Friday, December 30, 2016

Fahri Heryawan ; 10 Alasan AHY Tidak Pantas Jadi Gubernur

DUNIA HAWA - Pencalonan putra sulung SBY Agus Harimurti Yudhoyono membuat publik bertanya-tanya. Ada apa di balik pencalonan AHY sebagai gubernur DKI Jakarta. Pencalonan dirinya telah diusung oleh koalisi Cikeas dari Partai Demokrat, PPP, PKB, dan PAN. Pasalnya, koalisi tersebut dipimpin oleh partai Demokrat yang dipimpin langsung oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sebagian masyarakat bertanya-tanya mengapa SBY mengusung putra sulungnya itu untuk mencalonkan diri sebagai gubernur DKI Jakarta.


Dalam pertarungan Pilkada DKI Jakarta hanya AHY yang belum memiliki rekam jejak di politik. Pencalonanya sebagai gubernur DKI Jakarta terkesan memaksakan. Ketika AHY diperintahkan oleh ayahnya SBY untuk ikut bertarung di bursa calon gubernur DKI Jakarta, dirinya masih berpangkat sebagai Danyonif Mekanis 203 / Arya Kemuning di bawah jajaran Kodam Jaya. Ironisnya, ia sama sekali tidak mengetahui bahwa dirinya dipilih untuk ikut bertarung dalam Pilgub bahkan saat itu ia sedang bertugas di Australia.

Memimpin kota Jakarta bukanlah perkara yang mudah, Jakarta yang notabenenya jantung negara Republik Indonesia mempunyai problematika yang sangat kompleks. Pemimpin yang mencalonkan diri sebagai Kepala Daerah di DKI Jakarta, harus mempunyai program-program yang jelas demi memecahkan permasalahan di tengah-tengah masyarakat Ibu Kota. Pencalonan dirinya dirasa belum layak sebab ada beberapa alasan yang mencakup integritasnya dalam mencalonkan diri sebagai gubernur DKI Jakarta. Di antaranya :

Pertama, penunjukan dirinya yang terkesan dadakan. Ketika AHY dicalonkan sebagai gubernur DKI Jakarta, ia tidak mengetahui apapun. Sebab, saat itu ia sedang bertugas di Australia mendapat telpon dari ayahnya SBY untuk ikut bertarung dalam Pilkada DKI Jakarta. dalam sebuah diskusi di Kompleks Parlemen Senayan Jakarta pada tanggal 22 september 2016 Muhammad Qodari mengatakan, SBY sudah mempersiapkannya sejak tiga minggu yang lalu. Perihal tersebut juga diamini oleh Wakil Sekretaris Jenderal PPP Arwani Thomafi yang mengatakan bahwa nama Agus sudah muncul sejak tiga minggu yang lalu.

Meskipun demikian, pada dasarnya pencalonan AHY terkesan dadakan dan menjerumuskan. Sebab, tanpa sepengetahuan dirinya SBY mendadak mengumpulkan partai-partai koalisinya di Cikeas. Ibu Kota Jakarta membutuhkan pemimpin yang memilki track record yang jelas bukan hanya mengumbarkan janji-janji.

Kedua, pangkat militer yang masih menengah. Di karir kemiliteranya AHY belum memiliki jabatan yang strategis. Jabatan yang dimilikinya hanya sebagai Danyonif Mekanis 203 / Arya Kemuning di bawah jajaran Kodam Jaya. Jabatan tersebut didapatkanya karena prestasinya di bidang akademis, ia mendapatkan IPK sempurna 4,00 dari George Herbert Walker School di Webster University dalam program Master di bidang Leadership and Management.

Ketiga, rekam jejak AHY dalam bidang politik. Minimnya pengalaman yang dimiliki AHY dalam birokrasi di pemerintahan membuat keraguan di hati masyarakat. Dalam memimpin Jakarta butuh keahlian khusus untuk tata kelola ruang, mengatasi kemacetan, mengatasi banjir dan kesenjangan sosial.

Keempat, waktu yang singkat. Majunya AHY dalam pilgub DKI Jakarta terhitung memiliki waktu yang sangat singkat, semenjak diusung oleh koalisi Cikeas Agus terlihat masih belum mengetahui tingginya tingkat permasalahan di Ibu Kota Jakarta.

Hal itu terlihat ketika Agus menghadiri acara di Mata Najwa yang terkesan gelagapan menjawab sejumlah pertanyaan tajam dari Najwa Shihab seorang pembawa acara di acara tersebut. Sejak saat itu, Agus terus menghindar dari beberapa acara yang diselenggarakan oleh televisi nasional. Bagaimana dapat memimpin Jakarta, jika untuk hadir dalam sejumlah acara perdebatan untuk mempromosikan sejumlah program saja tidak menghadirinya.   

Kelima, ketidakjelasan visi-misi dalam pencalonanya sebagai gubernur DKI Jakarta. Pasangan Agus-Sylviana ini menyadari lemahnya kinerja pemerintah daerah dalam mengatasi segala permasalahan di Jakarta. ketidakjelasan visi-misi Agus-Sylviana yang dipaparkan dalam visi-misinya membuat masyarakat ragu terhadap kepiawayanya dalam memimpin Jakarta. KPUD Jakarta telah merilis visi-misi dari ketiga calon di situs resminya http://kpujakarta.go.id/.

Keenam, pengetahuanya dalam mengatasi kesenjangan sosial. Agus tidak memiliki investasi di bidang Politik. Untuk mengatasi kesenjangan sosial yang ada, butuh pengetahuan yang telah dibangun sejak dini. Pengetahuan Agus dalam hal tersebut disinyalir tidak dimilikinya. Sebab, Agus merupakan akademisi militer. Meskipun Wakilnya Sylviana Murni memiliki pengalaman di birokrasi. Akan tetapi, pengalaman tersebut hanya sebatas pengalaman birokrasi PNS.

Ketujuh, programnya yang kurang realistis dalam mengatasi banjir. Dalam kedatanganya di Gedung Kompas Palmerah, Jakarta Barat. AHY menjelaskan bahwa untuk mengatasi banjir tidak harus menggusur rumah-rumah di belantaran sungai. Akan tetapi, banjir bisa diatasi dengan kota mengapung. Menurutnya ide tersebut lebih baik dibandingkan dengan menggusur sejumlah rumah di belantaran sungai.

Coba kita bayangkan, berapa biaya yang dibutuhkan untuk membangun kota terapung tersebut. Selain memboroskan APBD, program itu sangat tidak realistis. Berhubung Jakarta merupakan Kota yang memiliki jembatan-jembatan pendek dan volume kendaraan yang tinggi. Sebenarnya, salah satu cara yang paling cocok adalah dengan cara normalisasi sungai.

Kedelapan, ketidakmampuan AHY dalam mengatasi kemacetan. Kemacetan di Jakarta memang sudah mencapai titik nadir. Bagaimana tidak, Jakarta merupakan jantung ekonomi di Indonesia dan pusat pemerintahan. menurut Agus dirinya akan melanjutkan program tranportasi massal yang dianggap cukup relevan dalam mengatasi kemacetan di Ibu Kota. Pasalnya, program tersebut telah dijalankan oleh gubernur Petahana Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Program tersebut merupakan program yang digagas oleh Ahok, terlihat dalam hal ini Agus tidak memiliki gagasan untuk mengatasi kemacetan.

Kesembilan, mengandalkan sosok ayah. Penunjukan AHY oleh ayahnya SBY, seolah merupakan ambisi SBY untuk memerintahkan putra sulungnya tersebut untuk mengikuti jejak langkahnya. Meskipun pepatah mengatakan “Buah jatuh tidak jauh dari pohonya”. Tidak semua keinginan seorang ayah dapat berjalan seiring kemampuan anaknya. Penunjukan dirinya sebagai calon gubernur DKI Jakarta ada indikasi SBY ingin meneruskan dinasti Cikeas pascakepemimpinanya 10 tahun silam.

Kesepuluh, niat kuat untuk memmpin DKI Jakarta. dalam pencalonanya sebagai gubernur DKI Jakarta, kesiapan AHY terlihat sangat minim. Sebab, pencalonan dirinya sebagai gubernur DKI Jakarta tidak lahir dari benak hatinya. Akan tetapi, atas dasar perintah ayahnya. Menjadi pemimpin Ibu Kota Jakarta merupakan panggilan jiwa untuk tulus mengabdi kepada rakyat Jakarta. jika keinginan tersebut tidak lahir dari dalam diri sendiri bagaimana ketulusan itu dapat tumbuh untuk mengabdi di masyarakat. Dalam melakukan sesuatu apapun harus didasari dengan niat, sesuai Qoul Hadits “innamal a’malu binniyat” setiap perbuatan harus didasari dengan niat.

Menjadi seorang gubernur DKI Jakarta harus tangguh dan visioner. Sebab, masyarakat di Jakarta merupakan masyarakat yang rasional. Dalam memilih gubernur, mereka tidak sembarang untuk memilihnya. Sebab, Jakarta dengan kebesaranya memiliki segudang kesemrawutan.

Maka dari itu, kelayakan AHY dalam menyalonkan diri sebagai gubernur DKI Jakarta menjadi keraguan yang menyelimuti sebagian masyarakat Jakarta. untuk menjadi pemimpin Jakarta tidak cukup memiliki popularitas yang tinggi. Akan tetapi, membutuhkan program-program yang jelas dan menjadi problem solver.

@fahri heryawan


Bintang Panungkas ; Dampak Feodalisme Partai Demokrat

DUNIA HAWA - Pilkada DKI 2017 sudah mendekati sesi debat resmi yang di selenggarakan oleh KPUD DKI Jakarta. Sesi debat pertama yang dilaksanakan tanggal 15 Januari 2017 sudah ditunggu banyak pihak, terutama oleh warga DKI mengenai ide & gagasan Agus Harimurti Yudhoyono.


Menurut penulis sangat keliru pendukung AHY menganggap sesi debat yang disiarkan oleh stasiun TV tidak resmi dari KPUD, sehingga tidak wajib menghadiri acara debat cagub tersebut. Ini bukan masalah wajib atau tidak, ini menyangkut uji Kompetensi jauh sebelum AHY harus di latih debat terlebih dulu atau tidak.

Seharusnya, AHY-Sylviana menghadiri acara debat tersebut. Publik sangat menantikan Ide mereka untuk solusi permasalahan DKI Jakarta yang belum diselesaikan oleh petahana, yakni pasangan Ahok-Djarot.

Rakyat membutuhkan politik akal sehat, bukan klarifikasi tidak substantif mengenai ketidak-hadiran mereka di acara debat. Dalam penggalan video AHY yang menjadi viral di media sosial mengenai solusi penanganan banjir sangat mengiris Nalar dan akal sehat penulis.

AHY tidak memberikan solusi teknis mengenai penanganan banjir di Jakarta. Rakyat tidak membutuhkan ilustrasi kota terapung, rakyat membutuhkan tidur nyaman saat hujan deras.

Publik membutuhkan penjelasan secara detail, apabila tidak setuju dengan relokasi, berikan rekomendasi dari relokasi tersebut. Pro-kontra terhadap kebijakan relokasi yang dilakukan oleh Ahok-Djarot itu hal biasa.

Tetapi uji lah manfaat-mudharat hasil dari relokasi, lakukan observasi seberapa besar mudharat yang dihasilkan dari relokasi tersebut. Gunakan data untuk mengkritisi kebijakan relokasi yang dilakukan Ahok-Djarot. Bukan retorika politik atau Ilustrasi kota terapung.

Melalui tulisan ini, penulis berpikir dengan pencalonan AHY di Pilkada DKI 2017 semakin meyakinkan publik bahwa cikeas mengalami syahwat kekuasaan. Muatan Dinasti politik sangat kental, Cikeas mempergunakan partai demokrat untuk terus melakukan manuver politik, walaupun AHY bukan kader demokrat.

Gaetano Mosca, filsuf Italia dalam bukunya The Ruling Class, menyatakan "Setiap Elit pada faktanya menunjukan kecenderungan untuk membangun tradisi yang turun temurun atau untuk menjadi sekumpulan orang seketurunan, jika tidak bisa dalam aturan hukum." Inilah yang coba dilakukan oleh Cikeas.

Apabila kita perhatikan, bagaimana agar dinasti politik tercapai bisa kita kaitkan dengan kecenderungan partai demokrat dan koalisi nya dalam mencalonkan AHY. Hal ini terkesan dipaksakan, pencalonan AHY diluar dugaan. Tidak mencari figur yang memiliki rekam jejak, tetapi orang terdekat (Feodalisme).

Dengan sistem Feodalisme, sebagai ketua umum dan ketua dewan pembina partai demokrat, SBY menggunakan wewenang dan pengaruh nya sebagai mantan Presiden untuk mengakomodir koalisi nya menyetujui pencalonan AHY. Saya yakin bukan atas dasar aspirasi rakyat, ini Ilusi.

Kecenderungan partai demokrat dalam menentukan pilihan politiknya sering bernuansa Pragmatisme. Tindakan walk-out di sidang paripurna, tidak berkoalisi maupun menjadi oposisi pemerintahan Joko Widodo membuktikan demokrat tidak mau menjalankan mesin partai nya secara Professional.

Bagaimana dengan Cikeas? Susilo Bambang Yudhoyono sebagai pimpinan Cikeas (juga), seperti tidak berniat membangun trust dalam internal partai nya. Jabatan-jabatan penting di Demokrat pun di pimpin oleh keluarga SBY. Demokrat menjelma seperti partai keluarga.

Di mulai dari Pilpres 2014, majunya besan SBY yaitu Hatta Rajasa sebagai wakil presiden nya Prabowo Subianto menjadi indikasi  bahwa SBY tidak mengikhlaskan sepenuhnya kekuasaan politik untuk Pemerintahan selanjutnya. Hal ini berbahaya bagi kelangsungan demokrasi Indonesia.

Demokrasi harus mampu melawan feodalisme dan dinasti politik. Demokrasi menjadi cita-cita bangsa Indonesia pasca-reformasi terlepas dari dinasti politik dan kekuasaan. Dengan pencalonan AHY di Pilkada DKI 2017 menjadi upaya Cikeas dan Partai demokrat selanjutnya untuk menapaki kekuasaan politik di Indonesia.

Dinasti politik tidak melanggar UU, dinasti politik tidak melanggar hukum juga. Tetapi dinasti politik membuka peluang yang sangat besar bagi Stakeholder melakukan abuse of power.

Dan demokrasi tidak memfasilitasi pergantian kekuasaan secara garis keturunan. Upaya membangun dinasti politik sangat rentan dengan korupsi apalagi jika terjadi di Negara berkembang seperti Indonesia.

Dan telah terbukti oleh dinasti politik di era pemerintahan Orde baru Soeharto dan Provinsi Banten di pemerintahan era Ratu Atut. Dan rezim SBY banyak terjadinya kasus mega korupsi, pun banyak kader partainya yang terjerat kasus korupsi.

Majunya AHY memperkuat indikasi upaya dinasti politik Cikeas melalui Pilkada DKI. Partai demokrat tidak mau berjiwa besar seperti yang dilakukan oleh PDIP dan Gerindra. Melalui AHY demokrat melawan prinsi-prinsip demokrasi. Demokrat menyangsikan AHY yang tidak memiliki rekam jejak di Eksekutif.

Demokrat harus belajar pada PDIP dan Gerindra. Gerindra berani mengusung Anies Baswedan yang bukan kader partai dan notabene menjadi lawan pada Pilpres 2014 lalu. PDIP berjiwa besar dengan mengusung Ahok walaupun bukan kader partai.

Membangun trust sangat penting dalam politik. Demokrat tidak mempertimbangkan rekam jejak, ini memperburuk citra Demokrat. Suatu kemunduran bagi demokrat yang sedang memperbaiki citra buruknya.

Penulis berharap, politik saat ini harus segera mengalami perbaikan. Demokrasi jangan menjadi alat untuk syahwat kekuasaan. Demokrasi harus menjadi sistem untuk mendapatkan calon kepala daerah berintegritas, transparan dan professional.

Nasi sudah menjadi bubur, sudah cukup AHY tebar pesona dengan cara melompat ke arah pendukung atau malah ikut-ikutan membuat album lagu. Tinggalkan gaya politik lama tersebut, beri rakyat pendidikan politik yang baik. Jelaskan kepada mereka program kerja, yakinkan mereka dengan visi yang terukur.

Menyusun program dengan menjelaskan solusi teknis akan menjadi angin segar bagi Pilkada DKI dan legacy atas keputusan mencalonkan Agus Yudhoyono mungkin merupakan keputusan tepat. Mengapa mungkin? Karena opini penulis juga belum tentu tepat, tergantung pembaca ada di pihak mana, bukan?


@bintang pamungkas


Fahri Heryawan ; Makna di Balik Lebaran Kuda dan Isu SARA

DUNIA HAWA - Kontestasi Pilkada DKI Jakarta telah menjadi perhatian dan perbincangan publik di seantero tanah air. Setelah mencuatnya isu penistaan agama ke ranah publik, provokasi isu SARA terus disuarakan dengan masif. Pasalnya, provokasi tersebut semakin meresahkan masyarakat. Khawatirnya, isu-isu yang terus disuarakan tersebut dapat memecah-belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.


Isu tersebut berawal dari wilayah DKI Jakarta yang terus dimunculkan di berbagai media sosial. Isu tersebut membuat masyarakat mudah terprovokasi dengan media-media yang sifatnya berbau SARA tanpa mengkaji ulang validitasnya.

Menurut Arman Salam, seorang peneliti senior Riset Lingkaran Strategis (RILIS), Pilkada DKI Jakarta telah menjadi perhatian publik bukan hanya di Ibu Kota saja, tetapi di seluruh Indonesia. Bahkan sebagian menganggap pertarungan Pilkada DKI Jakarta merupakan jalan menuju RI satu. sejak isu penistaan agama yang disudutkan oleh Basuki Thahaja Purnama (Ahok) sebagai tersangka, keadaan semakin memanas. Sebagai seorang calon gubernur DKI Jakarta Ahok ditekan untuk dipenjarakan terkait isu tersebut.

Sejak saat itu, situs-situs penebar kebencian mulai bermunculan ke ranah publik. Ironisnya, situs-situs tersebut memainkan isu SARA yang dapat memengaruhi pikiran masyarakat ke arah yang lebih ekstrim. Isu-isu tersebut dimainkan demi menurunkan elektabilitas AHOK, terlebih ia adalah double minority yang mencalonkan diri kembali menjadi gubernur. Lawan-lawan politiknya telah menebar isu SARA demi menjatuhkanya agar tidak dapat mencalonkan diri kembali.  

Sekretaris Majlis Tinggi Partai Demokrat, Amir Syamsuddin, memberi himbauan kepada pendukung Agus Harimurti dan Sylviana Murni agar tidak memainkan isu SARA di Pilkada DKI Jakarta. Amir Syamsuddin juga mengatakan “kami tidak pernah mengakomodir jangan bermain dengan SARA, kami tidak memberi tempat karena itu memecah-belah masyarakat”.

Pidato SBY


Di lain sisi, pidato SBY saat konferensi pers pada Rabu (02/11/2016) di kediamannya Puri Cikeas Kabupaten Bogor Jawa Barat mengatakan, “saya menyerukan setiap orang memilki hak politik yang dijamin konstitusi, yang dalam terminologi politik disebut unjuk rasa. Asalkan tertib, damai, tidak melanggar aturan dan tidak merusak.”

Pidato SBY tersebut disampaikan sebelum terlaksananya aksi damai tanggal 4 november 2016. Dalam pidato tersebut mantan Presiden keenam RI ini mengatakan bahwa unjuk rasa di negara demokrasi adalah unjuk rasa yang tertib dan damai. Unjuk rasa yang bersifat destruktif hanya memicu air mata bangsa ini. Kalau unjuk rasa destruktif maka semua akan menangis. Tidak mudah membangun negeri ini, bertahap dan berlanjut dari generasi ke generasi.

Lebih lanjut SBY mengatakan, “kenapa di seluruh tanah air rakyat melakukan protes dan unjuk rasa. Tidak mungkin tidak ada sebab, maka mari kita lihat dari sebab dan akibatnya.” Menurutnya tidak mungkin rakyat melakukan unjuk rasa untuk bersenang-senang atau jalan-jalan ke Jakarta, melainkan karena pasti ada tuntutan yang tidak didengarkan.

“Tidak ada rakyat berkumpul untuk “happy-happy” atau jalan-jalan ke Jakarta. kalau tuntutan rakyat sama sekali tidak didengar maka sampai lebaran kuda tetap ada unjuk rasa. Mari bikin mudah urusan ini jangan dipersulit. Mari kembali ke kuliah manajemen dan metode pemecahan persoalan, itu kuliah semester satu manajemen kepemimpinanya.” katanya   

Mantan Presiden keenam itu juga mengatakan bahwa Gubernur DKI Jakarta atau Ahok dianggap menista agama, dan penistaan agama itu secara hukum tidak boleh dan dilarang di negeri ini. Di Indonesia sudah ada yurisprudensi serta preseden yang menyebut urusan semacam ini, dan yang bersalah sudah diberikan sanksi.

Jadi kalau ingin negara tidak terbakar amarah penuntut keadilan pak Ahok ya mesti diproses secara hukum. Jangan sampai beliau dianggap kebal hukum. Penegakan hukum juga harus 'transparan dan adil, jangan direkayasa. Jika proses penegakan hukum berjalan benar, adil, transparan dan tidak direkayasa, rakyat juga harus terima apapun hasilnya.

Menurut SBY, semua persoalan terkait persoalan pernyataan Ahok harus diserahkan ke penegak hukum, dan kini bola ada di penegak hukum. SBY juga mencermati adanya anggapan bahwa proses hukum bernuansa politis lantaran Ahok kini tengah berstatus sebagai calon gubernur petahana.

Pendapat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), proses hukum tidak akan mengganggu status Ahok sebagai calon gubernur yang memiliki hak berkampanye. Dia secara pribadi berpendapat, apapun yang terjadi berkaitan proses hukum, Pilkada DKI Jakarta tetap harus diikuti tiga pasangan calon yang sudah ditetapkan KPU DKI Jakarta. Ketiganya harus diberikan kesempatan yang sama untuk mengikuti kampanye. Dia berpendapat biarkan ketiganya berkompetisi secara adil dan demokratis. “Saya rasa Mas Agus dan Ibu Sylvi, Pak Anies dan Pak Sandi tidak bangga kalau pak Ahok tidak bisa bersaing karena walk out (WO).”

Secara eksplisit, pidato mantan Presiden SBY tersebut membuat tanda tanya besar bagi masyarakat. Ada apa sebenarnya di balik pidato yang dikumandangkan SBY tersebut. Apa karena putra sulungnya mencalonkan diri sebagai gubernur DKI Jakarta, lalu ia harus ikut campur dalam pencalonan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) untuk mengalahkan Ahok.

Ironisnya, SBY dalam pidatonya membuat justifikasi publik bahwa Ahok telah menistakan agama. Padahal, saat itu status Ahok belum ditetapkan sebagai tersangka. Pidatonya menggeserkan opini publik untuk terus menggelar aksi sebelum Ahok ditetapkan sebagai tersangka. Apalagi ia mengatakan bahwa “Kalau tuntutan rakyat sama sekali tidak didengar maka sampai lebaran kuda tetap ada unjuk rasa”. Dalam pidatonya, seolah-olah dirinya menekankan bahwa Ahok harus ditersangkakan. Jika tidak, maka akan ada aksi-aksi yang selanjutnya sampai kapanpun.

Menurut Joseph A. Devito, dalam buku “The Interpersonal Book” , pembicaraan persuasif menengahkan pembicaraan yang sifatnya memperkuat, memberikan ilustrasi, dan menyodorkan informasi kepada orang lain. Akan tetapi, tujuan pokoknya adalah menguatkan atau mengubah sikap dan perilaku. Sehingga penggunaan fakta, pendapat, dan himbauan motivasinya harus bersifat memperkuat tujuan persuasifnya.

Devito juga mengemukakan, ada dua tujuan yang ingin dicapai dalam melakukan pembicaraan persuasif. Agar dapat mengubah sikap, perilaku, dan pendapat sasarn persuasi. Pertama, kejelasan tujuan. Tujuan komunikasi persuasif adalah untuk mengubah sikap, pendapat, dan perilaku.

Apabila bertujuan untuk mengubah sikap, maka berkaitan dengan aspek afektif. Mengubah pendapat, maka berhubungan dengan aspek kognitif sedangkan mengubah perilaku maka berkaitan dengan aspek motorik. Kedua, memikirkan secara cermat orang yang dihadapi. Sasaran persuasi memiliki keragaman yang kompleks. Keragaman tersebut dapat dilihat dari sisi demografis, suku bangsa, pekerjaan, dan jenis kelamin.

Apa yang telah dikemukakan oleh Joseph A. Devito, membuktikan bahwa dalam pidato SBY terdapat komunikasi persuasif yang dipandang sebagian masyarakat sebagai ajakan atau seruan untuk melaksanakan aksi demo demi menjadikan Ahok sebagai tersangka karena menista agama. Berangkat dari hal tersebut, isu SARA terus diprovokasi oleh sebagian masyarakat muslim yang fundamental atau sekadar ikut-ikutan saja.

Oleh karena itu, pertarungan Pilkada DKI Jakarta telah menguras tenaga. Opini publik terus dibenturkan dengan adanya isu SARA yang kian masif tersebut. Padahal acuan dalam bernegara adalah Pancasila yang sila pertamanya menjelaskan “Ketuhanan Yang Maha Esa”.   


 @fahri heryawan


Terungkap Kubu Agus Yudhoyono Membiayai Aksi Rizieq Shihab dkk

DUNIA HAWA - Selama ini memang sudah ada kecurigaan bahwa kubu Agus Yudhoyono mendanai berbagai aksi ‘Bela Islam’ yang dimotori Rizieq Shihab untuk menjatuhkan Ahok.


Kini, kecurigaan semakin menguat.

Hari ini (Jumat) polisi akan memeriksa Gde Sardjana, suami Sylviana Murni (cawagub Agus), terkait dengan dugaan pengaliran dana darinya kepada Zamran, salah seorang tersangka dalam kasus penyebaran ujaran kebencian berbau SARA. Zamran berstatus tersangka bersama-sama delapan orang lainnya (termasuk Ahmad Dhani, Ratna Sarumpaet, Sri Bintang Pamungkas, dan lain-lain) yang diperiksa polisi terkait dengan dugaan makar di awal Desember 2016.

Polisi menyatakan Gde mengalirkan dana kepada Zamran sebelum berlangsungnya aksi 212. Polisi tidak menyebut jumlah dana yang dikirim ke Zamran. Melalui pemanggilan ini, Zamran akan ditanyai polisi soal maksud dan tujuan pentransferan uang tersebut.

Walau tentu harus dibuktikan, pengaliran dana ini memperkuat dugaan bahwa aksi 212 (dan aki-aksi Bela Islam lainnya) telah ditunggangi atau bahkan memang dirancang dnegan tujuan politik menjatuhkan Ahok dan memenangkan Agus Yudhoyono.

Sebelumnya, sudah terungkap fakta bahwa sejumlah motor aksi 212 memang pernah menemui SBY. Begitu juga beredar foto yang menunjukkan Sylvi berpose bersama Riziq.

Mudah-mudahan, kasus ini bisa dibongkar tuntas. Kalau benar ada aliran dana, perlu diketahui siapa saja yang berada di belakang Gde. Siapa sumber dananya? Adakah aliran-aliran dana lain? Kepada siapa saja uang mengalir? Dan seterusnya.

Bila benar aliran dana ini sebenarnya datang dari kubu Agus, dua hal sekaligus terungkap:

Pertama, ini membuktikan aksi Rizieq dan kawan-kawan bukanlah murni untuk Islam. Rizieq dkk bisa saja ditunggangi atau memang sejak awal beraksi untuk kepentingan politik.

Kedua, ini membuktikan kelicikan atau kejahatan kubu Agus. Mereka tahu mereka tidak mungkin mengalahkan Ahok melalui cara-cara objektif dan rasional, sehingga mereka memilih menunggangi kelompok-kelompok Islam untuk kepentingan sempit.

Mari kita lihat perkembangannya.

 @ade armando