Wednesday, March 29, 2017

Sidang ke-16 Ahok: Inilah Argumen Hukum yang Bisa Menyelamatkan Ahok dari Dakwaan JPU


DUNIA HAWA - Sidang ke-16 Ahok dilanjutkan hari ini dengan agenda pemeriksaan ahli. Sidang hari ini adalah hari terakhir untuk mendengarkan keterangan ahli, dikarenakan pada sidang selanjutnya agenda sidangnya adalah pemeriksaan terdakwa. Dalam sidang ke-16 hari ini, dihadirkan 7 ahli, diantaranya ahli hukum pidana, ahli linguistik (bahasa), ahli psikologi sosial, dan ahli Agama Islam. Namun yang akan saya bedah adalah hanya dari aspek hukum pidananya saja.

Ahok ditetapkan sebagai tersangka tak lama setelah diterbitkannya pendapat keagamaan MUI yang isinya menyatakan Ahok melakukan penodaan agama. Sedangkan pendapat keagamaan MUI bukan merupakan bagian dari hukum positif yang berlaku di Indonesia, bukan pula bagian dari sumber hukum di Indonesia. Sehingga pendapat keagamaan MUI yang menyatakan Ahok melakukan penodaan agama sudah tidak bisa dijadikan sebagai bukti, dalam hal ini alat bukti surat.

Karena alat bukti pendapat keagamaanyang berbentuk surat itu sudah gugur, dikarenakan pendapat keagamaan MUI  sama sekali tidak bisa dijadikan sebagai tolok ukur untuk menuduh Ahok menodai agama Islam. Apalagi pendapat kegamaan MUI yang dikeluarkan dalam kasus Ahok, adalah yang pertama kalinya dalam sejarah sejak MUI berdiri di Republik ini. Selain tidak bisa lagi dijadikan sebagai alat bukti, alasan lain yang menggugurkan pendapat kegamaam MUI adalah Indonesia bukan negara yang menganut sistem hukum Islam, Indonesia menganut sistem civil law.

Sehingga Ahok tidak bisa didakwa melakukan penodaan agama jika hanya berdasarkan pendapat keagamaan yang diterbitkan oleh MUI, yang sama sekali tidak memiliki kekuatan hukum apapun. Jadi salah satu alat bukti yang menjadi pegangan hakim dalam mengambil keputusan (untuk menjatuhkan vonis) sebagaimana yang diatur Pasal 188 ayat (2) KUHAP, yakni surat, sudah gugur. Karena surat itu tidak memiliki nilai pembuktian apapun, apalagi surat yang berkaitan dengan agama, karena Indonesia bukanlah negara yang berdasarkan agama. Selain pendapat kegamaan MUI yang sudah tidak memiliki kekuatan hukum apapun, argumentasi hukum lain yang bisa menggugurkan dakwaan yang didakwakan kepada Ahok adalah yuriprudensi.

Di Indonesia ada beberapa yuriprudensi (putusan hakim terdahulu), dimana terdakwa penoda agama selalu/ tidak pernah lolos dan divonis bersalah oleh hakim. Memang benar salah satu sumber hukum di Indonesia adalah yurisprudensi, tetapi hakim dalam sistem hukum civil law tidak terikat sama sekali dengan yurisprudensi, hakim dalam sistem hukum di Indonesia harus menemukan hukum.

Salah satunya membuat keputusan baru (vonis baru), tidak boleh terikat dengan yuriprudensi, karena yurisprudensi hanya mengikat hakim di negara yang menganut sistem hukum common law dan anglo saxon, bukan civil law. Jadi, dalam kasus Ahok, hakim tidak boleh  terikat lagi dengan yuriprudensi terkait keputusan hakim terdahulu mengenai kasus penodaan agama. Hakim dalam kasus ini harus menemukan hukum baru, berupa vonis baru, tidak sama seperti keputusan hakim terdahulu yang selalu memvonis bersalah terdakwa penodaan agama.

Alasan lain yang membuat hakim tidak boleh menggunakan yuriprudensi dalam kasus penodaan agama yang didakwakan kepada Ahok adalah dikarenakan selama ini keputusan hakim dalam menjatuhkan vonis terhadap terdakwa penoda agama sudah keliru total. Karena berdasarkan sejarahnya, penodaan agama dapat berupa membakar kitab suci agama , menginjak-injak kitab suci agama, merobek-robek kitab suci agama.

Dan penjatuhan vonis yang selama ini sudah jadi yurisprudensi dalam kasus penodaan agama, ternyata sudah tidak sesuai dengan sejarah diterbitkannya pasal penodaan agama, Pasal 156 a KUHP, yang diterbitkan karena ada aksi penginjak-injakan terhadap kitab suci agama Islam saat Indonesia masih dikuasai oleh PKI. Jadi, penginjak-injakan itulah yang merupakan perbuatan penodaan agama sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 156 a KUHP.

Juga sudah tidak ada lagi alasan untuk memvonis Ahok mengikuti yuriprudensi, karena yurisprudensi yang selama ini jadi senjata untuk memojokkan Ahok, justru tidak sesuai dengan historis pasal penodaan agama, karena tidak mungkin bisa membuktikan perasaan seseorang, bagaimana logikanya jika perasaan bisa dibuktikan? Pembuktian mengenai perasaan sebagaimana yang ditimpakan kepada Ahok, adalah pertama ka;li dalam sejarah hukum di Indonesia, sejak diterbitkannya Pasal 156 a KUHP oleh Presiden Soekarno. Yang sudah jadi sejarah dalam kasus penodaan agama di Indonesia adalah perbuatan, seperti membakar atau menginjak-injak kitab suci agama.

Karena hanya perbuatan yang harus dibuktikan dalam kasus Ahok, sedangkan Ahok tidak pernah melakukan perbuatan menginjak-injak, membakar atau merobek-robek kitab suci Islam, Al-Qur’an, sehingga tidak ada penodaan agama sebagaimana yang didakwakan kepada Ahok. Salah satu contoh kasus penodaan agama dimana terdakwanya divonis bersalah dan tidak sejalan dengan sejarahnya bahkan bertentangan dengan asas legalitas adalah vonis terhadap Arswendo.

Arswendo divonis karena dianggap menghina Nabi Muhammad S.A.W karena melakukan poling  yang dilakukannya, padahal dalam KUHP yang berlaku sampai saat ini, tidak ada pasal tentang penghinaan terhadap Nabi. Pasal penghinaan terhadap Nabi baru  sebatas dalam RUU KUHP, yang kini sedang digodok oleh DPR-RI.  Begitu pula dengan kasus Lia Eden yang mengaku sebagai Imam Mahdi yang mendapat wahyu dari Malaikat Jibril, juga tidak ada dasar hukumnya, karena apa yang didakwakan kepada Lia Eden saat itu tidak masuk ke dalam penodaan agama, karena itu masuk ke delik penghinaan terhadap keagungan tuhan yang sampai hari ini tidak pernah ada diatur dalam KUHP, baru ada dalam RUU KUHP.

Bahkan kekeliruan dalam memvonis bersalah terdakwa yang didakwa menodai agama bisa saya tambahkan satu lagi, yakni kasus Sastrawan HB Jassin banyak dikritik setelah menerbitkan cerita pendek Langit Makin Mendung karena penggambaran Allah, Nabi Muhammad dan Jibril dan menyebabkan kantor majalah Sastra di Jakarta diserang massa. Dalam kasus ini, HB Jassin divonis 1 pidana percobaan, padahal  pasal penghinaan Allah, Nabi , dan Keagungan Tuhan, tidak pernah ada dalam KUHP yang selama ini berlaku.

Itulah yang saya bisa argumenkan bahwa hakim tidak bisa menjatuhkan hukuman kepada Ahok, dikarenakan dari 3 yurisprudensi kasus penodaan agama , semua vonisnya tidak sesuai dengan asas legalitas. Jadi tidak ada yurisprudensi untuk bisa menghukum Ahok. Apalagi Ahok didakwa menodai agama karena Ahok menyinggung Surat Al-Maidah ayat 51 yang merupakan bagian dari Kitab suci agama Islam, Al-Qur’an, yang sampai hari ini dalam KUHP, tidak ada pasal penghinaan Kitab suci , jadi mau tidak mau hakim harus bebaskan Ahok, karena pasal penghinaan Kitab suci baru ada dalam RUU KUHP, yakni Pasal 343 RUU KUHP yang belum disahkan hingga hari ini. Jadi dakwaan JPU salah alamat, karena disatu sisi didakwa menodai agama, TAPI disisi lain dalam dakwaan disebut pula bahwa Ahok menodai agama karena dianggap menyinggung Al-Maidah yang notabene adalah Kitab Suci agama Islam. Karena jika dianggap menodai agama hanya karena menyinggung Al-Maidah yang merupakan bagian dari Al-Qur`an, Maka Ahok harus dibebaskan karena tidak ada pasal penghinaan Kitab suci dalak KUHP yang masih berlaku sampai sekarang.

Berkaca dari kasus Arswendo , Lia Eden dan HB Jassin yang  dianggap sudah jadi yurisprudensi, kini sudah saatnya hakim yang tengah memeriksa perkara Ahok, untuk tidak mengikuti yuriprudensi yang keliru tersebut, dan kembali taat pada historis sejarah lahirnya Pasal 156 a KUHP, yang dalam sejarahnya, tidak ada pembuktian perasaan seseorang di pengadilan,juga taat pada asas legalitas (vide: Pasal 1 ayat (1) KUHP.

@ricky vinando


Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment