakan yang mereka timbulkan cukup besar, contoh kongkret yang sudah terjadi yaitu pilkada DKI Jakarta 2017.

Perjuangan mereka menjadikan NKRI sebagai negara khilafah, salah satunya yaitu dengan menunggangi kelemahan negara dengan dalih ketidak-adilan dan hegemoni asing. Tujuan mereka jelas, meracuni mindset rakyat jelata bahwa syariat Islam adalah satu-satunya solusi yang harus diberlakukan di negara ini untuk menyembuhkan berbagai luka dan borok bangsa.

Setelah kurang lebih 70 tahun.bangsa ini merdeka dan telah mengalami demokrasi parlementer di tahun 1955, demokrasi presidensial tahun 1973, serta reformasi 1998, bangsa ini telah mengalami berbagai gejolak dengan konten politik yang sarat akan konten ideologi sepihak, termasuk namun tidak terbatas pada sindrom mayoritas dan minoritas.

Gambaran saya soal radikalisme dan intoleransi untuk menciptakan negara berbasis syariat Islam sederhana saja, apakah bangsa ini akan menuju ke arah yang menjaga keutuhan bangsa ataukah bangsa ini akan tercabik-cabik? Apakah Pancasila sebagai warisan luhur dari para pendiri bangsa akan terus dipegang erat untuk merawat kebhinekaan atau akan dicampakkan sebagai barang bekas yang tidak berharga?

NKRI tidak mengenal sistem otoriter, monarki, Khilafah, dan lain sebagainya. Contoh kerusakan demokrasi yaitu diberlakukannya syariat Islam di Aceh. Hukuman cambuk atas warga non-muslim yang pernah terjadi di Aceh adalah bentuk nyata ketidakadilan diberlakukannya hukum syariat Islam di sana. Sangat tidak adil bagi warga non-muslim dihukum dengan menggunakan hukum syariat Islam.

Jika kondisi sebaliknya, pertanyaannya apakah mau warga muslim diberlakukan dengan hukum Kristen? Yang ada justru umpatan silahkan simpan doktrin itu untuk kelompok kalian yang kepercayaannya sama dengan kalian, tapi bukan untuk NKRI. Ini adalah bentuk common sensesederhana sebagai kebenaran yang objektif dan tidak dapat dibantah.

Namun para golongan khilafah tidak mau tahu dengan hal itu, yang ada dalam benak mereka yaitu perjuangan mereka tidak akan pernah berakhir sampai hukum Islam menjadi hukum Positif (ius constitutum) di negeri ini.


Persoalannya, bukan hal yang mudah bagi negara untuk membasmi dan memberangus ormas-ormas radikal dan intoleransi karena terbentur dengan persoalan Perundang-undangan yang berlaku. Yang terjadi saat ini, bikin ormas itu mudah, namun membubarkannya adalah hal yang tidak mudah karena berbelitnya birokrasi dan tahapan alur sesuai mekanisme hukum yang berlaku.

Kelemahan ini adalah celah yang cukup lebar bagi kaum khilafah untuk memanfaatkannya dengan membentuk berbagai jenis ormas-ormas yang bermunculan bagaikan jamur di musim hujan, namun tujuan besar mereka cuma satu, menggulingkan Pancasila dan menjadikan bangsa ini sebagai negara Khilafah berbasis syariat Islam.

Pertanyaannya yang sering timbul dalam benak saya, bagaimana caranya negara memberangus ormas-ormas dengan ideologi yang berbahaya jika tahapan dan birokrasi untuk membubarkan ormas sedemikian sulitnya? Saya tidak mau berandai-andai karena saya yakin semua orang Indonesia punya mimpi yang sama, yaitu hidup aman dan sejahtera, cukup sandang, cukup pangan, dan cukup papan.

Keinginan tersebut tidak muluk-muluk sebenarnya dan tidaklah berlebihan bahwa mayoritas rakyat Indonesia pada umumnya menginginkan negara tidak boleh keok terhadap ormas-ormas radikal golongan garis keras.

Pertama, Jika ada pelanggaran hukum yang tidak sesuai dengan ideologi bangsa, apapun bentuknya, ya harus dilibas tanpa pandang bulu karena selain Pancasila dan kebhinekaan telah kita sepakati bersama, hukum adalah panglima tertinggi di negeri ini.

Kedua, wacana pemerintah untuk mensertifikasi Ulama harus segera direalisasikan. Saat ini, tiap orang bisa jadi Ulama dadakan sehingga pola berpikir dan jalan pikiran para Ulama dadakan ini berpotensi tidak sejalan dengan nafas Islami yangRahmatan Lil Alamin sehingga meracuni alam bawah sadar jamaah untuk berprilaku radikal dan intoleran terhadap umat lain.

Ketiga, negara sepatutnya tidak berpartiispasi dan memfasilitasi Ulama dari luar negeri yang berpotensi merusak tatanan kerukunan beragama di negeri ini.

Keempat, negara harus lebih garang dalam mengkatrol fatwa-fatwa yang diterbitkan oleh MUI agar tidak dijadikan senjata dan kuda tunggangan oleh ormas-ormas radikal kaum khilafah untuk memporak-porandakkan negeri ini.

@argo


SHARE ARTIKEL INI AGAR LEBIH BANYAK PEMBACA

Hadis-pun Ada yang Hoax


DUNIA HAWA - Dulu sering banget saya dengar guyonan itu. Terutama dari teman-teman yang baru menikah. Awalnya biasa, lama-lama pengen tahu juga. Kenapa malam Jumat selalu diidentikkan dengan membunuh Yahudi ? Kasian si Yahudi, gak ngapa-ngapain di bunuh.

Selidik punya selidik, ini ternyata hadisnya :

"Barangsiapa melakukan hubungan suami istri di malam Jumat (Kamis malam) maka pahalanya sama dengan membunuh 100 Yahudi. (Dalam hadits yang lain disebutkan sama dengan membunuh 1000 atau 7000 yahudi)".

Ternyata hadis ini palsu dan tidak ada di kitab hadis manapun. Sebagai catatan : hadis itu adalah kumpulan riwayat terhadap apa saja perbuatan dan perkataan Rasul.

Meski hoax, ternyata hadis ini sangat populer dan kemungkinan sudah dipercayai dari generasi ke generasi. Bahkan teman saya percaya kalau setiap dia "iwik-iwik" dengan istrinya di maljum, maka dia melakukan sunnah Rasul dan itu berpahala. Enak bener, udah nikmat dapat pahala lagi...

Okelah. Lalu kenapa kok Yahudi yang dibunuh ? Kasian kan si Yahudi..

Ada kepercayaan dari sebagian umat Islam bahwa kaum Yahudi adalah penyebab segala bencana di dunia ini. Sehingga apa-apa, "Yahudi tuh yang suka fitnah..". Padahal yg ngomong gitu sdh fitnah kalo si Yahudi suka fitnah..

Kenapa begitu? Karena salah menafsirkan ayat Alquran...

Di Alquran memang dijelaskan ada kaum Yahudi dan Nasrani yang bermasalah dengan hadirnya Islam, tetapi itu tidak bersifat general. Hanya terbatas pada mereka yang ahli kitab dan memerangi pada waktu itu saja. Sedangkan di ayat lain, Tuhan juga berbicara bahwa Yahudi dan Nasrani berhak mendapat pahala sesuai amal mereka.

Hanya, kebanggaan beragama di sebagian umat Islam ini begitu tinggi dan fanatik. Sehingga mereka menolak sejarah bahwa di antara umat Islam sendiri pasca Nabi Muhammad Saw wafat, sudah bunuh-bunuhan antara sahabat dan saudara.

Karena gak mau agamanya terlihat lemah, maka "salahkan semua pada Yahudi" atau Saladi. Jadi begitulah kura-kura kenapa ada hadis hoax yang sangat terkenal berkisah membunuh ribuan Yahudi.

Jadi kalau ada yang masih percaya malam ini dapet pahala karena membunuh Yahudi, "hellliowww.. anda ketipuh..". Masak bisa lagi gituin kepikiran membunuh?

Kayanya yang banyak percaya hadis ini kaum bumi datar, soalnya pikiran mereka "bunuh" mulu. Emak-emak juga jangan percaya gitu aja kalo mbapaknya mengerling nafsu, trus mendesis, "jalanin sunnah Rasul yukk..". Jawab aja, "Sunnah Rasul mbahmu.. jawab itu si Firza siapa ??? Kok chatnya ampe ada pisang-pisangnya gituuu?"

Mending telpon kak Emma, "Habis dia kumarahin kak emma.. stress dia.."

Iki opo sih kok ngelantur nang kak emma segala.. Seruput kopi Yahudi dulu.

@denny siregar


SHARE ARTIKEL INI AGAR LEBIH BANYAK PEMBACA

Demo Menuntut Ahok Di Penjara disaat Kitab Suci saja Bisa Dikorupsi….


DUNIA HAWA - Ya, inilah anehnya negeri ini, bagaimana Korupsi Al-Quran di KEMENTERIAN AGAMA ternyata masih menelan tersangka baru dan mendengar tentang adanya rencana demo dari GNPF MUI  melakukan long march dari Masjid Istiqlal menuju ke gedung pengadilan Jakarta Utara. Misi mereka satu yaitu “mengawal” kasus Ahok dalam dugaan penistaan Agama. Mengawal di sini adalah bahasa halus mereka untuk menekan hukum di negeri ini untuk menuntut Ahok semaksimal mungkin. Mereka kecewa karena Ahok nampaknya “hanya” akan dihukum dengan masa percobaan saja. Padahal jika kita lihat dari alasan JPU, JPU seperti agak kesusahan menemukan alasan yang kuat dugaan penistaan agama oleh Ahok, apalagi di tambah saksi-saksi pelapor dari JPU yang juga kurang kompeten, seperti Novel Bamukmin dan Pedri Kasman. Bahkan mengenai saksi yang kurang kompeten ini ketua umum Pemuda Muhammadiyah, Dahnil Simajuntak juga secara implisit dan halus menyatakan demikian. Padahal Pedri Kasman itu temannya di PP Muhammadiyah.

Sekarang balik lagi ke demo GNPF MUI ini, sekali lagi mereka punya hak melakukan itu asal tidak mengganggu keamanan dan kenyamanan yang sudah mulai terjalin di Ibukota sehabis Pilkada DKI kemarin. Namun jujur penulis bingung terhadap alasan mereka berdemo, dan ini seperti menghina NALAR publik dan mereka sendiri sebetulnya. Disaat mereka berdemo tentang Ahok, Kitab Suci Al Quran yang juga menjadi objek perdebatan Pilkada DKI kemarin MALAH DIKORUPSI oleh oknum-oknum pengusaha, anggota DPR, hingga Kementerian Agama. Gila! Bukannya penulis menuntut GNPF MUI untuk melakukan demo lanjutan ke Kementerian Agama atau KPK, tapi seperti yang kita lihat nampaknya kasus Ahok JAUH LEBIH PENTING DAN GAWAT dibanding KORUPSI PENGADAAN AL QURAN. Apakah korupsi Al Quran bukan penistaan agama saya juga belum paham, coba kita tanya MUI.

“Itu kerusakan moral parah. Mereka korupsi tanpa peduli. Pengadaan Al Quran pun, kalau bisa dikorupsi, kenapa tidak?” kata (MUI) KH Ma’ruf Amin, di sela Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia di Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya,Jawa Barat, Minggu (1/7/2012).

Owh syukurlah MUI sudah mengeluarkan statement (di 2012, pada awal kasus ini heboh). Nah, selain itu sebetulnya MUI juga sudah mengeluarkan fatwa haram kepada tindakan korupsi pada tahun 2000. Jadi sebetulnya GNPF MUI sebagai PENGAWAL FATWA MUI juga mempunyai semacam tanggung jawab moral untuk mengawal kasus hukum ini. Ingat MUI udah pernah beri fatwa loh.

Apalagi sebetulnya sudah berkali-kali kejahatan korupsi dan pencucian uang terjadi dibalik kedok agama. Beberapa contohnya adalah korupsi pengadaan Al Quran yang di atas, lalu korupsi dana Haji, gilanya kedua korupsi ini merugikan negara milyaran rupiah dan melibatkan oknum internal Kementerian Agama. Lalu dulu sempat ada kasus penipuan investasi Golden Trader Syariah Indonesia, yang merugikan ratusan investor (kebanyakan orang biasa) puluhan milyar. Ajaibnya Golden Trader ini meminta “restu” dan “naungan” MUI untuk mendapatkan label “Syariah”. Tapi begitu kejadian penipuan terjadi MUI seperti lepas tangan dan ogah di sangkutpautkan, dan kasus ini pun hilang ditelan bumi, entah datar atau bulat.

Memang benar kata Dahnil Simajuntak, nalar bangsa ini telah diobrak-abrik. Tapi siapa yang nalarnya rusak silakan pembaca pikirkan sendiri.

@rudi


SHARE ARTIKEL INI AGAR LEBIH BANYAK PEMBACA

Kang Eep, Bacalah Surat Ini


DUNIA HAWA - Sengaja saya tulis surat terbuka ini untuk kang Eep Saifullah. Kang, saya memang tidak nonton ILC malam ini yang berjudul "Merajut Jakarta Kembali". Tapi saya dapat beberapa poin melalui ulasan dan tayangan di youtube.

Di acara itu ada Buya Syafii Maarif yang mengingatkan kepada pasangan Anies Sandi, "Anies Sandi harus menjaga jarak dengan kelompok radikal. ISIS itu sudah masuk kesini.."

Dan kang Eep menjawab, "Dengan segala hormat kepada orang tua saya, guru saya, Pak Syafii Maarif. Rekonsiliasi harus dilakukan secara tuntas. Saya ingin katakan gubernur Jakarta harus bekerja dan berfikir dengan cara baru, dia harus menjadi Nelson Mandela yang setelah 27 tahun dipenjara menjadi Presiden di Afrika Selatan dia tidak membawa dendam ke kursi kekuasaannya.

Yang dia bawa adalah cinta kasih bahwa setiap orang berhak untuk memperoleh keadilan. Dan dengan itu dia bangun rekonsiliasi Afrika Selatan."

Disini saya terhenyak dengan pernyataan Kang Eep yang menyamakan Anies Sandi dengan Nelson Mandela.

Maaf, kang Eep, apa itu tidak salah ??

Nelson Mandela adalah pejuang para kulit hitam di Afrika Selatan supaya mendapat hak yang sama dengan kulit putih disana. Dan sesudah 27 tahun di penjara, ia kemudian memimpin Afrika Selatan dan berkata, "Jangan ada dendam" Mandela mengajak warga kulit hitam dan putih saling memaafkan untuk tujuan lebih baik, yaitu membangun Afrika Selatan.

Bagaimana bisa disamakan dengan apa yang terjadi pada Anies Sandi? Itu sungguh tidak equil to equil, bahasa bumi datarnya.

Kang Eep yang pasti jauh lebih pintar dan lebih kaya dari saya, ternyata jauh lebih naif dari saya. Kang Eep menganggap ormas radikal yang ada di belakang Anies Sandi itu -yang akang manfaatkan untuk mendapatkan suara itu- adalah mereka yang bisa diajak untuk bicara kesatuan negara seperti apa yang diharapkan Nelson Mandela?

Tidak, kang. Coba pelajari lagi apa agenda mereka. Khilafah. Membentuk negara berdasarkan syariat Islam. Sudah paham bedanya dengan Nelson Mandela?

Kalau Nelson Mandela berbicara persatuan untuk membesarkan negara, sedangkan Anies Sandi ditunggangi mereka untuk mencapai tujuannya mendirikan khilafah, yang jauh dari negara kesatuan yang dicanangkan oleh para pahlawan kita.

Saya tidak bicara tentang warga Jakarta disini, tetapi ormas. Jangan terlalu naif, coba bicara dengan mereka dan baca agenda mereka.

Kang Eep mungkin hanya melihat dari segi market -sebagai marketing Anies Sandi- dalam pemanfaatan masjid sebagai mobilisasi. Tapi perhatikan dampaknya?

Para ormas radikal itu seperti mendapat oksigen untuk berkembang. Mereka menunjukkan taring aslinya dengan cara-cara kasar seperti tidak menshalatkan jenazah saudaranya sesama muslim, membaiat pakai golok, mencaci maki saudara sebangsa di mimbar Jumat bahkan mengusirnya dan menetapkan kafir dan munafik kepada saudara muslimnya yang berbeda pandangan politik.

Apa masih belum lihat dampak luasnya dari apa yang akang lakukan?

Para ormas radikal itu sebenarnya tidak perduli siapa yang menjadi Gubernur. Mereka hanya ingin mendapat ruang dengan menempel pada orang yang mereka anggap layak untuk ditunggangi demi tujuan yang sebenarnya.

Dan Kang Eep menganggap bahwa Anies Sandi sangat mungkin untuk menjinakkan mereka?

Bagaimana bisa Anies Sandi mengekang mereka ketika pasangan itu terikat secara suara dengan mereka? Yang terjadi, Anies Sandi takut kehilangan suara mereka ketika tidak membangun kebijakan yang membuat mereka bisa berkembang lebih besar.

Mungkin Kang Eep bicara, "Ah, itu tidak akan terjadi. Mereka bisa kok. Elu aja yang ketakutan.."

Akang sudah mempelajari Suriah yang proses awalnya seperti kita? Banyak warga Suriah menyambut baik gerakan ormas radikal di tempat-tempat ibadah dan mungkin memanfaatkannya untuk tujuan politis. Yang terjadi adalah, ormas-ormas itu semakin mendapat legitimasi untuk berkembang lebih besar.

Mereka kemudian membuat kelompok bernama Free Syirian Army dengan tujuan mendongkel pemerintahan yang sah. Kemudian kelompok FSA ini menyambut ISIS dengan tangan terbuka karena "saudara sesama muslim dan seperjuangan".

Apa yang terjadi?

Pucuk-pucuk pimpinan FSA dipenggal oleh ISIS, karena menolak berbaiat dengan mereka. Itulah kenapa disana ada pertarungan segitiga. FSA bertarung dengan ISIS yang sama-sama memerangi Bashar Assad.

Apa pelajaran yang bisa kita ambil dari sini?

Bahwa mereka itu punya ideologi sendiri dan -jelas- itu bukan Pancasila. Masak masih menutup mata terhadap apa yang terjadi dalam demo-demo mereka? Atau mata Kang Eep sudah terbutakan rupiah dan keharusan untuk menang supaya harganya semakin mahal?

Kang Eep, Anies dan Sandi seperti memelihara singa sejak kecil. Dan layaknya singa dengan naluri buas dan liar mereka, ada kemungkinan mereka akan menerkam tuannya. Singa bukan binatang ternak, kang.

Inilah yang coba diingatkan oleh Buya Syafii Maarif yang jelas lebih banyak makan asam garam dari kita.

Kang Eep bermain bola api yang panas sekali disini dan tidak sadar bahwa ini bisa membakar badan Kang Eep sendiri. Kang Eep menikmati kemenangan yang dampaknya pundi-pundi uang akan bertambah. Tapi tidakkah sadar, luka yang sudah terjadi ketika agama dipakai sebagai alat keji dalam demokrasi?

Para ormas radikal ini merasa mendapat ide bagus dan sukses dari ide pemanfaatan masjid oleh Kang Eep ini. Dan akan mereka ulangi lagi dalam skala lebih besar dibantu oleh politikus ambisius dan mafia ekonomi di negara ini. Gabungan para serigala ini pada saatnya akan saling memakan karena berbeda tujuan dan kepentingan.

Masih naif juga menganggap semua bisa diatur dan akan baik-baik saja?

Anies Sandi nantinya bukan mengandangkan singa buas itu tapi melepasnya ke keramaian. Mereka akan beranak pinak dengan ideologi Khilafahnya dan pada saat nanti sudah terlambat untuk menyadari dan mencegahnya.

Dan pada saat itu tiba, leher saya, leher kang Eep, Anies dan Sandi dan ribuan orang tak berdosa lainnya, terancam terpisah dari tubuhnya karena kita akan dianggap "tidak seiman" dengan mereka..

Terlalu besar pertaruhan ini..

Tapi tidak apa, semua sudah terjadi. Saya sedang menyeruput kopi dan mulai memikirkan sisi baiknya dengan situasi ini.

Akhirnya saya jadi tahu dimana mereka dan bagaimana cara mereka mengembangkan diri. Dengan begitu, saya punya bayangan apa dan bagaimana yang akan mereka lakukan nanti dan mulai mencari solusi..

Itulah satu sisi baik yang bisa saya ambil pelajaran dari situasi ini. Terimakasih..

Kapan-kapan kita ngopi biar saya ceritakan "gambar besarnya". Jangan sampai nanti Kang Eep menyesal karena keluarganya ada yang mati dipenggal mereka ketika berkuasa, dan mulai teringat saat sekarang ini dengan keluhan, "Ampun, Tuhan.. Saya termasuk bagian dari orang yang memulai situasi ini".

Dan penyesalan selalu datang terlambat, ketika Kang Eep dicegat mereka dan disembelih lehernya hanya karena mereka suka saja.

Lihat saja nanti 5 atau 10 tahun lagi ketika kita memelihara singa di kamar kita dan berfikir bahwa mereka kucing yang bisa dipeluk-peluk manja.

Ini tulisan untuk merenung bukan dalam rangka membela diri. Selamat menikmati kemenangan Kang Eep. Nikmatilah selagi masih bisa.

@denny siregar


SHARE ARTIKEL INI AGAR LEBIH BANYAK PEMBACA

Wednesday, April 26, 2017

Kekalahan Ahok Adalah Kerugian Besar Bagi Rakyat Jakarta


DUNIA HAWA - Sejak Ahok Djarot sudah dipastikan kalah dalam Pilkada DKI 2017, baru sekarang saya mampu menulis artikel lagi. Jujur saya kget, saya tidak menduga sebagian besar warga Jakarta ternyata sebegitu bodohnya dalam memilih gubernurnya. Ternyata status sebagai ibukota tidak menjamin warganya menjadi lebih pintar daripada daerah lainnya.

Kembalinya Mental Majikan di Birokrasi


Awalnya saya mengira proses penyesalan warga Jakarta akan dimulai setelah satu tahun Ahok berhenti dari jabatannya karena sudah ada kebiasaan bahwa 100 hari menjabat biasanya merupakan periode bulan madu di mana rakyat biasanya masih berpandangan positif terhadap pejabat yang terpilih. Namun saya salah besar. Proses penyesalan warga Jakarta ternyata tidak perlu waktu lama, bahkan saat ini sudah berlangsung.

Seorang oknum PNS yang marah-marah terhadap warga menjadi viral. 


Bahkan oknum PNS ini menantang untuk dilaporkankan ke Ahok, dia tidak takut. Dia pantas untuk tidak takut, apalagi sekarang karena dengan kekalahan Ahok Djarot maka Ahok tidak berhak membuat keputusan penting, bahkan masalah mutasi pun bisa dipermasalahkan.

Saya sebenarnya tidak terlalu kaget kalau hal seperti ini terjadi, cuma yang saya kagetkan adalah betapa cepatnya perubahan sikap dan mental PNS. Ketika di bawah pengawasan Ahok, PNS bekerja sebagai pelayan warga yang telah membayar gajinya. Namun saat ini telah berubah dengan drastisnya menjadi layaknya seorang majikan yang minta dilayani oleh rakyat. Birokrasi sudah mulai kembali ke jaman sebelum era Jokowi dan Ahok.

Penyesalan Yang Selalu Datang Terlambat


Apakah Gubernur Anies akan menindak PNS seperti ini? Saya sangat ragu karena janji si Anies adalah dia akan merangkul semua pihak dan mencela Ahok karena dianggap mengintimidasi PNS. Anies malah akan memanjakan PNS supaya loyal terhadap dia, bukan terhadap rakyat.

Benar-benar disayangkan, sebenarnya warga Jakarta sudah memiliki seorang Gubernur bermental pelayan rakyat, malah ditukar dengan seorang Gubernur yang bermental majikan. Bagaimana tidak bermental majikan? Datang ke balaikota saja pakai helikopter. Kalau terlambat, tinggal serobot jalur busway. Bisa diibaratkan, warga Jakarta menukarkan sebatang emas murni yang bentuknya tidak terlalu indah dengan sebatang besi berkarat yang bentuknya indah. Maaf, kalau ini tidak bisa dikatakan sebagai bentuk kebodohan, saya tidak tahu lagi. Karena sejelek-jeleknya bentuk emas, harganya jauh lebih tinggi daripada besi sebagus apapun bentuknya. Layaknya emas yang tidak akan pernah berkarat, Ahok akan tetap mendapat tempat di hati rakyat Jakarta yang mengakui prestasinya. Sedangkan Anies dan Sandiaga, bagaikan besi yang saat ini bentuknya indah namun sudah hukum alam bahwa cepat atau lambat besi akan berkarat dan bentuk indah tersebut akan hilang, barulah rakyat Jakarta yang memilih pemimpinnya tanpa menggunakan otak akan sadar kegilaan mereka menukar emas dengan besi. Hal ini akan tercatat di dalam sejarah sebagai salah satu kejadian yang paling memalukan bagi rakyat Jakarta.

Saya yakin seyakin-yakinnya, akan tiba waktunya foto yang mirip seperti di atas ini akan tersebar di wilayah Jakarta untuk menjadi pengingat betapa bodohnya sebagian besar rakyat Jakarta dalam Pilkada DKI 2017.

Belum Mundur Saja Rakyat Sudah Rindu Ahok


Dalam sejarah pemerintahan DKI, bahkan mungkin di seluruh pemerintah daerah di Indonesia, belum pernah ada pejabat yang kalah dalam pilkada namun masih mendapat tempat di hati rakyatnya, bahkan sejak Ahok Djarot dipastikan kalah, karangan bunga terus berdatangan, bahkan karena karangan bunga yang datang tidak berhenti menyebabkan ruang terbuka di dalam Balai Kota Jakarta tidak cukup lagi menampung karangan bunga yang terus berdatangan itu sehingga harus diletakkan di trotoar. Kebiasaan selama ini, para pejabat yang mengirimkan karangan bunga kepada pemimpin baru yang terpilih, sedangkan yang terjadi saat ini malah sama sekali terbalik, malah petahana yang kalah dalam Pilkada DKI yang mendapat karangan bunga dari rakyatnya. Jika Ahok tidak dicintai rakyat Jakarta yang menggunakan otaknya, tidak mungkin rakyat Jakarta mau mengirimkan karangan bunga kepada Ahok sebagai apresiasi mereka.Bahkan dari hari ke hari, jumlah pengunjung yang mendatangi Balai Kota Jakarta makin banyak sampai pihak protokoler kewalahan Pihak protokoler kaget melihat warga yang datang makin hari makin banyak  Bahkan warga sudah mulai datang sejak jam 06.30 WIB dan minimal ada 500 orang yang datang dalam satu hari saja. Bahkan karena banyaknya yang datang untuk berfoto dengan Ahok, sesi pengaduan tidak bisa dilakukan. Pihak protokoler sudah meminta agar warga minta agar tidak berfoto lagi karena Pak Ahok masih akan menjabat sampai Oktober 2017, namun warga tidak peduli dan tetap ingin berfoto dengan Pak Ahok. Mereka kuatir tidak ada lagi kesempatan berfoto karena mereka bisa melihat sendiri bahwa pengunjung Balai Kota Jakarta bukannya makin sedikit dengan kekalahan Ahok, malah sebaliknya makin hari makin banyak sehingga peluang untuk berfoto dengan Ahok otomatis juga akan makin menipis. Ahok telah merebut hati rakyat Jakarta, bahkan rakyat di luar Jakarta dengan prestasinya yang luar biasa. Apakah Gubernur DKI berikutnya bisa seperti itu? Saya sama sekali tidak yakin. Benar-benar kerugian besar untuk rakyat Jakarta.

@tatsuya


1200 Karangan Bunga Untuk Ahok-Djarot, Bukan Tipu-Tipu Apalagi Pencitraan


DUNIA HAWA - Fenomena Ahok seakan tak ada habisnya. Ia adalah sosok yang dicintai dan dibenci di saat yang sama. Ia juga sosok yang dipuja sekaligus dihujat di saat yang sama. Kehadirannya menjadikan kontestasi politik di DKI Jakarta lebih meriah dari yang sebelum-sebelumnya. Tak ayal, partisipasi pemilih di DKI pun mencapai 78%, tertinggi di Indonesia.

Fenomena Ahok membuat banyak orang yang awalnya alergi terhadap politik, menjadi fasih bicara politik. banyak orang mulai membicarakan politik. Mulai dari warung kopi, warung Indomie (Warmindo), restoran, taman-taman bermain, tempat nongkrong anak muda, hingga tempat nongkrong mewah sekalipun dilanda demam Pilkada DKI. Ini fenomena yang menarik dalam perkembangan demokrasi.

Catatan sejarah membuktikan bahwa demokrasi berkembang lewat diskursus-diskursus yang terjadi di warung-warung kopi dan ruang-ruang publik. Diskursus yang merupakan bagian dari aktivisme politik membuat masyarakat menjadi melek politik. Dengan demikian, partisipasi publik akan semakin tinggi. Publik yang melek politik akan berpartisipasi tidak hanya pada memenangkan pasangan calon, tetapi juga mengkawal pemerintahan terpilih.

Meskipun demikian, satu hal yang disesalkan adalah wacana primordial yang kerap digunakan dan dikampanyekan secara masif. Kampanye model ini hanya akan sifatnya destruktif dalam diskursus tentang demokrasi. Walau berbuah kemenangan dalam jangka pendek, tetapi dalam jangka panjang, hal ini adalah upaya kontraproduktif. Tidak heran bila reformasi yang sudah berjalan lebih dari 17 tahun ini belum juga berbuah kesejahteraan rakyat. Demokrasi di era reformasi hanya dibajak elite partai yang memanfaatkan kepolosan dan kebodohan rakyat.

Penggunaan isu primordial sebagai komoditi politik dalam jangka panjang adalah kontraproduktif. Kontraproduktif dalam kaitan dengan demokrasi dan NKRI sebagai negara yang Bhineka. Pun peningkatan partisipasi pemilih seyogyanya berdiri di atas rasionalitas. Dengan begitu, proses demokrasi benar-benar akan menghasilkan pejabat yang benar-benar punya kapasitas dan kapabilitas mumpuni. Demokrasi yang berkualitas mengesampingkan entitas Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan.

Fenomena Ahok, Sosok yang Dicintai dan Dibenci


Pilkada DKI memang menguras emosi, pikiran, tenaga, bahkan uang. Bayangkan saja, banyak orang yang menangis ketika jagoannya difitnah. Banyak pula yang bahkan berani mati demi membela ulama. Ada yang rela menghabiskan uang ratusan miliar hanya untuk mendapat posisi DKI 2. Banyak pula yang bergerak di belakang layar dan baru ketahuan belangnya saat akhir Pilkada. Singkatnya banyak orang yang menjadi aneh saat Pilkada DKI Jakarta. Semua ini tidak lain dan tidak bukan, hanya untuk mewujudkan misi ‘Asal Bukan Ahok’.

‘Asal Bukan Ahok’ menjadi misi bersama para barisan sakit hati, barisan penghuni bumi datar, mereka yang tersingkir oleh karena birokrasi yang bersih dan professional. Musuh yang bernama Ahok itu harus disingkirkan. Bahkan tidak tanggung-tanggung, dilabeli pula dengan predikat ‘Penista Agama’.

Kampanye dengan menunggangi isu SARA ini menjadikan Ahok, seorang double minority (Kristen dan Tionghoa), menjadi bulan-bulanan. Fitnah soal penistaan agama disampaikan secara masif. Provokasi ini dilakukan lewat tempat-tempat ibadah, di lingkungan sekitar, hingga setiap tempat ramai, lantas menjadi seperti sebuah kebenaran umum. Hasil akhirnya bisa ditebak. Pemerintah dan penegak hukum tunduk pada massa, penghakiman pun dimulai.

Ahok yang babak belur dihajar sebelum, menjelang, dan saat Pilkada, kini mulai terbebas darinya. Kebohongan-kebohongan yang dipaksakan menjadi kebenaran umum mulai terkuak satu per satu. Mulai dari isu agama yang ternyata bergeser ke politik, saksi-saksi persidangan yang super lucu, hingga pengkultusan Imam Besar Umat Muslim Indonesia, yang akhirnya ketahuan doyan bermain pisang dengan titik-titik.

Catatan Penutup


Pada akhirnya, penulis sepakat dengan pernyataan Ahok jauh-jauh hari, bahwa ‘tidak ada kegelapan yang bisa menutupi cahaya fajar’. Pelan-pelan semua kebohongan mulai terkuak. Kebenaran mulai terungkap. Mereka yang menari di atas isu Agama, kini mulai merasa malu. Para pemenang mulai kesalahan memalukan ini. Memanfaatkan agama, kemiskinan dan kebodohan pemilih untuk mendulang suara. Jika berkesempatan bertemu Pak Anies, penulis ingin menyampaikan; “Stop tipu-tipu. Hentikan eksploitasi orang miskin untuk kepentingan politikmu”.

Cahaya Ahok mulai bersinar kembali. Setelah habis-habisan difintah. Ia kini diangkat kembali. Ia pernah ada pada posisi paling nadir, dan sekarang kembali ditinggikan. Fenomena kiriman bunga ke Balai Kota adalah tanda paling nyata pengakuan warga atas prestasi dan kinerjanya. Bahkan tidak tanggung-tanggung, jumlah karangan bunga yang dikirim lebih dari mencapai 1200. Selengkapnyadisini. Fenomena yang sontak saja menggegerkan seantero Indonesia. Bukti kecintaan warga ini jelas menegaskan kapasitas dan keberpihakan seorang Ahok.

Terakhir, penulis menganggap bahwa kekalahan Ahok dalam kontestasi Pilkada kemarin ibarat katapel. Mundur beberapa langkah untuk meloncat lebih jauh. Untuk orang dengan kapasitas super lengkap seperti seorang Ahok, tak perlu risau soal hari esok. “Mutiara selamanya tetaplah mutiara walau dibuang dalam kubangan lumpur”. Setelah melihat kemampuan dan sepak terjang Ahok di DKI, maka tidak aneh bila belakangan merebak isu soal nama Ahok yang masuk bursa Menteri ke dalam Kabinet Kerja Jokowi-JK. Di balik fenomena ini, ada seorang Anies yang (barangkali) menyesali kemenangannya yang pragmatis. Itu pun kalau Dia (Anies) masih punya nurani sebagai insan intelektual.

@ray koen


SHARE ARTIKEL INI AGAR LEBIH BANYAK PEMBACA

Kemenangan Anies Sandi Membuat Kaum Bumi Datar Seperti Minum Racun


DUNIA HAWA - Kemenangan Anies Sandi dalam pertarungan Pilkada DKI Jakarta putaran kedua membuat kaum bumi datar tak henti-hentinya ber-euforia. Mereka menganggap kemenangan Anies Sandi atas Ahok Djarot adalah segala-galanya.

Padahal sesungguhnya kemenangan Anies Sandi merupakan sebuah bumerang bagi mereka. Sebab mereka “kaum bumi datar cs” bakal ikut menanggung beban seperti yang Anies Sandi tanggung. Karena jika  Anies Sandi nanti resmi menjabat sebagai gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta dan tidak mampu merealisasikan janji kampanye seperti DP rumah 0 rupiah, menghentikan reklamasi, mengentaskan kemiskinan dan janji-janji kampanye yang lain, maka warga DKI Jakarta tidak hanya kecewa kepada Anies Sandi, melainkan juga kepada kaum bumi datar yang mempunyai peran strategis dalam memenangkan Anies Sandi.

Kaum bumi datar harus ikut bertanggungjawab atas kegagalan Anies Sandi dalam memimpin DKI Jakarta. Sebab karena ulah gerombolan kaum bumi datar, warga DKI Jakarta takut untuk memilih Ahok dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur putaran pertama maupun putaran kedua.

Kesaksian Warga kepada Saya 


Dua minggu sebelum Pilkada putaran kedua digelar, saya berada di DKI Jakarta. Saya banyak mengamati dan menganalisa, kenapa orang-orang takut untuk memilih Ahok Djarot? Sebagian besar dari mereka menjawab, mereka takut memilih Ahok Djarot lantaran ditakut-takuti bakal masuk neraka jika tetap ngotot memilih Ahok Djarot. Yang bahayanya mereka “kaum bumi datar” memanfaatkan masjid untuk mengintimidasi warga agar tidak memilih pasangan Ahok Djarot.

Fungsi masjid yang seharusnya digunakan sebagai tempat beribadah mencari pahala dari Allah SWT, saat menjelang pilkada DKI Jakarta, baik putaran pertama ataupun putaran kedua beralih fungsi sebagai tempat provokasi untuk kampanye demi memenangkan pasangan nomor urut tiga, Anies Baswedan dan Sandiaga S Uno. Artinya kaum bumi datar berhasil menguasai sebagian besar masjid di DKI Jakarta untuk tujuan politik alias perebutan kekuasaan kursi kepala daerah.

Mayoritas Masjid Berhasil Dikuasai Kaum Bumi Datar


Satu hari menjelang Pilgub putaran kedua tepatnya tanggal 18 April 2019, saya sempat bertemu dengan senior saya (Alumni GMNI) yang duduk di DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan (Nama saya rahasiakan), beliau senior saya bercerita tentang politisasi masjid oleh kaum bumi datar di DKI Jakarta.

Kepada saya beliau mengatakan dari jumlah kurang lebih 3280 Masjid di seluruh wilayah DKI Jakarta, kelompok Islam moderat bernama Nahdatul Ulama (NU) hanya mampu menguasai tidak lebih dari 300 Masjid saja, sebagian besar sisanya dikuasai oleh kaum bumi datar. Jadi tidak heran jika kampanye yang sangat masif untuk calon nomor urut 3 dilakukan diseluruh Masjid di DKI Jakarta yang berhasil mereka kuasai. Jika kalian yang berada di DKI Jakarta jangan heran dan bengong jika isi khutbah sholat Jumat di DKI Jakarta penuh dengan nuansa politik.

Cara-cara kotor mempolitisasi masjid sengaja mereka pakai hanya untuk sekedar mengalahkan Ahok Djarot. Warga DKI Jakarta yang tak tahu apa-apa pun akhirnya terbawa arus mereka dan enggan memilih Ahok Djarot sebab ditakut-takuti tidak bisa masuk surga. Cara mereka sangatlah picik, sebab dengan cara seperti itu sebenarnya mereka telah menyalahgunakan masjid sebagai sarana untuk kepentingan politik.

Jakarta Berhasil Dikuasai Kaum Radikal alias Kaum Bumi Datar


Dengan penguasaan sebagian besar masjid oleh kelompok intoleran radikal alias kaum bumi datar, saya dengan beberapa teman yang sedang stanby di DKI Jakarta sudah bisa menyimpulkan, bahwa Ahok Djarot akan kalah. Kaum bumi datar bisa memanfaatkan masjid untuk kampanye memenangkan Anies Sandi dengan seenak jidatnya. Sangat straregis memang, tak perlu mengundang banyak orang, tiba-tiba dihari jumat banyak orang ngumpul untuk dicekoki kampanye hitam untuk memenangkan Anies Sandi.

Yang perlu kita tahu, kelompok radikal itu sangat militan, selain kampanye di Masjid, dengan semangatnya mereka mendatangi warga-warga bekas pendukung Agus Silvi. Satu persatu bekas pendukung atau pemilih Agus Silvi didatangi dirumahnya, para pendukung Agus Silvi diarahkan agar pada pilgub putaran kedua itu mereka diminta untuk memilih cagub muslim. Dan alhasil para bekas pemilih Agus Silvi itupun memilih Anies Sandi dengan alasan cagub seiman. Dan saya ucapkan selamat DKI Jakarta setelah Ahok Djarot tidak menjabat bakal berada digenggaman kelompok inteloran yang sangat ganas menakutkan.

Owhhhh DKI Jakarta sedang mengalami kemunduran dalam berdemokrasi. Sementara ini dulu yang aku tulis, sebab masih banyak lagi kejadian yang aku ketahui menjelang pilkada DKI Jakarta putaran kedua. Tunggu tulisan saya selanjutnya.

@saeun Muarif


SHARE ARTIKEL INI AGAR LEBIH BANYAK PEMBACA

Fitnah Hingga Perusakan Karangan Bunga, Bukti Penduduk Bumi Datar Kejang-Kejang


DUNIA HAWA - Warga Jakarta yang mencintai Ahok tidak menunjukkannya dalam bentuk aksi dan demo tapi dalam bentuk karangan bunga. Inilah bukti Ahok dicintai karena karakter dan karya-nya, bukan karena agamanya. Karena banyak yang beragam Islam tapi orang seperti Ahok sangat jarang. Ternyata karangan bunga ini memancing emosi kaum bumi datar sehingga kabarnya ada beberapa karangan bunga yang sengaja dirusak oleh mereka. Inilah tanda bahwa sebenarnya Ahok adalah pemenang sejati dari Pilkada ini.

Dikabarkan ada ratusan hingga ribuan karangan bunga yang dikirimkan oleh pendukung Ahok. Bahkan sampai tidak muat didalam area balai kota. Karangan bunga berjejer hingga disepanjang jalan dekat balai kota. Tidak ada gubernur yang kalah lalu mendapat penghormatan seperti ini dari warganya. Bentuk kecintaan tulus dari warganya yang tersentuh oleh aksi nyata Ahok bukan oleh kata-kata manis namun kosong.


Seperti yang saya duga, pasti sumbu datar akan tidak kuat melihat ini. Benar saja mereka kejang-kejang, bingung kenapa bisa banyak orang yang mencintai Ahok. Apalagi fenomena ini tentu akan menggoyahkan pendukung mereka yang hanya memilih Anies karena agamanya atau karena terintimidasi. Jadilah para sumbu datar melakukan banyak hal untuk mencoba menghilangkan fenomena kecintaan warga Jakarta terhadap Ahok. Saya yakin sekali jenis bumi datar ini adalah mereka yang tidak tinggal di Jakarta dan pembaca setia media abal-abal.

Salah satu yang paling kocak adalah ini, pesan whatsapp rekayasa mereka. Seolah-olah Ahok memesan ribuan karangan bunga. Tapi lucu sekali karena terlihat sangat maksa sekali, tanpa tanggal, tanpa ada foto, dan sebagainya.

Banyak juga bertebaran status-status konyol di medsos yang mengatakan bahwa pemesan bunga tersebut tidak mencantumkan alamat. Lah, saya juga pernah mengirim bunga tanpa mencantumkan alamat. Emang kenapa? Ada orang-orang yang merasa privasinya terganggu kalau sampai mencantumkan alamat. Apalagi penduduk bumi datar kerap mengirimkan ancaman-ancaman kepada pendukung Ahok.

Dan masih banyak argumen-argumen mereka yang diungkapkan melalui media sosial yang justru semakin membuat saya tertawa dan puas. Mereka panik, panik sekali. Karangan bunga untuk Ahok yang jumlahnya ribuan bahkan kabarnya masih ada ribuan lagi yang waiting list, menampar dengan telak wajah mereka.

Mereka juga bingung kenapa banyak tulisan yang seolah-olah becanda. Ya inilah bumi bulat, kita santai, rileks, senang bercanda, mirip Pak Ahok yang bisa stand up comedy. Kalau bumi datar nampaknya hanya tau teriak-teriak demo, ngancem mayat, jual ayat hingga tamasya intimidasi itu.

Selain karangan bunga, balai kota padat dengan pendukung Ahok hingga kabarnya ada yang pingsan segala gara-gara desak-desakan. Wah ini Ahok apa artis luar negri yah? Udah kayak Justin Beiber aja lo hok. Pandji aja gak pernah bisa seperti itu, padahal katanya Pandji itu artis loh. Peace ah Dji.





Satu hal yang pasti kenapa bisa seperti ini, Ahok dicintai dengan tulus oleh warganya. Orang-orang mencintai Ahok karena karyanya, ketegasan beliau melindungi uang APBD meski harus bonyok-bonyok hingga harus di cap penista agama. Ahok dicintai juga karena kelembutannya terhadap rakyat kecil yang selalu dicoba untuk dihapus oleh stempel-stempel kaum sumbu pendek. Mereka menggunakan cara-cara seperti Nazi kata Ahok saat dipengadilan kemarin, mengulang-ulang kebohongan hingga dianggap kebenaran.

Tapi kekalahan kemarin seperti menyadarkan warga Jakarta. Kelak mereka akan kehilangan salah satu Gubernur terbaik yang pernah mereka miliki. Kelak orang yang paling depan menjaga APBD sudah tidak ada lagi di Jakarta. “Pemahaman nenek lo!” tidak akan ada lagi karena kelak nanti mereka akan sepaham.

Bayang-bayang rusaknya Kalijodo mulai terlihat, kesemerawutan Jakarta, sungai yang akan kotor kembali, hingga menghilangnya pasukan berwarna yang fenomenal itu.

Benar kata orang, bukan Ahok yang rugi tapi warga Jakarta lah yang rugi.

@gusti Yusuf


SHARE ARTIKEL INI AGAR LEBIH BANYAK PEMBACA


Jakarta yang Kehilangan Ahok


DUNIA HAWA - Ratusan karangan bunga memenuhi balaikota.

Sebagian besar bertuliskan rasa kehilangan. Rasa yang mendalam karena selama ini sudah mendapatkan pelayanan yang benar.

Jakarta kehilangan Ahok.

Meski ia sudah bersusah payah untuk membela warga Jakarta, rupanya sebagian besar masih belum bisa menerimanya.

Bukan, bukan karena kinerjanya. Mereka puas akan apa yang Ahok lakukan. Tetapi mereka lebih suka pemimpin yang seiman, yang satu ras dan yang suka santun-santunan.

Tidak ada lagi deretan manusia di pagi hari dari mereka yang resah akan ketidak-adilan di kota ini. Tidak ada lagi sekedar selfie dan haha hihi dari ibu-ibu yang sekedar hanya ingin pose diri bersama orang yang dia kagumi.

Jakarta kehilangan Ahok.

Para marbot, para pasukan bersih-bersih, anak-anak penghuni rusun yang diselamatkan dari takdir kemiskinan dengan tinggal di pinggir kali dan warga yang kebanjiran setiap hari.

Sudah tidak ada lagi yang blusukan masuk ke ruang-ruang kumuh, sekedar melihat apa yang bisa dikerjakan untuk membantu mereka yang kesusahan.

Sudah tidak ada lagi yang pasang badan di depan para pengembang supaya bisa mengucurkan sebagian dana mereka untuk taman-taman kota, rusun-rusun yang layak huni dengan seperangkat perabotan lux di dalamnya.

Sudah tidak ada lagi yang melindungi uang rakyat yang selama ini dibagi-bagi diantara para pejabat rakus yang hanya peduli pada sejawat.

Jakarta kehilangan Ahok..

Meski itu salah Jakarta sendiri, yang masih emosional cara berfikirnya. Jakarta yang masih melihat baju putih bersih sebagai malaikat, kata santun sebagai penyelamat dan ketakutan tidak bisa berusaha karena ancaman sesaat.

Tidak akan ada lagi berita menarik yang lewat tentang Jakarta di beranda. Karena yang muncul darinya - seperti biasa - hanya kepalsuan belaka. Sama seperti banyak daerah lain yang lebih senang memilih yang palsu asal sopan daripada orisinal dengan ketegasan yang jujur tersampaikan.

Jakarta kehilangan Ahok..

Seperti kopiku yang berkurang rasa pahitnya.

@denny siregar


SHARE ARTIKEL INI AGAR LEBIH BANYAK PEMBACA

Dari Kami yang Katanya Sudah Bisa Move On


DUNIA HAWA - Sejarah akan mencatat, nama Ir. Basuki Tjahaja Purnama dan Drs. H. Djarot Saiful Hidayat menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur yanghumanis dan peduli dengan warganya. Dimana warga DKI Jakarta beberapa hari yang lalu memberhentikan langkah menuju periode kedua kepemimpinan mereka berdua.

Warga DKI Jakarta lebih memilih pasangan Gubernur lain untuk memimpin Jakarta di lima tahun mendatang. Semua perjuangan sudah dilakukan, datang dari seluruh pelosok negeri untuk memenangkan Pak Ahok-Djarot sudah dilakukan. Kampanye di seluruh media online juga dilakukan dengan baik. Bahkan pergerakan kampanye-pun sudah berjalan sampai ke lapisan masyarakat Jakarta yang paling dalam.

Harapan pendukung Ahok-Djarot memang sangat tinggi, apalagi ada pengumpulan KTP yang dikoordinasi oleh Teman Ahok. Namun setingginya harapan bukan menjadi suatu kepastian dalam hasil akhirnya. Pesaing Gubernur yang kita dukung menjadi pemenang dengan selisih hampir satu juta suara menurut hasil quick count KPUD Jakarta. Selisih suara yang cukup banyak mengingat jumlah suara yang ikut dalam Pilkada putaran kedua sekitar lima juta suara.

Artinya memang, secara jumlah warga DKI Jakarta ingin mengakhiri kepemimpinan Gubernur yang masih menjabat sampai Oktober Tahun ini. Entah isu apa yang bisa membuat kalah Gubernur petahana, tapi melihat perkembangan di beberapa media mau tidak mau yang paling sukses menggoyang Pak Ahok turun dari Gubernur adalah isu agama.

Buat semua orang hasil Pilkada Jakarta ini seperti menjadi raport kenaikan kelas. Disana akan terbaca seberapa dalam cara pandang warga Ibukota dalam menyikapi permasalahan agama dalam kepemimpinan pemerintahan. Hasil perhitungan suara memang belum secara resmi diumumkan, namun diprediksi tidak jauh berbeda dengan hasil saat ini.

Warga Jakarta kelihatannya sudah melek informasidigital. Hampir di setiap gang-gang sempit di Jakarta, warga di sana sudah memakai smartphone, mereka mendapatkan informasi yang benar atauhoax bercampur menjadi satu. Tidak ada filter yang jelas, karena membeli kuota internet tidak ada hubungannya dengan kecerdasan si pengguna.

Untuk sebagian warga Jakarta, memilih berdasarkan agama menjadi pilihan yang sangat rasional dibandingkan dengan kinerja dan hasil pembangunan yang ada. Bahkan di rumah susun yang sudah terbangun, suara petahana masih kalah dibandingkan dengan suara calon lain. Mereka lebih percaya Jakarta akan dibangun dengan lebih sopan dan naratif.

Dilihat dari beberapa pernyataan baik itu Gubernur baru maupun Wakilnya, setelah Pilkada ini bahasa-bahasanya berubah menjadi normatifdan tidak terlihat menggebu-gebu seperti sebelum tanggal 19 April lalu. Mungkin karena belum menjabat jadi terlihat bingung atas pertanyaan yang ada.

Orang bijak sering berkata, setiap hal yang sudah terjadi pasti ada hal yang baik untuk diambil. Menjadi kalah dan menang memang ditentukan dalam hasil, namun memilih menjadi pandai dan bijak adalah pilihan dari setiap kita. Menjadi pendukung Ahok-Djarot adalah harga mati, lakukan yang terbaik sampai usaha terakhir. Tetapi ketika kenyataan menjadi berbeda dengan harapan tidak otomatis membuat kita sebagai pendukung menjadi lemah otak dan sama seperti kaum sebelah.

Kegagalan akan menjadi warna dalam setiap kehidupan masing-masing dari kita. Termasuk Gubernur yang baru saja kalah. Ahok boleh saja kalah dalam pertandingan Pilkada kemarin, namun sebagai manusia Ahok jelas tidak kalah. Dan beliau menitipkan cara-cara berdemokrasi yang baik kepada kita semua. Beliau memang sering dianggap tidak sopan, berkata-kata kasar dan terlihat angkuh. Namun sikap menerima kekalahan menjadikan Pak Ahok tidak seperti orang yang kalah.

Warga DKI yang berbondong-bondong datang ke Balai Kota menjadi saksi bahwa, pemimpin yang disukai warganya tidak hanya ada di negeri dongeng. Mungkin sejarah akan mencatat, kelincahan Ahok dalam mengelola anggaran yang terbatas namun efektif dalam pengelolaan.

Jalan Lingkar Semanggi menjadi salah satu saksi bahwa pembangunan itu tidak melulu lewat anggaran yang sudah disahkan. Pak Ahok sangat pandai mengambil posisi kapan beliau harus keras dengan para pengusaha, kapan harus lembut dengan warga yang butuh pertolongan. Namun sayang periode lima tahun kedepan sepertinya tidak akan ada lagi antrian warga untuk mengadu ke Gubernurnya. Karena memang sepertinya bukan itu tipe kepemimpinan Gubernur baru Jakarta.

Dan kini episode terbaru warga Jakarta sudah jelas, Gubernur baru di bulan Oktober nanti. Anggaran memang sudah tidak bisa dirubah, Gubernur baru mungkin bakal berdalih baru bisa kerja setelah awal tahun depan, dengan pengesahannya anggaran yang sudah disetujui bersama para anggota Dewan yang terhormat. Untuk Pak Ahok, biarkanlah beliau menjalankan peran barunya. Saya rasa beliau tidak kurang cerdas untuk bertanggung jawab kepada keluarganya. Kepada warga Jakarta saja beliau sangat bertanggungjawab, apalagi untuk kehidupan keluarganya. Semua issue yang ada janganlah membuat kita sebagai pendukung menjadi fanatik dan hanya melihat ketokohan seorang manusia saja.

Perjuangan bersama dengan Pak Ahok harus kita kembalikan kepada perjuangan membela toleransi, membela demokrasi yang baik. Pak Ahok masih bisa salah, karena memang beliau adalah manusia biasa. Namun negara ini adalah negara Pancasila, negara yang seharusnya penuh dengan toleransi dalam berkehidupan. Itulah sebenarnya yang harus kita perjuangkan.

Menyindir Gubernur baru dengan Peraturan Mendagri yang mana Presiden bisa menurunkan Gubernur di tengah jalan adalah tindakan bodoh dan sangat reaktif. Apalagi memaksa Presiden harus menjawab pertanyaan soal resufle kabinet untuk dihubungkan di menteri apa nanti Pak Ahok akan dilantik, hal itu sangat tidak produktif. Karena kita menjadi mirip pendukung sebelah yang mau ganti Presiden di tengah jalan dan sudah ada kabinet bayangan apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Jadi untuk para pendukung Ahok-Djarot, jadilah pendukung yang cerdas. Mempunyai hati yang besar untuk menerima kekalahan dengan hati yang lapang. Jangan sisakan pikiran tidak waras di otak kita, sungguh sangat sayang waktu yang kita gunakan hanya untuk memaksa Gubernur baru turun dari takhta, dan membuat opini Ahok menjadi salah seorang menteri di Kabinet ini. Toh urusan resufle kabinet wilayah Pak Presiden. Mari kita bangun bangsa ini dengan cara yang lebihelegan. Memberikan usulan program yang masuk akal untuk Gubernur sebelah bisa menjadi salah satu cara yang baik mendorong kota yang sama-sama kita cintai ini. Mendukung perilaku-perilaku yang sehat tidak provokatif, dan menjunjung tinggi nilai kebangsaan. Dimana yang menang tidak jumawa dan yang kalah tidak perlu merasa inferior.

Tangisan dan lagu Maju Tak Gentar di Kantor Gubernur pagi tadi mungkin menjadi klimaksepisode Pilkada DKI Jakarta. Warga yang datang bercampur aduk dalam perasaan. Ada yang sedih dan tidak percaya, terharu dengan ketegaran sangGubernur dan sisanya adalah rasa hormat yang mendalam. Terhadap Gubernur yang telah meletakan definisi kerja yang sesungguhnya. Tetap semangat Pak Ahok, tetap tersenyum Pak Djarot maafkan kami yang tidak sekuat bapak berdua untuk menghadapi kerasnya ironi ini.

@hisar Ivan hutabarat 


SHARE ARTIKEL INI AGAR LEBIH BANYAK PEMBACA

Buni Yani Dimakan Monsternya Sendiri


DUNIA HAWA - Dapat kabar Buni Yani jualan Mug untuk mengongkosi hidupnya. Si "pahlawan umat" ini sama sekali tidak di bela umatnya. Bahkan pengacaranya juga malah minta bayaran yang naudzubillah besarnya. Ia di habisi oleh perbuatannya sendiri.

Cukup banyak alasan untuk membenci Buni Yani yang perbuatannya sudah merusak tatanan negeri ini. Bahkan lebih besar lagi, hampir saja merusak keutuhan dan kerukunan bangsa.

Tapi mau bagaimana lagi? Kita hanya bisa menarik pelajaran dari kasus ini, bahwa masih banyak masyarakat kita yang lebih suka menghakimi daripada susah payah klarifikasi. Padahal dalam kitab suci disinggung tentang berhati-hatilah terhadap "kabar orang fasik" dan pentingnya tabayyun.

Seperti kata Imam Ali : "Membuktikan kebenaran kepada orang bodoh itu mudah. Membuat mereka menerimanya itu yang susah".

Ah, jadi malah kasihan pada nasibnya sekarang. Buni Yani dimakan monster yang diciptakannya sendiri.

Hanya satu kata hiburan yang bisa saya berikan pada dia. Terimalah hukumanmu dengan lapang dada. Karena hukuman di dunia akan mengikis banyak dosa sebelum hari pengadilan tiba..

Gagahlah, Buni Yani..

Berkacalah pada Ahok -orang yang kau fitnah- yang dengan berani membela dirinya dibantu oleh banyak pengacara yang membela dia karena ketulusannya..

Satu pertanyaan saja,

Mug itu kalo dipake ngopi kira-kira rasanya tetap enak gak ya?

@denny siregar


SHARE ARTIKEL INI AGAR LEBIH BANYAK PEMBACA