Wednesday, January 11, 2017

Mengadili Aborsi

DUNIA HAWA - ​Baru-baru ini, linimasa salah satu media sosial saya dihiasi dengan perdebatan mengenai legalitas tindakan aborsi yang aman, yang terjadi di beberapa negara Barat. Yang mengangkatnya adalah salah satu akun berideologi feminisme yang saya ikuti, yakni Indonesia Feminis.


Dalam konteks aborsi aman dan legal, aktivis feminisme di negara-negara tersebut memandangnya sebagai salah satu hak reproduksi mendasar dan bagian dari otoritas tubuh seorang perempuan yang harus diperjuangkan, bukan diatur-atur (oleh negara, misalnya) apalagi dikriminalisasi. Perdebatan antara aktivis feminisme liberal dengan kaum konservatif menggaungkan dua istilah bagi masing-masing kubu:

pro-life dan pro-choice.


Saya belum membaca lebih jauh tentang siapa yang lebih dulu menemukan atau memakai kedua istilah itu, tapi saya kira makna harafiahnya sudah cukup jelas: pro-life adalah mereka yang menentang aborsi yang dianggap sama dengan pemusnahan kehidupan, pro-choice adalah mereka yang menganggapnya sebagai pilihan yang harus didukung bagi orang-orang yang memang menginginkannya.

Di Amerika, misalnya, perdebatan sudah menjadi cukup panas hingga menimbulkan konflik fisik, misalnya penyerangan dan teror terhadap fasilitas dan pekerja klinik-klinik Planned Parenthood yang dianggap memfasilitasi aborsi (meskipun banyak dari klinik-klinik itu yang faktanya tidak melakukan prosedur tersebut, melainkan lebih berfokus pada layanan kontrasepsi).

Perdebatan pro-life VS pro-choice ini sepertinya masih belum punya gaung di negara kita. Orang Indonesia secara umum masih asing dengannya. Wacana aborsi sebagai pilihan, apalagi sebagai hak, masih jauh di awang-awang.

Secara hukum, di negara kita aborsi masih dipandang sebagai tindak kriminal. Pasal 75 ayat (1) Undang-Undang no. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan secara umum melarang setiap orang untuk melakukan aborsi, meski masih terdapat ruang pengecualian pada ayat (2), yaitu dalam kasus kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, atau adanya kelainan genetik berat dan/atau cacat bawaan maupun yang tak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi bertahan hidup di luar kandungan, juga pada kasus kehamilan akibat pemerkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban pemerkosaan.

Dalam kasus pemerkosaan ini, terdapat sejumlah syarat yang lebih lanjut dideskripsikan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, yaitu bahwa aborsi hanya dapat dilakukan bila kehamilan maksimal berusia 40 hari sejak hari pertama haid terakhir, juga bahwa kehamilan tersebut betul-betul dapat dibuktikan terjadi akibat tindak perkosaan (di antaranya lewat perhitungan usia kehamilan yang sesuai dengan waktu terjadinya pemerkosaan dan pembuktian adanya tindak pemerkosaan itu sendiri).

Permasalahannya adalah, sebagai negara yang masyarakatnya masih memandang agama sebagai faktor terpenting dalam segala bidang hidup mereka, aborsi di Indonesia masih menjadi momok mengerikan yang “pokoknya salah dan dosa”. Meski dalam hukum agama sendiri masih terdapat banyak perdebatan mengenai kapan tepatnya gumpalan jaringan dalam rahim tersebut dapat dikatakan “manusia”, hal itu tidak menghentikan generalisasi negatif yang ada.

Kata “aborsi” itu sendiri saja sudah memiliki konotasi sangat buruk dalam kehidupan bermasyarakat, mungkin lebih buruk dari pemerkosaan atau pembunuhan. Ruang-ruang pengecualian yang berusaha diakomodasi oleh hukum kita di atas seolah terabaikan akibat konotasi yang sudah telanjur buruk ini.

Bahasa hukum itu sendiri pun tidak lepas dari bias pandangan masyarakat. Hal ini antara lain tampak dari batas waktu 40 hari kehamilan yang diakibatkan tindak pemerkosaan, yang bertabrakan dengan definisi “kehamilan yang menimbulkan trauma psikologis”.

Berapa pun usia kehamilannya, trauma adalah trauma, bukan? Mestinya hukum dapat mengatur jalan keluar lain. Belum lagi jika mempertimbangkan betapa rumit dan biasnya hukum dan sistem peradilan di negara kita bila menyangkut pembuktian tindak pidana pemerkosaan dan kekerasan seksual lainnya.

Tapi bukan itu sebenarnya yang hendak saya sorot dalam tulisan ini. Sebagai seorang dokter tersumpah yang sedang belajar kesadaran gender dan feminisme, aborsi adalah sesuatu yang sudah lama menjadi bahan pergumulan saya. Apalagi ketika muncul perdebatan pro-life VS pro-choice ini. Sikap seperti apa yang seharusnya saya ambil?

Di satu pihak, saya sepakat dengan sudut pandang feminisme yang sangat menekankan otoritas tubuh dan kebebasan (serta kesempatan dan pengetahuan memadai) untuk memilih bagi seorang perempuan. Kedua hal ini sangat krusial apabila kita ingin mengentaskan, antara lain, obyektivikasi seksual dan eksploitasi tubuh yang sudah terlalu lama dibebankan budaya patriarki kepada kaum perempuan.

Hal-hal sederhana namun esensial seperti hak kepemilikan tubuh dan hak bebas dari kekerasan seksual tidak akan bisa diperjuangkan tanpa dua konsep ini. Pro-choice, dengan kata lain, bersama-sama dengan penghargaan terhadap kemanusiaan dan semangat kesetaraan, adalah jiwa yang utama dari feminisme (bukan “mengalahkan laki-laki” seperti yang sering dikira sebagian orang yang mungkin merasa takut disaingi).

Di pihak lain, tidak mungkin menjadi seorang dokter yang tidak pro-life. Dalam hal ini, saya mengambil makna pro-life yang paling umum: memelihara, merawat, mempertahankan kehidupan. Saya akan mengambil perbandingan yang menurut hemat saya bisa membantu, yakni antara seorang dokter dan seorang biolog murni. Keduanya sama-sama ilmuwan; keduanya sama-sama memiliki kewajiban untuk mengambil “jarak” dan bersikap obyektif, bebas bias.

Tapi, sedikit berbeda dengan biologi murni, kedokteran adalah suatu ilmu yang lahir dan dikembangkan begitu erat dengan upaya menyejahterakan kehidupan manusia, individu maupun komunitas. Ilmu biologi murni mungkin dapat memandang obyek keilmuannya sebagai sekumpulan sel, sekumpulan jaringan, sekumpulan organisme, dan seterusnya.

Tapi kedokteran diciptakan sebagai ilmu yang harus memandang “obyek” keilmuannya, yakni manusia, sebagai subyek yang setara dan seharkat dengannya alih-alih sebagai sebatas obyek penelitian.

Seorang dokter di hadapan pasien tidak dapat bersikap “dingin” sebebas seorang biolog murni di laboratorium. Oleh karena itu, saya menemukan diri saya tidak dapat memandang jaringan yang sudah melewati proses pembuahan sebagai “only fetal tissues” seperti yang diklaim sebagian pro-choice (yang berargumen bahwa seorang perempuan sebagai manusia individu memiliki harga lebih dari “some fetal tissues”).

Secara genetika, DNA yang dikandung oleh jaringan itu sudah merupakan penanda genetik yang unik dan spesifik, tak ada duanya di dunia, cikal bakal individu manusia yang betul-betul baru. Dan hidup. Terlepas dari apakah ia akan bertahan lebih lanjut atau tidak. Oleh karena itulah, saya rasa, definisi kehamilan dalam ilmu kedokteran sudah dimulai sejak dari proses pembuahan.

Karena itu, ketika salah satu artikel yang dibagikan oleh akun Indonesia Feminis menekankan bahwa tidak ada dan tidak mungkin ada yang namanya feminis yang pro-life, saya merasa aneh. Saya membagikan ulang artikel tersebut ke linimasa saya dengan catatan, “Salah – setidaknya menurut saya. Saya seorang feminis, dan saya menganggap diri saya pro-life sekaligus pro-choice.”

Beberapa saat kemudian, entah memang sebagai respon atau cuma saya yang kegeeran – saya berdoa semoga yang kedua – admin akun Indonesia Feminis membagikan ulang pendapat mereka bahwa bagi feminisme, pro-life dan pro-choice adalah dua hal yang sangat bertentangan dan tidak mungkin sejalan.

Aborsi adalah hak, aborsi terjadi karena seorang wanita tidak menginginkan kehamilannya, dan aborsi adalah pilihan yang harus diberikan kepada perempuan tersebut sebagai bentuk penghargaan terhadap otoritas tubuhnya. Titik. Saya pun mendesah, lalu menutup aplikasi media sosial di ponsel. Saat itulah saya memutuskan bahwa saya harus benar-benar memikirkan, lalu menuliskan, pendapat saya soal ini. Saya tidak bisa terus-menerus terbagi dua.

Saat membaca argumen mengenai “aborsi yang aman harus diberikan sebagai hak kepada perempuan yang menginginkannya”, saya teringat pengalaman saya dengan banyak pasien lanjut usia. Ini pengalaman sederhana, yang saya yakin sudah sering dialami oleh nyaris setiap dokter, terutama yang bekerja di daerah.

Pasien-pasien lansia di daerah seringkali sudah terbiasa dengan jarum suntik. Zaman dulu, saat fasilitas dan tenaga kesehatan masih sangat terbatas, mantri-mantri desa yang adalah ujung tombak kesehatan sering berkeliling ke kampung-kampung. Dan andalan mantri-mantri tersebut, yang generasinya saat itu belum berkesempatan untuk mengenyam pendidikan sekomprehensif pendidikan kedokteran/keperawatan/kebidanan zaman sekarang, adalah jarum suntik. Segala penyakit obatnya disuntik.

Ada seorang mantri di wilayah kerja saya yang sampai hari ini masih femes dan begitu dipercaya masyarakat. Dulu, menurut cerita beberapa perawat yang lebih muda, setiap bulan saat jadwal Posyandu ia selalu berkeliling membawa sekotak jarum suntik dan ampul-ampul berisi vitamin B. Satu kali suntik sekian puluh ribu. Dan begitu banyak orang yang datang minta disuntik. Hal itu berlangsung sampai sekarang, meski ia sudah pensiun.


@putri widi saraswati



Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment